Kembalinya Sang Romo Rajawali (bagian 2):
Kembalinya Sang Romo Rajawali (bagian 2):
Mencari Kekudusan diantara Surga dan Neraka
Dalam dua tulisan saya yang terdahulu, saya banyak menanggapi tulisan teman lama saya yang berjudul Romo Kodok. Ketika saya menulis tulisan yang pertama tentang Romo Kodok melawan Romo Rajawali, seorang teman lama saya dari SMA memberi tanggapan bahwa ada yang kurang dari tulisan saya yaitu sosok kekudusan seorang Romo. Karena terbatasnya ruang dan juga fokus saya lebih menanggapi argumentasi tentang Romo Kodok, saya belum sempat mengangkat topik kekudusan. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, saya ingin mengangkat makna kekudusan dari seorang Romo.
Jalan Tol Menuju Surga atau Neraka
Dalam beberapa kesempatan saya sering mendengar celetukan bahwa menjadi Romo adalah jalan tol menuju surga. Bahkan beberapa tahun yang lalu, saya mendengar ada seorang anak muda yang dengan lantang mengatakan bahwa dia memutuskan menjadi Romo karena itu adalah jalan yang paling mudah untuk masuk surga. Saya pribadi tidak pernah berpikir bahwa menjadi seorang Romo adalah jalan tol menuju surga. Justru sebaliknya bahwa menjadi seorang Romo akan membuat kita lebih mudah masuk neraka.
Sebagai seorang Romo tentu kita dituntut untuk mempunyai standard yang lebih tinggi dibanding umat biasa. Jikalau kita gagal memenuhi standard tersebut tentunya konsekuensi yang harus kita tanggung adalah lebih berat dari pada umat biasa yang gagal memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang Katolik. Pada intinya ada dua macam pola hidup dalam kehidup Gereja: pertama, pola hidup “sempurna” dan pola hidup yang kurang “sempurna.” Jikalau kita melihat cerita Injil, kita tahu bahwa kedua belas murid dipanggil oleh Yesus untuk menjadi rasul dengan mengikuti Dia dan meninggalkan segalanya. Akan tetapi ada banyak pengikut Yesus pada masa itu, yang tidak dipanggil oleh Yesus menjadi para Rasul, dan tugas mereka hanyalah menyediakan rumah buat Yesus dan murid- muridnya, atau menyediakan makanan dan minimum buat Yesus dan murid-muridnya. Jadi para Romo adalah orang yang dipanggil untuk masuk ke dalam pola hidup yang “sempurna” seperti para Rasul, sementara sebagian besar umat dipanggil untuk menjalani pola hidup yang kurang “sempurna” dalam kapasistas mereka, entah sebagai suami, ayah, anak, istri, ibu, kakek ataupun nenek. Meskipun pola hidup mereka kurang “sempurna” tentu saja mereka tetap mendapat tugas untuk menjalani 10 Perintah Allah dan hukum yang utama, yaitu Mencintai Tuhan Allah dan Sesama Manusia. Sementara untuk para Romo, standard mereka tentu lebih tinggi, bukan hanya dituntut untuk menjalani hukum utama dan 10 perintah Allah, tapi mereka juga harus menjunjung nilai – nilai kebajikan surgawi, jikalau gagal ya berarti alamat seorang Romo masuk neraka akan lebih besar daripada orang awam.
Seorang Romo juga akan lebih gampang masuk ke neraka kalau dia entah sengaja atau tidak menyesatkan umat, entah itu dengan ajaran sesat ataupun perbuatan – perbuatan yang menimbulkan skandal. Sebagai contoh, seorang Romo yang dengan alasan pastoral menyingkirkan ajaran Gereja tentang moralitas dan seksualitas. Seorang Romo seperti ini tentu harus menanggung perbuatan, tindakan dan ucapannya dengan konsekuensi yang lebih berat.
