CORPUS CHRISTI
Oleh Romo Hartono Budi, SJ. (Melayani WKICU 1994-2000)
Yesus berkata kepada murid-muridNya: “ Inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Lukas 22:19). Kita mendengar kembali kata-kata Yesus itu ketika kita membaca Injil atau dalam perayaan Ekaristi. Orang Katolik membuka mata batin dan mata imannya memandangi kehadiran Tuhan yang nyata dan menerimaNya dalam komuni. Pada masa pandemi ini banyak dari kita menerimaNya juga dalam kerinduan dan kenangan yang hidup akan saat-saat bersama keluarga atau kenalan mengikuti perayaan Ekaristi di hari minggu atau di hari biasa. Corpus Christi atau Tubuh Kristus adalah kenangan dan perayaan momen kehadiran Tuhan yang nyata itu.
Perayaan Corpus Christi diusulkan santo Thomas Aquinas (1225-1274) kepada paus Urbanus VI (1195-1264) untuk memulai penghormatan khusus pada Ekaristi. Ekaristi dimulai Yesus sendiri dalam perjamuan terakhir yang kita kenangkan setiap hari Kamis Putih. Fokusnya adalah sukacita dan kasih dalam perayaan bersama Yesus sebelum sengsaranya. Dalam perayaan Ekaristi selanjutnya kebersamaan dengan Yesus ini diimani secara mendalam khususnya dalam SabdaNya dan komuni Tubuh Kristus. Kehadiran Tubuh dan Darah Kristus dengan jiwa dan rahmat ilahinya diterima dan disyukuri oleh para sahabat Yesus disepanjang masa. Teologi Katolik meneguhkan pengalaman iman umat yang menerima Tubuh Kristus sebagai kehadiran Kristus yang nyata itu, bukan hanya kehadiran rohani.
Setiap tahun, saat liburan keluarga, saya selalu merayakan Ekaristi bersama ibu, ayah dan adik. Ibu ambil peran membaca bacaan pertama dan mazmur; Ayah menentukan waktu dan menyiapkan tempat; adik merencanakan lagunya. Ketika ayah semakin sulit untuk berjalan karena sakitnya, ibu juga bertugas menerimakan anggur sesudah saya menyampaikan “Tubuh Kristus”. Saat ini Ekaristi keluarga demikian tinggal sebagai kenangan berharga karena kami semua sudah berpisah tempat tinggal: ayah dirawat di panti Wredha Marganingsih Pekalongan; adik ikut keluarga Salatiga dan ibu sudah berpulang kepada Tuhan. Corpus Christi tetap menyatukan kami. Ekaristi menghidupkan dan mengabadikan kesatuan kita dalam keluarga atau dalam persahabatan: “Barang siapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman” (Yohanes 6:54)
Iman akan kehadiran Tuhan yang nyata itu didasarkan pada misteri inkarnasi, Sabda Allah yang menjadi daging dalam diri Yesus putra Maria dari Nazaret dan Yosef. Kasih Allah yang Agung bersinar di wajah Yesus, membadan dalam sejarah dan utuh dalam pribadinya. Allah beserta kita dalam Yesus dari Nazaret yang bisa senyum, bisa terharu dan menangis, bisa lapar dan haus serta bisa berjuang agar setiap orang mempunyai kehidupan yang utuh dan penuh, jasmani serta rohani (Yohanes 10:10).
“Senyumlah, walaupun hatimu sakit ataupun sedang hancur. Kalau engkau senyum, juga saat ketakutan atau dalam kesedihanmu, hari-hari gelap berawan akan bisa terlalui. Senyumlah, maka esok engkau akan melihat matahari bersinar dalam hidupmu”. Nyanyian terkenal Nat King Cole ini mau membangunkan daya-daya jiwa dan tubuh kita. “Biarlah wajahmu bersinar oleh kebahagiaan yang melebur setiap duka. Juga saat air matamu hampir jatuh, saat itu pula berupayalah tersenyum. Apa gunanya menangis saja. Dengan senyum, engkau akan sadar kembali betapa berharganya hidup ini”. Lagu Smile ini menyentuh jati diri kita sebagai manusia, dengan darah dan daging, dengan jiwa, hati dan perasaannya. Perayaan Corpus Christi mengingatkan kita akan keagungan realitas manusiawi sebagai citra Allah (Kejadian 1:26).
Masa pendemi ini juga mengingatkan saya akan lukisan altar Isenheim dari awal abad 16. Lukisan altar karya Nikolaus Hagenauer dan Matthias Grünewald ini menunjukan Tubuh Kristus yang pucat karena wabah penyakit kulit, dengan darah merah mengalir dari lambung kanan dan lubang-lubang pakunya. Santo Yohanes pembaptis dilukiskan berdiri tunjuk jari ke lambung kiri Yesus dengan kata-kata: “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yohanes 3:30)
Saat menerima Tubuh Kristus Kita menjawab: AMIN, yang berarti YA atau AKU PERCAYA. Apa adanya, tubuh, jiwa, hati dan perasaan manusia sudah menjadi ruang bagi Allah yang menjadi manusia. Itulah pula yang dirawat dan dikasihi Ibu Maria dan santo Yosef, seperti kita juga dirawat dan dikasihi ibu dan ayah kita. Santo Paulus menuliskannya: “Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita. Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya” (1 Korintus 12:26-27)
Kembalinya Sang Romo Rajawali (bagian 2):
Sakramen Pengakuan Dosa dan Sakramen Ekaristi adalah dua hal utama yang perlu diperhatikan oleh seorang Imam untuk menuju kekudusan secara internal.
Kembalinya Sang Romo Rajawali (bagian 2):
Mencari Kekudusan diantara Surga dan Neraka
Dalam dua tulisan saya yang terdahulu, saya banyak menanggapi tulisan teman lama saya yang berjudul Romo Kodok. Ketika saya menulis tulisan yang pertama tentang Romo Kodok melawan Romo Rajawali, seorang teman lama saya dari SMA memberi tanggapan bahwa ada yang kurang dari tulisan saya yaitu sosok kekudusan seorang Romo. Karena terbatasnya ruang dan juga fokus saya lebih menanggapi argumentasi tentang Romo Kodok, saya belum sempat mengangkat topik kekudusan. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, saya ingin mengangkat makna kekudusan dari seorang Romo.
Jalan Tol Menuju Surga atau Neraka
Dalam beberapa kesempatan saya sering mendengar celetukan bahwa menjadi Romo adalah jalan tol menuju surga. Bahkan beberapa tahun yang lalu, saya mendengar ada seorang anak muda yang dengan lantang mengatakan bahwa dia memutuskan menjadi Romo karena itu adalah jalan yang paling mudah untuk masuk surga. Saya pribadi tidak pernah berpikir bahwa menjadi seorang Romo adalah jalan tol menuju surga. Justru sebaliknya bahwa menjadi seorang Romo akan membuat kita lebih mudah masuk neraka.
Sebagai seorang Romo tentu kita dituntut untuk mempunyai standard yang lebih tinggi dibanding umat biasa. Jikalau kita gagal memenuhi standard tersebut tentunya konsekuensi yang harus kita tanggung adalah lebih berat dari pada umat biasa yang gagal memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang Katolik. Pada intinya ada dua macam pola hidup dalam kehidup Gereja: pertama, pola hidup “sempurna” dan pola hidup yang kurang “sempurna.” Jikalau kita melihat cerita Injil, kita tahu bahwa kedua belas murid dipanggil oleh Yesus untuk menjadi rasul dengan mengikuti Dia dan meninggalkan segalanya. Akan tetapi ada banyak pengikut Yesus pada masa itu, yang tidak dipanggil oleh Yesus menjadi para Rasul, dan tugas mereka hanyalah menyediakan rumah buat Yesus dan murid- muridnya, atau menyediakan makanan dan minimum buat Yesus dan murid-muridnya. Jadi para Romo adalah orang yang dipanggil untuk masuk ke dalam pola hidup yang “sempurna” seperti para Rasul, sementara sebagian besar umat dipanggil untuk menjalani pola hidup yang kurang “sempurna” dalam kapasistas mereka, entah sebagai suami, ayah, anak, istri, ibu, kakek ataupun nenek. Meskipun pola hidup mereka kurang “sempurna” tentu saja mereka tetap mendapat tugas untuk menjalani 10 Perintah Allah dan hukum yang utama, yaitu Mencintai Tuhan Allah dan Sesama Manusia. Sementara untuk para Romo, standard mereka tentu lebih tinggi, bukan hanya dituntut untuk menjalani hukum utama dan 10 perintah Allah, tapi mereka juga harus menjunjung nilai – nilai kebajikan surgawi, jikalau gagal ya berarti alamat seorang Romo masuk neraka akan lebih besar daripada orang awam.
Seorang Romo juga akan lebih gampang masuk ke neraka kalau dia entah sengaja atau tidak menyesatkan umat, entah itu dengan ajaran sesat ataupun perbuatan – perbuatan yang menimbulkan skandal. Sebagai contoh, seorang Romo yang dengan alasan pastoral menyingkirkan ajaran Gereja tentang moralitas dan seksualitas. Seorang Romo seperti ini tentu harus menanggung perbuatan, tindakan dan ucapannya dengan konsekuensi yang lebih berat.
Lupakan dulu hal – hal besar yang berkaitan dengan doktrin, dalam hal kecil saja para Romo dituntut untuk mempunyai standard yang lebih tinggi. Belum lama berselang saya mengalami perlakuan yang kurang menyenangkan dalam perjalanan menggunakan pesawat. Ketika sampai di counter ticket untuk check-in, saya dikabari bahwa tiket pesawat overbooked dan karena saya check in agak telat, sekitar satu setengah jam sebelum pesawat berangkat, maka saya tidak kebagian tempat lagi. Saya langsung marah dan beraksi dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh maskapai penerbangan ini adalah penipuan terhadap konsumen karena mereka menjual tiket diluar kapasitas tempat duduk dan kemudian penumpang seperti saya di korbankan, hanya dengan alasan telat check in, meski saya tiba satu setengah jam sebelum pesawat berangkat. Akhirnya saya pun berkata karena tindakan maskapai ini adalah penipuan, dan mereka bisa digugat oleh konsumen. Sang pegawai maskapai penerbangan itu pun langsung bereaksi dengan mengatakan bahwa, “tidak sepantasnya kata – kata seperti itu keluar dari seorang Romo.” Karena saya memakai pakaian klerus tentu saja mereka tahu saya seorang Romo dan saya pun langsung di hakimi karena mengungkapkan kemarahan saya. Meski demikian, saya pun terhenyak atas kata – kata sang pegawai Maskapai penerbangan itu. Jujur saya mengakui bahwa apa yang dia ucapkan ada benarnya; kata – kata yang keluar dari mulut saya adalah kata – kata seorang lawyer dan bukan seorang Romo. Sebagai seorang Romo saya dituntut untuk selalu rendah hati, terlepas dari perlakuan yang saya terima dari siapapun itu, entah perlakukan semena- mena ataupun tidak manusiawi. Sebagai seorang Romo saya haruslah seperti Yesus yang rendah hati meskipun dituduh sebagai seorang kriminal dan dihina sampai mati di kayu salib.
Kekudusan dari dalam
Tidak mudah untuk mencari ukuran kekudusan bagi seorang Imam, tapi paling tidak ada dua hal dasar yang bisa menjadi patokan. Kedua hal mendasar ini merupakan faktor internal yang berasal dari kehidupan seorang Imam. Ketika saya masih belajar theologi, seorang Imam Jesuit yang menjadi professor saya pernah mengatakan bahwa untuk menjadi seorang Bapa Pengakuan yang baik, seorang Imam juga harus sering mengaku dosa. Pertama jelas bahwa kita para Romo juga adalah para pendosa, dan kedua, dengan sering mengaku dosa kita juga menjadi bisa merasakan rahmat Tuhan dari pengalaman mengaku dosa sehingga kita bisa membantu umat yang mengaku dosa ke kita. Ditambah lagi tentu adalah suatu hal yang munafik kalau seorang Imam sering mendengar pengakuan dosa tapi dia sendiri jarang mengaku dosa. Saya tidak berani mengatakan bahwa saya sudah sampai pada tahap kekudusan seperti yang disampaikan Professor saya, dan saya juga jujur mengakui bahwa saya belum sampat pada tahap mengaku dosa setiap minggu. Tapi saya berusaha mencoba untuk secara regular dan sering mengaku dosa karena saya menyadari saya juga adalah seorang pendosa.
Faktor kedua adalah perayaan Ekaristi oleh para Imam. Pater Theodore Hesburgh, CSC, mantan President University of Notre Dame, di Indiana dalam biografinya menceritakan bahwa dalam hidupnya dia setiap hari selalu merayakan misa baik secara umum bersama orang banyak maupun secara individual. Sampai akhir hayatnya Pater Hesburg tidak pernah absen merayakan misa setiap hari. Jadi beliau bukan duduk atau berpartisipasi secara pasif dalam misa, melaikan setiap hari merayakan misa atau paling tidak konselebrasi. Saya pikir Pater Herseburgh adalah seorang teladan dalam hal ini, terlepas dari segala kekurangan beliau, dia adalah contoh bagaimana seorang Imam menempatkan Ekaristi dalam kehidupan pribadinya. Apa yang dilakukan oleh Pater Hesrburgh adalah suatu hal yang coba saya contoh dan semoga saya bisa seperti beliau bisa merayakan Ekaristi kudus setiap hari sampai akhir hayat saya.
Tentu masih banyak hal lain bisa masuk dalam kategori kekudusan seorang Imam, tapi paling tidak kedua hal diatas, yaitu Sakramen Pengakuan Dosa dan Sakramen Ekaristi adalah dua hal utama yang perlu diperhatikan oleh seorang Imam untuk menuju kekudusan secara internal.
Kekudusan dari luar
Faktor eksternal yang mempengaruhi kekudusan seorang Romo adalah umat sendiri. Umat yang kudus juga akan menghasilkan Imam yang kudus. Seperti yang saya jelaskan sebelummya bahwa ukuran yang dipakai untuk mengukur seorang Romo adalah standard yang lebih tinggi. Setelah seorang Imam meninggal, dan dia harus menghadapi penghakiman terakhir, dia tidak hanya harus bertanggung jawab terhadap jiwa dia sendiri, tapi juga terhadap jiwa – jiwa orang yang dipercayakan kepada nya. Seorang Imam juga harus bertanggung jawab terhadap jiwa – jiwa umatnya. Berdasarkan pola pikir ini kita bisa melihat bahwa seorang Imam yang menyesatkan umatnya, adalah alamat masuk ke neraka. Mungkin ada segelintir Imam yang sengaja menyesatkan umatnya, tapi pengamatan saya ada juga sejumlah Imam yang berpikir bahwa dia ingin memuaskan keinginan umatnya, sehingga membiarkan saja umatnya berbuat seenak perutnya dan pada akhirnya sang Imam tidak sadar bahwa dial ah yang ketiban pulang bertanggung jawab terhadap keselamatan umat yang dia biarkan untuk berbuat apa saja.
Ambil sebagai contoh kewajiban ke Gereja pada Misa Hari Raya Khusus, semisal Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga. Tahun ini Misa Peringatan Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga jatuh pada hari Senin. Umat pun mencari berbagai alasan tidak bisa ke Gereja, dan celakanya Gereja juga menurunkan standard, entah dengan memindahkan itu ke hari Minggu ataupun bahkan memutuskan bahwa hari itu tidak wajib ke Gereja. Tentu pemikirannya adalah tidak ingin membuat umat menjadi repot, jadi Gereja pun mencoba meringankan beban umat. Meski para Uskup dan Imam mempunyai niat baik, tapi hasilnya belum tentu baik, karena umat pun merasa senang - senang saja dibebaskan oleh Gereja dari kewajiban.
Betul pada akhirnya yang mengambil keputusan adalah Para Uskup dan Imam, akan tetapi umat juga punya saham dalam masalah ini. Kalau saja umat Katolik berani bersikap lebih militant dan tidak mencari jalar pintas atau mau gampangnya saja, dan mereka berani berkorban untuk memenuhi kewajiban dalam kehidupan bergereja, tentu hal ini juga berpengaruh pada para Uskup dan Imam yang tidak berusaha meringakan beban umat dengan pikiran agar umat senang.
Ketika saya masih berstatus sebagai Transitional Deacon, saya bertugas di sebuah gereja di Amerika Bagian Timur. Waktu itu sekitar bulan November dan hujan sore – sore menguyur kota dimana saya tinggal. Ketika itu sudah masuk musim gugur dan sudah mulai dingin, meski tidak dingin – dingin amat dan tidak ada badai salju. Ketika itu saya bertugas di misa Sabtu sore jam 5.30. Umat yang datang tidak banyak, dan sejumlah umat menghampiri saya dan berkata, “Homili singkat saja hari ini, yang datang Cuma 5 orang, homili nya 5 menit cukup, kalau satu orang satu menit homili sudah cukup.” Tentu saja mereka setengah bercanda kepada saya, akan tetapi candaan ini juga menunjukkan sikap mereka yang ingin misa cepat selesai dan bisa langsung pergi.
Dari pengalaman singkat saya sebagai seorang Imam, saya sering mendengar komplain dari sejumah umat yang saya layani bahwa mereka, “mengapa kok Romo sering membuat umat susah dengan peraturan ini dan itu.” Tentu akan lebih gampang memberikan dispensasi atau membiarkan umat berjalan sendiri sesuai dengan keinginan mereka, tanpa terikat aturan yang menurut mereka merepotkan atau membuat hidup mereka menjadi susah. Akan tetapi pada akhirnya yang harus bertanggung jawab terhadap keputusan itu adalah saya sendiri sebagai seorang Romo, bukan hanya pertanggung jawaban di dunia, tapi juga pertanggujawaban di akhirat nanti.
Kembali dalam contoh kasus peringatan Hari Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga pada tahun ini, sebagai seorang Imam kita juga kerepotan. Di Amerika Serikat, Konferensi Uskup Amerika Serikat sudah memutuskan bahwa kalau Hari Peringatan tersebut jatuh pada hari Senin atau Sabtu, umat dibebaskan dari kewajiban pergi ke Gereja. Mau tidak mau kita para Imam harus mengumukan itu ke umat. Tapi disisi lain, tentu hal seperti ini menurukan standard kekudusan, baik kepada umat ataupun para Imam sendiri. Para umat mungkin bergembira karena mereka tidak wajib ke Gereja pada hari itu, akan tetapi kami para Imamlah yang nantinya harus mempertanggung jawabkan kegembiraan itu di kehidupan selanjutnya.
Kembalinya Sang Romo Rajawali (Bagian I)
“..dalam tulisan ini saya akan fokus pada masalah sejauh mana peran seorang Imam Katolik di tengah situasi sosial politik yang tengah berubah cepat saat ini.”
Kembalinya Sang Romo Rajawali (Bagian I):
Diantara Romo Penyanyi dan Romo Akar Rumput
S. Hendrianto, SJ
Dalam tulisan saya yang berjudul Romo Rajawali melawan Romo Kodok, saya mencoba menulis renungan singkat atas tahbisan Imamat saya yang ketiga, dalam konteks menanggapi tulisan teman lama saya yang berjudul Romo Kodok. Tentu saja saya tidak bisa membahas banyak hal dalam renungan singkat itu. Seperti yang saya duga, tulisan itu mendapat sejumlah tanggapan, khususnya pada sejumlah missing point yang belum sempat saya angkat dalam renungan singkat saya. Dalam kesempatan ini saya mencoba merenungkan sejumlah hal yang belum sempat saya angkat dalam tulisan saya yang pertama. Akan tetapi sekali lagi saya menyadari ada sejumlah keterbatasan ruang untuk membahas banyak hal tentang tantangan Imam Katolik saat ini, oleh karena itu dalam tulisan ini saya akan fokus pada masalah sejauh mana peran seorang Imam Katolik di tengah situasi sosial politik yang tengah berubah cepat saat ini.
Teman lama saya dalam tulisannya yang berjudul Romo Kodok mengangkat satu hal penting yang belum sempat saya bahas. Teman saya ini mengatakan bahwa saat ini yang dibutuhkan adalah seorang Romo – Romo yang bekerja dari akar rumput. Imam Katolik yang berjuang untuk keadilan dalam menjalankan imannya dan perannya sebagai Imam.
Teman saya ini menuliskan argumentasi nya berdasarkan pengamatan dia bahwa saat ini Gereja Katolik mengalami arus “progresisme dari atas” dimana Paus Fransiskus dan petinggi Gereja mencoba membawa Gereja ke dalam arus progresif namun hanya sebatas khotbah dari para klerus dan gagal menginspirasi gerakan besar untuk perubahan. Dengan kata lain, Gereja Katolik di bawah Paus Fransiskus menjadi sangat progresif di tingkat hirarki namun menjadi kehilangan arah di tingkat akar rumput. Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah para Romo yang mampu bekerja di akar rumput untuk membimbing refleksi di tingkat komunitas dan menggali makna ajaran progresif ini untuk beraksi sebagaimana metode teologi pembebasan.
Lebih lanjut teman saya ini mengatakan bahwa dia tidak banyak mendengar para Romo yang bekerja di tingkat akar rumput. Dalam kesemptan yang berbeda teman saya ini bahkan mengatkan bahwa saat ini realitasnya para Romo di tingkat Paroki kalau bekhotbah hanya bernyanyi saja. Jadi jangankan berkohtbah untuk pemikiran – pemikiran progresif seperti yang diajarkan Paus Fransiskus, khotbah mereka hanya lah berisi kutipan lagu – lagu Rohani saja. Terus terang saja saya tidak punya data persis tentang para Romo penyanyi ini; ketika saya masih tinggal di Indonesia hampir 20 tahun yang lalu, saya mencermati memang sudah ada tren para Romo suka bernyanyi ketika berkhotbah. Dengan munculnya tik tok, selama beberapa tahun terakhir, saya melihat semakin banyak para Romo yang suka bernyanyi ketika khotbah.
Melihat-Memikir-Mengerjakan
Sang teman lama saya ini kemudian mengusulkan agar para Romo bisa mulai dengan mengajak anak – anak muda mudi Katolik untuk melihat secara langsung kehidupan, mulai dengan metode live in, entah di desa – desa atau perkampungan kumuh di perkotaan. Apa yang diusulkan oleh teman lama saya ini mungkin ada benarnya dalam konteks 25 tahun yang lalu ketika kami masih sama – sama berjuang di jalanan untuk melawan Rezim Orde Baru. Akan tetapi saya pikir dunia sudah berubah dan perlu ada adaptasi metode. Sebelum sampai ke sana, saya ingin merenungkan sedikit usulan teman saya tersebut untuk live in dalam konteks abad 21.
Pembacaan saya adalah teman lama ini tumbuh besar dalam konteks metode yang dikenal dengan nama See-Judge-Act (Melihat – Memikir – Mengerjakan). Metode Melihat – Memikir - Mengerjakan ini adalah tiga langkah proses yang mewakili praxis-oriented methodology yang dikembangkan setelah Konsili Vatikan II dan khususnya dipakai oleh Konferensi Para Uskup di Amerika Latin (The Latin American Bishops Conferences - CELAM) sejak akhir tahun 1960-an di Medellin, Colombia. Tentu saja metode ini tidak bisa dipisahkan oleh teologi pembebasan tumbuh dari kawasan Amerika Latin. Pada intinya dengan menggunakan See-Judge-Act, umat diajak untuk melihat realitas sosial, kemudian memikirkankan realitas sosial itu dalam konteks ajaran Sosial Gereja, dan kemudian mengerjakan sesuatu untuk mempromosikan keadilan dan memperbaiki situasi orang – orang yang mereka layani.
Dalam situasi Amerika Latin tahun 1960-1980an ataupun Indonesia di awal 90-an, mungkin metode See-Judge-Act ini tepat diterapkan, khususnya untuk menghadapi situasi kemiskinan dan penindasan yang akut di bawah rezim otoriter di Amerika Latin ataupun rezim Orde Baru di bawah Soeharto. Pada intinya ketika itu yang penting adalah massa bisa bergerak, dan metode ini cukup efektif untuk mengangkat kesadaran anak – anak muda dan mendorong mereka terlibat dalam aksi – aksi gerakan melawan penindasan. Akan tetapi di tengah situasi dunia yang sudah berubah saat ini, saya pikir metode itu sudah banyak mengalami keterbatasan.
Pola penindasan di abad 21 ini sudah berbeda dengan pola penindasan rezim militer baik di Amerika Latin atapun Indonesia pada tahun 1980an. Persoalan mendasar masih sama, tapi ruang keterbukaan dan banjirnya arus informasi membuat gambar penindasan menjadi lebih kabur. Dalam situasi seperti ini, yang terjadi adalah ketika para anak muda di ajak live-in, mereka terkadang sulit untuk melihat realitas yang sesungguhnya. Atau terkadang mereka menjadi seperti turis dari kota yang masuk kampung kumuh. Setelah selesai dari live- in, amarah mereka bangkit melihat penindasan dan kemudian mulai mengecam segalanya, mulai dari kapitalisme sampai perusahaan besar. Mereka pun berkeinginan untuk merampas semua harta para kapitalis dan dibagikan kepada orang miskin. Setelah melihat wajah penindasan, dan marah, akhirnya mereka pun memutuskan melakukan tindakan – tindakan tanpa perhitungan matang demi membela keadilan. Hal seperti ini terjadi pada musim panas tahun 2020, ketika banyak para Uskup, Romo, dan orang Katolik di Amerika Serikat yang ikut – ikutan aksi menentang kerusuhan rasial di Amerika Serikat tanpa tahu sebenarnya apa yang terjadi. Semua pihak berlomba – lomba mengeluarkan statement ataupun mengangkat spanduk tanpa berpikir panjang tentang situasi rasialisme yang cukup kompleks di Amerika Serikat. Jadilah akhirnya mereka See the blurry vision (melihat hal yang kabur), Judge Everyone (mengecam semua pihak) and Act ridiculously (mengerjakan sesuatu yang menggelikan).
