Refleksi Singkat Satu Tahun Tahbisan Imamat (bagian 4)

persahabatanindah.jpg

Oleh Romo S. Hendrianto, SJ

Pengantar

Bacaan Injil pada hari Minggu Biasa Ke 32, tanggal 8 November 2020 berisi perumpamaan tentang sepuluh orang gadis yang mengambil pelitanya untuk menyongsong mempelai laki-laki. Pada hari Minggu itu saya bertugas untuk memimpin misa bagi Warga Katolik Indonesia di California Utara. Ketika saya merenungkan bacaan Injil tersebut, ingatan saya pun melayang-layang pada kejadian lima belas tahun yang lalu. Tanpa terasa waktu cepat sekali berlalu; lima belas tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 6 November 2005, saya juga mendengar bacaan Injil yang sama. Bacaan Injil tentang cerita sepuluh orang gadis itu ternyata menjadi awal dari perjalanan saya menjadi seorang Imam Katolik. 

Lima belas tahun yang lalu, saya sedang menempuh pendidikan doktoral saya di bidang Ilmu Hukum di University of Washington, Seattle. Saya tiba di Seattle pada tahun 2004 dan tahun pertama saya sebagai mahasiswa doktoral cukup melelahkan secara fisik dan mental, dan konsekuensinya pun saya cukup terisolasi. Memasuki tahun kedua, saya mencoba untuk keluar dari isolasi dan bersosialisasi dengan banyak pihak, diantaranya adalah Mudika Seattle. 

persahabatan.jpg

Ketika itu Mudika Seattle mengadakan acara retreat dari tanggal 4 sampai 6 November 2005 di Rumah retreat Sambica yang terletak di tepi danau Sammamish, sekitar 20 menit dari Seattle. Rumah retreat itu sendiri dikelola oleh kelompok Kristen Protestan yang tidak masuk dalam dominasi manapun (non-denominational Christian). Saya pun memutuskan ikut retreat tersebut dengan motivasi ingin mengenal lebih dekat teman-teman Mudika Seattle. Sebelumnya pada bulan September saya juga sudah pernah hadir di acara Welcoming Party mereka, akan tetapi saya belum mengenal dekat para anak muda yang aktif di sana. 

renungan.jpg

Singkat cerita retreat itu sendiri menjadi titik balik bagi perjalanan iman saya. Retreat itu dibimbing oleh Romo Benny Phang O.Carm, seorang Romo Carmelite yang ketika itu sedang menyelesaikan Licentiate in Sacred Theology di Catholic University of America di Washington DC. Pada hari kedua retreat, Romo Benny meminta para peserta untuk hening total mulai dari setelah makan siang sampai sekitar jam 5 sore. Saya pun mencoba untuk tidur siang di tengah masa hening tersebut. Akan tetapi saya tidak bisa tidur dan jadilah sayapun merenungkan perjalanan hidup saya. Dalam perenungan itu saya mulai tersadar mengapa selama ini menjauh dari Tuhan. Bahwa di lubuk hati yang mendalam saya merasa tidak ada orang yang mencintai dan peduli dengan saya, termasuk Tuhan. Akan tetapi saya tidak bisa melihat segala nikmat dan syukur yang telah Tuhan berikan kepada saya. 

Setelah masa hening selesai, para peserta retreat pun kembali beraktivitas normal. Setelah makan malam, kita kembali berkumpul di aula utama dan masuk dalam renungan malam. Romo Benny Phang menggunakan sesi renungan malam tersebut sebagai ajang pencurahan Roh Kudus. Terus terang saja saya tidak familiar dan sedikit skeptis terhadap pencurahan Roh Kudus. Meski demikian saya tidak menutup diri terhadap acara tersebut. Romo Benny mendoakan setiap peserta retreat, dan ketika sampai pada giliran saya, saya bisa merasakan kekuatan Roh Kudus menyelimuti tubuh seperti gelombang listrik yang masuk ke tubuh. Saya tidak berbicara dalam bahasa roh, cuma ketika itu saya merasakan tubuh bergetar dan saya pun jatuh terbaring di lantai. Yang bisa saya rasakan malam itu adalah Kasih dan Kuasa Tuhan Yesus seperti membasuh diri saya. 

