Pergumulanku dengan Tuhan

Carmel Beach CA

Pengalaman sakit, apalagi sakit yang mematikan seperti Covid-19 mau nggak mau membuatku bergumul dengan Tuhan. Pengalaman yg eksistensial. Menyentuh jati diriku. membuatku mempertanyakan dan “menantang" Penciptaku. Tapi jujur saja keyakinanku (semoga bisa menjadi penghayatanku) tentang Tuhan yang adalah kasih membuatku tidak merasa "wow" atau "ekstase" dengan pengalaman "smelling the hell" ini. Aku yakin kalau Tuhan punya rencana. Dan rencana Nya selalu indah meski mungkin perlu kesabaran untuk bisa memaknainya. Pergulatan awalku adalah: "Mengapa harus aku yang sakit, Tuhan. Kenapa bukan orang2 yang sembrono di jalanan, mall, bar atau pusat keramaian lainnya? Kenapa aku? Bukankah aku sudah doa, meditasi, adorasi, ibadat harian, dan ekaristi tiap hari? Bukankah aku telah menyembah dan mengagungkan namaMu? Bukankah aku sudah sering membasuh tanganku selama 20 detik, social distancing, dan tinggal dan bertahan di rumah jauh-jauh hari sebelum lockdown? Bukankah aku sudah hidup sehat dengan makan sayur, buah dan ikan? Bukankah aku sudah olahraga rutin tiap hari selama 1 jam? Mengapa yg sakit bukan anak-anak muda yg mengacaukan anjuran pemerintah? Itulah protesku di awal. Tapi nggak kencang2 amat sih.

Mungkin karena aku bingung dengan diriku sendiri. Karena sakit panas dan badan lemas bisa lebih dari seminggu. Belum pernah kualami sebelumnya. Biasanya 3 hari tidur sudah sembuh. Aku sudah minum obat (=racun) yang berbeda-beda selama 2 minggu. Maka jujur, saat ditest Covid-19 di Urgent Health Centre dan dinyatakan positif aku malah lega. Terima kasih Tuhan. ‘Now, I know it’. Aku masih punya waktu untuk bertempur melawan virus mematikan ini. Dan sudah jelas perawatan yg harus kujalani. Bantu aku Tuhan dalam pertempuran panjang ini! Dan lihatlah Tuhan mengirim bantuan. Anggota komunitas CM, keluarga dan Komunitas Katolik Indonesia di USA sangat ‘supportive’. Berdoa tiada henti. Kirim WA dukungan. Kirim makanan, vitamin dan alat kesehatan. Wow...Tuhan di pihakku. Aku tidak takut! Ya karena saat kritis, saat dimana aku merangkak ke lubang toilet untuk mengeluarkan dahak akibat batuk dan sesak nafas, aku sempat berteriak: “Tuhan kenapa Kau siksa aku! Kalau mau Kau ambil, ambillah. Tapi beri aku kematian yg damai. Kasihanilah aku Tuhan”...sambil merintih kesakitan memegangi dada yang nyeri. Kalau ingat malam-malam itu aku hampir menyerah. Tapi Tuhan mengirim terus dukungan Nya.

Membuatku bertekad: aku bisa!! Kalau Tuhan di pihakku, siapa yg kutakuti! Kini aku melewati masa kritis dan seiring dengan masa pemulihan ini aku sudah melihat titik terang bahwa Tuhan sedang mendidik. Seperti ayahku dulu mendidik, tidak hanya dengan memanjakanku tapi juga menghajarku. Supaya aku kuat dan supaya aku menghargainya. Ya betul kini aku lebih menghargai karya Mu Tuhan terutama melalui orang2 yang dengan tulus mencintaiku, padahal aku tidak berbuat banyak pada mereka. Mereka adalah perwujudan Mu Tuhan. Tuhan yg menghajar tapi tetap merangkul dengan penuh cinta.

Terima kasih atas sakit ini yang membuatku semakin yakin bahwa Engkau adalah KASIH. Membuat segalanya indah pada waktunya.

New York, 17 April 2020

Rm. Paulus Dwintarto, CM

(atas inspirasi Rm. Arm CM)

 
Previous
Previous

Yesus Sang Cinta Sejati

Next
Next

COVID-19 Survivor