Mencari Metode Baru
Seorang rekan Romo Yesuit dari Filipina mengatakan bahwa metode See-Judge-Act sudah ketinggalan jaman dan harus diganti dengan metode baru yang dia namakan DARE (Data-Analysis-Reflection-Engagement). Jadi menurut Romo ini, seorang Imam Katolik harus pertama – tama berpegang pada data; jadi sebelum bekhobtah, hendaknya seorang Romo mempunyai data akurat tentang informasi yang ingin beliau sampaikan kepada umatnya. Saya pikir data ini tentu penting di tengah arus informasi yang kencang saat ini, karena para umat sendiri begitu gampang termakan oleh data – data yang beredar di internet tanpa ada niat atau usaha untuk memverifikasi kebenaran data terebut.
Berdasarkan data yang dia miliki, seorang Romo harus bisa mengajak umatnya untuk bisa melakukan analisis tentang persoalan yang sebenarnya sedang terjadi di tengah masyarakat. Ini sebenarnya adalah pesoalan krusial dan tidak mudah dilakukan, karena dibutuhkan pengetahuan sosial yang mumpuni untuk melakukan analisis sosial yang mendalam. Persoalannya sebagian besar Imam Katolik tidak dididik untuk melakukan analisa sosial yang mendalam ketika mereka berada di Seminari ataupun dalam proses pendidikan mereka menjadi Imam.
Jikalau para Romo bisa melakukan analisis sosial yang mendalam, tahap berikutnya mereka harus membimbing umat melakukan refleksi terhadap hasil analisis dalam konteks ajaran Sosial Gereja dan setelah itu mereka baru akan masuk ke tahap berikunya yaitu engagement. Persoalannya ketika masuk ke dalam tahap terakhir yaitu engagement, ini juga bukan sesuatu yang gampang. Pertama dalam konteks Indonesia, kosa kata engagement sendiri sulit di cari pandanan katanya. Mungkin bisa diterjemahkan sebagai “keterlibatan” akan tetapi saya berpendapat kata “keterlibatan” sendiri kurang pas. Kedua, ketika kita berbicara engagement, juga perlu diperjelas, engagement yang mana yang hendak dipromosikan para Romo dalam kehidupan berGereja; political engagement, social engagement, moral engagement atau civil engagement.
Persoalan lain adalah survey membuktikan bahwa level of political engagement di Indonesia cukup rendah di banding negara – negara Demokratis lainnya. Hal yang sama juga melanda umat Katolik Indonesia, baik di dalam negeri atapun di luar negeri. Jadi di tengah situasi seperti ini sangat sulit untuk mengajak umat bisa terlibat dalam kegiatan politik. Jangankan untuk keterlibatan politik, untuk level keterlibatan sosial di tingkat Paroki saja susahnya minta ampun untuk membuat umat bisa terlibat.
Keterlibatan Politik atau Seks
Saya saat ini tidak sedang mencari metode baru ataupun berusaha menemukan metode baru. Akan tetapi saya mencoba merenungkan tantangan para Imam Katolik dalam konteks yang lebih sederhana, yaitu dengan pertanyaan apakah tugas seorang Romo adalah mendorong umatnya untuk terlibat secara politik atau lebih banyak melakukan kegiatan seksual – dalam konteks prokreasi. Saya pikir ada analogi yang bisa dipakai diantara keterlibatan politik dan kegiatan seksual di antara suami isteri. Hubungan seksual antara suami isteri dalam konteks Gereja Katolik adalah bertujuan untuk melahirkan keturunan. Sementara dalam konteks politik, sejumlah orang harus terlibat aktif dalam politik jikalau ingin melihat mekanisme politik yang sehat.
Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh Gereja Katolik saat ini adalah tingkat penurunan jumlah anak dari keluarga Katolik. Hal ini mempunyai imbas yang cukup luas, mulai dari berkurangnya murid – murid di Sekolah Katolik, sehingga banyak yang gulung tikar sampai turunnya jumlah anak muda yang masuk Seminari, yang ujung – ujungnya adalah berkurangnya jumlah Imam.
Ada sejumlah hal yang menjadi penyebab berkurangnya jumlah anak dalam Gereja Katolik. Sebab pertama adalah para perempuan muda Katolik sudah termakan propaganda bahwa karir adalah sesuatu yang penting buat mereka. Jadilah para Wanita muda Katolik berlomba – lomba untuk mengejar karier dan mencoba menempuh pendidikan tinggi. Berdasarkan pengalaman singkat saya sebagai Romo, saya mengamati tren bahwa banyak para Wanita Katolik yang baru memutuskan menikah setelah mereka berumur pertengahan 30-an. Kemudian setelah menikah, sebagian besar dari mereka kesulitan untuk hamil. Sementara untuk para Wanita Katolik yang bisa hamil, kecenderungan mereka pun hanyalah untuk mempunyai satu atau dua anak saja, karena mereka tidak ingin meninggalkan karier mereka. Ataupun mereka tidak ingin menjadi stay-home mom.
Jadi menurut saya, yang paling minim bisa dilakukan oleh Imam Katolik adalah menekankan dalam khotbah mereka, khususnya kepada Wanita Katolik, tidak betul bahwa karier adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan. Dan janganlah para Wanita Katolik menunda – nunda perkawinan ataupun kehamilan. Yang terpenting juga lah jangan takut untuk menjadi seorang Ibu. Kepada para pria Katolik, pesan utama para Romo adalah, janganlah menunda – nunda lebih lama masa pacaran segeralah ajak kawin tunangannmu dan hamili dia. Jangan berhenti dan puas dengan satu atau dua anak saja, teruslah beranak pinak (bersambung ke bagian kedua).
Selter Isoman PTPM
“Ada banyak cerita bermakna dalam masa kegelapan itu, dan karena itu saya semakin yakin bahwa kasih Tuhan itu justru nampak nyata dalam kegelapan yang memantik solidaritas kemanusiaan kita bersama.”
Effendi Kusuma Sunur, SJ
Ketika gelombang kedua covid-19 melanda Yogyakarta (Jogja) di akhir Juni 2021, kami semakin waspada namun belum membayangkan betapa dahsyat dampaknya bagi kami. Di awal bulan Juli 2021, ada usaha di kalangan para Yesuit untuk menanggapi gelombang pandemi kedua ini. Pater Provinsial Serikat Yesus (SJ) Provinsi Indonesia (Provindo) menuliskan surat kepada para Yesuit untuk menyikapi kondisi pandemi terkini saat itu, dan SJ Provindo menyiapkan sebuah selter resmi yang diusahakan oleh Studio Audio Visual (SAV-USD), sebuah karya Yesuit di Jogja.
Pada awal bulan Juli itu pula, saya didatangi oleh petugas Satgas Covid-19 untuk meminta wisma PTPM (Pembina Tenaga Pengembangan Masyarakat) menjadi “semacam” sebuah selter isolasi mandiri (isoman) untuk berjaga-jaga. Saya menyambut pemintaan para petugas dengan menyiapkan 11 kamar dan 1 pastoran untuk menjadi tempat isoman di PTPM dan meminta mereka untuk mendampingi kami di PTPM dari segi medis. Namun karena tak kunjung ada pasien isoman yang masuk, saya memberanikan diri untuk menyebarkan berita terkait kehadiran selter ini kepada beberapa sahabat. Yang terjadi adalah saya dikontak oleh banyak orang yang membutuhkan selter isoman, namun saya tak bisa menerima mereka karena Satgas Covid setempat yang saya mintai bantuan medisnya ternyata sudah kewalahan untuk mengurusi begitu banyak masalah yang muncul dalam gelombang ke-2 pandemi di Jogja.
Karena banyaknya permintaan, panggilan Tuhan untuk menyediakan selter semakin kuat dalam diri saya, dan saya mengupayakan apa yang diperlukan untuk membuka sebuah selter. Saya sadar bahwa saya tak memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk membuka selter, maka saya mengontak seorang dosen UGM untuk meminta bantuannya. Darinya saya dikenalkan ke beberapa dokter dan para dokter tersebut membantu saya untuk mengeksekusi apa yang sudah ada di hati dan pikiran saya itu. Tanggal 11 Juli 2021 malam, saya membuat “Surat Pernyataan Pasien”, disetujui oleh para dokter setelah memberi revisi Surat tersebut, dan pada akhirnya tanggal 12 Juli 2021, masuklah pasien pertama ke selter PTPM.
Saya memulai selter itu dengan 2 tenaga relawan (termasuk saya) dan seorang dokter.
Pada awalnya, saya hanya mempunyai uang Rp. 5 juta, sebagian dari sisa dari sumbangan donatur tahun lalu saat pandemi masuk ke Indonesia. Ketika dosen-dosen UGM tahu bahwa saya membutuhkan bantuan, mereka juga langsung mengumpulkan donasi bagi selter itu. Ada juga yang mengusulkan agar saya menyebarkan “flyer” untuk meminta donasi. Saya mengikuti sarannya, dan sungguh luar biasa, ada banyak sekali orang yang merasa diketuk hatinya dan memberikan donasi dengan murah hati baik dalam bentuk uang, disinfektan, masker, dsb. Yang mengharukan adalah bahwa ada yang memberi dari kekurangan mereka.
Saya mengenang bahwa di minggu pertama, kami masuk keluar selter tanpa baju hazmad karena kami tak mempunyainya. Kami “terpaksa” masuk selter karena beberapa orang tua yang isoman tak mahir menggunakan sarana komunikasi sehingga kami perlu mengecek mereka secara langsung. Syukur kepada Allah, kami terus dilindungi Tuhan sehingga tidak jatuh sakit. Seminggu kemudian baru baju hazmad yang kami pesan dari seorang donatur di Jakarta tiba dan kami pun dengan hati gembira dan lega menggunakannya.
Kami juga menyaksikan semangat dan solidaritas kemanusiaan di tengah kegelapan pandemi gelombang kedua. Bergabungnya beberapa mahasiswa sebagai relawan dan 3 orang dokter sebagai penasehat dan tenaga medis di selter merupakan asupan energi yang menghidupkan. Solidaritas kemanusiaan itu tak berhenti pada orang yang melayani semata, melainkan juga menyebar pada orang-orang yang dilayani di selter. Beberapa isomaners juga menunjukkan bela rasa mereka dengan mengusahakan makan siang atau malam untuk semua penghuni. Mereka tahu mereka dilayani secara sukarela oleh pelayan selter, dan mereka menunjukkan kemurahan hati mereka dengan berdonasi bagi selter entah itu dalam bentuk makanan ataupun uang.
Selter PTPM resmi ditutup pada tanggal 1 September 2021 karena tak ada lagi orang yang masuk ke selter sejak minggu ketiga Agustus 2021. Gelombang kedua pandemi sudah berlalu, dan kami dengan rasa syukur mengenang anugerah panggilan dan perlindungan Tuhan, serta pelayanan kepada sesama yang membutuhkan. Motto saya ketika berjuang di selter itu, “Daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan lilin kecil.” Ada banyak cerita bermakna dalam masa kegelapan itu, dan karena itu saya semakin yakin bahwa kasih Tuhan itu justru nampak nyata dalam kegelapan yang memantik solidaritas kemanusiaan kita bersama.
Sebagian dana yang tersisa dan belum terpakai dari donasi selter sudah dan akan dipakai untuk penanganan pandemi lebih lanjut. Saya telah membantu tiga paroki di Jogja untuk melakukan vaksinasi kepada masyarakat, dan dana selter tersisa akan saya serahkan kepada SJ Provindo untuk menolong semua orang yang membutuhkan pertolongan dalam masa pandemi ini.
Dengan ini, saya juga mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas kemurahan hati para sahabat yang dengan caranya masing-masing menolong saya dan teman-teman di Jogja untuk mengabdi Allah dan melayani sesama.
AMDG,
Effendi, SJ
Merenungkan makna Hari Raya Hati Yesus yang Maha Kudus dan Peringatan Hati Tersuci Santa Perawan Maria
Oleh Romo Stefanus Hendrianto, SJ.
Catatan dari Roma:
Kurang lebih satu tahun yang lalu saya menulis renungan Satu Tahun Tahbisan Imamat saya untuk E-Bulletin WKICU. Dalam renungan itu saya menggunakan sudut cerita peringatan Hari Raya Hati Yesus yang Maha Kudus dan Peringatan Hati Tersuci Santa Perawan Maria untuk merenungkan peringatan tahbisan Imamat saya. Ketika peringatan Dua Tahun Tahbisan Imamat sudah mendekat, saya mendapat kabar bahwa team E-bulletin WKICU kembali meminta saya menulis tentang Hari Raya Hati Yesus yang Maha Kudus dan Peringatan Hati Tersuci Santa Perawan Maria. Terus terang saya terkejut bin kaget mendapat permintaan tersebut. Dalam hati saya berpikir apakah tulisan saya tahun kemarin kurang memadai atau mungkin tidak dibaca, sehingga orang lupa bahwa saya pernah menulis tentang kedua hari penting itu? Daripada berprasangka yang tidak-tidak, saya akhirnya memutuskan untuk kembali menulis tentang kedua hari penting itu dari sudut pandang yang berbeda. Semoga tulisan ini bisa berguna untuk umat WKICU atau siapapun yang membacanya.
Gereja Santa Brigitta
Salah satu kegiatan rutin yang biasa saya lakukan sejak pindah ke Roma empat bulan yang lalu adalah jalan-jalan sore. Pertama, karena fasilitas olah raga belum buka dan kedua sejak saya mengalami cedera kaki, berupa kerusakan tendon pada awal pandemi tahun 2020, saya belum mencoba kembali untuk jogging atau pun lari jarak jauh. Salah satu rute jalan-jalan sore yang saya tempuh adalah jalan kaki menuju Campo de Fiori, yang kalau diterjemahkan berarti “lapangan bunga.” Nama tersebut berasal dari jaman abad pertengahan ketika tempat tersebut merupakan padang rumput yang dipenuhi banyak bunga liar. Saat ini Campo de Fiori sendiri merupakan tempat berkumpul bagi para turis dan anak-anak muda dari penjuru kota Roma.
Saya sendiri pergi ke Campo de Fiori bukan karena ingin nongkrong atau menghabiskan waktu bersama orang banyak. Alasan utama saya berjalan ke sana adalah mengunjungi gereja yang di dekat Campo de Fiori, yaitu Gereja Santa Brigitta. Gereja itu sendiri merupakan bagian dari Biara Bridgettine Sisters. Singkat cerita, Brigettine Sisters atau Ordo Santa Brigitta didirikan oleh Santa Brigitta dari Swedia. Santa Brigitta yang lahir tahun 1303 adalah putri seorang bangsawan dari Swedia. Pada tahun 1316, Brigitta menikah dengan Ulf Gudmarson seorang bangsawan dari keluarga Ulvåsa, yang mana ia memiliki delapan anak, salah satu di antaranya nantinya dikenal sebagai Santa Katarina dari Swedia. Setelah suaminya meninggal pada tahun 1344, Brigitta mengabdikan diri seluruhnya kepada kehidupan spiritual dan menolong orang miskin dan sakit. Pada saat yang sama, Briggita mendapat ide untuk mendirikan Ordo Sang Penyelamat Paling Suci (Order of the Most Holy Savior) yang dikemudian hari dikenal sebagai Ordo Santa Brigitta.
Pada tahun 1350, benua Eropa sedang dilanda pandemi wabah hitam atau Black Death, Brigitta bersama putrinya Catherine dan sejumlah pengikut mereka berangkat ke Roma dengan tujuan mendapatkan pengakuan dari Paus terhadap Ordo yang baru mereka dirikan. Akan tetapi pada saat itu institusi Kepausan sendiri sedang terpecah belah dan Paus sendiri berada di Avignon, di Perancis. Jadilah Brigitta harus menunggu kepulangan Paus ke Roma dan dia pun berusaha meminta Paus kembali ke Roma, bukan semata-mata demi Ordo yang dia dirikan, tapi demi persatuan dalam Gereja Katolik. Setelah menunggu selama bertahun-tahun, baru pada tahun 1370, ketika Paus Urban V kembali ke Roma secara singkat, beliau mengesahkan Peraturan dari Ordo. Brigitta sendiri kemudian menetap di Roma sampai dia meninggal di tahun 1373.
Kompleks biara Ordo Santa Brigitta adalah tempat di mana Santa Brigitta pernah tinggal selama berada di Roma. Gedung Biara itu sendiri dulunya merupakan gedung milik Francesca Papazurri yang merupakan teman dekat Santa Brigitta. Kamar tempat tinggal Santa Brigitta masih ada dan bisa dikunjungi sampai hari ini.
Selama masa penantiannya yang panjang di Roma, Brigitta mengaku dosa setiap hari dan berusaha menolong banyak orang sakit dan miskin. Dia selalu dikenal dengan senyum dan wajahnya yang selalu berseri. Meski demikian tahun-tahun yang dihabiskan oleh Brigitta di Roma tidak jauh dari penderitaan. Masalah utama yang harus dia hadapi adalah kehidupan perekonomian yang morat-marit dan dia harus dikeliling hutang. Pada saat yang sama Brigitta sendiri banyak mendapat kecaman dan tantangan dari usaha dia untuk meminta Paus kembali ke Roma.
Santa Brigita adalah salah seorang yang memperkenalkan devosi terhadap Hati Tersuci Perawan Maria. Devosi itu sendiri sudah mulai pada abad pertengahan, tapi Santa Brigitta adalah salah seorang yang mempraktekkan dan mempopulerkan devosi tersebut. Sebagai seorang ibu, Brigitta mempunya devosi yang kuat kepada Bunda Maria. Bunda Maria telah menjadi sumber pegangan spiritual bagi Brigitta sejak kecil khususnya setelah kematian ibu kandungnya pada saat dia berumur 11 tahun. Brigitta sendiri mendirikan Ordo-nya sebagai penghargaan kepada Bunda Maria dan orang-orang yang mengikuti teladan Bunda Maria. Dedikasi Brigitta kepada Bunda Maria membawa devosi terhadap Hati Tersuci Bunda Maria yang telah berkembang pada abad pertengahan menjadi lebih popular lagi.
Ketika melakukan ziarah ke Jerusalem pada tahun 1372, Brigitta yang ketika itu sudah berumur 70 tahun mendapat pengalaman mistik melihat Bunda Maria yang melahirkan Yesus, sebagai Putra Allah. Devosi Brigitta kepada Bunda Maria selalu diiringi rasa ingin tahu bagaimana pengalaman Maria ketika melahirkan. Penglihatan Ilahi di Jerusalem tersebut menjadi puncak dari pengalaman iman Brigitta dimana misteri inkarnasi dan status Maria sebagai Bunda Allah ditunjukkan ke dia. Pengalaman mistik itu kemudian dia tulis dalam bukunya yang berjudul Revelations.
Terlepas dari pengalaman mistik tersebut, banyak orang mempertanyakan sumbangan Santa Brigitta terhadap devosi Hati Tersuci Perawan Maria. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa Santa Brigitta tidak ada hubungannya dengan devosi Hati Tersuci Perawan Maria. Pertama, pengalaman mistik beliau hanya sebatas melihat Bunda Maria yang melahirkan Yesus dan tidak ada disebut-sebut soal Hati Tersuci Perawan Maria. Kedua, ada banyak tokoh lain yang berjasa dalam mengembangkan devosi Hati Tersuci Perawan Maria.
Santa Brigitta memang bukan orang yang paling berjasa besar atau tokoh utama dalam mempopulerkan devosi Hati Tersuci Bunda Maria. Akan tetapi menurut saya pengalaman iman dan hidup beliau justru menunjukkan makna akan hakiki dari Hati Tersuci Perawan Maria. Makna dari devosi Hati Tersuci Perawan Maria adalah menyatukan diri kita terhadap Bunda Maria dengan mengikuti teladan kehidupan Bunda Maria, termasuk suka dan duka, kebijakan dan kesempurnaan hidup, terlebih lagi kasih dan cintanya kepada Allah Bapa dan Allah Putra dan semua umat manusia.
Selama 20 tahun lebih Santa Brigitta hidup di Roma, dia telah menunjukkan devosi terhadap Hari Tersuci Perawan Maria. Brigitta bertahan di tengah kesulitan dan ketidakpastian hidup di Roma seperti Bunda Maria yang mengikuti putranya ke Golgota dan berdiri di bawah kayu Salib. Di tengah kesulitan hidup, Brigitta tetap menunjukkan kasih nya kepada orang-orang yang miskin dan menderita di Roma. Pada saat yang sama dia tetap menunjukkan kasih yang besar kepada Allah Bapa dan putranya Yesus Kristus.
Pengalaman Santa Brigitta menguatkan saya untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan hidup di Roma. Sama seperti Santa Brigitta, saya tiba di Roma ketika pandemic Covid 19 sedang melanda dunia. Saya juga tiba di Roma ketika situasi Gereja sedang menghadapi banyak masalah, mulai dari skandal pelecehan seksual sampai dengan usaha-usaha untuk mengubah ajaran moral gereja, dan juga pertentangan tentang liturgi di gereja. Akan tetapi, Santa Brigitta mengajak kepada saya bahwa devosi Hati Tersuci Perawan Maria akan menguatkan saya dalam masa-masa sulit dan Bunda Maria akan selalu bersama dalam perjalanan saya.
Jalan-Jalan Sore Berlanjut
Setelah selesai mengunjungi Gereja Santa Brigitta, biasanya saya melanjutkan jalan-jalan sore. Rute yang saya tempuh adalah jalan menuju Castel Sant’Angelo. Setelah menyeberangi Sungai Tiber melalui jembatan Ponte San’Angelo yang penuh dengan patung – patung para malaikat, saya dihadapkan pada dua pilihan, belok ke kiri saya bisa pergi Basilika Santo Petrus atau belok ke kanan menuju sebuah Gereja yang dikenal dengan nama Chiesa Sacro Cuore del Suffragio atau the Church of Sacred Heart of the Suffrage.
Kata suffrage kalau diterjemahkan secara harfiah berarti a vote (hak pilih). Kata “hak pilih” disini berarti adalah permintaan kepada Tuhan; jikalau dalam Pemilihan Umum kita menggunakan hak pilih untuk mendukung seorang calon, dalam konteks kehidupan beriman, kita saling membantu dan mendukung satu sama lain, khususnya bagi para jiwa-jiwa di purgatory. Jadi kita menggunakan “hak pilih” kita dengan mendoakan para jiwa-jiwa di purgatory.
Jikalau kita masuk ke dalam gereja, altar kedua di sebelah kanan di dekasikan Santa Margaret Mary Alacoque. Di atas altar tersebut ada lukisan yang menggambarkan Penampakan Hati Kudus Yesus kepada Santa Margaret Mary Alacoque. Sementara di sebelah kiri, ada lukisan Santa Margaret Mary Alacoque di kelilingi oleh jiwa-jiwa di purgatory. Dan terakhir ada lukisan Santa Margaret Maria Alacoque yang menunjukkan kepada para novice-novice suster cara untuk memuja Hati Kudus Yesus.
Santa Margaret Maria Alacoque adalah seorang Biarawati Katolik asal Perancis anggota Ordo Kunjungan Santa Maria dan dia adalah tokoh utama yang mempromosikan devosi terhadap Hati Kudus Yesus dalam konteks modern. Pada tanggal 27 Desember 1673, Santa Margaret Mary menerima wahyu dari Hati Kudus Yesus. Pada hari tersebut Margaret Mary mengatakan bahwa Jesus memberi kesempatan kepada dia untuk merebahkan kepalanya di Hati Kudus Yesus dan Yesus mengatakan ke dia bahwa tentang keinginan Yesus untuk membuat semua umat manusia tahu tentang cinta Yesus kepada manusia dan Yesus telah memilih Margaret Mary untuk melakukan misi tersebut. Perwahyuan tersebut berlangsung beberapa kali selama 18 bulan. Dalam wahyu yang diberikan secara pribadi itu, Santa Margaret Mary menerima arahan untuk menerima komuni pada setiap hari Jumat pertama setiap bulan, adorasi Sakramen Maha Kudus pada “jam suci”pada hari Kamis dan terakhir adalah Peringatan Hati Kudus Yesus. Margaret Mary kemudian menjadi Direktur Novis dan dia mulai mempopulerkan perayaan Hati Kudus Yesus secara pribadi kepada suster-suster Novis, mulai tahun 1686. Margaret Mary meninggal pada tanggal 17 Oktober 1690.
Setelah Margaret Mary meninggal, devosi terhadap Hati Kudus Yesus mulai dikembangkan oleh para Romo Romo Yesuit dan hal ini sudah saya tuliskan dalam tulisan refleksi satu tahun imamat saya tahun kemarin. Akan tetapi devosi ini sendiri baru secara resmi diakui oleh Gereja pada tahun 1856 ketika Paus Pius IX memasukkan Perayaan Hati Kudus Yesus di dalam calendar Gereja Katolik.
Devosi terhadap Hati Kudus Yesus selalu disandingkan dengan Devosi terhadap Hati Tersuci Perawan Maria. Meski demikian ada perbedaan mendasar dari kedua devosi itu. Devosi terhadap Hati Kudus Yesus ditujukan kepada Hati Yesus yang ingin mencintai semua umat manusia dengan segenap hatiNya. Sementara devosi kepada Hati Tersuci Perawan Maria, ditujukan kepada Hati Bunda Maria yang mencintai Allah Bapa dan Allah Putra. Perbedaan lain yang mendasar adalah devosi kepada Hati Kudus Yesus adalah respon kita terhadap cinta Yesus kepada manusia. Sementara devosi terhadap Hati Tersuci Perawan Maria adalah kita ingin mengikuti teladan Bunda Maria. Tujuan devosi ini adalah menyatukan umat manusia kepada Tuhan melalui Hati Tersuci Bunda Maria. Jadi cinta kita kepada Allah Bapa dan Yesus bisa kita lakukan melalui penyatuan kita kepada Bunda Maria dengan meneladani kebijakan dan kehidupan Bunda Maria.
Setelah mengunjungi Gereja Hati Kudus Yesus, biasanya saya memutuskan berjalan pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang, saya sering merenungkan hari-hari ke depan yang akan saya lalui di Roma. Saya tidak tahu akan sampai kapan berada di sini menjalankan tugas saya. Tapi yang pasti adalah saya tahu bahwa Hati Kudus Yesus dan Hati Tersuci Perawan Maria akan menguatkan perjalanan saya.