manusiabaru.jpg

Keesokan harinya, saya merasa bangun sebagai seorang manusia baru. Saya melihat dunia begitu indah dengan matahari pagi yang bersinar, burung-burung yang bernyanyi dan udara pagi yang bersih. Karena hari itu adalah hari Minggu maka kami pun mengakhir retreat dengan misa hari Minggu. Bacaan Injil pada hari itu dari Kitab Matius, perumpamaan tentang sepuluh orang gadis. Akan tetapi Romo Benny entah mengapa berkhotbah tentang panggilan untuk menjadi seorang Imam, entah itu Imam Religius ataupun Imam Diocesan dan beliau menghimbau para peserta retreat untuk bisa membuka dirinya terhadap panggilan menjadi Imam.

Terus terang saya berpikir bahwa khotbah tersebut sangat aneh karena tidak ada hubungannya sama sekali dengan bacaan Injil pada hari itu. Saya sama sekali tidak bercita-cita menjadi seorang Imam, meski demikian pesan dari Romo Benny terlanjur lengket di pikiran saya. Setelah retreat selesai dan kita kembali ke Seattle, saya pun mulai aktif bergabung bersama teman-teman Mudika Seattle. Singkat cerita pertemanan saya dengan mereka berlanjut menjadi persahabatan dan mereka banyak membantu pertumbuhan iman saya. Seiring dengan waktu, saya pun mulai pelan-pelan memikirkan panggilan menjadi Imam dan sejumlah teman-teman Mudika Seattle mendukung saya dalam panggilan tersebut. 

Empat belas tahun setelah peristiwa retreat di Sambica itu saya ditahbiskan menjadi Imam Katolik. Setelah menerima Sakramen Imamat saya kembali ke Indonesia dan merayakan misa syukur di Jakarta. Karena ketika tinggal di Jakarta dulu saya tidak pernah terdaftar secara resmi di paroki manapun, saya agak kesulitan untuk mencari tempat merayakan misa syukur. Dengan bantuan sejumlah sahabat-sahabat lama dan Serikat Yesus di Indonesia, akhirnya saya memutuskan untuk merayakan misa syukur di Kapel SMA Kanisius. Saya bukan alumnus Kanisius, akan tetapi para Romo Yesuit di Kanisius telah bermurah hati untuk memberi saya kesempatan merayakan misa syukur di Kapel SMA Kanisius. 

Pada misa syukur saya di Kapel SMA Kanisius, saya berkesempatan kembali bertemu dengan teman-teman dari Mudika Seattle. Tentu saja situasi kita masing-masing sudah banyak berubah dari pertemuan pertama kita empat belas tahun sebelumnya. Sebagian besar dari mereka sudah berkeluarga dengan anak-anak yang masih kecil. Tentu usia kita semua semakin bertambah, akan tetapi saya akan selalu mengingat dukungan dan doa mereka sehingga saya bisa menjadi seorang Imam Katolik. 

Pertemanan atau persahabatan kadang kala adalah misteri, sering kali kita tidak bisa menjelaskan mengapa kita bisa berteman satu sama lain. Saya juga tidak bisa menjelaskan mengapa saya bisa berteman dengan anggota Mudika Seattle. Atau kita bisa mencoba dekat atau berteman dengan sejumlah orang, tetapi belum tentu orang-orang tersebut ingin berteman dengan kita. Pada akhirnya hubungan pertemanan selalu melibatkan kedua belah pihak. Kita bisa mencoba menjadi orang baik ataupun berbuat baik terhadap orang lain, akan tetapi orang tersebut bisa saja menolak kebaikan kita dan menolak menjalin hubungan dengan kita. Untuk itu lah saya berterima kasih terhadap teman-teman dari Mudika Seattle yang sudi berteman dengan orang seperti saya. Saya menduga mereka percaya apa yang dikatakan Yesus, “aku memanggil kamu Sahabat” (Yohanes 15:15) dan oleh karena itu pula mereka juga mencoba meneladani Yesus dengan bersahabat dengan orang seperti saya. 

