Love in the Time of Covid-19
Rm. Effendi Kusuma Sunur, SJ
Siapakah dari Anda yang pernah membaca novel Gabriel García Márquez, pemenang Nobel Sastra di tahun 1982, yang berjudul “Love in the Time of Cholera”, atau, paling tidak menontonnya di film dengan judul yang sama? Singkatnya, dikisahkan dua sejoli Florentino Ariza dan Fermina Daza yang saling jatuh cinta dan mabuk kepayang sehingga dunia ini adalah milik mereka berdua. Namun apa daya, ayah sang gadis tak merestui dan mereka harus berpisah kota. Sang gadis, Fermina pada akhirnya menyadari bahwa cintanya kepada Florentino tidak realistis dan lebih memilih seorang dokter yang mempunyai reputasi tinggi, terhormat dan kaya-raya, Juvenal Urbino. Fermina tahu bahwa ia tak mencintai Juvenal, namun bujukan ayahnya membuatnya menerima orang terhormat itu sebagai suaminya. Juvenal sebagai dokter memunyai komitmen untuk memberantas kolera pada zamannya adalah orang yang terhormat dan tampak sangat disiplin. Walaupun demikian, akhirnya ia mengakui kegagalannya, yakni ia pernah melakukan perselingkuhan dalam perkawinannya. Fermina tetap melanjutkan hidupnya dengan Juvenal lengkap dengan segala jatuh-bangunnya sebuah perkawinan.
Florentino sendiri patah hati namun bersumpah untuk setia kepada Fermina. Walau dia menampakkan diri sebagai seorang “playboy” dengan menjalin relasi dengan ratusan perempuan, Florentino memutuskan untuk menyimpan Fermina di sudut hatinya yang paling dalam, yang tak mungkin diraih oleh siapapun. Ketika Juvenal meninggal, Florentino yang sudah berpisah dari Fermina sekitar lima dekade, mendekati Fermina dan memohon untuk menerimanya sebagai pasangan hidupnya. Walau sempat ragu, Fermina akhirnya menerima Florentino sebagai pasangan dan cinta sejatinya. Terpisah dalam waktu lima dekade dan ditawari begitu banyak kemungkinan serta dihantui ketidakpastian, Florentino tetap berpegang teguh pada apa yang diyakininya: Fermina adalah cinta sejatinya.
Kita yang ada di dalam masa pandemi ini juga melihat karya fiksi ini sebagai sesuatu yang dekat dengan kita. Bukan karena kita mempunyai kesamaan atau kemiripan dengan cerita Florentino atau Fermina, tetapi kita diajak untuk merenungkan cinta yang sejati sekaligus manusiawi sebagaimana yang ditunjukkan oleh Florentino dalam masa adanya penyakit yang mendesak ditangani. Sejati karena dia memelihara komitmen untuk tetap mencintai Fermina dengan segala kemuraman hidup; dan manusiawi karena segala keinginan luhurnya bercampur dengan segala hasrat kelelakiannya untuk bisa mendapatkan pasangan, walau sementara. Fermina pun tak lepas dari kemanusiaannya. Ia memilih seseorang yang tidak dicintainya demi kemapanan hidup. Dari dua sosok ini, tampak bahwa manusia, kita semua, mampu mencintai dalam berbagai tingkatan. Juga, seberapa mampunya kita mencintai dapat diukur dari cara kita bertindak dan berpikir saat ancaman dan ketidakpastian dalam hidup hadir.
Dalam tradisi kristiani, ada setidaknya 4 macam cinta, yakni eros, storge, filia dan agape. Eros adalah cinta yang sensual dan romantis, yang kalau sudah melekat, mampu membuat “tahi kambing serasa coklat.” Ini adalah jenis cinta yang sering kita lihat ketika seseorang mengalami jatuh cinta kepada lawan jenisnya. Storge adalah cinta yang kepada keluarga, sebuah kecondongan alamiah untuk mencintai mereka yang berkerabat dekat seperti orangtua kepada anak-anaknya. Filia adalah rasa cinta kepada sahabat dan kerabat dan agape adalah cinta tak bersyarat, yang memberikan diri untuk orang yang dikasihinya.