KONTEMPLASI TENTANG KEBANGKITAN (Lukas 24)
Dengan pengalaman pertobatan pribadi dan pengampunan dosa, mereka menerima anugerah baru: mengenal kehidupan baru Yesus dalam kepenuhan keabadian Bapa.
Hartono Budi SJ (Melayani WKICU 1994-2000)
“Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam” (Lukas 24:29).
Dengan kalimat ini, Kleopas dan sahabatnya meminta Yesus untuk sejenak lagi menyertai mereka. Yesus setuju dan duduk makan bersama mereka. Rupanya mereka membawa bekal cukup saat meninggalkan Yerusalem, tempat terakhir mereka berkumpul dengan Yesus. Bisa jadi setelah perjamuan malam terakhir, beberapa murid perempuan memberikan beberapa roti yang masih utuh tidak tersentuh karena perhatian mereka terpusat pada pesan terakhir guru mereka: “Inilah TubuhKu yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Lukas 22:19).
Sore itu di suatu tempat perhentian di kampung Emmaus, Yesus mengulanginya. Ketika itu terbukalahmata mereka dan merekapun mengenal Dia. Kleopas dan sahabatnya meninggalkan Yerusalem menuju Emmaus diliputi duka bercampur kekecewaan mendalam. Mereka menaruh pengharapan besar kepada Yesus.
Mereka sudah menyaksikan kehebatan Yesus yang nyata dalam kata dan tindakannya. Aman sudah mengikuti Yesus dan memilih jalannya, juga jika mesti meninggalkan segalanya. Namun semua hancur berantakan di bawah salib. Dapat dilihatnya tangan dan kaki Yesus yang dipaku dan lambungnya yang ditikam. Bagaimana mungkin? Mereka mengalami sendiri bahwa Yesus penuh kuasa, selayaknya seorang utusan Allah yang Mahakuasa dan mereka bahkan bisa ikut merasakan kedekatan relasi Yesus dengan Allah seperti seorang anak dengan orangtuanya yang sungguh menerima dan mengasihi. Di atas salib, Yesus masih dihujat: Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diriMu dan kami? (Lukas 23:39).
Sesudah menjawab sedikit, Yesus berkata: “Ya Bapa, ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu” (Lukas 23:46), dan ia wafat. Habis sudah segalanya. Segala harapan menjadi hampa, tidak berdaya, tinggal kenangan kosong.
Sore itu saat duduk makan, dihadapan mereka Yesus mengambil roti dan mengucap berkat seperti yang dilakukannya pada perjamuan terakhir. Kleopas dan sahabatnya rupanya mulai merasakan sesuatu. Hati dan pikirannya menjadi terang kembali. Mungkin sinar bulan juga jatuh tepat di meja mereka. Saat itu Yesus menyambung doanya dengan pemecahan roti. Saat Yesus memberikan cuilan roti kepada mereka rupanya mereka bisa melihat tangan Yesus seperti yang terakhir mereka lihat. Dengan bulat hati mereka mengenalinya kembali. “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati” (Lukas 24:5). Mereka pernah menganggap kesaksian para murid perempuan Yesus sebagai omong kosong. Itu pula yang dikatakannya kepada Yesus sementara mereka berjalan bersamanya menuju Emmaus. Yesus saat itu juga menjawab sedikit: Betapa lambannya hatimu. Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemulianNya? Ingatan mereka menjadi terang lagi. Karena pengalaman pribadi itu, Kleopas dan sahabatnya diubah menjadi saksi kebangkitan seperti para murid perempuan itu.
Kendati di Emmaus Yesus tidak lama menampakkan diri. Yesus menampakkan diri lagi kepada mereka dan para murid lain, kali ini dengan lebih dahulu memberi salam: “Damai sejahtera bagi kamu” (Lukas 24:36). Kleopas dan murid-murid lain masih juga terkejut dan takut, dikatakan seperti melihat hantu, dengan kata lain, masih tidak mengenalnya dengan jelas. Yesus memperlihatkan tangan dan kakinya,seperti yang terakhir mereka lihat di kayu salib.
Para murid tetap diliputi perasaan terkejut dan takut yang menghalangi mereka untuk percaya betul. Memang saat itu Yesus sudah hidup dalam keabadian Allah. Namun demikian, Yesus yang bangkit tetap ingin dikenal dekat oleh para muridnya, maka dengan penuh kesabaran Yesus mengundang mereka dalam perjamuan baru: “Adakah padamu makanan di sini?” Kali ini Yesuslah yang mendahului makan didepan mata mereka. Dengan demikian Kleopas dan para murid lain bisa melihat kembali gurunya saat makan bersama mereka, juga saat perjamuan terakhir yang sedemikian istimewa itu.
Lalu Yesus membuka pikiran mereka sehingga mereka mengerti Kitab Suci (Lukas 24:45) dan menambahkan: Dalam namaNya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem. Kleopas dan para murid Yesus sejak itu menjadi saksi kebangkitan dalam sukacita (Lukas 24:52). Mereka sudah menerima anugerah boleh mengenal Yesus dalam kehidupan mereka dan diikutsertakan dalam pelayanan Yesus di Galilea dan Yerusalem. Dengan pengalaman pertobatan pribadi dan pengampunan dosa, mereka menerima anugerah baru: mengenal kehidupan baru Yesus dalam kepenuhan keabadian Bapa.
Catatan untuk doa kita. Santo Ignatius Loyola mengingatkan bahwa dalam kontemplasi: melihat pribadi-pribadi itu, mendengarkan apa yang mereka katakan, mengamat-amati apa yang mereka kerjakan…lalu melakukan refleksi atas diriku sendiri dan mengambil buah dari itu (Latihan Rohani 194).
Love in the Time of Covid-19
Kita adalah manusia rapuh, tapi kita adalah anak-anak Allah yang mempunyai kemampuan mencintai sama seperti Yesus mencintai.
Rm. Effendi Kusuma Sunur, SJ
Siapakah dari Anda yang pernah membaca novel Gabriel García Márquez, pemenang Nobel Sastra di tahun 1982, yang berjudul “Love in the Time of Cholera”, atau, paling tidak menontonnya di film dengan judul yang sama? Singkatnya, dikisahkan dua sejoli Florentino Ariza dan Fermina Daza yang saling jatuh cinta dan mabuk kepayang sehingga dunia ini adalah milik mereka berdua. Namun apa daya, ayah sang gadis tak merestui dan mereka harus berpisah kota. Sang gadis, Fermina pada akhirnya menyadari bahwa cintanya kepada Florentino tidak realistis dan lebih memilih seorang dokter yang mempunyai reputasi tinggi, terhormat dan kaya-raya, Juvenal Urbino. Fermina tahu bahwa ia tak mencintai Juvenal, namun bujukan ayahnya membuatnya menerima orang terhormat itu sebagai suaminya. Juvenal sebagai dokter memunyai komitmen untuk memberantas kolera pada zamannya adalah orang yang terhormat dan tampak sangat disiplin. Walaupun demikian, akhirnya ia mengakui kegagalannya, yakni ia pernah melakukan perselingkuhan dalam perkawinannya. Fermina tetap melanjutkan hidupnya dengan Juvenal lengkap dengan segala jatuh-bangunnya sebuah perkawinan.
Florentino sendiri patah hati namun bersumpah untuk setia kepada Fermina. Walau dia menampakkan diri sebagai seorang “playboy” dengan menjalin relasi dengan ratusan perempuan, Florentino memutuskan untuk menyimpan Fermina di sudut hatinya yang paling dalam, yang tak mungkin diraih oleh siapapun. Ketika Juvenal meninggal, Florentino yang sudah berpisah dari Fermina sekitar lima dekade, mendekati Fermina dan memohon untuk menerimanya sebagai pasangan hidupnya. Walau sempat ragu, Fermina akhirnya menerima Florentino sebagai pasangan dan cinta sejatinya. Terpisah dalam waktu lima dekade dan ditawari begitu banyak kemungkinan serta dihantui ketidakpastian, Florentino tetap berpegang teguh pada apa yang diyakininya: Fermina adalah cinta sejatinya.
Kita yang ada di dalam masa pandemi ini juga melihat karya fiksi ini sebagai sesuatu yang dekat dengan kita. Bukan karena kita mempunyai kesamaan atau kemiripan dengan cerita Florentino atau Fermina, tetapi kita diajak untuk merenungkan cinta yang sejati sekaligus manusiawi sebagaimana yang ditunjukkan oleh Florentino dalam masa adanya penyakit yang mendesak ditangani. Sejati karena dia memelihara komitmen untuk tetap mencintai Fermina dengan segala kemuraman hidup; dan manusiawi karena segala keinginan luhurnya bercampur dengan segala hasrat kelelakiannya untuk bisa mendapatkan pasangan, walau sementara. Fermina pun tak lepas dari kemanusiaannya. Ia memilih seseorang yang tidak dicintainya demi kemapanan hidup. Dari dua sosok ini, tampak bahwa manusia, kita semua, mampu mencintai dalam berbagai tingkatan. Juga, seberapa mampunya kita mencintai dapat diukur dari cara kita bertindak dan berpikir saat ancaman dan ketidakpastian dalam hidup hadir.
Dalam tradisi kristiani, ada setidaknya 4 macam cinta, yakni eros, storge, filia dan agape. Eros adalah cinta yang sensual dan romantis, yang kalau sudah melekat, mampu membuat “tahi kambing serasa coklat.” Ini adalah jenis cinta yang sering kita lihat ketika seseorang mengalami jatuh cinta kepada lawan jenisnya. Storge adalah cinta yang kepada keluarga, sebuah kecondongan alamiah untuk mencintai mereka yang berkerabat dekat seperti orangtua kepada anak-anaknya. Filia adalah rasa cinta kepada sahabat dan kerabat dan agape adalah cinta tak bersyarat, yang memberikan diri untuk orang yang dikasihinya.
Pandemi ini juga menguji kadar dan tingkatan cinta kita. Di tengah banyak keadaan yang tak ideal: kehilangan pekerjaan, berkurangnya pendapatan, bahaya penularan, sakit dan kematian menjadi sesuatu akrab tetapi tetap menakutkan. Kolera, pes hitam, flu spanyol, atau covid adalah sebuah situasi yang mengancam serta membuat kita tak lagi merasa nyaman dan aman. Tepat di sinilah manusia seperti apa kita ditentukan kemampuan kita untuk mencintai, dan tentunya cinta yang tidak biasa-biasa saja. Bukan cinta sensual dan romantis, bukan juga hanya storge yang memang secara alamiah melekat pada kita. Tapi cinta dalam jenis filia dan tentunya cinta yang dalam pengertian agape. Yesus pernah berkata, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13). Ini adalah cinta yang filia sekaligus agape di mana cinta kepada sahabat bercampur dengan sebuah pemberian diri sampai tuntas, yakni pemberian kehidupan itu.
Kita adalah manusia rapuh, tapi kita adalah anak-anak Allah yang mempunyai kemampuan mencintai sama seperti Yesus mencintai. Pandemi, situasi yang merongrong kerapuhan kita, dan saat ini, cinta kita diuji bukan hanya dengan ancaman bahaya sakit dan kematian tetapi juga ketidakpastian akan bangkitnya ekonomi global kita yang terpuruk. Inilah saatnya cinta kita diukur, bukan oleh orang lain, tetapi oleh diri kita sendiri. Bahaya dan ketidakpastian menantang kita untuk bisa semakin mencintai sebagaimana Yesus melakukannya dalam hidupnya. Bahkan ketika bahaya kematian mendatangiNya, Yesus tidak melarikan diri tetapi menghadapinya dengan pemberian diri seutuhnya. Bahkan ketika ia merasa ditinggalkan oleh murid-murid yang sekaligus sahabat-sahabatNya, Ia tidak menjadikan kekecewaan dan ketakutanNya sebagai alasan untuk membenci mereka. Ia menjawab mereka dengan memikul salibNya sampai ke Golgota dan menyerahkan diriNya, hidupNya di sana yang merupakan lambang aib bagi sebagian besar orang. Kisah cinta manusiawi ditunjukkan oleh Yesus, dan cinta manusiawi kita bisa mencapai apa yang disebut sebagai cinta ilahi sebagaimana yang ditunjukkan oleh Yesus.
Kita akan segera merayakan Imlek, Valentine dan memasuki masa prapaskah di dalam pandemi ini. Valentine sebagai hari merayakan cinta hendaknya tidak dilihat sebagai sebuah perayaan eros, cinta romantis dan sensual belaka. Imlek juga hendaknya tidak dilihat semata perayaan cinta yang disebut storge semata. Justru di masa pandemi ini, ketika bahaya sakit dan kematian serta ketidakpastian menghantui hidup kita, ada sebuah ajakan untuk belajar mencintai melampaui masa-masa normal. Ada berkat terselubung dalam bahaya dan ketidakpastian, yakni kita semakin mengerti kemampuan mencintai kita dan belajar mencintai lebih dari sebelumnya. Kita diajak untuk mencintai lebih dari cinta romantic dan kekeluargaan, tapi juga cinta dalam persahabatan dengan semua orang dan cinta yang sanggup membuat kita mengorbankan diri demi kebaikan dan kebahagiaan yang lain.
Mungkin kita bisa menggunakan masa prapaskah sebagai masa belajar mencintai seperti Yesus. Dengan solidaritas dan berbela rasa kepada mereka yang paling kurang di antara kita, bukan hanya kurang dalam hal material tetapi juga yang immaterial. Bukan kepada orang-orang tertentu saja tetapi kepada siapapun yang paling dipinggirkan, dipojokkan, dan tidak dipedulikan. Dengan demikian, cinta kita menjadi cinta yang semakin universal, yang menembus tembok-tembok dan pembatas yang ada dalam pikiran kita. Cinta universal itu adalah cinta Yesus, dan kita mau mengikutiNya secara lebih dekat dan mencintaiNya secara lebih dalam.
Selamat merayakan Imlek, Valentine dan memasuki masa prapaskah!!
Refleksi Satu Tahun Tahbisan Imamat (Bagian 5 - Selesai): Merayakan Natal Bersama Orang - Orang Kudus
Mengenal Santo Tomas More yang merupakan Santo Pelindung bagi para ahli hukum, saya pun berpikir bahwa masih ada harapan untuk seorang lawyer seperti saya untuk masuk surga.
Refleksi Satu Tahun Tahbisan Imamat (Bagian 5 - Selesai)
Merayakan Natal Bersama Orang - Orang Kudus
(My Christmas with the Saints)
S. Hendrianto, SJ
Pengantar
Natal tahun Ini adalah Natal kedua yang saya rayakan sebagai seorang rohaniawan Katolik. Mengingat Natal tahun Ini sangat berbeda dengan Natal - Natal tahun sebelumnya, karena kita semua masih dalam situasi pandemi, maka saya pun mencoba merenungkan dan mengingat kembali pengalaman - pengalaman Natal saya.
Saya tidak besar di keluarga Katolik, meski demikian orang tua saya mengirim saya menempuh pendidikan di SD Katolik. SD tempat saya bersekolah mengambil nama Santa pelindung Santa Teresia Kanak - Kanak Yesus. Jadi dia adalah orang Kudus pertama yang saya kenal. Sebagai anak yang bersekolah di sekolah Katolik, kita juga harus ikut hadir di misa meski kita tidak mengerti makna misa tersebut. Ketika duduk di kelas V, saya mulai mengenal Santo Fransiskus Xaverius sebagai orang pertama yang menyebarkan agama Katolik di Indonesia. Pada saat yang bersamaan, saya mengikuti program katekumen di sekolah dan kemudian di baptis.
Sejak mengikuti program Katekumen dan setelah dibaptis, saya pun mulai merayakan Natal di Gereja tempat saya dibaptis, yaitu Gereja Santo Petrus. Karena di rumah kita tidak merayakan Natal, maka pengalaman saya hanya terbatas di Gereja dan sekolah saja. Meski demikian saya percaya bahwa pengalaman Natal saya tidak kalah meriahnya dengan teman - teman saya yang berasal dari Keluarga Katolik, karena saya merayakan Natal bersama orang - orang kudus, Santa Teresia Kanak - Kanak Yesus dan Santo Fransiskus Xaverius yang merupakan Santo dan Santa Pelindung Kaum Misionaris dan juga Santo Petrus.
Ketika duduk di bangku SMA, saya tentu sudah lebih sering merayakan Natal. Saya masih ingat dalam salah satu perayaan Natal di SMA, para panitia malah sibuk memutar lagu Black or White dari Michael Jackson yang sedang ngepop saat itu. Dalam hati saya berpikir, apakah saya benar - benar merayakan Natal karena sama sekali tidak terdengar lagu Natal. Meski demikian saya percaya bahwa Santo Yosef, sebagai Santo pelindung SMA saya ikut hadir di tengah - tengah kami dan saya bisa merasakan kehadiran dia dan merayakan bersama ayah duniawi Yesus.
Setelah saya pindah ke Yogya dan duduk di bangku kuliah, saya rutin Ikut misa hari Minggu di Kapel Sanatha Dharma. Meski saya tidak kuliah di Santha Dharma, tapi karena saya tinggal tidak jauh dari kampus Santha Dharma, saya pun sering misa ke Kapel Santo Bellarminus. Selama lima tahun lebih tinggal di Yogya saya mempunyai banyak kenangan indah dalam merayakan perayaan ekaristi di Kapel tersebut, khususnya pada hari Natal. Di Kapel tersebut juga saya pertama kali mendengar lagu Handel Messiah di perdengarkan pas Misa Natal.
Mengingat kembali pengalaman Natal saya di kapel Sanatha Dharma, saya juga yakin bahwa saya merayakan Natal bersama orang - orang Kudus, khususnya Santo Robertus Bellarminus sebagai penlindung Kapel dan juga orang kudus lainnya dari Serikat Yesus, yaitu Santo Bernardus Realino. Pada awalnya saya tidak tahu bahwa Realino adalah nama seorang Santo. Saya cuma tahu bahwa Asrama Mahasiswa Realino adalah rumah bagi mahasiswa, khusus laki - laki, yang cukup terpandang di Yogyakarta. Asrama Itu sendiri telah ditutup sekitar tahun 1990, dua tahun sebelum saya tiba di Yogja. Ketika saya tiba di Yogya, yang tersisa hanyalah Lembaga Studi Realino. Baru belakangan saya tahu bahwa Santo Bernardus Realino adalah seorang pengacara dan bekerja di pemerintahan kota di Napels sebelum masuk Serikat Yesus pada tanggal 13 October 1564. Ketika Itu saya sedang duduk di bangku Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, dan saya percaya bahwa Santo Bernardus Realino telah berdoa buat saya jauh - jauh hari dan akan terus berdoa buat saya.
Akan tetapi menjelang akhir masa kuliah saya di Yogya, saya pun mulai meninggalkan Gereja, karena berbagai macam alasan yang membuat Iman saya terguncang. Setelah Itu saya pun tidak pernah lagi merayakan Natal sampai pada akirnya setelah saya pindah ke Jakarta, saya kembali ke Gereja pada awalnya hanya karena ajakan mantan pacar saya. Mulai lah saya merayakan Natal di Gereja Katedral Santa Perawan Maria Di Angkat ke Surga yang kebetulan juga di ampu oleh para Romo Serikat Yesus. Jadi disini saya mendapat kesempatan merayakan Natal bersama Santa Perawan Maria sendiri. Setelah berminggu - minggu ke Gereja, hati saya pun mulai tersentuh kembali dan mulai kembali ke Gereja dengan kemauan saya sendiri dan bukan karena pacar saya.
Di Gereja Katedral juga pertama kali saya mendengar nama Santo Tomas More dari seorang Romo Yesuit yang berkhotbah tentang Santo yang mati demi membela Gereja Katolik karena dia menolak mendukung Raja Henry VIII yang Ingin memisahkan diri dari Gereja Katolik. Mengenal Santo Tomas More yang merupakan Santo Pelindung bagi para ahli hukum, saya pun berpikir bahwa masih ada harapan untuk seorang lawyer seperti saya untuk masuk surga.
Setelah saya pindah ke Amerika Serikat, khususnya di Seattle, rumah spiritual saya adalah University of Washington Catholic Newman Center. Di sini lah saya pengalaman spiritual saya mulai tumbuh lebih mendalam dan kemudian akhirnya benih panggilan tumbuh. Selama kurang lebih lima tahun tinggal di Seattle, saya selalu merayakan Natal di Newman Center, yang mana saya percaya bahwa saya merayakan besama Santo John Henry Cardinal Newman sebagai santo pelindung Newman Center.
Pada suatu hari, setelah misa Natal di Newman Center, ada seorang mahasiswa dari South Korea yang mengatakan saya, mengapa kamu datang sendirian ke Gereja malam ini. Mengapa kamu tidak datang bersama keluargamu? Dalam hati saya berpikir aneh juga pertanyaan orang Ini, akan tetapi mungkin dia berpikir bahwa teman - teman dari Mudika Seattle yang sering bersama saya ke Newman adalah anggota keluarga saya. Mungkin malam Itu saya datang sendirian, tapi saya yakin para orang Kudus Ikut hadir dan merayakan Natal bersama saya.
Tahun 2008, saya menyelesaikan studi doktoral saya dan mempertahan disertasi saya pada tanggal 14 November, yang merupakan peringatan Santo Yosef Pignateli, SJ, seorang Santo dari Serikat Yesus. Santo Yosef Pignatelli, adalah pemimpin Serikat Yesus selama masa Serikat Yesus di bubarkan oleh Paus dan para Imam Yesuit harus hidup di pembuangan. Saya juga yakin bahwa dia telah berdoa untuk saya jauh sebelum saya menyelsaikan program doktoral dan akan terus berdoa untuk saya dalam perjalanan hidup saya. Jadi di Natal tahun 2008, saya mendapatkan seorang teman baru dalam merayakan Natal yaitu Santo Yosef Pignatelli, SJ.
Selama tinggal di Seattle, saya pun mulai merenunggkan panggilan menjadi seorang Imam dan puncaknya. Mengapa saya akhirnya memutuskan masuk Serikat Yesus karena saya pun tersadar setelah melihat ke belakang persentuhan saya dengan para Romo Yesuit di Indonesia, baik mulai dari masa saya di Yogya dan kemudian pindah ke Jakarta. Di tambah lagi dengan dukungan para orang - orang Kudus Serikat Yesus yang telah saya kenal selama hidup saya.
Setelah masuk ke Novitatie Serikat Yesus dan menjalani proses formasi, saya terus merasakan kedekatan dengan para orang Kudus. Di Novitiate, tentu saya kembali merayakan Natal bersama Santo Fransiskus Xaverius yang merupakan Santo Pelindung Novitate. Setelah mengucapkan kaul pertama dan melanjutkan studi Filsafat di Chicago, saya semakin dekat dengan Santo Ignatius dari Loyola, pendiri Serikat Yesus karena saya merasakan pengalaman yang sama dengan beliau. Santo Ignatius harus belajar bahasa Latin bersama para anak - anak, sementara saya harus belajar filsafat bersama para anak - anak undergraduate. Selama dua tahun tinggal di Chicago, saya pun merayakan Natal bersama Santo Ignatius.
Selama Tahun Orientasi Kerasulan di Santa Clara University, saya banyak mengalami kesulitan dan saya harus sering berdoa kepada orang - orang kudus lainnya meminta pertolongan seperti misalnya Santa Clara dari Asisi dan juga Santa Teresia Benedikta Salib, atau yang lebih dikenal dengan nama Santa Edith Stein. Selama Tahun Orientasi Pastoral di Boston, saya tinggal di komunitas Santo Petrus Faber, dan sebagai seorang pendiri Serikat Yesus, saya juga yakin bahwa dia banyak berdoa buat saya di tengah banyaknya kesulitan yang saya hadapi.
Melihat perjalanan hidup saya, banyak orang yang mungkin tidak percaya bahwa orang seperti saya bisa menjadi seorang Romo. Saya sendiri juga terkadang tidak percaya karena begitu banyaknya kesulitan yang saya harus hadapi dalam perjalanan hidup saya, khsusunya dalam masa formasi sebagai seorang Yesuit. Akan tetapi saya pikir saya punya banyak teman yang membantu, yaitu para orang - orang Kudus yang terus mendoakan saya. Melihat ke belakang, bahwa sebenarnya begitu banyak keajaiban - keajaiban Natal dalam hidup saya, khsusnya bagaimana para orang Kudus membantu saya dalam kehidupan saya.
Setelah tahbisan Imamat saya pada tahun 2019, saya kembali ke Indonesia dan merayakan misa syukur di berbagai tempat, dan salah satunya adalah Kapel Santo Bellarminus di Universitas Sanatha Dharma. Terlampir di bawah ini adalah homili saya pada misa syukur di Kapel Santo Bellarminus yang bisa sedikit menggambarkan perjalanan saya bersama orang Kudus.
(Homily Romo Stefanus Hendrianto, SJ pada misa syukur di Kapel Santo Robertus Bellarminus, Universitas Sanatha Dharma, 28 Juli, 2019)
Saudara - saudari yang terkasih dalam Kristus,
Hari ini adalah hari yang berbahagia sekali buat saya karena saya bisa merayakan misa di Kapel yang merupakan tempat awal panggilan saya. Lebih dari 25 tahun yang lalu saya menghabiskan hari - hari saya di Kapel Ini, khsususnya untuk merayakan misa hari Minggu dan hari - hari suci lainnya, mulai Paskah sampai Natal. Di Kapel ini saya pertama kali mendengar lagu Handel Messiah di perdengarkan pada hari Natal. Saya masih Ingat bagaimana penampilan koor mahasiswa Sanatha Dharma begitu memukau malam itu, sampai - sampai almarhum Romo Giles Gilarso, SJ yang memimpin misa Natal juga tercengang mendengar lagu - lagu Natal yang diperdengarkan malam itu. Di kapel ini lah saya pertama kali bertemu dengan para Romo Yesuit. Meskipun saya tidak mengenal dekat para Romo Yesuit tersebut, mereka meninggalkan kesan mendalam pada saya, yang di kemudian hari tanpa saya sadari mempengaruhi saya untuk menjadi Imam Yesuit.
Di Kapel Ini juga saya mengenal dua orang Santo dari Serikat Yesus, yaitu Santo Robertus Bellarminus dan Santo Bernardus Realino. Saya percaya kedua orang kudus dari Serikat Yesus ini telah mendoakan saya sejak saya mahasiswa miskin dan kere di Yogya dan mereka terus mendoakan saya dalam perjalanan hidup saya ke depan. Saya juga pecaya bahwa kedua orang Kudus ini telah mendoakan saya sehingga saya menjadi seorang Romo Yesuit.