Untuk lebih mendalami perjalanan panggilan saya menjadi Imam, silahkan dibaca teks homili saya pada misa syukur di SMA Kanisius yang terlampir di bawah ini. 


Homili pada misa syukur Romo Stefanus Hendrianto, SJ pada tanggal 20 Juli,  di Kapel SMA Kanisius, Jakarta.  

Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam atas kehadiran kalian semua pada misa syukur malam hari ini. Saya sadar bahwa banyak pihak yang hadir pada malam hari ini mengenal saya dengan karakter yang berbeda-beda, karena masing-masing orang hanyalah mengenal saya dalam satu periode dalam kehidupan saya, entah sebagai siswa SMA St. Yosef, mahasiswa Fakultas Hukum UGM, aktivis mahasiswa, ataupun mahasiswa PhD di University of Washington, Seattle.  

  Akan tetapi, saya berharap kalian semua bisa menilai saya sebagai seorang Imam Jesuit dan bukan berdasarkan satu episode dalam kehidupan saya di masa lalu dimana kalian mengenal saya. Karena pada akhirnya misa malam hari ini bukan mengenai saya tetapi mengenai Yesus Kristus dan GerejaNya. 

Dalam bacaan kedua yang kita dengar pada hari ini, Santo Paulus berbicara tentang penderitaan dan harapan.  Santo Paulus mengatakan bahwa dia rela menderita karena Kristus ada di antara kita, dan Yesus Kristus adalah harapan akan kemuliaan. Penderitaan dan harapan adalah kosa kata yang tidak asing lagi bagi kita semua. Ketika masih muda dulu, saya juga sering bergelut dengan kedua kosa kata tersebut. 

Sebagai seorang idealis, ketika masih muda saya sering bergelut dengan pertanyaan, mengapa begitu banyak penderitaan di muka bumi ini, dan dimanakah kita harus menggantungkan harapan hidup kita. Sebagai seorang pemuda idealis saya juga cukup naif karena saya percaya bahwa penderitaan di muka bumi ini bisa dihapuskan dengan perjuangan kelas, dan kemudian saya pun menjadi seorang demonstran.  

Seperti yang saya katakan tadi, ketika itu saya adalah seorang anak muda yang naif karena bahan bacaan saya masih terbatas. Filsuf Yunani Kuno, Plato pernah mengatakan bahwa dalam karyanya the Republic bahwa “ketika seseorang benar-benar belajar, dia akan peduli dengan kesenangan jiwa, khususnya dengan jiwanya sendiri dan dia akan meninggalkan kesenangan yang datang melalui tubuh. " (Plato, Republic, Book VI, 485 e). Akan tetapi, waktu muda dulu saya tidak pernah baca the Republic sehingga saya  tidak tahu tentang pentingnya memperhatikan kesenangan jiwa saya sendiri. 

Pada tahun 1999, ketika saya sedang sibuk dengan aktivitas politik, saya bertemu dengan seorang teman lama di sebuah pesta perkawinan. Teman saya tersebut mengingatkan saya bahwa para mantan teman seperjuangan saya, para demonstran yang dia temui di kampusnya mempunyai jiwa yang kering. Akan tetapi sebagai seorang demonstran yang keras kepala dan naif, saya tidak mengakui ataupun menyangkal bahwa jiwa saya kering dan tandus. 

Ketika saya menjadi seorang aktivis politik, saya percaya bahwa saya telah menemukan jawaban dan arti kehidupan.  Akan tetapi saat yang sunyi dalam kehidupan adalah ketika kita berpikir bahwa kita sudah menemukan jawaban, dan jawaban yang kita temukan itu justru membuat kita terhempas. Selama bertahun-tahun saya merasa bahwa akar dari semua masalah ketidakadilan di Indonesia adalah Soeharto. Sejarah mencatat bahwa pada tanggal 20 Mei 1998, Soeharto turun sebagai presiden. Akan tetapi, tidak ada kebahagiaan ataupun kepuasan, dan justru kemenangan reformasi menghempaskan harapan saya. 

