Refleksi Singkat Satu Tahun Tahbisan Imamat
Oleh S. Hendrianto, SJ
Pada tanggal 8 Juni 2020, saya merayakan ulang tahun pertama tahbisan Imamat. Satu tahun memang merupakan waktu yang singkat, akan tetapi banyak kejadian dalam satu tahun terakhir yang membuat saya merenungkan lebih dalam perjalanan singkat saya sebagai seorang Imam. Delapan bulan setelah ditahbiskan sebagai Imam, pandemi Corona menghantam seluruh dunia dan khususnya kehidupan Gereja Katolik. Gereja ditutup dan konsekuensinya Perayaan Misa dan Ekaristi Kudus dibatalkan. Karena gereja telah ditutup, maka sebagai Imam saya juga tidak dapat memberikan pelayanan sakramen yang lain, mulai dari Sakramen Pengakuan Dosa sampai Perkawinan. Pada musim panas ini seharusnya saya mendapat kesempatan pertama untuk melayani Sakramen Perkawinan seorang teman, akan tetapi kesempatan itu telah musnah karena pandemi Corona. Saya pun bertanya apakah masih ada harapan? Dimana kah saya bisa menemukan inspirasi untuk perjalanan Imamat saya yang masih muda?
Dalam perenungan dan doa, Roh Kudus mengingatkan bahwa paling tidak saya dapat menemukan inspirasi dari dua sumber. Inspirasi pertama adalah dari Devosi terhadap Hati Yesus Yang Maha Kudus. Devosi kepada Hati Kudus Yesus telah hadir di antara para Imam Jesuit yang dimulai dengan para pendiri Serikat Yesus: Santo Ignatius dari Loyola, Santo Francis Xavier, Santo Peter Faber, dan dilanjutkan oleh para Imam Jesuit generasi pertama seperti Santo Peter Canisius dan Santo Francis Borgia. Serikat Yesus, yang didirikan oleh Santo Ignatius dari Loyola, mengangkat devosi Hati Yesus Yang Maha Kudus sebagai sumber penguatan bagi para Imam Jesuit dalam menghadapi banyak cobaan di masa-masa awal Serikat. Devosi awal kepada Hati Yesus Yang Maha Kudus oleh Serikat Yesus berfokus pada devosi kepada hati heroik Kristus. Para pendiri Serikat Yesus hidup pada masa ketika mereka dipanggil untuk menjadi pahlawan membela Gereja dari gempuran agama lain dan bekerja untuk kemuliaan Allah yang lebih besar. Devosi kepada Hati Yesus Yang Maha Kudus baru mulai dikenal luas oleh Gereja ketika devosi ini dipromosikan oleh Imam Yesuit Santo Claude de la Colombiere, yang merupakan bapa pengakuan untuk Santa Margaret Marie Alacoque (1647-1690). Santa Margaret Marie Alacoque adalah seorang biarawati dari Perancis yang kepadanya Kristus menampakkan diri pada tahun 1673 hingga 1675 dan memberikan pesan bahwa hati kemanusiaan Yesus akan menjadi tanda cinta ke-Ilahian-Nya.
Ketika saya hendak memasuki Novisiat Serikat Yesus pada tahun 2009, Paus Benediktus XVI memproklamirkan tahun 2009 sebagai tahun para imam. Paus Benediktus XVI menyoroti beberapa aspek penting dari pelayanan imamat dengan merujuk pada contoh dan pengajaran Santo Yohanes Vianney, yang dikenal sebagai Santo pelindung semua imam. Paus Emeritus menulis, “Hari raya Hati Yesus Yang Maha Kudus adalah hari khusus untuk berdoa bagi pengudusan para imam. Yesus berkata, ‘tinggallah di dalam kasih-Ku’ (Yoh 15:9), meskipun undangan ini ditujukan kepada semua orang yang dibaptis, pada hari ini undangan tersebut berlaku khusus bagi para imam. Doa untuk pengudusan para Imam ini dilakukan dengan acara khusus malam ini, melalui pembukaan “Tahun Imam” yang telah saya canangkan sebagai peringatan 150 tahun wafatnya Santa Yohanes dari Vianney. Yang langsung muncul di benak saya saat ini adalah perkataan Santo Yohanes dari Vianney yang sangat bagus dan menyentuh hati, dan telah dikutip dalam Katekismus Gereja Katolik bahwa "Imamat adalah cinta Hati Yesus "(Katekismus No. 1589)" [Homili Paus Benediktus XVI pada Pembukaan Tahun Imam, Basilika Santo Petrus, 19 Juni, 2009.