Dalam bacaan Injil, Tuhan berkata kepada Abraham, jika kudapati lima puluh orang benar dalam Kota Sodom, maka aku akan mengampuni seluruh kota tersebut dan tidak membinasakannya. Tuhan dan Abraham mencoba tawar – menawar, sampai akhirnya Tuhan berkata sekiranya ku dapati 10 orang benar di sana, aku takkan memusnahkannya. Kita bisa bertanya pada diri kita sendiri, apakah kita masing – masing bisa menemukan 10 orang saleh, kudus atau orang benar.
Mungkin sulit bagi kita untuk menemukan orang kudus dari teman – teman kita sendiri atau lingkungan sekitar kita. Akan tetapi sebenarnya ada kontradiksi dalam kehidupan ini. Kita merasa sulit untuk menemukan orang - orang kudus dalam kehidupan kita, akan tetapi kalau kita menemukan sesorang yang hidup saleh atau hidup suci, kita cenderung mentertawakan atau mencemoohkan orang tersebut. Sebagai contoh, ketika saya masih mahasiswa dulu saya tinggal di daerah Demangan Kidul, akan saya sering menghabiskan waktu di daerah Mrican, khususnya di tempat kost saudara sepupu saya yang tinggal di dekat kampus Sanatha Dharma ini. Di rumah kost tersebut ada seorang anak yang saleh dan rajin berdoa; teman ini rajin mengikuti misa harian di Kapel Santo Bellarminus. Ironisnya kita justru mentertawakan atau mencemoohkan teman yang rajin berdoa ini. Yang menarik adalah teman ini kemudian masuk Serikat Yesus dan saya bertemu lagi dengan dia sepuluh tahun kemudian ketika dia sudah hampir ditahbiskan dan saya sendiri baru sedang akan masuk Novisiat Serikat Yesus.
Kalau kita sadar bahwa menjadi orang kudus adalah panggilan kita semua, tentu kita tidak akan kesulitan mencari orang - orang Kudus di sekitar kita. Kita semua dipanggil untuk menjadi orang kudus dan perlu kita sadari bahwa kehidupan untuk menjadi orang Kudus bukan hanya untuk para Romo dan Suster, tapi juga untuk kalian semua.
Salah satu sarana yang bisa kita pergunakan untuk menjadi orang kudus telah diberikan oleh Gereja, yaitu melalui Sakramen pengampunan dosa. Orang Katolik yang rajin mengaku dosa dan menerima komuni bisa memulai proses panjang untuk menjadi orang kudus. Rahmat yang kita terima dari Sakramen pengakuan dosa bisa membuka mata kita untuk melihat bahwa Gereja Katolik adalah Gereja yang disi oleh para pendosa, orang - orang yang lemah dan mudah tergoda, orang - orang yang telah lari jauh dari Tuhan, dan orang - orang yang telah kehilangan arah dan tujuan. Akan tetapi Tuhan selalu menawarkan pengampunan yang tanpa batas. Melalui pengampunan Tuhan tersebut kita semua bisa menjadi orang kudus.
Leon Bloy, seorang pujangga dan penulis dari Perancis pernah menulis, "kesedihan utama, kegagalan utama, dan tragedy utama dalam kehidupan ini adalah tidak menjadi orang Kudus." Dalam hidupnya Bloy mempunyai dua orang anak murid yang dia kasihi yaitu Raïssa Oumançoff and Jacques Maritain. Ketika Itu Raissa dan Jacques adalah mahasiswa di Sorbone University di Paris, dan tempat mereka kuliah tidak lebih dari padang kering dan tandus dalam kehidupan rohani. Karena mereka merasa kering dalam hidupnya, mereka memutuskan untuk memberi tengat waktu satu tahun untuk menemukan arti kehidupan. Kalau mereka gagal menemukan makna kehidupan, maka mereka memutuskan untuk bunuh diri bersama. Pada saat yang sama mereka mendengar dari teman - teman tentang sosok Leon Bloy, dan teman - teman mereka menganjurkan Raissa dan Jacques bertemu orang tua yang aneh ini. Mereka pun akhirnya bertemu langsung pada tahun 1905; di sosok Leon Bloy, Raissa dan Jacques menemukan sosok manusia yang belum pernah mereka temui. Bloy adalah sosok yang begitu haus dan lapar akan sang Maha Kuasa. Pada saat yang sama Bloy mendoakan agar kedua anak muda ini bisa menjadi orang Kudus. Sejarah mencatat bahwa Jacques Maritains dengan dukungan Raissa akhirnya berpengaruh besar terhadap gereja Katolik, khususnya Konsili Vatikan II.
Di Bacaan injil, hari ini Yesus berkata, mintalah maka kamu akan diberi, carilah maka kamu akan mendapatkan, ketuklah maka pintu akan dibukakan. Ini adalah undangan bagi kita untuk berdoa agar kita bisa menjadi orang Kudus, dan juga kita perlu mendoakan orang - orang di sekitar kita untuk bisa menjadi orang Kudus. Sebagian dari kita mungkin sudah pernah mendengar cerita Santo Ignatius dari Loyola dan Santo Fransiskus Xavier. Ketika mereka masih mahasiwa di Universtas Paris, Fransiskus selalu memandang sebelah mata Ignatius yang lebih tua dan kelihatan ketinggalan jaman. Sementara Ignatius terus berusaha meyakinkan teman mudanya untuk mengikuti Latihan Rohani. Ignatius pun terus berdoa agar teman mudanya ini bisa menjadi orang kudus. Sampai pada akhirnya doa Ignatius terkabul dan Fransiskus Xaverius pun bersedia melakukan Latihan Rohani dan kemudian menjadi seorang misionaris yang menyebarkan agama Katolik ke berbagai penjuru muka bumi.
Mengapa saya saat ini bisa menjadi seorang Romo juga tidak lepas dari doa berbagai pihak, mulai dari Ibu saya sampai teman - teman saya, dan khususnya para Kudus di surga. Di tahun terakhir saya tinggal di Yogya, saya mulai kehilangan pegangan iman dan perlahan lahan meninggalkan Gereja. Ketika pindah ke Jakarta setelah saya lulus dari Fakultas Hukum UGM, saya bertemu dengan seorang teman SMA saya di Jakarta. Ketika itu kita bertemu di Mac Donald di Gadjah Mada Plaza. Saya pun ketika itu langsung memesan burger, sementara teman saya itu mengatakan dia tidak akan pesan apa - apa karena hari itu adalah hari Jumat, yang merupakan hari puasa dan pantang bagi umat Katolik. Saya sedikit merasa aneh bin salah tingkah karena tidak sadar bahwa hari itu adalah hari Jumat pada masa PraPaskah. Akan tetapi setelah itu saya terus menjalani kehidupan yang jauh dari Gereja. Sementara teman saya ini hanya bisa mendoakan orang seperti saya untuk bisa kembali ke jalan yang benar. Doa orang - orang di sekitar saya pun akhirnya terkabul ketika saya merasa terpanggil untuk kembali ke Gereja dan akhirnya memutuskan untuk masuk Serikat Yesus.
Saya baru di tahbiskan 50 hari yang lalu, jadi perjalanan saya masih panjang dan oleh karena itu saya meminta tolong agar kalian semua terus mendoakan saya untuk menjadi seorang Romo yang kudus. Akan tetapi sekali lagi panggilan untuk menjadi orang Kudus bukan hanya untuk para Romo. Oleh karena itu marilah kita semua agar berdoa untuk satu sama lain, agar diri kita sendiri, teman kita, saudara – saudara, anak masing masing agar bisa menjadi orang Kudus.
Refleksi Singkat Satu Tahun Tahbisan Imamat (bagian 4)
Bahwa Yesus adalah seorang sahabat saya yang setia dan Dia terus setia kepada saya meskipun saya pernah cukup lama meninggalkan Dia.
Oleh Romo S. Hendrianto, SJ
Pengantar
Bacaan Injil pada hari Minggu Biasa Ke 32, tanggal 8 November 2020 berisi perumpamaan tentang sepuluh orang gadis yang mengambil pelitanya untuk menyongsong mempelai laki-laki. Pada hari Minggu itu saya bertugas untuk memimpin misa bagi Warga Katolik Indonesia di California Utara. Ketika saya merenungkan bacaan Injil tersebut, ingatan saya pun melayang-layang pada kejadian lima belas tahun yang lalu. Tanpa terasa waktu cepat sekali berlalu; lima belas tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 6 November 2005, saya juga mendengar bacaan Injil yang sama. Bacaan Injil tentang cerita sepuluh orang gadis itu ternyata menjadi awal dari perjalanan saya menjadi seorang Imam Katolik.
Lima belas tahun yang lalu, saya sedang menempuh pendidikan doktoral saya di bidang Ilmu Hukum di University of Washington, Seattle. Saya tiba di Seattle pada tahun 2004 dan tahun pertama saya sebagai mahasiswa doktoral cukup melelahkan secara fisik dan mental, dan konsekuensinya pun saya cukup terisolasi. Memasuki tahun kedua, saya mencoba untuk keluar dari isolasi dan bersosialisasi dengan banyak pihak, diantaranya adalah Mudika Seattle.
Ketika itu Mudika Seattle mengadakan acara retreat dari tanggal 4 sampai 6 November 2005 di Rumah retreat Sambica yang terletak di tepi danau Sammamish, sekitar 20 menit dari Seattle. Rumah retreat itu sendiri dikelola oleh kelompok Kristen Protestan yang tidak masuk dalam dominasi manapun (non-denominational Christian). Saya pun memutuskan ikut retreat tersebut dengan motivasi ingin mengenal lebih dekat teman-teman Mudika Seattle. Sebelumnya pada bulan September saya juga sudah pernah hadir di acara Welcoming Party mereka, akan tetapi saya belum mengenal dekat para anak muda yang aktif di sana.
Singkat cerita retreat itu sendiri menjadi titik balik bagi perjalanan iman saya. Retreat itu dibimbing oleh Romo Benny Phang O.Carm, seorang Romo Carmelite yang ketika itu sedang menyelesaikan Licentiate in Sacred Theology di Catholic University of America di Washington DC. Pada hari kedua retreat, Romo Benny meminta para peserta untuk hening total mulai dari setelah makan siang sampai sekitar jam 5 sore. Saya pun mencoba untuk tidur siang di tengah masa hening tersebut. Akan tetapi saya tidak bisa tidur dan jadilah sayapun merenungkan perjalanan hidup saya. Dalam perenungan itu saya mulai tersadar mengapa selama ini menjauh dari Tuhan. Bahwa di lubuk hati yang mendalam saya merasa tidak ada orang yang mencintai dan peduli dengan saya, termasuk Tuhan. Akan tetapi saya tidak bisa melihat segala nikmat dan syukur yang telah Tuhan berikan kepada saya.
Setelah masa hening selesai, para peserta retreat pun kembali beraktivitas normal. Setelah makan malam, kita kembali berkumpul di aula utama dan masuk dalam renungan malam. Romo Benny Phang menggunakan sesi renungan malam tersebut sebagai ajang pencurahan Roh Kudus. Terus terang saja saya tidak familiar dan sedikit skeptis terhadap pencurahan Roh Kudus. Meski demikian saya tidak menutup diri terhadap acara tersebut. Romo Benny mendoakan setiap peserta retreat, dan ketika sampai pada giliran saya, saya bisa merasakan kekuatan Roh Kudus menyelimuti tubuh seperti gelombang listrik yang masuk ke tubuh. Saya tidak berbicara dalam bahasa roh, cuma ketika itu saya merasakan tubuh bergetar dan saya pun jatuh terbaring di lantai. Yang bisa saya rasakan malam itu adalah Kasih dan Kuasa Tuhan Yesus seperti membasuh diri saya.
Keesokan harinya, saya merasa bangun sebagai seorang manusia baru. Saya melihat dunia begitu indah dengan matahari pagi yang bersinar, burung-burung yang bernyanyi dan udara pagi yang bersih. Karena hari itu adalah hari Minggu maka kami pun mengakhir retreat dengan misa hari Minggu. Bacaan Injil pada hari itu dari Kitab Matius, perumpamaan tentang sepuluh orang gadis. Akan tetapi Romo Benny entah mengapa berkhotbah tentang panggilan untuk menjadi seorang Imam, entah itu Imam Religius ataupun Imam Diocesan dan beliau menghimbau para peserta retreat untuk bisa membuka dirinya terhadap panggilan menjadi Imam.
Terus terang saya berpikir bahwa khotbah tersebut sangat aneh karena tidak ada hubungannya sama sekali dengan bacaan Injil pada hari itu. Saya sama sekali tidak bercita-cita menjadi seorang Imam, meski demikian pesan dari Romo Benny terlanjur lengket di pikiran saya. Setelah retreat selesai dan kita kembali ke Seattle, saya pun mulai aktif bergabung bersama teman-teman Mudika Seattle. Singkat cerita pertemanan saya dengan mereka berlanjut menjadi persahabatan dan mereka banyak membantu pertumbuhan iman saya. Seiring dengan waktu, saya pun mulai pelan-pelan memikirkan panggilan menjadi Imam dan sejumlah teman-teman Mudika Seattle mendukung saya dalam panggilan tersebut.
Empat belas tahun setelah peristiwa retreat di Sambica itu saya ditahbiskan menjadi Imam Katolik. Setelah menerima Sakramen Imamat saya kembali ke Indonesia dan merayakan misa syukur di Jakarta. Karena ketika tinggal di Jakarta dulu saya tidak pernah terdaftar secara resmi di paroki manapun, saya agak kesulitan untuk mencari tempat merayakan misa syukur. Dengan bantuan sejumlah sahabat-sahabat lama dan Serikat Yesus di Indonesia, akhirnya saya memutuskan untuk merayakan misa syukur di Kapel SMA Kanisius. Saya bukan alumnus Kanisius, akan tetapi para Romo Yesuit di Kanisius telah bermurah hati untuk memberi saya kesempatan merayakan misa syukur di Kapel SMA Kanisius.
Pada misa syukur saya di Kapel SMA Kanisius, saya berkesempatan kembali bertemu dengan teman-teman dari Mudika Seattle. Tentu saja situasi kita masing-masing sudah banyak berubah dari pertemuan pertama kita empat belas tahun sebelumnya. Sebagian besar dari mereka sudah berkeluarga dengan anak-anak yang masih kecil. Tentu usia kita semua semakin bertambah, akan tetapi saya akan selalu mengingat dukungan dan doa mereka sehingga saya bisa menjadi seorang Imam Katolik.
Pertemanan atau persahabatan kadang kala adalah misteri, sering kali kita tidak bisa menjelaskan mengapa kita bisa berteman satu sama lain. Saya juga tidak bisa menjelaskan mengapa saya bisa berteman dengan anggota Mudika Seattle. Atau kita bisa mencoba dekat atau berteman dengan sejumlah orang, tetapi belum tentu orang-orang tersebut ingin berteman dengan kita. Pada akhirnya hubungan pertemanan selalu melibatkan kedua belah pihak. Kita bisa mencoba menjadi orang baik ataupun berbuat baik terhadap orang lain, akan tetapi orang tersebut bisa saja menolak kebaikan kita dan menolak menjalin hubungan dengan kita. Untuk itu lah saya berterima kasih terhadap teman-teman dari Mudika Seattle yang sudi berteman dengan orang seperti saya. Saya menduga mereka percaya apa yang dikatakan Yesus, “aku memanggil kamu Sahabat” (Yohanes 15:15) dan oleh karena itu pula mereka juga mencoba meneladani Yesus dengan bersahabat dengan orang seperti saya.
Untuk lebih mendalami perjalanan panggilan saya menjadi Imam, silahkan dibaca teks homili saya pada misa syukur di SMA Kanisius yang terlampir di bawah ini.
Homili pada misa syukur Romo Stefanus Hendrianto, SJ pada tanggal 20 Juli, di Kapel SMA Kanisius, Jakarta.
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam atas kehadiran kalian semua pada misa syukur malam hari ini. Saya sadar bahwa banyak pihak yang hadir pada malam hari ini mengenal saya dengan karakter yang berbeda-beda, karena masing-masing orang hanyalah mengenal saya dalam satu periode dalam kehidupan saya, entah sebagai siswa SMA St. Yosef, mahasiswa Fakultas Hukum UGM, aktivis mahasiswa, ataupun mahasiswa PhD di University of Washington, Seattle.
Akan tetapi, saya berharap kalian semua bisa menilai saya sebagai seorang Imam Jesuit dan bukan berdasarkan satu episode dalam kehidupan saya di masa lalu dimana kalian mengenal saya. Karena pada akhirnya misa malam hari ini bukan mengenai saya tetapi mengenai Yesus Kristus dan GerejaNya.
Dalam bacaan kedua yang kita dengar pada hari ini, Santo Paulus berbicara tentang penderitaan dan harapan. Santo Paulus mengatakan bahwa dia rela menderita karena Kristus ada di antara kita, dan Yesus Kristus adalah harapan akan kemuliaan. Penderitaan dan harapan adalah kosa kata yang tidak asing lagi bagi kita semua. Ketika masih muda dulu, saya juga sering bergelut dengan kedua kosa kata tersebut.
Sebagai seorang idealis, ketika masih muda saya sering bergelut dengan pertanyaan, mengapa begitu banyak penderitaan di muka bumi ini, dan dimanakah kita harus menggantungkan harapan hidup kita. Sebagai seorang pemuda idealis saya juga cukup naif karena saya percaya bahwa penderitaan di muka bumi ini bisa dihapuskan dengan perjuangan kelas, dan kemudian saya pun menjadi seorang demonstran.
Seperti yang saya katakan tadi, ketika itu saya adalah seorang anak muda yang naif karena bahan bacaan saya masih terbatas. Filsuf Yunani Kuno, Plato pernah mengatakan bahwa dalam karyanya the Republic bahwa “ketika seseorang benar-benar belajar, dia akan peduli dengan kesenangan jiwa, khususnya dengan jiwanya sendiri dan dia akan meninggalkan kesenangan yang datang melalui tubuh. " (Plato, Republic, Book VI, 485 e). Akan tetapi, waktu muda dulu saya tidak pernah baca the Republic sehingga saya tidak tahu tentang pentingnya memperhatikan kesenangan jiwa saya sendiri.
Pada tahun 1999, ketika saya sedang sibuk dengan aktivitas politik, saya bertemu dengan seorang teman lama di sebuah pesta perkawinan. Teman saya tersebut mengingatkan saya bahwa para mantan teman seperjuangan saya, para demonstran yang dia temui di kampusnya mempunyai jiwa yang kering. Akan tetapi sebagai seorang demonstran yang keras kepala dan naif, saya tidak mengakui ataupun menyangkal bahwa jiwa saya kering dan tandus.
Ketika saya menjadi seorang aktivis politik, saya percaya bahwa saya telah menemukan jawaban dan arti kehidupan. Akan tetapi saat yang sunyi dalam kehidupan adalah ketika kita berpikir bahwa kita sudah menemukan jawaban, dan jawaban yang kita temukan itu justru membuat kita terhempas. Selama bertahun-tahun saya merasa bahwa akar dari semua masalah ketidakadilan di Indonesia adalah Soeharto. Sejarah mencatat bahwa pada tanggal 20 Mei 1998, Soeharto turun sebagai presiden. Akan tetapi, tidak ada kebahagiaan ataupun kepuasan, dan justru kemenangan reformasi menghempaskan harapan saya.
Di tahun 2004, saya meninggalkan Indonesia dan memutuskan untuk memulai kehidupan baru di Amerika Serikat. Saya memulai kehidupan baru sebagai mahasiswa program doktoral di University of Washington, School of Law. Ketika saya tiba di Seattle, saya tidak lebih dari seorang pria yang jiwanya terluka. Akan tetapi kondisi jiwa yang terluka ini justru menjadi awal dari perjalanan saya untuk menjadi seorang rohaniawan Katolik.
Ada orang bijak yang mengatakan bahwa luka bisa menjadi guru kita yang paling baik. Hal ini jelas nyata pada kehidupan Santo Ignatius dari Loyola pendiri Serikat Yesus. Dalam pertempuran di Benteng Pamplona, bola Meriam menghantam kaki Ignatius. Selama masa penyembuhannya yang panjang di puri keluarga di Loyola, Ignatius mulai berpikir dan merenungkan kehidupan Yesus dan para orang kudus seperti Santo Dominikus dan Santo Fransiskus. Dia pun berpikir kalau sekiranya Dominikus dan Fransiskus bisa berbuat banyak untuk Kerajaan Allah, seharusnya saya juga bisa berbuat hal yang sama. Pertobatan Ignatius mulai dari Loyola, akan tetapi ketika berada di Manresa, khususnya di tepi sungai Cardoner, Ignatius mendapat kejelasan tentang kehendak Tuhan buat dirinya. Di tepi sungai Cardoner, Ignatius menerima rahmat Tuhan untuk melihat ke belakang tentang perbuatan-perbuatan dia di masa lalu, yang mana dia ingin mencapai kemuliaan manusiawi dengan menjadi seorang serdadu. Akan tetapi sekarang dia bisa melihat bahwa dia bisa menggantikan keinginan-keinginan duniawi itu menjadi keinginan untuk bekerja demi kemuliaan Tuhan.
Jikalau Ignatius mempunyai Manerssa and Cardoner experience, Seattle adalah merupakan tempat dimana bagi saya untuk merenungkan kembali makna kehidupan dan menemukan jalan baru. Lebih tepatnya, di tepi danau Sambica di Washington bagian timur, saya menerima rahmat Tuhan yang menyadarkan saya akan perbuatan-perbuatan saya di masa lalu.
Ketika itu saya ikut retreat bersama teman-teman Mudika Seattle. Akan tetapi retreat tersebut justru membuka mata hati dan pikiran saya tentang sosok Yesus. Bahwa Yesus adalah seorang sahabat saya yang setia dan Dia terus setia kepada saya meskipun saya pernah cukup lama meninggalkan Dia. Setelah retreat itu, saya pun mulai merasa terpanggil untuk menjadi lebih dekat mengenal Yesus dan bersahabat dengan Yesus.
Singkat cerita, perjalanan saya untuk menjadi seorang Imam Yesuit, bermula dari persahabatan. Pertama persahabatan saya dengan teman-teman Mudika Seattle. Mereka banyak membantu saya untuk menjadi lebih dekat dengan Yesus dan menghayati lebih dalam Iman Katolik. Kedua, dan yang lebih penting, adalah persahabatan dengan Yesus sendiri. Dengan mengenal Yesus lebih dekat, saya pun merasa terpanggil untuk mengikuti Yesus lebih dekat dengan menjadi seorang Imam Yesuit.
Ketika saya mulai merenungkan kehidupan religius, Paus Benediktus XVI mengeluarkan surat ensiklik nya yang menurut saya the greatest encyclical letter ever yaitu Spe Salvi (kita diselamatkan dalam pengharapan). Membaca Spe Salvi saya tersadar bahwa isu ketidakadilan di muka bumi ini ujung-ujungnya adalah persoalan tentang harapan dan keselamatan. Dimanakah kita semua menggantungkan harapan akan keselamatan kita.
Yang menarik bagi saya dari surat itu adalah bahwa Paus mengatakan bahwa contoh yang paling menarik dari sosok yang ingin memperjuangkan keadilan di atas bumi adalah Karl Marx. Marx berusaha membangun kerajaan surga di atas bumi dengan jalan revolusionernya. Akan tetapi, menurut Paus Benediktus, kesalahan utama dari Marx adalah, “dia dengan gampang berpikir bahwa dihancurkannya kelas penguasa…sebuah Yerusalem yang baru akan terbentuk.”
Paus Benediktus mendeskripsikan kesalahan fundamental Marx dengan sebuah argumen bahwa, Marx lupa bahwa manusia akan selalu menjadi manusia. Marx berpikir bahwa ketika sistem ekonomi sudah diperbaiki, maka semuanya pasti beres. Akan tetapi Marx lupa bahwa manusia bukan sekedar produk dari kondisi ekonomi dan tidak mungkin bagi kita menyelamatkan manusia dengan menciptakan situasi ekonomi yang lebih baik.
Dalam suratnya, Paus mengatakan bahwa respon terbaik bagi kita sebagai orang Kristiani terhadap ketidakadilan di dunia adalah menerima kondisi manusia yang tidak sempurna. Dengan kata lain kita harus menerima kenyataan bahwa penderitaan dan ketidakadilan adalah bagian dari hakikat kita sebagai manusia. Kita bisa berusaha sekuat mungkin untuk melawan ketidakadilan dan penderitaan, akan tetapi kita tidak bisa menghilangkan ketidakadilan dan penderitaan dari muka bumi ini karena kita tidak mempunyai kekuatan untuk itu. Hanya Tuhan lah yang bisa mengakhiri penderitaan, yaitu Tuhan yang turun ke bumi dan menjadi manusia dan ikut menderita sebagai seorang manusia dan mati di kayu salib, hanya Dia lah yang bisa mengakhiri penderitaan di dunia ini.
Pada akhirnya perjuangan untuk mencapai ketidakadilan harus berujung kepada pemahaman bahwa Keadilan yang paling sempurna adalah Tuhan sendiri. Tuhan adalah keadilan dan Dia lah yang menciptakan keadilan. Jadi pengharapan kita sebagai orang Katolik adalah bahwa kita menggantungkan harapan pada Tuhan yang bisa menciptakan keadilan. Pengharapan kita sebagai umat Katolik adalah kita berharap bisa bertahan dalam menerima penderitaan dan menunggu dengan penuh harapan akan janji kebangkitan badan dan kemenangan Kritus akan maut.
Setelah membaca surat ensiklik Spe Salvi tersebut, saya pun memutuskan untuk membanting dan membuang masa lalu saya sebagai seorang aktivis politik dan memutuskan untuk menjadi seorang Imam Yesuit. Apakah dengan menjadi seorang Imam Yesuit, saya hanya akan menjadi seorang rohianawan yang besikap pasif yang berdoa dan nrimo saja. Jawaban atas pertanyaan itu bisa kita temukan dalam bacaan Injil hari ini.
