Kembalinya Sang Romo Rajawali (Bagian I)
Kembalinya Sang Romo Rajawali (Bagian I):
Diantara Romo Penyanyi dan Romo Akar Rumput
S. Hendrianto, SJ
Dalam tulisan saya yang berjudul Romo Rajawali melawan Romo Kodok, saya mencoba menulis renungan singkat atas tahbisan Imamat saya yang ketiga, dalam konteks menanggapi tulisan teman lama saya yang berjudul Romo Kodok. Tentu saja saya tidak bisa membahas banyak hal dalam renungan singkat itu. Seperti yang saya duga, tulisan itu mendapat sejumlah tanggapan, khususnya pada sejumlah missing point yang belum sempat saya angkat dalam renungan singkat saya. Dalam kesempatan ini saya mencoba merenungkan sejumlah hal yang belum sempat saya angkat dalam tulisan saya yang pertama. Akan tetapi sekali lagi saya menyadari ada sejumlah keterbatasan ruang untuk membahas banyak hal tentang tantangan Imam Katolik saat ini, oleh karena itu dalam tulisan ini saya akan fokus pada masalah sejauh mana peran seorang Imam Katolik di tengah situasi sosial politik yang tengah berubah cepat saat ini.
Teman lama saya dalam tulisannya yang berjudul Romo Kodok mengangkat satu hal penting yang belum sempat saya bahas. Teman saya ini mengatakan bahwa saat ini yang dibutuhkan adalah seorang Romo – Romo yang bekerja dari akar rumput. Imam Katolik yang berjuang untuk keadilan dalam menjalankan imannya dan perannya sebagai Imam.
Teman saya ini menuliskan argumentasi nya berdasarkan pengamatan dia bahwa saat ini Gereja Katolik mengalami arus “progresisme dari atas” dimana Paus Fransiskus dan petinggi Gereja mencoba membawa Gereja ke dalam arus progresif namun hanya sebatas khotbah dari para klerus dan gagal menginspirasi gerakan besar untuk perubahan. Dengan kata lain, Gereja Katolik di bawah Paus Fransiskus menjadi sangat progresif di tingkat hirarki namun menjadi kehilangan arah di tingkat akar rumput. Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah para Romo yang mampu bekerja di akar rumput untuk membimbing refleksi di tingkat komunitas dan menggali makna ajaran progresif ini untuk beraksi sebagaimana metode teologi pembebasan.
Lebih lanjut teman saya ini mengatakan bahwa dia tidak banyak mendengar para Romo yang bekerja di tingkat akar rumput. Dalam kesemptan yang berbeda teman saya ini bahkan mengatkan bahwa saat ini realitasnya para Romo di tingkat Paroki kalau bekhotbah hanya bernyanyi saja. Jadi jangankan berkohtbah untuk pemikiran – pemikiran progresif seperti yang diajarkan Paus Fransiskus, khotbah mereka hanya lah berisi kutipan lagu – lagu Rohani saja. Terus terang saja saya tidak punya data persis tentang para Romo penyanyi ini; ketika saya masih tinggal di Indonesia hampir 20 tahun yang lalu, saya mencermati memang sudah ada tren para Romo suka bernyanyi ketika berkhotbah. Dengan munculnya tik tok, selama beberapa tahun terakhir, saya melihat semakin banyak para Romo yang suka bernyanyi ketika khotbah.
Melihat-Memikir-Mengerjakan
Sang teman lama saya ini kemudian mengusulkan agar para Romo bisa mulai dengan mengajak anak – anak muda mudi Katolik untuk melihat secara langsung kehidupan, mulai dengan metode live in, entah di desa – desa atau perkampungan kumuh di perkotaan. Apa yang diusulkan oleh teman lama saya ini mungkin ada benarnya dalam konteks 25 tahun yang lalu ketika kami masih sama – sama berjuang di jalanan untuk melawan Rezim Orde Baru. Akan tetapi saya pikir dunia sudah berubah dan perlu ada adaptasi metode. Sebelum sampai ke sana, saya ingin merenungkan sedikit usulan teman saya tersebut untuk live in dalam konteks abad 21.