Di tahun 2004, saya meninggalkan Indonesia dan memutuskan untuk memulai kehidupan baru di Amerika Serikat. Saya memulai kehidupan baru sebagai mahasiswa program doktoral di University of Washington, School of Law. Ketika saya tiba di Seattle, saya tidak lebih dari seorang pria yang jiwanya terluka. Akan tetapi kondisi jiwa yang terluka ini justru menjadi awal dari perjalanan saya untuk menjadi seorang rohaniawan Katolik. 

Ada orang bijak yang mengatakan bahwa luka bisa menjadi guru kita yang paling baik. Hal ini jelas nyata pada kehidupan Santo Ignatius dari Loyola pendiri Serikat Yesus. Dalam pertempuran di Benteng Pamplona, bola Meriam menghantam kaki Ignatius. Selama masa penyembuhannya yang panjang di puri keluarga di Loyola, Ignatius mulai berpikir dan merenungkan kehidupan Yesus dan para orang kudus seperti Santo Dominikus dan Santo Fransiskus. Dia pun berpikir kalau sekiranya Dominikus dan Fransiskus bisa berbuat banyak untuk Kerajaan Allah, seharusnya saya juga bisa berbuat hal yang sama. Pertobatan Ignatius mulai dari Loyola, akan tetapi ketika berada di Manresa, khususnya di tepi sungai Cardoner, Ignatius mendapat kejelasan tentang kehendak Tuhan buat dirinya. Di tepi sungai Cardoner, Ignatius menerima rahmat Tuhan untuk melihat ke belakang tentang perbuatan-perbuatan dia di masa lalu, yang mana dia ingin mencapai kemuliaan manusiawi dengan menjadi seorang serdadu. Akan tetapi sekarang dia bisa melihat bahwa dia bisa menggantikan keinginan-keinginan duniawi itu menjadi keinginan untuk bekerja demi kemuliaan Tuhan. 

Jikalau Ignatius mempunyai Manerssa and Cardoner experience, Seattle adalah merupakan tempat dimana bagi saya untuk merenungkan kembali makna kehidupan dan menemukan jalan baru. Lebih tepatnya, di tepi danau Sambica di Washington bagian timur, saya menerima rahmat Tuhan yang menyadarkan saya akan perbuatan-perbuatan saya di masa lalu. 

Ketika itu saya ikut retreat bersama teman-teman Mudika Seattle. Akan tetapi retreat tersebut justru membuka mata hati dan pikiran saya tentang sosok Yesus. Bahwa Yesus adalah seorang sahabat saya yang setia dan Dia terus setia kepada saya meskipun saya pernah cukup lama meninggalkan Dia. Setelah retreat itu, saya pun mulai merasa terpanggil untuk menjadi lebih dekat mengenal Yesus dan bersahabat dengan Yesus. 

mengenal.jpg

Singkat cerita, perjalanan saya untuk menjadi seorang Imam Yesuit, bermula dari persahabatan. Pertama persahabatan saya dengan teman-teman Mudika Seattle. Mereka banyak membantu saya untuk menjadi lebih dekat dengan Yesus dan menghayati lebih dalam Iman Katolik. Kedua, dan yang lebih penting, adalah persahabatan dengan Yesus sendiri. Dengan mengenal Yesus lebih dekat, saya pun merasa terpanggil untuk mengikuti Yesus lebih dekat dengan menjadi seorang Imam Yesuit. 

Ketika saya mulai merenungkan kehidupan religius, Paus Benediktus XVI mengeluarkan surat ensiklik nya yang menurut saya the greatest encyclical letter ever yaitu Spe Salvi (kita diselamatkan dalam pengharapan). Membaca Spe Salvi saya tersadar bahwa isu ketidakadilan di muka bumi ini ujung-ujungnya adalah persoalan tentang harapan dan keselamatan. Dimanakah kita semua menggantungkan harapan akan keselamatan kita. 