Injil hari ini sering salah ditafsirkan sebagai keberpihakan Yesus terhadap spiritualitas yang kontemplatif yang dilambangkan oleh Maria, sementara Martha disalahkan karena terlalu aktif, jadi dengan kata lain model spiritualitas yang aktif cukup bermasalah. Akan tetapi, jikalau kita cermati Injil pada hari ini, Yesus mengatakan bahwa Maria telah memilih bagian yang terbaik. Yesus menggunakan kata yang terbaik untuk menunjukkan bahwa bagian yang dipilih oleh Martha juga baik. Jadi apa yang dilakukan oleh Martha bukanlah hal yang buruk ataupun jelek.
Pada intinya Yesus ingin mengingatkan bahwa pada akhirnya kehidupan kita yang aktif dalam karya Tuhan akan berakhir dengan kematian kita secara fisik. Ketika kita meninggal, tentu saja tubuh kita tidak bisa lagi memberi makan kepada orang-orang yang kelaparan atau pun membantu orang-orang miskin. Martha cepat menangkap pelajaran dari Yesus, karena dia tahu dan mengerti bahwa kehidupan kita yang aktif di dunia ini akan berakhir. Buktinya adalah kejadian ketika saudara laki-lakinya, Lazarus meninggal dunia. Di Injil Yohanes bab 11, Martha berkata kepada Yesus bahwa dia percaya bahwa saudaranya Lazarus akan bangkit pada akhir zaman. Kemudian Yesus berkata: "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?" Martha pun menjawab, "Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia." Dengan kata lain Martha mengerti bahwa akan tiba saatnya ketika kehidupan aktif duniawi akan diambil dari kita semua. Martha percaya akan kehidupan kekal yang merupakan bagian utama dari iman Kristiani.
Di Injil hari ini kita mendengar bahwa Martha bergulat antara keinginan untuk bersikap aktif dan bersikap pasif. Hal yang sama juga terjadi pada Santo Ignatius dari Loyola. Ketika dia berada di Manresa, Ignatius berpikir bahwa cara terbaik untuk melayani Tuhan adalah dengan cara-cara yang kontemplatif, mulai dari doa sampai mati raga.
Akan tetapi ketika Ignatius mulai kuliah di University of Paris, Ignatius mendapat inspirasi dari Santo Thomas Aquinas yang menjadi dasar teologis dan intelektual bagi dia untuk menggunakan cara-cara yang lebih aktif untuk memuliakan nama Tuhan, dan pada saat yang sama, dia meninggalkan cara-cara mati raga nya yang berlebihan di Manresa.
Ignatius yang lebih matang dan dewasa mulai membangun sebuah sistem baru di Serikat Yesus yang mencoba menggabungkan kedua sistem yang kontemplatif dan aktif. Santo Ignatius percaya bahwa semuanya tergantung pada rahmat Tuhan, akan tetapi kita juga harus menggunakan segala kemampuan, tenaga dan pikiran untuk bekerja sama dengan Yesus.
Dalam karyanya Pilgrim’s Progress, John Bunyan menceritakan tentang seseorang yang mencoba membersihkan lantai yang kotor berdebu. Akan tetapi setiap kali dia mencoba menyapu, debu di ruangan tersebut terbang ke udara dan kemudian kembali lagi ke lantai. Setelah dia memerciki air di atas lantai yang berdebu, orang tersebut bisa menyapu lantai dengan lebih gampang. Disini kita bisa melihat bahwa sapu bisa melambangkan kerja-kerja aktif kita di dunia untuk kerajaan Allah, akan tetapi percikan air, yang melambangkan rahmat Tuhan, juga diperlukan untuk membantu sapu mencapai tujuan akhirnya.
Analogi antara sapu dan air ini merupakan contoh bahwa kita bekerja sama dengan Tuhan untuk membangun Kerajaan Allah. Kita harus menggunakan segala kemampuan kita untuk membangun perdamaian dan keadilan di dunia ini. Meski demikian, kita juga membutuhkan rahmat Tuhan untuk mencapai tujuan kita mewujudkan perdamaian dan keadilan di muka bumi ini.
Saya baru saja memulai perjalanan saya sebagai seorang Imam Yesuit. Oleh karena itu saya meminta tolong doa kalian semua agar saya bisa menjadi Imam Yesuit yang rendah hati dan penuh pengharapan. Saya ingin menjadi seorang Imam Yesuit yang penuh pengharapan karena saya ingin membantu memberikan harapan kepada orang banyak di tengah penderitaan mereka.
Akan tetapi, sebagai seorang Imam Yesuit, saya sadar bahwa ada keterbatasan bagi kita umat manusia karena usia, kemampuan fisik dan pikiran, dan akan tiba saatnya ketika harus menyadari bahwa misi kita di dunia ini tidak selesai. Oleh karena, seperti yang dikatakan oleh Santo Ignatius, “Hanya rahmat dan cintaMu padaku yang ku mohon menjadi milikku.”
Tuhan memberkati kalian semua.
Surat Cinta Rm. Macarius Maharsono, S.J
Doa kesembuhan kita lambungkan bersama. Allah akan selalu menjaga dan melindungi anak yang dikasihi dengan rencana terbaikNya.
Bahan tulisan oleh Hanafi Daud.
Kita mendengar kabar mengenai seorang romo yang pernah membaktikan diri melayani WKICU tahun 2002. Beliau adalah romo Macarius Maharsono, S.J. Beliau dikabarkan mengalami kecelakaan jatuh di kamar mandi beberapa minggu lalu, dan saat ini sedang menjalani operasi karena pendarahan di otak dan dirawat di ICU Rumah Sakit Panti Rapih, Jogjakarta. Doa kesembuhan kita lambungkan bersama. Allah akan selalu menjaga dan melindungi anak yang dikasihi dengan rencana terbaikNya.
Pengabdiannya yang hanya 8 bulan begitu memiliki kesan yang sangat mendalam bagi umat WKICU kala itu. Wajahnya yang kalem dengan senyum ramah yang selalu mengembang seperti meletupkan aura tersendiri sehingga umat merasa dekat dengan beliau.
Mungkin banyak anggota WKICU sekarang tidak tahu dan tidak kenal romo Maharsono, atau mungkin juga lupa. Di bawah ini ada sebuah surat yang ditulis sangat indah oleh beliau ketika beliau pamit karena harus menghentikan pelayanannya di WKICU dan melanjutkan pelayanan di Thailand. Ibu-ibu anggota Golden Girls WKICU mengatakan bahwa romo Maharsono ini mirip dengan salah satu bintang film seri California Highway Patrol/CHIP, Eric Estrada. (lihat foto).
Silakan Anda membaca surat perpisahan beliau kepada WKICU ini. Sebuah ungkapan rasa yang sangat menyentuh. Ungkapan rasa terima kasih dari hati tulus nan sederhana yang merasakan jalinan cinta umatnya dengan penyerahan total kepada Allah yang dirindukannya. Semoga rahmat kesembuhan beliau terima dengan segera, dan berkat kesehatan serta kebahagiaan menyertai beliau dalam pengabdian dan pelayanan kepada umat yang dicintainya.
————————ooo0ooo—————————
Surat diambil dari berita WKICU Juni 2002
Rembulan menggantung di jendela kamar. Itulah sambutan mesra kedatangan saya di Berkeley tahun lalu bulan Agustus. Hari berikutnya, Minggu pertama, saya merayakan ekaristi di komunitas WKICU.
Saya ingat, saya masuk tanpa pamit permisi. Terlambat lagi! Maaf ya. Oleh karena itu, supaya tidak terlalu kurang ajar, setelah 8 bulan merasakan kegembiraan dan kepahitan umat Katolik Indonesia di Bay Area, ijinkan saya pamit. Pamit dengan rasa haru dan penuh syukur terima kasih.
Hari-hari saya di Berkeley dan Bay Area penuh rahmat. Studi yang saya dalami terasa makin lama makin menarik. Makin lama makin terasa, betapa saya masih jauh dari mengenal Allah yang kita sembah bersama. Ya, Allah sungguh tak terpahami dengan budi akal. Allah hanya bisa kita rasakan dan alami hanya karena kasih KaruniaNya saja. Saya merasakannya secara berlimpah-limpah. Allah memang bagai laut tanpa tepi. Dan itulah sebabnya saya menjadi agak tidak berani bicara mengenai Allah. Biarlah Allah sendiri yang mewahyukan diri.
Saya mengalami betapa saya takut berdoa dengan banyak kata. Biasanya makin banyak kata, makin besar dan makin licin jalan menuju ke diri sendiri. Saya merasai kematian kata. Biarlah Tuhan yang berbicara, bukan saya yang merangkai selaksa kata. Tetapi saya juga mengakui betapa pada umumnya manusia kesulitan untuk doa diam dan mendengarkan. Orang masih mudah mengira bahwa dengan banyak kata bisa mengalahkan hati Allah. Makin banyak kata, makin licinlah jalannya. Bisa terpeleset dan memakai “doa” sebagai kendaraan penguasaan atas orang lain dan Allah. Wah! Doa diam dan mendengarkan memang memerlukan kerendahan hati luar biasa.
Delapan bulan di Bay Area bagai hidup dalam dua garba bunda pengasih. Cinta dan kehangatan komunitas Katolik Indonesia bagai air dingin penyejuk jiwa. Terima kasih. Terima kasih. Saya mohon maaf kalau kadang tiba-tiba menghilang dari arena. Bukan lari, marah atau ngambek. Saya tahu diri. Cinta mesra “umat” bisa menggoda seperti dibuai dalam ayunan kedamaian para pangeran besar. Dan itu tidak cocok untuk saya.
Saya sangat menghargai cinta yang tulus ini. Tetapi saya harus pergi. Masih panjang jalan pelayanan saya. Maka dengan sadar dan penuh syukur, Bay Area menjadi oasis yang menyejukkan. Sesudah dikuatkan dengan banyak berkah di sini, saya harus melanjutkan perjalanan pelayanan yang tidak mudah itu. Oasis memang surga bagi pengelana. Tetapi pengelana sejati tidak menetap di Oasis.
Gereja komunitas Katolik Indonesia di Bay Area memang unik. Sejarah tidak meluruhkan serat-serat ke-Indonesiaan umat. Meski Amerika bergerak dalam pikirannya sendiri, WKICU menari dalam tenunan banyak benang kultur: Amerika, Indonesia, Cina, Jawa, Jakarta, dan lain-lain. Dalam rajut-rajut budaya yang punya sejarah yang panjang dan berakar dalam itulah, kita sekarang memasuki wilayah refleksi mengenai peranan imam dalam jemaat. Dan yang luarbiasa (syukur alhamdulilah) Tuhan memberi diakon sebagai “penatua” bagi jemaat yang bergerak ini.
Kalau ada imam yang pastur, barangkali itu hanya kebetulan. Kebetulan ada yang sedang tugas belajar di Bay Area. Dan itu malah baik. Biarlah pastur itu menjadi orang-orang “kebetulan” saja. Kebetulan singgah di oasis penuh kasih ini. Terimalah mereka dan cintailah mereka secara bijaksana. Terlalu menuntut atau terlalu memanjakan barangkali adalah ketidak-bijaksanaan pula.
Saya mohon pamit. Saya meninggalkan Berkeley dan Bay Area dengan penuh rasa syukur dan terima kasih. Ada relung-relung karya lain yang akan saya masuki bersama kaum tanpa suara. Kalau ada yang mau belajar diam dan mendengarkan, saya akan mendapat lebih banyak teman lagi.
Tak ada gading yang tak retak. Begitulah pepatah Melayu kuno. Saya sadar sesadar-sadarnya, bisa saja saya pernah mengecewakan atau membuat orang tidak senang. Mohon maaf. Bagai tapak-tapak kaki di pasir pantai dihapus oleh ombak, biarlah kebaikan hati anda menghapus kesalahan-kesalahan saya.
Refleksi Singkat Satu Tahun Tahbisan Imamat (bagian 3)
Saya bisa melihat bagaimana Tuhan bekerja dalam hidup saya dan saya tidak melihat alasan lain untuk memuji, menghormati dan mengabdi kepada Yesus dengan menjadi seorang Imam.
Oleh: Romo S. Hendrianto, SJ
Apakah ada yang lebih dahsyat dari doa seorang Ibu? Sungguh doa seorang ibu itu adalah sebuah keajaiban dan bahkan ada yang berkata bahwa doa seorang Ibu bisa menembus langit. Dalam renungan saya yang terdahulu saya juga sudah menceritakan doa ibu dapat merubah takdir yang tidak di sangka-sangka. Pengalaman pribadi saya menunjukkan bahwa doa ibu telah menghantarkan saya menjadi seorang Romo. Meskipun ibu saya tidak pernah punya niat agar anaknya menjadi Romo, dia terus berdoa kepada Bunda Maria agar menunjukkan jalan yang benar kepada anaknya, sehingga akhirnya Bunda Maria-pun menuntun saya menjadi seorang Romo.
Akan tetapi, dalam pengamatan saya, banyak juga para ibu yang berdoa hanya untuk sesuatu yang menurut dia terbaik buat anak-anak mereka. Dengan kata lain mereka tidak berdoa agar Tuhan memberikan yang terbaik menurut kehendak Tuhan. Para ibu banyak juga yang berdoa hanya untuk kepentingan dan kesuksesan duniawi semata bagi anak-anak mereka, mulai dari harta, karir, kekayaan dan prestasi yang cemerlang. Mungkin perlu dilakukan survey untuk menilai berapa banyak para Ibu yang berdoa untuk keselamatan jiwa-jiwa anak mereka atau agar anak-anak mereka menjadi orang Kudus.
Santa Monica adalah teladan bagi para Ibu untuk bisa berdoa agar anak-anak mereka menjadi orang Kudus. Santa Monica sendiri adalah seorang Ibu yang menderita cukup panjang. Secara pribadi dia menderita karena ketergantungan pada alkohol. Akan tetapi niat beliau yang kuat untuk berhenti minum alkohol menjadi fondasi untuk bisa bertahan dalam penderitaan dan masa-masa sulit dengan keluarganya. Di atas segalanya Santa Monica mengerti bahwa menjadi pengikut Yesus berarti kita harus memikul salib dan menderita seperti Yesus. Pemahamannya yang mendalam tentang penderitaan Yesus dan Salib terwujud dalam kata-katanya menjelang ajalnya kepada putranya Santo Augustinus, “Makamkan aku di manapun juga sesuai dengan keinginanmu, jangan sampai pemakamanku menjadi masalah buatmu. Aku hanya meminta satu hal bahwa agar kamu selalu mengingatku di altar Tuhan di manapun kamu berada.”
Santa Monica mengucapkan pernyataan di atas karena dia tahu bahwa anaknya Santo Agustinus telah dipilih oleh Tuhan untuk berkarya dalam namaNya, lebih tepatnya Yesus telah memilih Augustinus untuk menjadi seorang Imam dan Uskup. Sama halnya dengan sang Ibu, Santo Augustinus sendiri sadar bahwa identitas ganda seorang Imam dan Kurban dalam perayaan Ekaristi. Dalam karyanya yang berjudul De Trinitate (Tri Tunggal MahaKudus), menjelaskan bahwa Misa adalah kurban kudus, di mana Kristus menjadi Imam dan sekaligus Kurban. Santo Agustinus menulis, “Apa yang bisa kita berikan dan terima, dengan mengurbankan diri kita sendiri, sehingga kita menjadi seorang Imam?” Santo Augustinus juga menekankan bahwa makna kurban kudus dalam Misa tidak bisa dipisahkan dari pengorbanan Kristus untuk manusia. Dalam khotbahnya kepada orang-orang yang baru dibaptis pada Malam Paskah, Augustinus berkata, “Setelah konsekrasi dari Kurban Kudus oleh Tuhan, Dia menginginkan kita juga menjadi kurban, sebuah fakta yang jelas bahwa ketika Kurban Kudus pertama kali ditetapkan pada perjamuan malam terakhir, dan oleh karena kurban tersebut adalah jati diri kita yang utama, maka setelah upacara pengurbanan selesai, kita pun mendoakan doa Bapa Kami” (Sermon 227).
Dalam renungan singkat saya pada bagian pertama, saya sudah menjelaskan tentang peran Bunda Maria sebagai seorang Ibu yang berpengaruh besar terhadap perjalanan Imamat saya. Sementara dalam tulisan bagian kedua, saya lebih menceritakan peran ibu biologis yang mendoakan saya tanpa sadar untuk menjadi seorang Romo. Dan karena ibu saya meminta doa kepada Bunda Maria, maka semuapun menjadi klop karena Bunda Maria langsung menunjukkan jalan kepada saya untuk menjadi seorang Romo.
Ketika merenungkan kembali satu tahun tahbisan Imamat saya, khususnya hubungan Santa Monica dengan Santo Augustinus, saya jadi teringat akan sosok seorang “ibu” yang juga ikut berjasa dalam menghantarkan saya menjadi seorang Romo yaitu “ibu persusuan” saya. Istilah Almamater populer di kalangan akademik untuk menyebut perguruan tinggi atau sekolah tempat seseorang menyelesaikan suatu jenjang pendidikan. Akan tetapi banyak orang yang tidak tahu arti sesungguhnya dari istilah tersebut. Secara harafiah, istilah alma mater dalam Bahasa Latin bermakna “ibu persusuan.” Istilah ini digunakan berdasarkan kebiasaan orang Yunani Kuno dalam mengirim anak- anaknya untuk mengenyam pendidikan, dengan menyerahkan atau menitipkan anak-anak mereka kepada seseorang yang dianggap bijaksana. Di tempat orang bijak itulah, anak-anak dapat belajar atau berlatih untuk melakukan segala hal sebagai bekal untuk menjalani kehidupan orang dewasa. Tempat pendidikan ini disebut alma mater yang bisa juga berarti “ibu pengasuh” atau “ibu yang memberikan ilmu.”
Fakta yang menarik adalah setelah kejatuhan kerajaan Romawi, istilah alma mater mulai masuk ke dalam kosa kata liturgi Gereja Katolik dan Gereja pun menggunakan istilah ini untuk merujuk Bunda Maria. “Alma Redemptoris Mater” (Ibu Sang Penyelamat) adalah antifon yang cukup popular pada abad ke 11 dan didedikasikan kepada Bunda Maria.
Setelah ditahbiskan sebagai seorang Imam pada bulan Juni 2019, saya kembali ke tempat saya pernah bersekolah dan mempersembahkan misa syukur pada hari pertama tahun ajaran baru, tanggal 15 Juli, 2019. Ketika mempersembahkan misa syukur di SMA Katolik Santo Yosef dan SMP Theresia, Pangkalpinang, saya merasakan suasana hati yang berbeda sekali dengan pengalaman sehari sebelumnya ketika mempersembahkan misa syukur di Paroki tempat saya dibaptis. Dalam renungan terdahulu (bagian 2) saya telah mengutip penyair asal Inggris Hilaire Belloc “…setiap kali aku mengingat masa kecilku dan setiap kali aku merasa senang pulang ke rumah. Tapi aku tidak pernah menemukan kebahagiaan terakhir” (each time I have remembered my boyhood and each time I have been glad to come home. But I never found it to be a final gladness). Akan tetapi ketika mempersembahkan misa syukur di alma mater saya, saya merasa benar-benar pulang ke rumah dan menemukan “kebahagian terakhir.”
Tanpa saya sadari, SMA Katolik Santo Yosef dan SMP Theresia Pangkalpinang telah berjasa besar sebagai alma mater yang ikut menumbuhkan panggilan imamat saya. Saya bukanlah murid yang saleh dan suka berdoa; saya tidak pernah ikut Legio Maria atau pesekutuan doa, ataupun kelompok rosario di sekolah. Bahkan dalam beberapa hal saya juga sering berbuat onar di sekolah. Saya juga bukanlah seorang putra altar waktu di sekolah dulu. Selama hidup, baru sekali saya jadi putra altar waktu Ulang Tahun SMA tahun 1990, itupun karena putra altar yang seharusnya bertugas berhalangan. Jadilah detik-detik terakhir saya diminta jadi putra altar. Bisa dipastikan tidak ada guru-guru yang pernah membayangkan seorang murid seperti saya bisa menjadi seorang Rohaniawan Katolik.
Meski demikian, guru-guru di SMP dan SMA cukup luhur untuk mendidik saya menjadi seorang terbuka dan percaya kepada penyelenggaraan Ilahi. Pendidikan di bangku sekolah menengah juga cukup mumpuni untuk mempersiapkan saya lebih terbuka dan mendalami pengetahuan filsafat, politik, hukum dan teologi, sehingga saya pun terus mencari makna kehidupan.
Melihat ke belakang, sewaktu SMA dulu banyak guru-guru saya yang lulusan IKIP Sanatha Dharma, jadi secara tidak langsung saya juga sering mendengar tentang Serikat Yesus melalui mereka. Kemudian waktu di SMA, suatu hari guru agama saya pernah menceritakan kisah tayangan film di bioskop lokal berjudul ‘The Mission’ yang dibintangi oleh Robert De Niro dan Jeremy Irons. Film tersebut bercerita tentang perjuangan para Romo Jesuit di Paraguay. Setelah menonton film itu saya cukup terkesan akan komitmen para Romo Jesuit dalam menyebarkan injil kepada kelompok Indian Guarani yang tinggal di perbatasan Paraguay dan Uruguay, bahkan sampai mereka rela memberikan nyawanya demi kehidupan Gereja. Jadi sedikit banyak para guru-guru saya ikut menanamkan bibit panggilan untuk masuk Serikat Yesus.
Akan tetapi, pada akhirnya rahmat Tuhanlah yang menggerakan saya untuk menjadi seorang Romo, dan kemudian saya pun merespon rahmat Tuhan tersebut dengan memenuhi panggilanNya. Melihat pengalaman saya sejak masih duduk di bangku sekolah menengah, saya bisa melihat bagaimana Tuhan bekerja dalam hidup saya dan saya tidak melihat alasan lain untuk memuji, menghormati dan mengabdi kepada Yesus dengan menjadi seorang Imam.
Untuk lebih mendalami suasana batin saya ketika kembali ke alma mater, silakan dibaca teks homily dibawah ini.
Homili pada misa syukur Romo Stefanus Hendrianto, SJ pada tanggal 15 Juli, SMAK St. Yosef and SMP St. Theresia Pangkalpinang.
Teman-teman yang terkasih dalam Kristus, izinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Saya Romo Stefanus Hendrianto, SJ; saya adalah lulusan Angkatan 1992 SMA Santo Yosef dan Angkatan 1989 SMP Santa Theresia. Bisa dipastikan bahwa sebagian besar dari kalian belum lahir ketika saya lulus dari bangku SMP dan SMA. Mungkin sebagian guru – guru kalian juga masih duduk di bangku SD waktu saya bersekolah dulu.
Adalah sebuah kehormatan besar bagi saya hari ini bisa mempersembahkan misa syukur di depan murid-murid SMP Santa Theresia dan SMA Santo Yosef, khususnya pada hari pertama pembukaan tahun ajaran baru. Kemarin saya sudah sempat berkeliling Gedung baru SMA Santo Yosef dan juga SMP Theresia. Pak Frans (kepala sekolah SMA) dengan senang hati memberikan tour kepada saya untuk melihat fasilitas sekolah. Saya harus mengakui bahwa sudah banyak kemajuan secara fisik baik untuk SMP maupun SMA dibanding ketika jaman saya sekolah 30 tahun yang lalu. Akan tetapi setelah berkeliling cukup lama, saya tidak melihat dua obyek yang penting, pertama saya tidak melihat ada patung Santo Yosef dan kedua saya juga tidak melihat ada patung Santa Theresia Kanak-Kanak Yesus. Dua patung pelindung sekolah yang saya pikir bisa dengan gampang ditemukan di kompleks sekolahan.
Setelah tidak melihat kedua patung tersebut, saya juga tidak melihat patung saya. Mengapa harus ada patung saya? Jawabannya karena saya juga akan menjadi orang Kudus. Kalian mungkin menduga saya adalah orang yang narsistik, akan tetapi menjadi orang kudus itu bukan hanya panggilan bagi seorang romo seperti saya, melainkan panggilan bagi semua orang termasuk kalian sebagai pelajar. Izinkan saya mengulangi pelajaran agama Katolik yang mendasar, bahwa kita sebagai orang Katolik percaya akan kehidupan setelah mati. Bagi orang yang meninggal dalam dosa berat tanpa bertobat dan menolak rahmat Tuhan, mereka akan masuk ke neraka. Sementara bagi orang yang meninggal dalam rahmat Tuhan dan persahabatan dengan Tuhan akan hidup selamanya bersama Yesus di surga. Orang-orang ini kemudian disebut orang-orang Kudus. Oleh karena itu saya yakin kalian semua juga pasti ingin masuk surga dan menjadi orang-orang Kudus.
Berbicara tentang orang kudus, hari ini kita merayakan pesta seorang Santo, yaitu Santo Bonaventura. Saya pikir sangat pas sekali bagi SMA Santo Yosef dan SMP Theresia memulai tahun ajaran baru pada hari peringatan Santo Bonaventura, yang merupakan seorang uskup, kardinal, dan doktor gereja. Santo Bonaventura hidup pada abad ke 13 dan dia telah menyumbangkan banyak pemikiran-pemikiran besar bagi Gereja Katolik. Santo Bonaventura adalah pemimpin Ordo Fransiskan dan dia memberi dukungan kepada kehadiran para Romo Fransiskan di universitas dan mendirikan biara khusus di dalam universitas kota karena menurutnya, belajar merupakan kunci dari sikap apostolik biarawan dan juga membuat mereka dapat berkhotbah dan memberikan pengarahan spiritual kepada masyarakat.
Salah satu pemikiran Santo Bonaventura yang relevan untuk kita semua, khususnya kalian para murid adalah teori tentang perilaku manusia. Santo Bonaventura membedakan antara tiga macam perilaku manusia (human behavior). Pertama adalah perilaku bawaan (Innate Habit atau habitus innatus), yang kita dapatkan secara lahiriah, dan kita mempelajari perilaku ini dari usia yang sangat dini dan sangat mudah untuk dipelajari. Contohnya, seorang anak kecil akan cepat belajar untuk mempertahankan barang miliknya dan jikalau barang tersebut diambil oleh anak yang lain, dia akan berusaha merebut kembali.