Pembacaan saya adalah teman lama ini tumbuh besar dalam konteks metode yang dikenal dengan nama See-Judge-Act (Melihat – Memikir – Mengerjakan). Metode Melihat – Memikir - Mengerjakan ini adalah tiga langkah proses yang mewakili praxis-oriented methodology yang dikembangkan setelah Konsili Vatikan II dan khususnya dipakai oleh Konferensi Para Uskup di Amerika Latin (The Latin American Bishops Conferences - CELAM) sejak akhir tahun 1960-an di Medellin, Colombia. Tentu saja metode ini tidak bisa dipisahkan oleh teologi pembebasan tumbuh dari kawasan Amerika Latin. Pada intinya dengan menggunakan See-Judge-Act, umat diajak untuk melihat realitas sosial, kemudian memikirkankan realitas sosial itu dalam konteks ajaran Sosial Gereja, dan kemudian mengerjakan sesuatu untuk mempromosikan keadilan dan memperbaiki situasi orang – orang yang mereka layani.
Dalam situasi Amerika Latin tahun 1960-1980an ataupun Indonesia di awal 90-an, mungkin metode See-Judge-Act ini tepat diterapkan, khususnya untuk menghadapi situasi kemiskinan dan penindasan yang akut di bawah rezim otoriter di Amerika Latin ataupun rezim Orde Baru di bawah Soeharto. Pada intinya ketika itu yang penting adalah massa bisa bergerak, dan metode ini cukup efektif untuk mengangkat kesadaran anak – anak muda dan mendorong mereka terlibat dalam aksi – aksi gerakan melawan penindasan. Akan tetapi di tengah situasi dunia yang sudah berubah saat ini, saya pikir metode itu sudah banyak mengalami keterbatasan.
Pola penindasan di abad 21 ini sudah berbeda dengan pola penindasan rezim militer baik di Amerika Latin atapun Indonesia pada tahun 1980an. Persoalan mendasar masih sama, tapi ruang keterbukaan dan banjirnya arus informasi membuat gambar penindasan menjadi lebih kabur. Dalam situasi seperti ini, yang terjadi adalah ketika para anak muda di ajak live-in, mereka terkadang sulit untuk melihat realitas yang sesungguhnya. Atau terkadang mereka menjadi seperti turis dari kota yang masuk kampung kumuh. Setelah selesai dari live- in, amarah mereka bangkit melihat penindasan dan kemudian mulai mengecam segalanya, mulai dari kapitalisme sampai perusahaan besar. Mereka pun berkeinginan untuk merampas semua harta para kapitalis dan dibagikan kepada orang miskin. Setelah melihat wajah penindasan, dan marah, akhirnya mereka pun memutuskan melakukan tindakan – tindakan tanpa perhitungan matang demi membela keadilan. Hal seperti ini terjadi pada musim panas tahun 2020, ketika banyak para Uskup, Romo, dan orang Katolik di Amerika Serikat yang ikut – ikutan aksi menentang kerusuhan rasial di Amerika Serikat tanpa tahu sebenarnya apa yang terjadi. Semua pihak berlomba – lomba mengeluarkan statement ataupun mengangkat spanduk tanpa berpikir panjang tentang situasi rasialisme yang cukup kompleks di Amerika Serikat. Jadilah akhirnya mereka See the blurry vision (melihat hal yang kabur), Judge Everyone (mengecam semua pihak) and Act ridiculously (mengerjakan sesuatu yang menggelikan).
Mencari Metode Baru
Seorang rekan Romo Yesuit dari Filipina mengatakan bahwa metode See-Judge-Act sudah ketinggalan jaman dan harus diganti dengan metode baru yang dia namakan DARE (Data-Analysis-Reflection-Engagement). Jadi menurut Romo ini, seorang Imam Katolik harus pertama – tama berpegang pada data; jadi sebelum bekhobtah, hendaknya seorang Romo mempunyai data akurat tentang informasi yang ingin beliau sampaikan kepada umatnya. Saya pikir data ini tentu penting di tengah arus informasi yang kencang saat ini, karena para umat sendiri begitu gampang termakan oleh data – data yang beredar di internet tanpa ada niat atau usaha untuk memverifikasi kebenaran data terebut.
Berdasarkan data yang dia miliki, seorang Romo harus bisa mengajak umatnya untuk bisa melakukan analisis tentang persoalan yang sebenarnya sedang terjadi di tengah masyarakat. Ini sebenarnya adalah pesoalan krusial dan tidak mudah dilakukan, karena dibutuhkan pengetahuan sosial yang mumpuni untuk melakukan analisis sosial yang mendalam. Persoalannya sebagian besar Imam Katolik tidak dididik untuk melakukan analisa sosial yang mendalam ketika mereka berada di Seminari ataupun dalam proses pendidikan mereka menjadi Imam.