Ketika ditahbiskan sebagai Imam tahun kemarin, saya menerima sejumlah hadiah dari banyak teman. Salah satu hadiah pentahbisan yang saya terima adalah buku berjudul The Priest's Way to God. Salah seorang teman baik saya memberikan buku itu dengan harapan buku itu dapat membantu saya tumbuh dalam kekudusan sebagai seorang imam. Menariknya, salah satu bab dalam buku itu adalah tentang Hati Yesus Yang Maha Kudus. Pengarang buku itu menulis bahwa kehidupan imamat harus selalu dan dalam segala hal diarahkan kepada Kristus. Salah satu cara terbaik untuk membangun persatuan pribadi dengan Kristus adalah melalui devosi kepada Hati Yesus Yang Maha Kudus. "Sifat hubungan pribadi yang Tuhan harapkan dari kita sangat jelas ditunjukkan dalam bentuk devosi kepada Hati Yesus Yang Maha Kudus, sebagaimana dijelaskan dalam tulisan Santa Margaret Mary, dan terutama dijelaskan oleh Paus Pius XI dalam Surat Ensiklik Misserentissimus Deus (1928)." (Boylan, The Priest's Way to God, 210-211)
Setelah ditahbiskan sebagai Imam pada tahun kemarin, saya sempat kembali ke Indonesia dan merayakan Misa Syukur di berbagai tempat di Indonesia. Dalam satu Misa Syukur, seorang teman SMA saya berkata, “Hendri, semoga kamu menjadi seorang Imam yang Kudus, karena Gereja dan Dunia membutuhkan Imam yang Kudus.” Saya adalah seorang pendosa seperti orang lainnya, akan tetapi ucapan teman tersebut mengingatkan saya untuk terus tumbuh dalam kekudusan. Saya pun teringat bahwa salah satu cara untuk bisa bertumbuh dalam kekudusan adalah lebih meningkatkan devosi saya kepada Hati Yesus Yang Maha Kudus.
Sumber inspirasi kedua bagi perjalanan imamat saya adalah Bunda Maria. Sebagai seorang Imam Yesuit, devosi kepada Bunda Maria adalah bagian dari kehidupan spiritual kita. Adapun pendiri Serikat Yesus, Santo Ignatius dari Loyola, memiliki devosi yang kuat kepada Bunda Maria. Bunda Maria memainkan peran penting dalam panggilan dan perjalanan hidup Santo Ignatius. Jauh sebelum dia ditahbiskan menjadi imam atau mendirikan Serikat Yesus, Santa Ignatius telah memiliki hubungan yang mendalam kepada Perawan Maria. Ketika Ignatius terluka pada tahun 1521 oleh bola meriam dalam pertempuran di benteng Pamplona, dia dibawa kembali ke kastil keluarga untuk menjalani proses penyembuhan. Dalam masa penyembuhan itu ia membaca beberapa buku devosi yang menuntunnya untuk mempertimbangkan apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Kristus dan Bunda Maria. Ketika ia merenungkan kehidupan orang-orang kudus, Ignatius seperti merasakan kehausan spiritual yang mendalam. Suatu malam, ketika dia terbaring dan terjaga dari tidur, dia mengalami penglihatan atas Bunda Maria dengan Kanak-Kanak Yesus. Penglihatan ini memberinya rasa damai yang mendalam tetapi juga rasa muak yang luar biasa dengan kehidupan masa lalunya yang penuh dosa. Setelah pertobatannya, Santo Ignatius berdoa dan berjaga (vigil) di Pertapaan Bunda Maria dari Aranzazu dan kemudian Ignatius memutuskan untuk mempersembahkan pedang dan belatinya kepada Bunda Maria di biara Benediktin di Montserrat. Dalam pengalaman rohaninya di Sungai Cardoner, Ignatius melakukan tiga ujud doa. Doa pertama adalah doa khusus untuk syafaat Maria, yang kedua untuk Allah Putra, dan yang ketiga untuk Allah Bapa. Selama ziarahnya yang panjang, ia selalu membuat