Kedua, ada perilaku yang muncul karena kehendak pribadi kita yang bebas (acquired habit – habitus acquistus). Ketika seorang anak sudah tumbuh dewasa, dia pun mempunyai keinginan-keinginan dalam hidup, mulai dari menyantap makanan tertentu, ice cream, chocolate atau pola hidup tertentu, seperti pesta, dansa-dansi dan sebagainya.
Yang terakhir adalah perilaku manusia yang ditanamkan oleh Tuhan (infused habit – habitus infusus), khususnya melalui perantaraan Roh Kudus. Perilaku manusia yang berhubungan dengan iman, harapan, dan kasih adalah perilaku yang ditanamkan oleh Tuhan dan semua perilaku ini ditanamkan Tuhan bersama-sama dengan rahmatNya.
Apa hubungannya tiga model perilaku manusia tersebut dengan kehidupan kita? Sering kali dalam kehidupan ini, kita dikuasai oleh nafsu dan keinginan yang kuat, sehingga kita tidak bisa keluar dari kungkungan hawa nafsu tersebut tanpa bantuan dari rahmat Tuhan. Jikalau tubuh kita yang sakit, terkadang tubuh kita bisa menyembuhkan diri sendiri. Akan tetapi, jikalau kita berdosa, kita tidak bisa menyembuhkan luka dalam jiwa-jiwa kita dengan kekuatan sendiri, karena jiwa kita membutuhkan suntikan dari kasih Tuhan yang menyembuhkan.
Saya pikir teori Santo Bonaventura tentang perilaku manusia masih cukup relevan untuk kehidupan kalian sebagai siswa sekolah di abad ke -21 ini. Ketika saya seusia kalian 30 tahun yang lalu, tantangan dan godaan yang saya hadapi tidaklah sehebat yang kalian alami. Saat ini kalian telah hidup di era digital, yang mana godaan dan tantangan di dunia digital sangat luar biasa, mulai dari pornografi, gossip, ataupun informasi yang tidak benar. Media sosial telah membuat kita menjadi monster karena kita bisa dengan gampang menyerang karakter orang atau bahkan membunuh karakter orang.
Dunia digital juga menawarkan godaan bagi kalian untuk serba instant sehingga banyak anak-anak muda yang tidak bisa tekun belajar lagi. Dunia digital menawarkan informasi yang serba cepat, sehingga kalian cenderung ingin copy and paste, tanpa ada lagi keinginan untuk membaca lebih dalam ataupun melakukan penelitian terhadap sebuah subyek. Pada intinya, dunia digital telah memupuk keinginan kita untuk selalu ambil jalan pintas.
Bagaimana kita mengatasi semua masalah tersebut. Kita tentu bisa berusaha mengurangi ketergantungan kita terhadap internet ataupun media sosial. Kita tentu saja bisa berkeinginan untuk mengubah diri ataupun berikrar untuk melawan semua yang berbau godaan di dunia digital. Akan tetapi kita tidak bisa melepaskan diri dari rasa lekat yang tidak sehat itu dengan kemampuan kita sendiri. Semua rasa lekat itu hanya bisa diatasi dengan doa dan rahmat Tuhan
Di injil hari ini Yesus mengatakan bahwa “Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” Melalui pernyataan ini Yesus ingin mengingatkan kita yang sering mengandalkan kekuatan sendiri, dengan cara meninggikan diri kita sendiri. Tapi kita lupa akan keterbatasan kemampuan kita, sehingga Tuhan pasti akan selalu mengingatkan kita dengan merendahkan kita.
Apakah Yesus berlaku semena-mena dengan merendahkan kita. Yesus tentu tidak bisa disalahkan di sini karena tanpa Yesus berbuat apa-apapun, kita pasti akan direndahkan entah itu karena keterbatasan kemampuan fisik, pikiran, ataupun rohani. Oleh karena itu Yesus mengingatkan kita untuk merendahkan diri dan bergantung kepada rahmat Tuhan sehingga kita akan ditinggikan. Meski demikian bukan berarti kita bersikap pasif atau pasrah saja. Kita tentu harus berusaha sekuat tenaga karena pikiran, dan kemampuan fisik kita juga adalah anugrah Tuhan, akan tetapi kita sadar bahwa pada akhirnya semua usaha kita tidak akan berhasil tanpa rahmat Tuhan.
Hari ini adalah hari pertama kalian memulai tahun ajaran baru. Salah satu pertanyaan yang harusnya hadir di benak kalian semua pada hari pertama sekolah ini adalah, “Apa yang aku cari dalam hari pertama di sekolah?” Saya menduga salah satu jawaban kalian atas pertanyaan itu adalah pertemanan atau friendship.
Kalian semua pasti ingin mencari teman baru atau merajut hubungan pertemanan selama bersekolah. Akan tetapi hubungan pertemanan adalah hubungan yang cukup rumit. Sebagai seorang romo dan juga orang yang telah hidup lebih lama, saya ingin berpesan kepada kalian untuk mencari teman yang ingin berbuat terbaik buat diri kalian masing masing. Carilah teman-teman yang ingin membantu kamu tumbuh berkembang dan menjadi orang yang lebih baik. Tentu saja kalian bebas untuk memilih berteman ataupun bergabung dengan teman-teman yang pecundang. Jikalau itu pilihan kalian, ingatlah bahwa kalian juga harus siap menanggung konsekuensinya bahwa suatu hari nanti para pecundang tersebut akan menggiring kalian atau membawa kalian ke dalam jurang kejatuhan.
Yang lebih penting adalah carilah teman-teman yang bisa membantu kalian menjadi orang kudus, ataupun kalian juga bisa menjadi orang kudus buat teman-teman kalian. Hal ini mungkin terkesan sangat berat untuk dijalani oleh anak-anak SMP ataupun SMA. Akan tetapi, saya pikir hal ini bukan tidak mungkin dilakukan oleh kalian semua. Tiga puluh tahun yang lalu, saya mempunyai pengalaman dengan seorang teman yang menjadi orang kudus buat saya.
Ketika duduk di bangku SMA dulu, saya sering berbuat onar dengan cara saya sendiri. Suatu hari seorang teman perempuan saya yang kebetulan nama baptisnya adalah Katarina dari Siena minta waktu berbicara dengan saya. Santa Katarina dari Siena terkenal sebagai seorang Santa yang berani menghadap Paus dan meminta Paus untuk bertobat dan kembali ke Roma dari pelariannya di Avignon. Jadi bukan sebuah kebetulan teman saya ini juga mewarisi karisma yang sama dari Santa pelindungnya. Singkat cerita kita duduk bersama dan teman ini berkata kepada saya, “Hendri, saya tahu mengapa kamu sering membuat ulah di sekolah, jawabannya adalah karena kamu bukan murid yang berprestasi.” Terus terang saja ketika itu saya marah dan sekaligus terhina juga oleh ucapan teman saya tadi. Tapi kata-katanya justru mencambuk untuk menunjukkan saya bisa berprestasi dan melakukan introspeksi diri. Teman tersebut berani mengingatkan saya dan menjalankan peran sebagai orang Kudus karena dia ingin saya menjadi orang yang lebih baik. Oleh karena itu carilah teman yang seperti itu ataupun kalian bisa bersikap seperti teman saya tersebut.
Akhir kata, saya mengucapkan selamat menempuh tahun ajaran baru buat kalian semua. Marilah kita saling mendoakan agar kita semua bisa menjadi orang kudus buat sesama kita. Panggilan untuk menjadi orang kudus bukanlah suatu hal maksimal yang harus kita capai melainkan hal itu adalah hal minimal yang harus kita capai sebagai pengikut Kristus. Tuhan memberkati kalian semua.
Refleksi Singkat Satu Tahun Tahbisan Imamat (bagian 2)
Daripada memberi label atau cap kepada seseorang berdasarkan asal-usulnya, akan lebih baik kalau kita melihat relasi orang tersebut dengan Kristus.
Oleh S. Hendrianto, SJ
Salah satu persoalan yang menurut saya menjadi masalah dalam kehidupan ber-gereja ataupun bermasyarakat adalah kita sering menilai seseorang berdasarkan asal-usulnya, khususnya dari mana orang itu berasal. Saya adalah orang yang tidak suka untuk menonjolkan dari mana saya berasal. Meskipun saya tidak pernah mengingkari sejarah kehidupan saya, banyak hal yang membuat saya tidak suka menunjukkan tempat dari mana saya “berasal.” Pertama, banyak orang yang memiliki persepsi tertentu tentang dari mana seseorang berasal dan mereka bisa dengan cepat memberi label terhadap seseorang hanya berdasarkan asal usulnya. Tempat kelahiran saya adalah sebuah pulau kecil yang dulu di kenal sebagai tempat pembuangan selama masa penjajahan Belanda. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pernah diasingkan di tempat kelahiran saya. Kemudian pada suatu masa, tempat tersebut juga dikenal sebagai sarang kejahatan, dan akibatnya orang pun cepat memberi label bahwa saya berasal dari tempat yang penuh dengan perompak, penyamun dan penjudi.
Dalam waktu satu dekade terakhir, ada seorang politisi kontroversial yang muncul di panggung politik Indonesia dan politisi kontroversial ini berasal dari pulau yang lokasinya terletak di sebelah tempat kelahiran saya. Celakanya banyak orang yang tidak tahu geografi dan langsung dengan gampang berkesimpulan bahwa politisi kontroversial ini berasal dari tempat yang sama dengan saya. Sering kali ketika saya menyebut dari mana saya berasal, orang pun langsung meng-identifikasikan saya sebagai pendukung sang politisi kontroversial tersebut. Fakta sesungguhnya, saya bukan pendukung politisi tersebut ataupun penggemar dia dan yang lebih jelas lagi dia berasal dari tempat yang berbeda dengan tempat kelahiran saya.
Ada peristiwa menarik lagi sehubungan dengan tempat kelahiran saya yang terkenal dengan babi panggangnya. Tidak lama setelah saya ditahbiskan, seorang umat Warga Katolik Indonesia di California Utara (WKICU) menghubungi saya malam-malam. Katanya dia hendak bertanya tentang suatu hal penting; saya pikir orang ini mungkin ingin bertanya tentang masalah teologi ataupun masalah pribadi. Alih-alih bertanya tentang soal teologi ataupun masalah pribadi, orang ini justru bertanya tentang resep babi panggang dari tempat kelahiran saya. Faktanya saya adalah seorang vegetarian, akan tetapi orang ini langsung berkesimpulan bahwa karena saya berasal dari tempat tersebut, otomatis saya adalah penggemar babi panggang. Terus terang saja, saya tidak habis pikir mengapa orang ini ingin menghabiskan waktu untuk bertanya soal resep babi panggang kepada seorang Romo muda.
Jikalau kita menyimak cerita di Kitab Suci, kita juga tahu bahwa penyakit orang yang suka memberi cap atas asal usul seseorang adalah penyakit yang sifatnya universal. Nathanael atau Bartolomeus adalah salah satu contoh orang yang suka memberi cap atas asal usul seseorang. Di Injil Yohannes kita tahu bahwa Filipus bertemu dengan Nathanael dan berkata kepadanya: "Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret (Yohannes 1:45). Nathanael seperti orang kebanyakan pun menjawab: "Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?" Jawaban Natahaniel ini menunjukkan bahwa hati manusia 2000 tahun yang lalu sama juga dengan hati manusia abad 21, dimana orang sering menilai orang dari mana dia berasal. Kalau mau ditelesuri sebenarnya identitas Yesus tidak bisa semata-mata disebut sebagai orang Nazareth. Pertama, Yesus lahir di Betlehem (Mattius 2:1 dan Lukas 2:4) dan kemudian Yesus juga besar di Mesir (Mattius 2:14-15). Yang lebih penting lagi adalah Yesus berasal dari Surga.
Nathanael sendiri baru bisa meninggalkan pola pikir sesatnya setelah dia bertemu Yesus secara langsung. Ketika bertemu Yesus, hati Nathaniel pun tergerak dan dia mengerti tentang identitas Yesus yang sesungguhnya. Dia pun memberikan pengakuan iman, “Rabi, Engkau Anak Allah, Engkau Raja orang Israel!" Dalam statemen ini, Nathanael menunjukkan dua indentitas Yesus: pertama, dia mengakui bahwa Yesus sejatinya berasal dari surga karena Yesus mempunyai hubungan spesial dengan Bapa di Surga karena Yesus adalah Putra Allah. Kedua, Yesus bukan hanya seorang tukang kayu dari Nazareth. Meskipun Yesus menghabiskan sebagian hidupnya di Nazareth, identitas dia bukanlah semata-mata orang Nazareth, melainkan Yesus adalah Messias yang telah lama dinantikan oleh orang Israel.
Menurut saya, dalam kehidupan bermasyarakat dan ber-gereja, sudah bukan saatnya lagi kita meng-identifikasi identitas seseorang berdasarkan asal – usul atau dari mana dia berasal. Daripada memberi label atau cap kepada seseorang berdasarkan asal-usulnya, akan lebih baik kalau kita melihat relasi orang tersebut dengan Kristus. Mungkin banyak dari kita yang berpikir seperti Nathanael, dan mungkin sudah saatnya bagi kita untuk meninggalkan pola pikir seperti itu dan mulai mengenal seseorang berdasarkan nilai-nilai kehidupan yang dia pegang, kebijaksanaan atau pandangan hidup, dibanding sekedar mengenal dia berdasarkan asal-usulnya.
Setelah saya ditahbiskan menjadi Romo pada tahun 2019, saya sempat kembali ke tempat saya dibesarkan dan mengadakan misa syukur di Gereja tempat saya dibaptis. Terus terang saja ketika perasaan saya bercampur aduk, pertama karena saya tidak tahu reaksi orang-orang di paroki tempat asal saya itu bersikap terhadap saya. Kedua, saya juga tidak tahu reaksi orang tua saya yang selama ini menentang keputusan saya untuk menjadi Romo. Ketiga, saya sendiri masih terus bergelut dengan persoalan identitas karena saya tidak ingin semata- mata identitas saya ditentukan berdasarkan tempat saya berasal.
Penyair Inggris Hilaire Belloc pernah menulis “…setiap kali aku mengingat masa kecil ku dan setiap kali aku merasa senang pulang ke rumah. Tapi aku tidak pernah menemukan kebahagiaan terakhir” (each time I have remembered my boyhood and each time I have been glad to come home. But I never found it to be a final gladness). Saya pikir tulisan dari Belloc tersebut bisa melukiskan perasaan saya ketika mempersembahkan misa syukur di Gereja Santo Petrus, di Keuskupan Pangkalpinang. Bahwa saya bisa mengingat masa kecil dan merasa pulang ke rumah, akan tetapi saya tidak menemukan kebahagiaan terakhir.
Untuk lebih menjelaskan suasana hati ketika itu, saya lampirkan teks homili ketika mengadakan misa syukur di Gereja tempat saya dibaptis. Silahkan membaca lampiran teks di bawah ini.
Homili pada misa syukur Romo Stefanus Hendrianto, SJ pada tanggal 14 Juli, 2019 di Gereja Santo Petrus, Keuskupan Pangkalpinang.
Saudara – saudari yang terkasih dalam Kristus, mungkin saat ini banyak pertanyaan di pikiran saudara-saudari tentang saya sebagai Romo yang memimpin misa pada hari ini. Pertama, saya menduga banyak yang bertanya, “bukankah dia adalah anak seorang buruh tambang, bukankah ibunya adalah seorang tukang jahit, bagaimana dia menjadi seorang Romo dan berkhotbah di depan kita.” Saya menduga hal ini pasti terjadi karena sama halnya dengan Yesus yang pulang ke kampung halamannya dan orang-orang pun bertanya "Dari mana diperoleh-Nya hikmat itu dan kuasa untuk mengadakan mujizat-mujizat itu? Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria?”
Kedua, saya juga menduga bahwa banyak yang berkesimpulan atau juga sudah bergosip bahwa saya menjadi seorang Romo karena saya patah hati setelah diputuskan dan dicampakkan oleh mantan tunangan saya. Perlu saya tegaskan pada hari ini di hadapan kalian semua bahwa cerita itu TIDAK BETUL dan SALAH BESAR. Betul bahwa saya pernah berpacaran selama 7 tahun dengan seorang perempuan dan bahkan kita sudah bertunangan dan berencana untuk menikah. Akan tetapi saya lah yang memutuskan membatalkan rencana perkawinan kami. Adapun alasannya karena saya tahu bahwa dalam lubuk hati saya yang paling dalam, ketika itu saya belum siap untuk berkomitmen dan lebih tepatnya saya tidak siap untuk menjadi seorang suami dan ayah.
Pertanyaan berikutnya mungkin adalah mengapa saya ingin menjadi Romo kalau bukan karena patah hati. Penjelasannya cukup panjang dan saya tidak bisa menceritakan semuanya dalam homily saya pada hari ini. Tapi izinkan saya menceritakan salah satu alasan saja yaitu karena doa ibu saya. Singkat cerita ketika duduk di bangku kuliah, saya meninggalkan Gereja karena saya mendapati bahwa Gereja Katolik di Indonesia cukup apatis terhadap masalah sosial dan politik, seakan-akan Gereja tidak peduli terhadap segala bentuk penindasan dan ketidakadilan di Indonesia ketika itu. Dan saya terus berada di luar Gereja setelah lulus kuliah. Pada masa-masa itu, ibu saya rajin berdoa setiap pagi dan memohon kepada Bunda Maria agar Bunda Maria menunjukkan jalan dan menghantarkan saya ke jalan yang benar. Dan akhirnya doa ibu saya terkabul karena Bunda Maria memang menunjukkan jalan yang benar kepada saya untuk masuk Novisiat Serikat Yesus dan menjadi seorang Romo. Jadi ketika ibu saya menentang keputusan saya untuk menjadi seorang Romo, jawaban saya kepada beliau adalah, “Salah sendiri mengapa kamu meminta kepada Bunda Maria menunjukkan jalan yang benar kepada saya. Jadi hati-hatilah terhadap doa yang kamu minta kepada Bunda Maria.”
Terlepas dari segala macam pendapat, gosip ataupun spekulasi apapun terhadap keputusan saya menjadi seorang Romo, saya bersyukur karena hari ini bisa merayakan misa syukur di Gereja tempat saya di baptis. Meski saya harus mengakui bahwa Gereja yang baru dan megah ini terasa asing buat saya. Saya dibaptis di Gedung gereja yang lama, jadi memori saya masih melekat di Gereja tua. Berbicara tentang Gereja baru ini, saya tahu bahwa banyak pihak yang menyumbang untuk pembangunan Gereja ini dan kemudian nama para penyumbang itu pun disebut dalam peresmian gereja baru. Ketika itu Tante saya, Ibu Iswadhani yang kalian kenal, merasa malu besar karena keluarga kita tidak mampu menyumbang sehingga tidak disebut dalam daftar penyumbang. Seharusnya dia tidak perlu malu karena keluarganya sudah memberi sumbangan yang jauh lebih besar dari sekedar uang ke Gereja. Keponakannya sudah menjadi seorang Romo, jadi itu merupakan sumbangan yang lebih besar daripada sumbangan semen dan batu bata untuk pembangunan gereja.
Cerita tentang Ibu dan Tante saya ini menunjukkan bahwa kita harus memikul tanggung jawab atas segala doa dan perbuatan kita. Panggilan hidup Kristiani itu sebenarnya adalah panggilan bagi kita untuk bertanggung jawab dan memikul beban. Kalau kita ingat cerita Abraham yang disuruh oleh Tuhan pindah, dan setelah Abraham memutuskan pindah, Tuhan pun pergi dan meninggalkan dia, sehingga dia harus menjalani kehidupan barunya sendiri. Kisah Bunda Maria juga menunjukkan pola yang sama, setelah Malaikat Gabriel memberitahu kan berita gembira, sang Malaikat pun langsung pergi dan meninggalkan Maria sendirian menanggung segala beban dan penderitaanya dalam mengandung Yesus. Sama halnya, Yesus juga memberikan contoh yang sama dalam kehidupannya bahwa kita harus memikul beban dan tanggung jawab. Yesus tidak menyalahkan siapapun ketika dia ditangkap dan kemudian disalibkan. Yesus menanggung segala penderitaannya dan menunjukkan contoh kepada kita untuk memikul salib masing-masing.
Cerita dalam Injil hari ini tentang orang Samaria juga mengangkat tentang tema tanggung jawab. Orang Samaria itu merasa dia mempunyai tanggung jawab untuk membantu orang Yahudi yang dirampok. Seperti kita ketahui, dimata orang Yahudi, orang Samaria adalah warga kelas dua atau orang buangan, atau paling tidak orang asing. Akan tetapi orang Samaria ini tidak cari-cari alasan untuk menghindar dari orang Yahudi. Bahkan dia merasa tanggung jawab nya tidak hanya sekedar menolong, tapi juga membantu lebih jauh dengan membayar penginapan dan pengobatan orang Yahudi yang telah dirampok.
Mungkin kita semua terpanggil untuk menjadi orang Samaria dan ingin membantu sesama. Akan tetapi hari ini saya ingin mengundang saudara-saudari sekalian untuk melihat cerita ini dari perspektif yang sedikit berbeda. Tentu saja tidak ada salahnya kalau kita ingin menjadi seperti orang Samaria yang membantu sesama, terutama musuh kita yang sedang menderita dan perlu pertolongan. Akan tetapi kalau kita mau jujur pada diri kita sendiri, kebanyakan dari kita bukanlah pahlawan seperti orang Samaria. Sering kali kita berpaling muka dan meninggalkan musuh, orang yang tidak kita sukai ataupun orang-orang yang membenci kita.
Hari ini saya ingin mengajak saudara-saudari untuk melihat cerita ini dari perspektif si pemilik penginapan. Saya pikir karakter pemilik penginapan adalah sosok yang lebih realistik untuk kita teladani. Pertama, kalau kita berada dalam posisi si pemilik penginapan, bisa dipastikan kita akan kesal dan marah melihat ada tamu kita membawa korban perampokan yang terluka di penginapan kita, dan bukannya dia membawa orang itu ke rumah sakit atau ruang gawat darurat. Kemudian cerita berlanjut bahwa si orang Samaria pergi dan sebelum pergi dia meminta si pemilik penginapan untuk merawat si orang Yahudi. Orang Samaria memberi biaya kepada si pemilik penginapan untuk merawat orang Yahudi dan berkata bahwa kalau ada kekurangan nanti akan dia ganti setelah dia kembali.
Pertanyaannya adalah bagaimana kita akan bereaksi kalau kita berada dalam posisi sebagai pemilik penginapan. Apakah kita akan ambil uangnya dan kemudian mengusir si orang Yahudi itu. Apakah kita percaya bahwa orang Samaria itu benar-benar akan kembali dan mengganti segala biaya? Bagaimana kalau sekiranya si orang Samaria tidak pernah kembali, apakah kita akan terus merawat si orang Yahudi yang terluka. Saya pikir kita masing-masing bisa mengisi akhir cerita itu dengan berpikir bagaimana Yesus akan bersikap atau berbuat atau apa yang Yesus ingin kita lakukan dalam situasi tersebut.
Menjadi pengikut Yesus adalah berarti kita semua harus siap sedia untuk memikul tanggung jawab dan panggilan ini berlaku bagi semua orang Kristiani. Sama halnya menjadi seorang Romo juga berarti memikul tanggung jawab, seperti Yesus yang memikul kayu salib. Jadi untuk itu saya minta tolong kepada kalian semua untuk mendoakan saya supaya saya bisa menjadi seorang Romo yang rendah hati dan bisa memikul salib seperti Yesus.
Refleksi Singkat Satu Tahun Tahbisan Imamat
"Tidak ada Imam yang perlu takut bahwa dalam melakukan devosi kepada Bunda Maria, dia akan mengabaikan Putranya. Pertama-tama, Bunda Maria tidak pernah menyimpan apa pun untuk Dirinya sendiri, semua yang kita berikan kepada Bunda Maria segera diberikan kepada Putranya. Dia adalah perantara (mediatrix) yang sempurna. Dia hanya campur tangan untuk menyatukan kita lebih dekat – dan Bunda Maria hanya menerima untuk memberi lebih sempurna "
Oleh S. Hendrianto, SJ
Pada tanggal 8 Juni 2020, saya merayakan ulang tahun pertama tahbisan Imamat. Satu tahun memang merupakan waktu yang singkat, akan tetapi banyak kejadian dalam satu tahun terakhir yang membuat saya merenungkan lebih dalam perjalanan singkat saya sebagai seorang Imam. Delapan bulan setelah ditahbiskan sebagai Imam, pandemi Corona menghantam seluruh dunia dan khususnya kehidupan Gereja Katolik. Gereja ditutup dan konsekuensinya Perayaan Misa dan Ekaristi Kudus dibatalkan. Karena gereja telah ditutup, maka sebagai Imam saya juga tidak dapat memberikan pelayanan sakramen yang lain, mulai dari Sakramen Pengakuan Dosa sampai Perkawinan. Pada musim panas ini seharusnya saya mendapat kesempatan pertama untuk melayani Sakramen Perkawinan seorang teman, akan tetapi kesempatan itu telah musnah karena pandemi Corona. Saya pun bertanya apakah masih ada harapan? Dimana kah saya bisa menemukan inspirasi untuk perjalanan Imamat saya yang masih muda?