Lupakan dulu hal – hal besar yang berkaitan dengan doktrin, dalam hal kecil saja para Romo dituntut untuk mempunyai standard yang lebih tinggi. Belum lama berselang saya mengalami perlakuan yang kurang menyenangkan dalam perjalanan menggunakan pesawat. Ketika sampai di counter ticket untuk check-in, saya dikabari bahwa tiket pesawat overbooked dan karena saya check in agak telat, sekitar satu setengah jam sebelum pesawat berangkat, maka saya tidak kebagian tempat lagi. Saya langsung marah dan beraksi dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh maskapai penerbangan ini adalah penipuan terhadap konsumen karena mereka menjual tiket diluar kapasitas tempat duduk dan kemudian penumpang seperti saya di korbankan, hanya dengan alasan telat check in, meski saya tiba satu setengah jam sebelum pesawat berangkat. Akhirnya saya pun berkata karena tindakan maskapai ini adalah penipuan, dan mereka bisa digugat oleh konsumen. Sang pegawai maskapai penerbangan itu pun langsung bereaksi dengan mengatakan bahwa, “tidak sepantasnya kata – kata seperti itu keluar dari seorang Romo.” Karena saya memakai pakaian klerus tentu saja mereka tahu saya seorang Romo dan saya pun langsung di hakimi karena mengungkapkan kemarahan saya. Meski demikian, saya pun terhenyak atas kata – kata sang pegawai Maskapai penerbangan itu. Jujur saya mengakui bahwa apa yang dia ucapkan ada benarnya; kata – kata yang keluar dari mulut saya adalah kata – kata seorang lawyer dan bukan seorang Romo. Sebagai seorang Romo saya dituntut untuk selalu rendah hati, terlepas dari perlakuan yang saya terima dari siapapun itu, entah perlakukan semena- mena ataupun tidak manusiawi. Sebagai seorang Romo saya haruslah seperti Yesus yang rendah hati meskipun dituduh sebagai seorang kriminal dan dihina sampai mati di kayu salib.
Kekudusan dari dalam
Tidak mudah untuk mencari ukuran kekudusan bagi seorang Imam, tapi paling tidak ada dua hal dasar yang bisa menjadi patokan. Kedua hal mendasar ini merupakan faktor internal yang berasal dari kehidupan seorang Imam. Ketika saya masih belajar theologi, seorang Imam Jesuit yang menjadi professor saya pernah mengatakan bahwa untuk menjadi seorang Bapa Pengakuan yang baik, seorang Imam juga harus sering mengaku dosa. Pertama jelas bahwa kita para Romo juga adalah para pendosa, dan kedua, dengan sering mengaku dosa kita juga menjadi bisa merasakan rahmat Tuhan dari pengalaman mengaku dosa sehingga kita bisa membantu umat yang mengaku dosa ke kita. Ditambah lagi tentu adalah suatu hal yang munafik kalau seorang Imam sering mendengar pengakuan dosa tapi dia sendiri jarang mengaku dosa. Saya tidak berani mengatakan bahwa saya sudah sampai pada tahap kekudusan seperti yang disampaikan Professor saya, dan saya juga jujur mengakui bahwa saya belum sampat pada tahap mengaku dosa setiap minggu. Tapi saya berusaha mencoba untuk secara regular dan sering mengaku dosa karena saya menyadari saya juga adalah seorang pendosa.
Faktor kedua adalah perayaan Ekaristi oleh para Imam. Pater Theodore Hesburgh, CSC, mantan President University of Notre Dame, di Indiana dalam biografinya menceritakan bahwa dalam hidupnya dia setiap hari selalu merayakan misa baik secara umum bersama orang banyak maupun secara individual. Sampai akhir hayatnya Pater Hesburg tidak pernah absen merayakan misa setiap hari. Jadi beliau bukan duduk atau berpartisipasi secara pasif dalam misa, melaikan setiap hari merayakan misa atau paling tidak konselebrasi. Saya pikir Pater Herseburgh adalah seorang teladan dalam hal ini, terlepas dari segala kekurangan beliau, dia adalah contoh bagaimana seorang Imam menempatkan Ekaristi dalam kehidupan pribadinya. Apa yang dilakukan oleh Pater Hesrburgh adalah suatu hal yang coba saya contoh dan semoga saya bisa seperti beliau bisa merayakan Ekaristi kudus setiap hari sampai akhir hayat saya.
Tentu masih banyak hal lain bisa masuk dalam kategori kekudusan seorang Imam, tapi paling tidak kedua hal diatas, yaitu Sakramen Pengakuan Dosa dan Sakramen Ekaristi adalah dua hal utama yang perlu diperhatikan oleh seorang Imam untuk menuju kekudusan secara internal.