permohonan terus menerus kepada Bunda Maria agar Bunda “menempatkannya bersama Putranya." Permohonan ini pada akhirnya dikabulkan ketika pada saat Santo Ignatius berdoa di Kapel La Storta "ia merasakan perubahan dalam jiwanya sehingga mendapat penglihatan bahwa Allah Bapa menempatkannya dengan Putranya sedemikian rupa sehingga dia tidak bisa meragukannya lagi." Setelah Serikat Yesus berdiri, di masa-masa awal perjalanannya, Serikat melihat Bunda Maria sebagai “Virginem Dei Matrem, quae Societatis universae patrocinium suscepit universal” (Bunda Allah yang Tak Bernoda yang memberikan perlindungan kepada Serikat Yesus).
Secara pribadi saya juga berani mengatakan bahwa Bunda Maria memainkan peran penting dalam kehidupan pribadi dan perjalanan panggilan saya. Ketika masih duduk di bangku kuliah, saya sempat meninggalkan gereja dan hal itu terus berlanjut sampai selesai kuliah. Selama kurang lebih lima tahun saya meninggalkan Gereja. Bunda Maria lah yang menyelamatkan saya dari ketersesatan. Pada awalnya hanya berdoa kepada Bunda Maria dalam mencari pekerjaan setelah saya kehilangan pekerjaan. Tetapi perlahan-lahan, Bunda Maria membawa saya kepada Putranya. Singkat cerita, saya pindah dari Indonesia dan menetap di Seattle, Washington. Di Seattle, saya mengalami pengalaman iman yang lebih mendalam dan Bunda Maria berperan besar dalam menguatkan iman saya. Pada saat itu, saya mulai terlibat berbagai kegiatan di Universitas Washington Newman Center. Newman Center baru saja menerima sumbangan patung “Our Lady of Lourdes” yang begitu menarik saya untuk masuk ke dalam kehidupan doa yang mendalam melalui devosi kepada Bunda Maria. Perjalanan iman saya di Newman Center pada akhirnya menghantarkan saya pada keputusan masuk Novisiat Serikat Yesus. Selama di Novisiat, saya meneruskan devosi terhadap Bunda Maria, khususnya melalui Latihan Rohani Santo Ignatius. Selesai Novisiat, saya melanjutkan pendidikan filsafat di Universitas Loyola di Chicago. Santa pelindung Kapel di Loyola Chicago adalah Madonna de la Strada (Bunda Maria Penunjuk Jalan), oleh karena itu saya percaya bahwa Bunda Maria berperan penting dalam membantu saya bertahan dalam studi filsafat. Selama Tahun Orientasi Kerasulan di Santa Clara University, Bunda Maria terus menjadi pelindung saya, khususnya ketika harus menghadapi serangkaian hambatan dan rintangan dalam tugas-tugas saya. Kunjungan ke Universitas Notre Dame membuat semakin sadar betapa saya harus bergantung pada bantuan Bunda Terberkati. Bunda Maria juga terus menguatkan ketika saya harus menelan pil pahit dalam masa penugasan sebagai Diakon. Ketika itu saya melayani di Our Lady of Good Voyage shrine (Pertapaan Bunda Maria Penunjuk Jalan di Laut) , tetapi saya harus menghadapi prasangka rasial dari pastor kepala yang akhirnya memecat saya dari gereja tersebut. Secara singkat sang pastor kepala tidak pernah memberi kesempatan kepada saya untuk melakukan pembaptisan ataupun berkhotbah. Kemudian dia memecat saya dengan alasan bahwa umat tidak mengerti khotbah saya. Bagaimana mungkin umat tidak bisa mengerti khotbah saya, sementara saya sendiri tidak pernah diberi kesempatan untuk berkhotbah? Tetapi, Bunda Maria menyelamatkan dan mengantar saya ke paroki yang baru dan akhirnya Bunda Maria menuntun saya kepada Sakramen Imamat.