Dalam perenungan dan doa, Roh Kudus mengingatkan bahwa paling tidak saya dapat menemukan inspirasi dari dua sumber. Inspirasi pertama adalah dari Devosi terhadap Hati Yesus Yang Maha Kudus. Devosi kepada Hati Kudus Yesus telah hadir di antara para Imam Jesuit yang dimulai dengan para pendiri Serikat Yesus: Santo Ignatius dari Loyola, Santo Francis Xavier, Santo Peter Faber, dan dilanjutkan oleh para Imam Jesuit generasi pertama seperti Santo Peter Canisius dan Santo Francis Borgia. Serikat Yesus, yang didirikan oleh Santo Ignatius dari Loyola, mengangkat devosi Hati Yesus Yang Maha Kudus sebagai sumber penguatan bagi para Imam Jesuit dalam menghadapi banyak cobaan di masa-masa awal Serikat. Devosi awal kepada Hati Yesus Yang Maha Kudus oleh Serikat Yesus berfokus pada devosi kepada hati heroik Kristus. Para pendiri Serikat Yesus hidup pada masa ketika mereka dipanggil untuk menjadi pahlawan membela Gereja dari gempuran agama lain dan bekerja untuk kemuliaan Allah yang lebih besar. Devosi kepada Hati Yesus Yang Maha Kudus baru mulai dikenal luas oleh Gereja ketika devosi ini dipromosikan oleh Imam Yesuit Santo Claude de la Colombiere, yang merupakan bapa pengakuan untuk Santa Margaret Marie Alacoque (1647-1690). Santa Margaret Marie Alacoque adalah seorang biarawati dari Perancis yang kepadanya Kristus menampakkan diri pada tahun 1673 hingga 1675 dan memberikan pesan bahwa hati kemanusiaan Yesus akan menjadi tanda cinta ke-Ilahian-Nya.
Ketika saya hendak memasuki Novisiat Serikat Yesus pada tahun 2009, Paus Benediktus XVI memproklamirkan tahun 2009 sebagai tahun para imam. Paus Benediktus XVI menyoroti beberapa aspek penting dari pelayanan imamat dengan merujuk pada contoh dan pengajaran Santo Yohanes Vianney, yang dikenal sebagai Santo pelindung semua imam. Paus Emeritus menulis, “Hari raya Hati Yesus Yang Maha Kudus adalah hari khusus untuk berdoa bagi pengudusan para imam. Yesus berkata, ‘tinggallah di dalam kasih-Ku’ (Yoh 15:9), meskipun undangan ini ditujukan kepada semua orang yang dibaptis, pada hari ini undangan tersebut berlaku khusus bagi para imam. Doa untuk pengudusan para Imam ini dilakukan dengan acara khusus malam ini, melalui pembukaan “Tahun Imam” yang telah saya canangkan sebagai peringatan 150 tahun wafatnya Santa Yohanes dari Vianney. Yang langsung muncul di benak saya saat ini adalah perkataan Santo Yohanes dari Vianney yang sangat bagus dan menyentuh hati, dan telah dikutip dalam Katekismus Gereja Katolik bahwa "Imamat adalah cinta Hati Yesus "(Katekismus No. 1589)" [Homili Paus Benediktus XVI pada Pembukaan Tahun Imam, Basilika Santo Petrus, 19 Juni, 2009.
Ketika ditahbiskan sebagai Imam tahun kemarin, saya menerima sejumlah hadiah dari banyak teman. Salah satu hadiah pentahbisan yang saya terima adalah buku berjudul The Priest's Way to God. Salah seorang teman baik saya memberikan buku itu dengan harapan buku itu dapat membantu saya tumbuh dalam kekudusan sebagai seorang imam. Menariknya, salah satu bab dalam buku itu adalah tentang Hati Yesus Yang Maha Kudus. Pengarang buku itu menulis bahwa kehidupan imamat harus selalu dan dalam segala hal diarahkan kepada Kristus. Salah satu cara terbaik untuk membangun persatuan pribadi dengan Kristus adalah melalui devosi kepada Hati Yesus Yang Maha Kudus. "Sifat hubungan pribadi yang Tuhan harapkan dari kita sangat jelas ditunjukkan dalam bentuk devosi kepada Hati Yesus Yang Maha Kudus, sebagaimana dijelaskan dalam tulisan Santa Margaret Mary, dan terutama dijelaskan oleh Paus Pius XI dalam Surat Ensiklik Misserentissimus Deus (1928)." (Boylan, The Priest's Way to God, 210-211)
Setelah ditahbiskan sebagai Imam pada tahun kemarin, saya sempat kembali ke Indonesia dan merayakan Misa Syukur di berbagai tempat di Indonesia. Dalam satu Misa Syukur, seorang teman SMA saya berkata, “Hendri, semoga kamu menjadi seorang Imam yang Kudus, karena Gereja dan Dunia membutuhkan Imam yang Kudus.” Saya adalah seorang pendosa seperti orang lainnya, akan tetapi ucapan teman tersebut mengingatkan saya untuk terus tumbuh dalam kekudusan. Saya pun teringat bahwa salah satu cara untuk bisa bertumbuh dalam kekudusan adalah lebih meningkatkan devosi saya kepada Hati Yesus Yang Maha Kudus.
Sumber inspirasi kedua bagi perjalanan imamat saya adalah Bunda Maria. Sebagai seorang Imam Yesuit, devosi kepada Bunda Maria adalah bagian dari kehidupan spiritual kita. Adapun pendiri Serikat Yesus, Santo Ignatius dari Loyola, memiliki devosi yang kuat kepada Bunda Maria. Bunda Maria memainkan peran penting dalam panggilan dan perjalanan hidup Santo Ignatius. Jauh sebelum dia ditahbiskan menjadi imam atau mendirikan Serikat Yesus, Santa Ignatius telah memiliki hubungan yang mendalam kepada Perawan Maria. Ketika Ignatius terluka pada tahun 1521 oleh bola meriam dalam pertempuran di benteng Pamplona, dia dibawa kembali ke kastil keluarga untuk menjalani proses penyembuhan. Dalam masa penyembuhan itu ia membaca beberapa buku devosi yang menuntunnya untuk mempertimbangkan apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Kristus dan Bunda Maria. Ketika ia merenungkan kehidupan orang-orang kudus, Ignatius seperti merasakan kehausan spiritual yang mendalam. Suatu malam, ketika dia terbaring dan terjaga dari tidur, dia mengalami penglihatan atas Bunda Maria dengan Kanak-Kanak Yesus. Penglihatan ini memberinya rasa damai yang mendalam tetapi juga rasa muak yang luar biasa dengan kehidupan masa lalunya yang penuh dosa. Setelah pertobatannya, Santo Ignatius berdoa dan berjaga (vigil) di Pertapaan Bunda Maria dari Aranzazu dan kemudian Ignatius memutuskan untuk mempersembahkan pedang dan belatinya kepada Bunda Maria di biara Benediktin di Montserrat. Dalam pengalaman rohaninya di Sungai Cardoner, Ignatius melakukan tiga ujud doa. Doa pertama adalah doa khusus untuk syafaat Maria, yang kedua untuk Allah Putra, dan yang ketiga untuk Allah Bapa. Selama ziarahnya yang panjang, ia selalu membuat permohonan terus menerus kepada Bunda Maria agar Bunda “menempatkannya bersama Putranya." Permohonan ini pada akhirnya dikabulkan ketika pada saat Santo Ignatius berdoa di Kapel La Storta "ia merasakan perubahan dalam jiwanya sehingga mendapat penglihatan bahwa Allah Bapa menempatkannya dengan Putranya sedemikian rupa sehingga dia tidak bisa meragukannya lagi." Setelah Serikat Yesus berdiri, di masa-masa awal perjalanannya, Serikat melihat Bunda Maria sebagai “Virginem Dei Matrem, quae Societatis universae patrocinium suscepit universal” (Bunda Allah yang Tak Bernoda yang memberikan perlindungan kepada Serikat Yesus).
Secara pribadi saya juga berani mengatakan bahwa Bunda Maria memainkan peran penting dalam kehidupan pribadi dan perjalanan panggilan saya. Ketika masih duduk di bangku kuliah, saya sempat meninggalkan gereja dan hal itu terus berlanjut sampai selesai kuliah. Selama kurang lebih lima tahun saya meninggalkan Gereja. Bunda Maria lah yang menyelamatkan saya dari ketersesatan. Pada awalnya hanya berdoa kepada Bunda Maria dalam mencari pekerjaan setelah saya kehilangan pekerjaan. Tetapi perlahan-lahan, Bunda Maria membawa saya kepada Putranya. Singkat cerita, saya pindah dari Indonesia dan menetap di Seattle, Washington. Di Seattle, saya mengalami pengalaman iman yang lebih mendalam dan Bunda Maria berperan besar dalam menguatkan iman saya. Pada saat itu, saya mulai terlibat berbagai kegiatan di Universitas Washington Newman Center. Newman Center baru saja menerima sumbangan patung “Our Lady of Lourdes” yang begitu menarik saya untuk masuk ke dalam kehidupan doa yang mendalam melalui devosi kepada Bunda Maria. Perjalanan iman saya di Newman Center pada akhirnya menghantarkan saya pada keputusan masuk Novisiat Serikat Yesus. Selama di Novisiat, saya meneruskan devosi terhadap Bunda Maria, khususnya melalui Latihan Rohani Santo Ignatius. Selesai Novisiat, saya melanjutkan pendidikan filsafat di Universitas Loyola di Chicago. Santa pelindung Kapel di Loyola Chicago adalah Madonna de la Strada (Bunda Maria Penunjuk Jalan), oleh karena itu saya percaya bahwa Bunda Maria berperan penting dalam membantu saya bertahan dalam studi filsafat. Selama Tahun Orientasi Kerasulan di Santa Clara University, Bunda Maria terus menjadi pelindung saya, khususnya ketika harus menghadapi serangkaian hambatan dan rintangan dalam tugas-tugas saya. Kunjungan ke Universitas Notre Dame membuat semakin sadar betapa saya harus bergantung pada bantuan Bunda Terberkati. Bunda Maria juga terus menguatkan ketika saya harus menelan pil pahit dalam masa penugasan sebagai Diakon. Ketika itu saya melayani di Our Lady of Good Voyage shrine (Pertapaan Bunda Maria Penunjuk Jalan di Laut) , tetapi saya harus menghadapi prasangka rasial dari pastor kepala yang akhirnya memecat saya dari gereja tersebut. Secara singkat sang pastor kepala tidak pernah memberi kesempatan kepada saya untuk melakukan pembaptisan ataupun berkhotbah. Kemudian dia memecat saya dengan alasan bahwa umat tidak mengerti khotbah saya. Bagaimana mungkin umat tidak bisa mengerti khotbah saya, sementara saya sendiri tidak pernah diberi kesempatan untuk berkhotbah? Tetapi, Bunda Maria menyelamatkan dan mengantar saya ke paroki yang baru dan akhirnya Bunda Maria menuntun saya kepada Sakramen Imamat.
Pada tahbisan imamat tahun lalu, teman baik saya Kristine memberi tiga set buku yang berbeda. Salah satunya berjudul The Spiritual Life of the Priest; buku itu sudah tidak dicetak lagi (diterbitkan pada tahun 1949), tetapi entah bagaimana Kristine berhasil mendapatkan buku itu. Dalam salah satu bab, pengarang menulis, “Tidak ada Imam yang dapat melakukan tugasnya tanpa Bunda Maria. Dalam kebaikan hatiNya penuh belas kasihan, Bunda Maria sering bekerja sama tanpa menunggu kita untuk berpaling kepada-Nya. Akan tetapi jika kita dengan sengaja mengabaikan Bunda Maria, berarti kita telah mengurangi kekuatan tindakan kita untuk menyelamatkan jiwa-jiwa menjadi minimal dan mungkin juga kita telah menggagalkan sepenuhnya usaha kita." (Boylan, The Spiritual Life of the Priest, 135)
Sejatinya setiap imam harus memiliki devosi kepada Bunda Maria. Pertama, dalam menghormati Bunda Maria, kita telah bekerja sama dengan Kristus yang tinggal di dalam kita. Kedua, dalam mencari perlindungan Bunda Maria, kita telah mempercayakan kehidupan Kristus di dalam diri kita pada pemeliharaan dari Bunda Maria. Jadi dalam karya kerasulan kita, kita berpaling kepada Bunda Maria agar Dia dapat membawa dan memelihara kehidupan Kristus dalam jiwa orang-orang yang ingin kita selamatkan. Di dalam buku, The Spiritual Life of the Priest, pengarang buku menulis lebih jauh, "tidak ada Imam yang perlu takut bahwa dalam melakukan devosi kepada Bunda Maria, dia akan mengabaikan Putranya. Pertama-tama, Bunda Maria tidak pernah menyimpan apa pun untuk Dirinya sendiri, semua yang kita berikan kepada Bunda Maria segera diberikan kepada Putranya. Dia adalah perantara (mediatrix) yang sempurna. Dia hanya campur tangan untuk menyatukan kita lebih dekat – dan Bunda Maria hanya menerima untuk memberi lebih sempurna." ( Boylan, 139)
Setelah merenungkan lebih mendalam perjalanan singkat Imamat saya, jelas tidak ada alternatif lain bagi saya memohon kepada Bunda Maria untuk ditempatkan di samping putraNya seperti pengalaman Santo Ignatius dari Loyola di La Storta. Saya tidak tahu apa yang akan menanti di depan, khususnya dalam kehidupan saya sebagai seorang Imam. Untuk itu saya mohon doa kepada banyak pihak yang membaca tulisan ini untuk mendoakan saya agar selalu bisa memberikan tempat khusus kepada Bunda Maria dalam kehidupan rohani dan dalam setiap aspek karya kerasulan saya.
(Sebagian besar dari isi tulisan ini telah dipublikasikan dalam Bahasa Inggris sebagai bentuk renungan harian (Ignatian Reflections) pada tanggal 19 dan 20 Juni 2020, di blog Magis Spirituality, https://www.magisspirituality.org/ignatian_reflections)
Sebuah Surat dari Romo Muda
Bisakah Kita Lebih Menghargai Sakramen Ekaristi Kudus?
Oleh: S. Hendrianto, SJ
Saya ditahbiskan pada tanggal 8 Juni, 2019 di Portland, Oregon dan setelah tahbisan saya mulai menjalani penugasan di California, khususnya saya ditugaskan untuk melayani Warga Katolik Indonesia di California Utara. Tulisan ini merupakan renungan singkat terhadap perjalanan saya mendampingi warga WKICU selama Sembilan bulan terakhir. Adapun tulisan ini tidak bermaksud untuk membanggakan diri ataupun menonjolkan diri sebagai seorang Romo muda yang serba tahu ataupun merasa benar sendiri. Saya juga menulis tulisan ini bukan untuk menunjukkan bahwa lebih suci dari yang lainnya. Adapun tulisan ini hanyalah untuk menjadi bahan perenungan untuk kita semua. Apa yang saya tuangkan dalam tulisan ini adalah berdasarkan apa yang saya pelajari dari bangku sekolah Teologi dan mungkin realitas di lapangan sangat berbeda.
Pada minggu pertama saya mulai menjalankan tugas mendampingi WKICU, the Pew Research Center mempublikasikan survei yang menunjukkan bahwa 70 % orang Katolik di Amerika Serikat tidak percaya bahwa Yesus benar- benar hadir dalam wujud roti and anggur dalam Ekaristi Kudus. Bagi orang-orang tersebut, roti and anggur yang digunakan dalam Ekaristi Kudus hanyalah simbol semata. Saya mengangkat tema ini dalam khotbah saya yang pertama di St. Justin Church di Santa Clara. Ketika saya menanyakan ini kepada umat, apakah ada yang mendengar, ada yang secara bergurau mengatakan bahwa itu hanyalah fake news. Seingat saya ketika itu hanya lah seorang tante saja yang mengatakan bahwa dia mendengar berita itu. Saya sendiri tidak tahu apakah umat WKICU ikut-ikutan gerbong orang yang tidak percaya atau mungkin mereka cuek saja terhadap survei tersebut atau mereka adalah orang-orang yang benar percaya akan kehadiran Kristus dalam Ekaristi Kudus.
Dalam sembilan bulan terakhir saya pun mulai mengamati pola kerja warga WKICU dalam membantu para Romo mempersiapkan perayaan Ekaristi Kudus. Banyak hal yang membuat saya berpikir bahwa entah mereka sadari atau tidak, ada beberapa praktek yang secara terselubung ikut mendukung tergerus nya kepercayaan orang akan kehadiran Kristus dalam Ekaristi Kudus.
Pertama, saya harus berkali kali mengingatkan kepada sakristan atau pun petugas liturgi untuk mempersiapkan jumlah hosti yang kira-kira sesuai dengan jumlah umat yang datang. Tentu kita tidak bisa persis berapa jumlahnya, tapi paling tidak jumlah hosti tersebut bisa dikira-kira. Pada intinya agar jangan sampai jumlah hosti kekurangan banyak atau berlebihan banyak. Bisa diduga bahwa peringatan saya menimbulkan sejumlah reaksi dari umat. Semisal, ada yang berkata, “Romo yang lain saja tidak masalah, mengapa Romo Hendri menganggap ini ada masalah?” Atau ada yang mengatakan “Kalau kurang kan tidak masalah Romo, kan bisa ambil hosti di Tabernakel.” Dengan nada yang sama, ada juga yang berkata, “Kalau lebih kan tidak masalah Romo, hostinya bisa disimpan di Tabernakel.”
Saya tidak menyalahkan mereka yang berkata seperti itu; saya percaya mereka punya niat baik dan mungkin juga mereka melakukan itu sebagai kebiasaan mereka yang sudah bertahun-tahun. Akan tetapi para umat juga perlu diingatkan akan teologi Ekaristi, ataupun Pedoman Umum Misale Romawi. Bahwasannya Ekaristi itu, secara teologis, adalah kurban suci; Yesus mengorbankan tubuh dan darahnya di kayu salib untuk kita semua, dan sekarang para Romo di atas altar melakukan pengorbanan dengan roti dan anggur, yang mana itu merupakan tubuh dan darah Yesus yang dikurbankan di atas altar. Jadi disini ada kesinambungan antara tradisi di perjanjian lama, yang mana yang dikurbankan adalah domba dan lembu, dan di perjanjian baru, Yesus mengorbankan tubuh dan darahnya di kayu salib dan sekarang kita meneruskan perintah Yesus dengan mengorbankan roti dan anggur yang merupakan tubuh dan darahNya. Jadi kalau yang dikurbankan di atas altar hanyalah satu hosti saja untuk dimakan sendiri oleh Romo, berarti para umat tidak menerima hasil kurban pada hari itu, melainkan mereka hanya menerima hasil kurban kemarin atau beberapa hari yang lalu atau bahkan minggu sebelumnya.
Di samping sebagai kurban kudus, Ekaristi kudus juga mempunyai makna lain, yaitu perjamuan suci. Jadi dalam perjamuan suci ini, makanan rohani yang disajikan adalah roti dan anggur yang merupakan tubuh dan darah Kristus. Oleh karena itu, kalau roti dan anggur yang dipersiapkan cuma satu atau sedikit, berarti hanya Romo atau segelintir orang saja yang menerima makanan rohani yang disajikan dalam pesta perjamuan suci pada hari itu. Sementara yang lain hanya menerima “left over,” karena hosti yang disimpan di Tabernakel adalah makanan rohani yang dipersiapkan dalam pesta satu hari sebelumnya atau pun satu minggu sebelumnya.
Tentu bahwa hosti yang telah diberkati dan disimpan di Tabernakel tersebut adalah tubuh dan darah Kristus, dan kehadiran Yesus tidak hilang karena sudah disimpan disitu. Akan buah Ekaristi yang merupakan kurban suci dan perjamuan suci tidak dinikmati secara langsung oleh para umat yang hadir karena kurban dan makanan tersebut kadang tidak cukup atau hanya dinikmati oleh para Romo saja. Oleh karena itu menurut Pedoman Umum Misale Romawi, “ Sangat dianjurkan, agar umat, sebagaimana diwajibkan untuk imam sendiri, menyambut Tubuh Tuhan dari hosti-hosti yang dikuduskan dalam Misa yang sedang dirayakan. Pada kesempatan-kesempatan tertentu umat hendaknya juga menerima roti dan anggur kudus. Dengan demikian menjadi lebih jelas, bahwa umat berpartisipasi dalam kurban yang sedang dirayakan.”
Selang beberapa lama, ada juga yang menanyakan kepada saya, apakah salah kalau kita menyimpang banyak hosti di dalam Tabernakel. Menyimpan hosti dalam tabernakel tentu bukan hal yang salah, akan tetapi hosti yang disimpan dalam tabernakel tersebut pada prinsipnya disimpan untuk dua hal yang utama: pertama, untuk adorasi Sakramen Maha Kudus, dan yang kedua adalah hosti untuk orang-orang sakit. Yang menjadi masalah adalah hosti sering ditumpuk-tumpuk di dalam Tabernacle sehingga siborium menjadi menggunung dan meluap-luap. Bahkan dalam satu Tabernakel bisa sampai dua tiga buah siborium untuk menampung hosti yang sudah menumpuk.
Tabernakel juga menjadi poin penting yang agak terlupakan dalam kehidupan berjemaat. Ide Tabernakel berasal dari Tabernakel yang dibangun oleh Musa di Kitab Kejadian di Perjanjian Lama. Pada masa Musa, Tabernakel berbentuk kemah empat persegi Panjang, sehingga dikenal dengan istilah Kemah Suci. Tabernakel Musa dibagi dalam dua ruangan, Ruang Kudus dan Ruang Maha Kudus. Di jaman Musa, hanyalah para Imam yang bisa masuk ke dalam Ruangan Kudus dan hanya Imam Agung yang bisa masuk ke dalam Ruangan Maha Kudus. Tentu kita sudah tidak hidup di jaman Musa lagi, akan tetapi konsep tersebut telah diadaptasi ke dalam kehidupan gereja modern, bahwa Tabernakel merupakan tempat yang maha kudus, dan idealnya hanya para Romo atau Deakon yang bisa membuka dan mengambil tubuh Kristus dari dalam Tabernakel.
Dalam pengamatan saya, bukan hanya di misa WKICU, tapi juga banyak misa di Amerika Serikat, banyak orang awam yang dengan gampang membuka Tabernakel dan kemudian mengambil tubuh Kristus dari Tabernakel sebelum komuni didistribusikan dan kemudian mengembalikan siborium tersebut ke Tabernakel setelah komuni selesai dibagikan. Jikalau kita percaya tabernakel adalah tempat Maha Kudus tempat dimana Tuhan Yesus hadir di situ, maka sudah selayaknya bahwa hanya Romo atau Deakon yang bisa membuka dan ataupun menutup serta mengambil siborium dari dalam Tabernakel.
Ketika hal ini saya angkat secara halus ke beberapa orang pengurus WKICU, ada yang berkata kepada saya, “Loh bukan kah para orang awam tersebut sudah ditunjuk sebagai Eucharistic Minister?” Disini kembali terjadi pemahaman yang keliru terhadap fungsi EM, bahwasannya EM itu adalah singkatan dari “Extra Ordinary Minister.” Jadi istilah “eucharistic minister” or sering juga disebut “extraordinary minister of the eucharist” adalah salah dan tidak seharusnya dipakai. Sejatinya, istilah “eucharistic minister” hanyalah diperuntukkan untuk para Uskup dan para Romo, karena hanya merekalah yang minister yang bisa mempersembahkan Sakramen Ekaristi atas nama Tuhan Yesus.
Pedoman Umum Misale Romawi mengatakan bahwa, “Imam-imam lain yang kebetulan hadir dalam perayaan Ekaristi dapat membantu melayani komuni umat. Kalau imam-imam seperti itu tidak ada, padahal jumlah umat yang menyambut besar sekali, imam dapat memanggil “pelayan komuni tak-lazim” (ekstra ordinary minister) untuk membantu, yakni: akolit yang dilantik secara liturgis atau juga anggota jemaat yang sudah dilantik secara liturgis untuk tugas ini. Dalam keadaan darurat, imam dapat menugaskan anggota jemaat yang pantas hanya untuk kesempatan yang bersangkutan.” Dengan demikian idealnya pelayan komuni yang tidak lazim (ekstra ordinary minister – EM) tersebut perlu dilantik secara liturgis dan hanya dibutuhkan dalam keadaan- keadaan tertentu saja.
Segala hal yang saya angkat di atas adalah tataran ideal, tentu saja banyak hal yang membuat umat WKICU mengalami keterbatasan sehingga tidak bisa memenuhi peraturan-peraturan yang ideal tersebut. Akan tetapi, menurut saya sudah sebaiknya jikalau WKICU mencoba untuk memenuhi standard yang telah digariskan oleh Gereja. Hal-hal ini saya angkat dalam tulisan karena saya berpendapat bahwa praktek kita dalam memperlakukan Ekaristi Kudus bisa secara tidak langsung ikut mendukung tergerusnya kepercayaan orang terhadap makna kehadiran Yesus dalam Ekaristi.
Setelah saya melayani WKICU selama delapan bulan, dunia terhantam pandemic virus Corona. Salah satu imbas dari pandemi ini adalah banyak-nya orang Katolik yang tidak bisa menerima komuni karena para Uskup menutup Gereja dan memberhentikan misa publik. Setelah sempat merenung dan berpikir panjang, mungkin ada hikmah yang kita dapatkan dari situasi ini. Sebelum saya masuk ke inti pemikiran, saya perlu meng-klarifikasi terlebih dahulu bahwa saya bersimpati kepada umat awam yang tidak bisa menerima Sakramen Ekaristi Kudus. Orang mungkin akan berkata bahwa saya bisa gampang saja bicara karena sebagai seorang Romo, saya bisa terus mengadakan misa harian secara pribadi dan menerima Sakramen Ekaristi. Akan tetapi masalahnya adalah bukan siapa yang punya privilege atau tidak; yang ingin saya angkat adalah kerinduan akan Ekaristi bisa membantu kita mengapresiasi makna Ekaristi.
Perlu diingat bahwa praktek untuk menerima Sakramen Ekaristi Kudus secara reguler baru dimulai tahun 1905 di bawah kepemimpinan Paus Pius X. Untuk menggalakan umat menerima komuni secara regular dan mengkaitkan kehadiran pada misa dengan penerimaan Ekaristi, Paus Pius XII mengubah kebijakan soal puasa sebelum menerima Komuni. Tahun 1953, Pius XII menetapkan bahwa persyaratan puasa sebelum menerima komuni mulai dari tengah malam sebelum menerima Ekaristi, akan tetapi umat tetap diperbolehkan minum air. Paus Pius XII juga melonggarkan peraturan puasa untuk orang-orang sakit, orang yang sedang dalam perjalanan, orang yang bekerja keras menggunakan tenaga fisik dan para Romo yang memimpin beberapa misa pada hari yang sama. Di tahun 1957, Paus memutuskan untuk mengganti kebijakan puasa dari tengah malam menjadi puasa mulai tiga jam sebelum menerima komuni. Jadi peraturannya adalah puasa tiga jam dari makanan yang solid dan alkohol dan satu jam puasa dari minum air.