Yang menarik bagi saya dari surat itu adalah bahwa Paus mengatakan bahwa contoh yang paling menarik dari sosok yang ingin memperjuangkan keadilan di atas bumi adalah Karl Marx. Marx berusaha membangun kerajaan surga di atas bumi dengan jalan revolusionernya. Akan tetapi, menurut Paus Benediktus, kesalahan utama dari Marx adalah, “dia dengan gampang berpikir bahwa dihancurkannya kelas penguasa…sebuah Yerusalem yang baru akan terbentuk.”

Paus Benediktus mendeskripsikan kesalahan fundamental Marx dengan sebuah argumen bahwa, Marx lupa bahwa manusia akan selalu menjadi manusia.  Marx berpikir bahwa ketika sistem ekonomi sudah diperbaiki, maka semuanya pasti beres. Akan tetapi Marx lupa bahwa manusia bukan sekedar produk dari kondisi ekonomi dan tidak mungkin bagi kita menyelamatkan manusia dengan menciptakan situasi ekonomi yang lebih baik. 

hanyatuhan.jpg

Dalam suratnya, Paus mengatakan bahwa respon terbaik bagi kita sebagai orang  Kristiani terhadap ketidakadilan di dunia adalah menerima kondisi manusia yang tidak sempurna. Dengan kata lain kita harus menerima kenyataan bahwa penderitaan dan ketidakadilan adalah bagian dari hakikat kita sebagai manusia. Kita bisa berusaha sekuat mungkin untuk melawan ketidakadilan dan penderitaan, akan tetapi kita tidak bisa menghilangkan ketidakadilan dan penderitaan dari muka bumi ini karena kita tidak mempunyai kekuatan untuk itu.  Hanya Tuhan lah yang bisa mengakhiri penderitaan, yaitu Tuhan yang turun ke bumi dan menjadi manusia dan ikut menderita sebagai seorang manusia dan mati di kayu salib, hanya Dia lah yang bisa mengakhiri penderitaan di dunia ini.  

Pada akhirnya perjuangan untuk mencapai ketidakadilan harus berujung kepada pemahaman bahwa Keadilan yang paling sempurna adalah Tuhan sendiri. Tuhan adalah keadilan dan Dia lah yang menciptakan keadilan. Jadi pengharapan kita sebagai orang Katolik adalah bahwa kita menggantungkan harapan pada Tuhan yang bisa menciptakan keadilan. Pengharapan kita sebagai umat Katolik adalah kita berharap bisa bertahan dalam menerima penderitaan dan menunggu dengan penuh harapan akan janji kebangkitan badan dan kemenangan Kritus akan maut.  

Setelah membaca surat ensiklik Spe Salvi tersebut, saya pun memutuskan untuk membanting dan membuang masa lalu saya sebagai seorang aktivis politik dan memutuskan untuk menjadi seorang Imam Yesuit. Apakah dengan menjadi seorang Imam Yesuit, saya hanya akan menjadi seorang rohianawan yang besikap pasif yang berdoa dan nrimo saja. Jawaban atas pertanyaan itu bisa kita temukan dalam bacaan Injil hari ini.  

Injil hari ini sering salah ditafsirkan sebagai keberpihakan Yesus terhadap spiritualitas yang kontemplatif yang dilambangkan oleh Maria, sementara Martha disalahkan karena terlalu aktif, jadi dengan kata lain model spiritualitas yang aktif cukup bermasalah. Akan tetapi, jikalau kita cermati Injil pada hari ini, Yesus mengatakan bahwa Maria telah memilih bagian yang terbaik. Yesus menggunakan kata yang terbaik untuk menunjukkan bahwa bagian yang dipilih oleh Martha juga baik. Jadi apa yang dilakukan oleh Martha bukanlah hal yang buruk ataupun jelek. 