Pada tahbisan imamat tahun lalu, teman baik saya Kristine memberi tiga set buku yang berbeda. Salah satunya berjudul The Spiritual Life of the Priest; buku itu sudah tidak dicetak lagi (diterbitkan pada tahun 1949), tetapi entah bagaimana Kristine berhasil mendapatkan buku itu. Dalam salah satu bab, pengarang menulis, “Tidak ada Imam yang dapat melakukan tugasnya tanpa Bunda Maria. Dalam kebaikan hatiNya penuh belas kasihan, Bunda Maria sering bekerja sama tanpa menunggu kita untuk berpaling kepada-Nya. Akan tetapi jika kita dengan sengaja mengabaikan Bunda Maria, berarti kita telah mengurangi kekuatan tindakan kita untuk menyelamatkan jiwa-jiwa menjadi minimal dan mungkin juga kita telah menggagalkan sepenuhnya usaha kita." (Boylan, The Spiritual Life of the Priest, 135)
Sejatinya setiap imam harus memiliki devosi kepada Bunda Maria. Pertama, dalam menghormati Bunda Maria, kita telah bekerja sama dengan Kristus yang tinggal di dalam kita. Kedua, dalam mencari perlindungan Bunda Maria, kita telah mempercayakan kehidupan Kristus di dalam diri kita pada pemeliharaan dari Bunda Maria. Jadi dalam karya kerasulan kita, kita berpaling kepada Bunda Maria agar Dia dapat membawa dan memelihara kehidupan Kristus dalam jiwa orang-orang yang ingin kita selamatkan. Di dalam buku, The Spiritual Life of the Priest, pengarang buku menulis lebih jauh, "tidak ada Imam yang perlu takut bahwa dalam melakukan devosi kepada Bunda Maria, dia akan mengabaikan Putranya. Pertama-tama, Bunda Maria tidak pernah menyimpan apa pun untuk Dirinya sendiri, semua yang kita berikan kepada Bunda Maria segera diberikan kepada Putranya. Dia adalah perantara (mediatrix) yang sempurna. Dia hanya campur tangan untuk menyatukan kita lebih dekat – dan Bunda Maria hanya menerima untuk memberi lebih sempurna." ( Boylan, 139)
Setelah merenungkan lebih mendalam perjalanan singkat Imamat saya, jelas tidak ada alternatif lain bagi saya memohon kepada Bunda Maria untuk ditempatkan di samping putraNya seperti pengalaman Santo Ignatius dari Loyola di La Storta. Saya tidak tahu apa yang akan menanti di depan, khususnya dalam kehidupan saya sebagai seorang Imam. Untuk itu saya mohon doa kepada banyak pihak yang membaca tulisan ini untuk mendoakan saya agar selalu bisa memberikan tempat khusus kepada Bunda Maria dalam kehidupan rohani dan dalam setiap aspek karya kerasulan saya.
(Sebagian besar dari isi tulisan ini telah dipublikasikan dalam Bahasa Inggris sebagai bentuk renungan harian (Ignatian Reflections) pada tanggal 19 dan 20 Juni 2020, di blog Magis Spirituality, https://www.magisspirituality.org/ignatian_reflections)