Peraturan puasa yang dibuat pada masa tersebut adalah untuk membantu para umat mempersiapkan diri dalam perayaan Ekaristi. Semua peraturan ini dibuat dalam konteks bahwa kita harus benar-benar mempersiapkan hati kita sebelum menerima Tubuh dan darah Kristus. Dalam satu dekade terakhir, kelihatannya para umat tidak mementingkan lagi puasa sebelum menerima perayaan Ekaristi, sehingga menerima perayaan Ekaristi hanyalah kegiatan yang biasa saja.
Suatu hari nanti ketika pandemi virus corona telah berakhir, saya harap para umat, khususnya umat WKICU bisa lebih menghargai Sakramen Ekaristi Kudus. Semoga masa-masa ini bisa kita pergunakan untuk merenungkan tentang makna sesungguhnya dari Sakramen Ekaristi Kudus dan kita bisa benar-benar mempersiapkan diri untuk menyambut Sakramen Ekaristi ketika saatnya tiba.
Sepuluh Perintah Allah - Dari Kitab Suci sampai Tradisi
Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasihKu itu. Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasihKu, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya. (Yoh. 15:9-10).
Oleh RP. Thomas Ferry Suharto, OFM
Bila kita perhatikan dengan seksama dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, ternyata perintah Allah yang mengatur kehidupan moral manusia dituliskan dua kali, pada peristiwa yang berbeda. Pertama tatkala Musa melihat “teofani” kehadiran Allah dalam semak yang menyala, perintah ini disampaikan sendiri oleh Tuhan kepada Musa (Keluaran 20:1-17) Kedua, disampaikan oleh Musa kepada bangsa Israel, tentang apa yang didengar dan diperintahkan Tuhan. (Ulangan 5:6-21)
Keduanya sama tetapi ada kalimat-kalimat tambahan guna menguatkan perintah Tuhan tsb, bandingkan antara Keluaran 20:1-17 (Kel.) dengan Ulangan 5:6-21 (Ul.) sebagai berikut:
1. Jangan ada padamu Allah yang lain (Kel.)
Sebab Aku, Tuhan Allahmu yang membawa engkau keluar dari Mesir adalah Allah yang cemburu (Ul.)
2. Jangan membuat patung berhala
3. Jangan menyebut nama Tuhan, Allahmu dengan sembarangan
4. Ingat dan kuduskanlah hari Sabat (Kel.)
Sebab hambamu laki-laki dan hambamu perempuan, harus beristirahat seperti engkau Sebab demikianlah engkau akan mengenangkan bahwa Tuhan Allahmu membebaskan engkau dari perbudakan. Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan, tetapi pada hari ketujuh Ia beristirahat. (Ul.)
5. Hormatilah ayah dan ibumu
6. Jangan membunuh
7. Jangan berzinah
8. Jangan mencuri
9. Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu
10. Jangan mengingini istri sesamamu (Kel.)
Dan jangan menghasratkan apapun yang dipunyai sesamamu (Ul.)
Peristiwa dekalog (bhs Yunani artinya 10 kata) tidak terpisah dari kisah panjang pembebasan bangsa Israel dari Mesir. Bangsa Israel mengimani sepuluh perintah ini, bukan semata-mata telah dibebaskan dari penjajahan bangsa Mesir, namun juga telah menjadikan bangsa Israel yang merdeka yang memiliki hak-hak asasi manusia dan hanya tunduk dan taat pada Tuhan Allah yang telah memberi peraturan-peraturan yang tidak dimiliki oleh bangsa lain di dunia ini. Kepercayaan bangsa ini terhadap Tuhan demikian besar, keimanan yang seperti ini pada saat itu belum dimiliki bangsa lain di manapun juga.
DARI DEKALOG MENJADI HUKUM KASIH
Kehadiran Yesus bukan meniadakan Hukum Taurat, melainkan melengkapinya. Sepuluh perintah Tuhan oleh Yesus diperdalam dengan Khotbah di bukit (Mat. 5). Selanjutnya diajakNya para pengikut melalui pintu sempit. (Mat. 7:13-14) karena Yesus mengajar para murid-Nya dengan cara yang radikal:
Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikuti Aku. (Luk. 9:23)
Bagaimana menyangkal diri dan mengikuti diri-Nya, telah ditunjukkan secara radikal pula: Menjadi miskin, artinya hidup bersandar seutuhnya pada kehendak Allah, bukan pertama-tama pada kemampuannya, seperti harta, kepandaian dll. Menjadi lapar dan haus, akan keadilan yang bersumber dari Allah, melalui tangan-tangan manusia, demi kepentingan orang lain atau sesama. Menjadi pemurah, karena mementingkan keperluan mereka yang tersingkir, orang sakit, orang asing, tahanan dan orang berdosa. Menjadi suci hatinya, laksana kaca yang mampu ditembus cahaya, dan hati kita diharapkan mampu ditembus cahaya atau Terang Allah. Menjadi rendah hati, setia sabar, mencontoh kerendahan hati Yesus sebagai Anak Allah yang bersedia menjadi manusia miskin dan hina. Membawa kedamaian, membangun tembok (benteng) untuk melawan segala macam kekerasan, membangun jembatan sebagai penghubung pertikaian.
Tuntutan Yesus yang demikian radikal membuat kita harus menyerahkan seluruh hidup kita seutuhnya pada-Nya. Menurut Sabda Bahagia (Mat. 5:1-12), kita kelak akan berbahagia di surga, namun sebenarnya kebahagiaan telah terwujud dalam hidup kita selama kita mampu menempuh jalan tersebut. Untuk melaksanakan perintah Yesus, kita membutuhkan tuntunan atau petunjuk, agar kita mampu bergerak maju menuju yang diajarkan Yesus. Petunjuk telah dinubuatkan oleh Yesaya: Kamu akan Kuberi hati yang baru, roh yang baru dalam batinmu ... sehingga kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang teguh pada peraturan-peraturanKu dan melakukannya (Yes. 36:26-27). Kesulitan, beban berat yang kita hadapi akan sirna, karena kuk yang dikenakan pada kita akan enak dan beban akan ringan. (Mat. 11:28-30). Roh Kudus mampu membuat kita seperti batu-batu hidup untuk membangun cinta kasih Allah. Roh yang sama telah memberi kekuatan pada Santo Fransiskus untuk mengucapkan “Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai”, karena perintah Yesus adalah “cinta kasih” seperti dipesankan-Nya.
Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasihKu itu. Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasihKu, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya. (Yoh. 15:9-10).
Karena kehadiran Yesus Kristus ke dunia bukan untuk menghapus hukum Taurat, melainkan untuk melengkapinya maka Sepuluh Perintah Tuhan pun mengalami penyempurnaan. Tradisi kristiani berusaha merumuskan kembali dengan diilhami oleh iman kristiani, sehingga siap dipakai oleh para pewarta kabar sukacita. Sepuluh perintah Tuhan demikian mudah untuk dimengerti meskipun dari kacamata kaum awam sekalipun. Beginilah bunyinya:
Akulah Tuhan Allahmu:
1. Jangan memuja berhala, berbaktilah kepada-Ku saja dan kasihilah Aku lebih dari segala sesuatu.
2. Jangan menyebut Nama Tuhan, Allahmu, tidak dengan hormat.
3. Kuduskanlah hari Tuhan
4. Hormatilah ibu-bapakmu
5. Jangan membunuh
6. Jangan berbuat cabul
7. Jangan mencuri
8. Jangan bersaksi dusta terhadap sesamamu manusia
9. Jangan ingin berbuat cabul
10. Jangan ingin akan milik sesamamu manusia secara tidak adil
Yesus Sang Cinta Sejati
Yesus, ampunilah aku yang kurang mencintai. Tambahkan cintaMu setiap saat…Amin
Kalau mencermati berita tentang Covid-19 di U.S., ada satu hal yg menarik hatiku yaitu korban yang mati. Tiap hari ada yang mati. Sudah ribuan pasien mati. Dan aku tidak kaget dengan hal itu. Tiap beberapa jam kudengar sirene meraung-raung dari ‘highway’ dekat kamar. Bayanganku: satu jenazah yang masih hangat lewat. Hidup begitu akrab dengan kematian.
Kembali lagi kalau membedah statistik dari korban yang mati maka jelas seperti kristal fakta yang ada. Ras (race) ‘Hispanic, Blacks dan Asian’ mendominasi. Apakah virus itu ‘racist’? Sepengetahuanku tidak. Kecuali aku salah. Tapi dimana nama para Senator, bintang film, pemain NBA, NFL dalam daftar kematian? Mengapa mereka bertahan hidup? Mengapa yang lain mati? Karena mereka ‘super kaya’ yang punya ‘power’ (kuasa). Mereka mungkin sudah mati kalau ‘gembel’, ‘homeless’, ‘worker’ dan lainnya. Dan bagi para penguasa, lebih banyak pasien lebih cepat mati lebih baik. Daripada menghabiskan uang dan tenaga. Dan itu juga bukti kalau mereka kaum lemah (‘weak’). Tidak masuk seleksi "Survival of the Fittest" (hukum rimba). Yang lemah layak musnah. ‘Economy first’.
Apakah para penguasa itu begitu jahat? Tidak juga. Mereka hanya mencoba ‘survive’ dengan melibas yang lemah. Jika tidak, mereka yang tergilas. Itulah bedanya dengan Yesus. Dia begitu berkuasa tapi digunakan untuk merangkul, menyembuhkan dan mencinta tanpa pandang ras, status dan gender. Dia membuka hati dan mencintai orang kaya, penguasa, orang miskin, pendosa, gadis cantik, jelek, janda, emak-emak, pelacur, koruptor, orang kafir, orang asing, bahkan musuhnya. Semua Dia cintai, meskipun Dia tetap dibunuh oleh orang-orang yang Dia cintai.
Tubuh Yesus memang kalah, tapi CINTA nya tidak pernah kalah.
Yesus, ampunilah aku yang kurang mencintai. Tambahkan cinta-Mu setiap saat...Amin.
"ALLAH adalah KASIH" (1 Yoh 4:8)
Romo Paulus Dwintarto, CM
(pasien Covid-19 & pneumonia)
Kamar isolasi
NY April 9, 2020
Pergumulanku dengan Tuhan
Pertanyaanku kepada Tuhan “ Mengapa aku harus mengalami sakit tertular COVID-19?”
Pengalaman sakit, apalagi sakit yang mematikan seperti Covid-19 mau nggak mau membuatku bergumul dengan Tuhan. Pengalaman yg eksistensial. Menyentuh jati diriku. membuatku mempertanyakan dan “menantang" Penciptaku. Tapi jujur saja keyakinanku (semoga bisa menjadi penghayatanku) tentang Tuhan yang adalah kasih membuatku tidak merasa "wow" atau "ekstase" dengan pengalaman "smelling the hell" ini. Aku yakin kalau Tuhan punya rencana. Dan rencana Nya selalu indah meski mungkin perlu kesabaran untuk bisa memaknainya. Pergulatan awalku adalah: "Mengapa harus aku yang sakit, Tuhan. Kenapa bukan orang2 yang sembrono di jalanan, mall, bar atau pusat keramaian lainnya? Kenapa aku? Bukankah aku sudah doa, meditasi, adorasi, ibadat harian, dan ekaristi tiap hari? Bukankah aku telah menyembah dan mengagungkan namaMu? Bukankah aku sudah sering membasuh tanganku selama 20 detik, social distancing, dan tinggal dan bertahan di rumah jauh-jauh hari sebelum lockdown? Bukankah aku sudah hidup sehat dengan makan sayur, buah dan ikan? Bukankah aku sudah olahraga rutin tiap hari selama 1 jam? Mengapa yg sakit bukan anak-anak muda yg mengacaukan anjuran pemerintah? Itulah protesku di awal. Tapi nggak kencang2 amat sih.
Mungkin karena aku bingung dengan diriku sendiri. Karena sakit panas dan badan lemas bisa lebih dari seminggu. Belum pernah kualami sebelumnya. Biasanya 3 hari tidur sudah sembuh. Aku sudah minum obat (=racun) yang berbeda-beda selama 2 minggu. Maka jujur, saat ditest Covid-19 di Urgent Health Centre dan dinyatakan positif aku malah lega. Terima kasih Tuhan. ‘Now, I know it’. Aku masih punya waktu untuk bertempur melawan virus mematikan ini. Dan sudah jelas perawatan yg harus kujalani. Bantu aku Tuhan dalam pertempuran panjang ini! Dan lihatlah Tuhan mengirim bantuan. Anggota komunitas CM, keluarga dan Komunitas Katolik Indonesia di USA sangat ‘supportive’. Berdoa tiada henti. Kirim WA dukungan. Kirim makanan, vitamin dan alat kesehatan. Wow...Tuhan di pihakku. Aku tidak takut! Ya karena saat kritis, saat dimana aku merangkak ke lubang toilet untuk mengeluarkan dahak akibat batuk dan sesak nafas, aku sempat berteriak: “Tuhan kenapa Kau siksa aku! Kalau mau Kau ambil, ambillah. Tapi beri aku kematian yg damai. Kasihanilah aku Tuhan”...sambil merintih kesakitan memegangi dada yang nyeri. Kalau ingat malam-malam itu aku hampir menyerah. Tapi Tuhan mengirim terus dukungan Nya.
Membuatku bertekad: aku bisa!! Kalau Tuhan di pihakku, siapa yg kutakuti! Kini aku melewati masa kritis dan seiring dengan masa pemulihan ini aku sudah melihat titik terang bahwa Tuhan sedang mendidik. Seperti ayahku dulu mendidik, tidak hanya dengan memanjakanku tapi juga menghajarku. Supaya aku kuat dan supaya aku menghargainya. Ya betul kini aku lebih menghargai karya Mu Tuhan terutama melalui orang2 yang dengan tulus mencintaiku, padahal aku tidak berbuat banyak pada mereka. Mereka adalah perwujudan Mu Tuhan. Tuhan yg menghajar tapi tetap merangkul dengan penuh cinta.
Terima kasih atas sakit ini yang membuatku semakin yakin bahwa Engkau adalah KASIH. Membuat segalanya indah pada waktunya.
New York, 17 April 2020
Rm. Paulus Dwintarto, CM
(atas inspirasi Rm. Arm CM)
COVID-19 Survivor
Kisah Perjuangan Romo Paulus Menghadapi Covid-19 di New York
Saudari/i ku kubagikan kilas balik kisahku terkena Covid-19 dan perjuangan mengatasinya. Semoga berguna.
Sabtu 21 Maret, aku demam karena sariawan di lidah. 5 buah. Perih. Terbiasa sakit ini sejak kecil. Sariawan pertanda ‘immune’ sedang lemah. Bisa karena kurang vitamin atau stress. Terus aku konsumsi NyQuil untuk malam. Biar bisa tidur dan disembuhkan oleh tidur. Aku tidur 18-20 jam sehari. Sariawan sembuh setelah 5 hari. Panas turun. Selama itu aku banyak makan bawang putih mentah (untuk ‘immune’) dan air kacang hijau. Resep tradisional yang sudah kujalani bertahun-tahun. Efek samping bawang putih mentah adalah menurunkan tensi. Padahal aku cenderung darah rendah.
Kamis 26 Maret jam 8.42 a.m, aku pingsan saat adorasi. Para Romo dan Frater panik membangunkan aku. Aku ‘passed out’. Dituntun ke dapur, dibuatkan teh manis hangat. Mungkin tekanan darah drop karena bawang putih. Trus sarapan. Seminggu istirahat total dengan minum Mucinex.
Seminggu berikutnya, Jumat 3 April, aku periksa ke ‘Health Center’. Terkonfirmasi positif Covid-19 dan Pneumonia. Gejala batuk berdahak, panas dan sesak. Aku nggak pernah keluar. Darimana datangnya virus ini. Mungkin terbawa salah satu Seminarian (teman asrama) saat belanja atau dari tamu. Atau dari paket barang. Mungkin saja. Aku tidak bisa dan tidak boleh menghakimi tanpa bukti. Karena ‘carrier’ kan tidak selalu orang sakit. Orang sehat atau paket barang bisa membawa virus. Apalagi New York pusatnya Covid-19 di Amerika. Puluhan ribu meninggal. Udara New York sudah tercemar virus ini. Ditambah ‘immune’ ku yang pas lemah. Klop.
Malamnya dibawa ke Rumah Sakit. Opname. Dikasih Oxygen, disuntik tiap pagi, dan 1 butir obat kecil, putih dan pahit (Chloroquine). Setelah 5 hari disuruh pulang karena Rumah Sakit penuh. Diminta ‘self quarantine’ 2 minggu di rumah. Kalau ada darurat disuruh telpon 911.
Virus ini memang mengerikan. Aku hidup sehat dgn doa, tidur, ‘study’ serta olahraga rutin dan makan sehat (salmon, lemon, strawberry, alpokat, segala sayuran dan buah). Aku kuat jalan kaki di Manhattan 5 jam. Basket 2 jam. Lari 1 jam. Eh tumbang juga 😊.
Bagaimana dengan teman serumah (2 Romo dan 7 Frater)? Jujur aku tidak tahu pasti. Kuduga mereka juga terkena. Tetapi karena ketahanan tubuh tiap orang berbeda, mereka tidak perlu test. Kalau separah aku baru bisa test. Antrinya lama karena New York pusat virus.
Saat ini aku membaik. Suhu tubuh normal. Tinggal batuk dan sesak nafas yang bikin kesakitan. Tanda lain adalah doyan makan. Makan sangat penting untuk memperkuat ‘immune’. Selain itu dokter sudah tidak memberi obat lagi. Karena obatnya berbahaya. Mematikan katanya. Saat parah makan 2 - 3 sendok sudah mual. Sekarang lahap. Bisa 6 kali sehari. Sepiring tiap kali makan.
Terima kasih kepada ibu-ibu di New York, Philadelphia, Delaware, Dallas, Atlanta, New Hampshire yang kirim makanan, air, alat kesehatan dan vitamin/supplement. Dan untuk Ika Surabaya yang melakukan ‘healing’.
Selain itu harus kreatif. Aneh-aneh sedikit nggak apa. Nyanyi, nulis, ‘dance’, nonton komedi, film, yoga, berjemur, apapun yang membuat gembira dan sehat. Tidak olahraga berat dulu. Nafas bisa berhenti mendadak. Yang penting hati riang. Meningkatkan kekebalan tubuh. Jaga kesehatan. ‘Social distancing’ penting. Virus menular lewat orang sakit, orang sehat, maupun barang-barang. Tapi hidup sehat dan bergembira adalah penangkal yang jitu karena itu meningkatkan daya tahan tubuh. Benteng terhadap virus apapun.
Salam sehat dan gembira!
Tuhan memberkati! 🙏🤗
Rm. Paulus Dwintarto, CM
New York - USA
Dari Kekagetan Menuju Tindakan: Refleksi Sepenggal Hidup di Yogyakarta dalam Masa Covid
Menciptakan Suatu Cara yang Berguna untuk Berjalan Bersama dan Bertahan dalam Masa Pandemi sekarang.
Oleh: Effendi Kusuma Sunur, SJ
Para Sahabat WKICU,
Setelah Presiden Jokowi mengumumkan adanya orang yang terjangkit virus Covid-19 pada tanggal 2 Maret 2020, dunia saya langsung berubah drastis. Saya masih sempat memimpin misa pemberkatan sebuah klinik di Semarang tanggal 9 Maret 2020, namun setelah itu, Keuskupan Agung Semarang memulai menghentikan misa di gereja-gereja bagi umat dan menggantikannya dengan misa “online” pada tanggal 20 Maret 2020 agar “social distancing” terbentuk dan terjaga. Keputusan itu diperpanjang hingga tanggal 31 Mei 2020 dan kemungkinan besar akan diperpanjang lagi untuk tetap melakukan misa “online”.
Semuanya itu berlangsung cepat dan sebagaimana biasanya, perubahan yang cepat membuat kaget banyak orang. Saya termasuk salah satunya. Semua rencana kerja Pusat pastoral Mahasiswa DIY (PPM DIY), tempat saya hidup dan bekerja, yang disusun akhir tahun 2019 untuk dilaksanakan tahun ini terpaksa dibatalkan atau ditunda. Juga, semua rencana acara saya di kota-kota seperti Jakarta, Semarang dan Solo dibatalkan atas nama keselamatan dan kesehatan banyak orang dan saya. Lebih lanjut, pengajaran tatap muka di kelas-kelas UGM (Universitas Gadjah Mada) juga diubah menjadi kelas “online” dan kelas seminar saya di Seminari Tinggi Kentungan terpaksa dihentikan di tengah jalan. Semuanya seakan berhenti bergerak seketika dan saya pun merasa ikut “macet” bersama dunia. Saya ingin bergerak, namun pembatasan membuat saya merasa senewen (bingung dan hilang akal). Di balik kesenewenan itu, saya sering berkelakar dengan sesama teman Yesuit bahwa “saya di pra-covid adalah pengangguran terselubung sedangkan saya di masa covid ini adalah jelas-jelas pengangguran.”
Di bulan April, saya merasa bahwa saya harus meninggalkan “kekagetan” saya dan mulai mencoba untuk ber-“discernment” apa yang Tuhan ingin saya lakukan. Satu hasil ber-“discernment” yang saya pegang sampai saat ini adalah prinsip moderasi, tak jatuh dalam dua titik ekstrim yang sering saya amati ada dalam hidup banyak orang di masa pandemi ini. Yang pertama, sikap tak peduli yang melihat bahwa ancaman virus ini tak nyata karena tak terlihat. Sikap ini membuat penularan virus covid menjadi lebih mudah dan luas dampaknya. Yang kedua, sikap takut berlebihan sehingga bahkan menjadi murung dan tak bahagia. Lebih dari itu, sikap ini juga tanpa sadar menjadi penebar negativitas dengan mengirim berita apapun di sosial media yang membuat tarikan menjadi pesimis bagi orang yang mengonsumsi berita tersebut. Saya cermati bahwa orang-orang jenis ini biasanya:
[1] tak membaca habis beritanya, dan mungkin hanya judulnya,
[2] tak pernah menelaah secara seksama apa yang dibacanya, dan
[3] tak pernah mengecek kebenaran beritanya dengan mencari sumber lainnya yang dapat dipercaya.
Di bulan April pula, saya, dari hasil proses “discernment,” saya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berguna di masa pandemi ini daripada hanya menunggu berakhirnya masa pandemi ini dan tak melakukan apa-apa. Yang menarik adalah bahwa keputusan “discernment” ini sepertinya langsung ditetapkan dan disetujui oleh Tuhan sendiri dengan membawa alumni Kolese Johanes de Britto (JB), SMA Yesuit yang terkenal di Jogja, untuk mendirikan posko peduli Covid-19 di tempat saya, Pusat Pastoral Mahasiswa Daerah Istimewa Yogyakarta (PPM DIY). Saya melihat peluang untuk menggunakan sarana Gereja ini untuk menjadi kepanjangan tangan Tuhan bagi para medis di daerah pedesaan Jawa dan juga di luar Jawa. Lebih dari itu, beberapa organisasi masyarakat Katolik yang mempunyai Sekretariat Bersama di PPM DIY juga mengadakan gerakan untuk membantu masyarakat terdampak wabah ini. Maka, lengkaplah PPM DIY menjadi satu bagian kecil dari Gereja di Yogyakarta dalam berpartisipasi mengatasi dampak sosial dari wabah Covid-19 ini.
Tentunya masalah ekonomis yang ditimbulkan dari wabah ini juga berdampak terhadap mahasiswa perantauan yang karena beberapa alasan tak dapat kembali ke kampung halaman mereka. Mungkin mereka tak mempunyai dana untuk biaya pulang ke kampung mereka, atau mungkin saja karena pelarangan untuk kembali ke daerah asal oleh pemerintah daerah terkait dengan pencegahan penyebaran wabah. Dalam permenungan, saya melihat pentingnya mengetuk hati orang-orang yang masih bisa bertahan dalam kesesakan masa ini untuk menolong mereka yang paling menderita, dalam hal ini adalah mahasiswa-mahasiswi perantauan. Tentunya mengetuk pintu hati orang-orang yang bermurah hati bukan hanya satu-satunya cara. Langkah berikutnya adalah menciptakan sebuah cara untuk bertahan dalam lingkungan yang mendesak. Ini tentunya harus memperhatikan konteks di mana mahasiswa-mahasiswi berada dan sumber daya yang dimiliki. Ini yang harus dilakukan untuk menjawab situasi ini yang diperkirakan akan mencapai sampai beberapa bulan kemudian di Indonesia. Langkah terakhir ini lebih menantang karena itu berarti ada usaha untuk memanfaat peluang di tengah kesulitan global ini dalam konteks lokal. Sebuah usaha untuk membentuk mekanisme di mana kita berjalan bersama dengan mereka yang paling membutuhkan dan terdampak dalam masa ini.
Para Sahabat,
Refleksi kecil saya ini dikuatkan dengan sabda Yesus, “Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu (Yoh. 14:12).” Saya percaya bahwa apa yang ditanamkan Tuhan dalam batin kita, bila didengarkan dan dilaksanakan, sungguh menghasilkan buah berlimpah. Saya butuh doa-doa Anda sekalian dan saya juga mengingat Anda sekalian dalam doa saya. Tuhan memberkati dan melindungi kita semua.
Trust Jesus In Difficult Times
Percayalah Badai Pasti Berlalu
Dear Friends,
I invite you to consider Matthew 8:23-27.
Christ models for us peace and calm during a tumultuous storm. He called his disciples to trust him and have faith in difficult times. He did not abandon them; instead, trust in Christ transformed the circumstances for the disciples.
In the past month, the depth and challenge of a worldwide pandemic have become very evident to all of us in the human community. As a community of faith, I invite you to act responsibly by following the advice and practices of our medical professionals.
Also, we can help those who are suffering in any way we can through prayer and practice, faith in an all-good, forgiving, and loving God. Although it’s too early in this pandemic to fully understand current and future realities, we must all make changes to how we conduct our activities, and to help one another mitigate the impact of this pandemic.
Most importantly, all of you remain in my daily prayers. We can and will get through this together. Peace and all good,
Br. Henri Djojo, OFM