Kekudusan dari luar
Faktor eksternal yang mempengaruhi kekudusan seorang Romo adalah umat sendiri. Umat yang kudus juga akan menghasilkan Imam yang kudus. Seperti yang saya jelaskan sebelummya bahwa ukuran yang dipakai untuk mengukur seorang Romo adalah standard yang lebih tinggi. Setelah seorang Imam meninggal, dan dia harus menghadapi penghakiman terakhir, dia tidak hanya harus bertanggung jawab terhadap jiwa dia sendiri, tapi juga terhadap jiwa – jiwa orang yang dipercayakan kepada nya. Seorang Imam juga harus bertanggung jawab terhadap jiwa – jiwa umatnya. Berdasarkan pola pikir ini kita bisa melihat bahwa seorang Imam yang menyesatkan umatnya, adalah alamat masuk ke neraka. Mungkin ada segelintir Imam yang sengaja menyesatkan umatnya, tapi pengamatan saya ada juga sejumlah Imam yang berpikir bahwa dia ingin memuaskan keinginan umatnya, sehingga membiarkan saja umatnya berbuat seenak perutnya dan pada akhirnya sang Imam tidak sadar bahwa dial ah yang ketiban pulang bertanggung jawab terhadap keselamatan umat yang dia biarkan untuk berbuat apa saja.
Ambil sebagai contoh kewajiban ke Gereja pada Misa Hari Raya Khusus, semisal Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga. Tahun ini Misa Peringatan Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga jatuh pada hari Senin. Umat pun mencari berbagai alasan tidak bisa ke Gereja, dan celakanya Gereja juga menurunkan standard, entah dengan memindahkan itu ke hari Minggu ataupun bahkan memutuskan bahwa hari itu tidak wajib ke Gereja. Tentu pemikirannya adalah tidak ingin membuat umat menjadi repot, jadi Gereja pun mencoba meringankan beban umat. Meski para Uskup dan Imam mempunyai niat baik, tapi hasilnya belum tentu baik, karena umat pun merasa senang - senang saja dibebaskan oleh Gereja dari kewajiban.
Betul pada akhirnya yang mengambil keputusan adalah Para Uskup dan Imam, akan tetapi umat juga punya saham dalam masalah ini. Kalau saja umat Katolik berani bersikap lebih militant dan tidak mencari jalar pintas atau mau gampangnya saja, dan mereka berani berkorban untuk memenuhi kewajiban dalam kehidupan bergereja, tentu hal ini juga berpengaruh pada para Uskup dan Imam yang tidak berusaha meringakan beban umat dengan pikiran agar umat senang.
Ketika saya masih berstatus sebagai Transitional Deacon, saya bertugas di sebuah gereja di Amerika Bagian Timur. Waktu itu sekitar bulan November dan hujan sore – sore menguyur kota dimana saya tinggal. Ketika itu sudah masuk musim gugur dan sudah mulai dingin, meski tidak dingin – dingin amat dan tidak ada badai salju. Ketika itu saya bertugas di misa Sabtu sore jam 5.30. Umat yang datang tidak banyak, dan sejumlah umat menghampiri saya dan berkata, “Homili singkat saja hari ini, yang datang Cuma 5 orang, homili nya 5 menit cukup, kalau satu orang satu menit homili sudah cukup.” Tentu saja mereka setengah bercanda kepada saya, akan tetapi candaan ini juga menunjukkan sikap mereka yang ingin misa cepat selesai dan bisa langsung pergi.
Dari pengalaman singkat saya sebagai seorang Imam, saya sering mendengar komplain dari sejumah umat yang saya layani bahwa mereka, “mengapa kok Romo sering membuat umat susah dengan peraturan ini dan itu.” Tentu akan lebih gampang memberikan dispensasi atau membiarkan umat berjalan sendiri sesuai dengan keinginan mereka, tanpa terikat aturan yang menurut mereka merepotkan atau membuat hidup mereka menjadi susah. Akan tetapi pada akhirnya yang harus bertanggung jawab terhadap keputusan itu adalah saya sendiri sebagai seorang Romo, bukan hanya pertanggung jawaban di dunia, tapi juga pertanggujawaban di akhirat nanti.
Kembali dalam contoh kasus peringatan Hari Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga pada tahun ini, sebagai seorang Imam kita juga kerepotan. Di Amerika Serikat, Konferensi Uskup Amerika Serikat sudah memutuskan bahwa kalau Hari Peringatan tersebut jatuh pada hari Senin atau Sabtu, umat dibebaskan dari kewajiban pergi ke Gereja. Mau tidak mau kita para Imam harus mengumukan itu ke umat. Tapi disisi lain, tentu hal seperti ini menurukan standard kekudusan, baik kepada umat ataupun para Imam sendiri. Para umat mungkin bergembira karena mereka tidak wajib ke Gereja pada hari itu, akan tetapi kami para Imamlah yang nantinya harus mempertanggung jawabkan kegembiraan itu di kehidupan selanjutnya.