Jikalau para Romo bisa melakukan analisis sosial yang mendalam, tahap berikutnya mereka harus membimbing umat melakukan refleksi terhadap hasil analisis dalam konteks ajaran Sosial Gereja dan setelah itu mereka baru akan masuk ke tahap berikunya yaitu engagement. Persoalannya ketika masuk ke dalam tahap terakhir yaitu engagement, ini juga bukan sesuatu yang gampang. Pertama dalam konteks Indonesia, kosa kata engagement sendiri sulit di cari pandanan katanya. Mungkin bisa diterjemahkan sebagai “keterlibatan” akan tetapi saya berpendapat kata “keterlibatan” sendiri kurang pas. Kedua, ketika kita berbicara engagement, juga perlu diperjelas, engagement yang mana yang hendak dipromosikan para Romo dalam kehidupan berGereja; political engagement, social engagement, moral engagement atau civil engagement.
Persoalan lain adalah survey membuktikan bahwa level of political engagement di Indonesia cukup rendah di banding negara – negara Demokratis lainnya. Hal yang sama juga melanda umat Katolik Indonesia, baik di dalam negeri atapun di luar negeri. Jadi di tengah situasi seperti ini sangat sulit untuk mengajak umat bisa terlibat dalam kegiatan politik. Jangankan untuk keterlibatan politik, untuk level keterlibatan sosial di tingkat Paroki saja susahnya minta ampun untuk membuat umat bisa terlibat.
Keterlibatan Politik atau Seks
Saya saat ini tidak sedang mencari metode baru ataupun berusaha menemukan metode baru. Akan tetapi saya mencoba merenungkan tantangan para Imam Katolik dalam konteks yang lebih sederhana, yaitu dengan pertanyaan apakah tugas seorang Romo adalah mendorong umatnya untuk terlibat secara politik atau lebih banyak melakukan kegiatan seksual – dalam konteks prokreasi. Saya pikir ada analogi yang bisa dipakai diantara keterlibatan politik dan kegiatan seksual di antara suami isteri. Hubungan seksual antara suami isteri dalam konteks Gereja Katolik adalah bertujuan untuk melahirkan keturunan. Sementara dalam konteks politik, sejumlah orang harus terlibat aktif dalam politik jikalau ingin melihat mekanisme politik yang sehat.
Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh Gereja Katolik saat ini adalah tingkat penurunan jumlah anak dari keluarga Katolik. Hal ini mempunyai imbas yang cukup luas, mulai dari berkurangnya murid – murid di Sekolah Katolik, sehingga banyak yang gulung tikar sampai turunnya jumlah anak muda yang masuk Seminari, yang ujung – ujungnya adalah berkurangnya jumlah Imam.
Ada sejumlah hal yang menjadi penyebab berkurangnya jumlah anak dalam Gereja Katolik. Sebab pertama adalah para perempuan muda Katolik sudah termakan propaganda bahwa karir adalah sesuatu yang penting buat mereka. Jadilah para Wanita muda Katolik berlomba – lomba untuk mengejar karier dan mencoba menempuh pendidikan tinggi. Berdasarkan pengalaman singkat saya sebagai Romo, saya mengamati tren bahwa banyak para Wanita Katolik yang baru memutuskan menikah setelah mereka berumur pertengahan 30-an. Kemudian setelah menikah, sebagian besar dari mereka kesulitan untuk hamil. Sementara untuk para Wanita Katolik yang bisa hamil, kecenderungan mereka pun hanyalah untuk mempunyai satu atau dua anak saja, karena mereka tidak ingin meninggalkan karier mereka. Ataupun mereka tidak ingin menjadi stay-home mom.
Jadi menurut saya, yang paling minim bisa dilakukan oleh Imam Katolik adalah menekankan dalam khotbah mereka, khususnya kepada Wanita Katolik, tidak betul bahwa karier adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan. Dan janganlah para Wanita Katolik menunda – nunda perkawinan ataupun kehamilan. Yang terpenting juga lah jangan takut untuk menjadi seorang Ibu. Kepada para pria Katolik, pesan utama para Romo adalah, janganlah menunda – nunda lebih lama masa pacaran segeralah ajak kawin tunangannmu dan hamili dia. Jangan berhenti dan puas dengan satu atau dua anak saja, teruslah beranak pinak (bersambung ke bagian kedua).