Pada intinya Yesus ingin mengingatkan bahwa pada akhirnya kehidupan kita yang aktif dalam karya Tuhan akan berakhir dengan kematian kita secara fisik. Ketika kita meninggal, tentu saja tubuh kita tidak bisa lagi memberi makan kepada orang-orang yang kelaparan atau pun membantu orang-orang miskin. Martha cepat menangkap pelajaran dari Yesus, karena dia tahu dan mengerti bahwa kehidupan kita yang aktif di dunia ini akan berakhir. Buktinya adalah kejadian ketika saudara laki-lakinya, Lazarus meninggal dunia. Di Injil Yohanes bab 11, Martha berkata kepada Yesus bahwa dia percaya bahwa saudaranya Lazarus akan bangkit pada akhir zaman. Kemudian Yesus berkata: "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?" Martha pun menjawab, "Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia." Dengan kata lain Martha mengerti bahwa akan tiba saatnya ketika kehidupan aktif duniawi akan diambil dari kita semua. Martha percaya akan kehidupan kekal yang merupakan bagian utama dari iman Kristiani.

Di Injil hari ini kita mendengar bahwa Martha bergulat antara keinginan untuk bersikap aktif dan bersikap pasif. Hal yang sama juga terjadi pada Santo Ignatius dari Loyola. Ketika dia berada di Manresa, Ignatius berpikir bahwa cara terbaik untuk melayani Tuhan adalah dengan cara-cara yang kontemplatif, mulai dari doa sampai mati raga. 

Akan tetapi ketika Ignatius mulai kuliah di University of Paris, Ignatius mendapat inspirasi dari Santo Thomas Aquinas yang menjadi dasar teologis dan intelektual bagi dia untuk menggunakan cara-cara yang lebih aktif untuk memuliakan nama Tuhan, dan pada saat yang sama, dia meninggalkan cara-cara mati raga nya yang berlebihan di Manresa. 

Ignatius yang lebih matang dan dewasa mulai membangun sebuah sistem baru di Serikat Yesus yang mencoba menggabungkan kedua sistem yang kontemplatif dan aktif. Santo Ignatius percaya bahwa semuanya tergantung pada rahmat Tuhan, akan tetapi kita juga harus menggunakan segala kemampuan, tenaga dan pikiran untuk bekerja sama dengan Yesus. 

Dalam karyanya Pilgrim’s Progress, John Bunyan menceritakan tentang seseorang yang mencoba membersihkan lantai yang kotor berdebu. Akan tetapi setiap kali dia mencoba menyapu, debu di ruangan tersebut terbang ke udara dan kemudian kembali lagi ke lantai. Setelah dia memerciki air di atas lantai yang berdebu, orang tersebut bisa menyapu lantai dengan lebih gampang.  Disini kita bisa melihat bahwa sapu bisa melambangkan kerja-kerja aktif kita di dunia untuk kerajaan Allah, akan tetapi percikan air, yang melambangkan rahmat Tuhan, juga diperlukan untuk membantu sapu mencapai tujuan akhirnya. 

Analogi antara sapu dan air ini merupakan contoh bahwa kita bekerja sama dengan Tuhan untuk membangun Kerajaan Allah. Kita harus menggunakan segala kemampuan kita untuk membangun perdamaian dan keadilan di dunia ini. Meski demikian, kita juga membutuhkan rahmat Tuhan untuk mencapai tujuan kita mewujudkan perdamaian dan keadilan di muka bumi ini. 

Saya baru saja memulai perjalanan saya sebagai seorang Imam Yesuit. Oleh karena itu saya meminta tolong doa kalian semua agar saya bisa menjadi Imam Yesuit yang rendah hati dan penuh pengharapan. Saya ingin menjadi seorang Imam Yesuit yang penuh pengharapan karena saya ingin membantu memberikan harapan kepada orang banyak di tengah penderitaan mereka. 

Akan tetapi, sebagai seorang Imam Yesuit, saya sadar bahwa ada keterbatasan bagi kita umat manusia karena usia, kemampuan fisik dan pikiran, dan akan tiba saatnya ketika harus menyadari bahwa misi kita di dunia ini tidak selesai. Oleh karena, seperti yang dikatakan oleh Santo Ignatius, “Hanya rahmat dan cintaMu padaku yang ku mohon menjadi milikku.”

Tuhan memberkati kalian semua. 

Previous
Previous

Community

Next
Next

Pendatang Baru