Pandemi ini juga menguji kadar dan tingkatan cinta kita. Di tengah banyak keadaan yang tak ideal: kehilangan pekerjaan, berkurangnya pendapatan, bahaya penularan, sakit dan kematian menjadi sesuatu akrab tetapi tetap menakutkan. Kolera, pes hitam, flu spanyol, atau covid adalah sebuah situasi yang mengancam serta membuat kita tak lagi merasa nyaman dan aman. Tepat di sinilah manusia seperti apa kita ditentukan kemampuan kita untuk mencintai, dan tentunya cinta yang tidak biasa-biasa saja. Bukan cinta sensual dan romantis, bukan juga hanya storge yang memang secara alamiah melekat pada kita. Tapi cinta dalam jenis filia dan tentunya cinta yang dalam pengertian agape. Yesus pernah berkata, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13). Ini adalah cinta yang filia sekaligus agape di mana cinta kepada sahabat bercampur dengan sebuah pemberian diri sampai tuntas, yakni pemberian kehidupan itu.
Kita adalah manusia rapuh, tapi kita adalah anak-anak Allah yang mempunyai kemampuan mencintai sama seperti Yesus mencintai. Pandemi, situasi yang merongrong kerapuhan kita, dan saat ini, cinta kita diuji bukan hanya dengan ancaman bahaya sakit dan kematian tetapi juga ketidakpastian akan bangkitnya ekonomi global kita yang terpuruk. Inilah saatnya cinta kita diukur, bukan oleh orang lain, tetapi oleh diri kita sendiri. Bahaya dan ketidakpastian menantang kita untuk bisa semakin mencintai sebagaimana Yesus melakukannya dalam hidupnya. Bahkan ketika bahaya kematian mendatangiNya, Yesus tidak melarikan diri tetapi menghadapinya dengan pemberian diri seutuhnya. Bahkan ketika ia merasa ditinggalkan oleh murid-murid yang sekaligus sahabat-sahabatNya, Ia tidak menjadikan kekecewaan dan ketakutanNya sebagai alasan untuk membenci mereka. Ia menjawab mereka dengan memikul salibNya sampai ke Golgota dan menyerahkan diriNya, hidupNya di sana yang merupakan lambang aib bagi sebagian besar orang. Kisah cinta manusiawi ditunjukkan oleh Yesus, dan cinta manusiawi kita bisa mencapai apa yang disebut sebagai cinta ilahi sebagaimana yang ditunjukkan oleh Yesus.
Kita akan segera merayakan Imlek, Valentine dan memasuki masa prapaskah di dalam pandemi ini. Valentine sebagai hari merayakan cinta hendaknya tidak dilihat sebagai sebuah perayaan eros, cinta romantis dan sensual belaka. Imlek juga hendaknya tidak dilihat semata perayaan cinta yang disebut storge semata. Justru di masa pandemi ini, ketika bahaya sakit dan kematian serta ketidakpastian menghantui hidup kita, ada sebuah ajakan untuk belajar mencintai melampaui masa-masa normal. Ada berkat terselubung dalam bahaya dan ketidakpastian, yakni kita semakin mengerti kemampuan mencintai kita dan belajar mencintai lebih dari sebelumnya. Kita diajak untuk mencintai lebih dari cinta romantic dan kekeluargaan, tapi juga cinta dalam persahabatan dengan semua orang dan cinta yang sanggup membuat kita mengorbankan diri demi kebaikan dan kebahagiaan yang lain.
Mungkin kita bisa menggunakan masa prapaskah sebagai masa belajar mencintai seperti Yesus. Dengan solidaritas dan berbela rasa kepada mereka yang paling kurang di antara kita, bukan hanya kurang dalam hal material tetapi juga yang immaterial. Bukan kepada orang-orang tertentu saja tetapi kepada siapapun yang paling dipinggirkan, dipojokkan, dan tidak dipedulikan. Dengan demikian, cinta kita menjadi cinta yang semakin universal, yang menembus tembok-tembok dan pembatas yang ada dalam pikiran kita. Cinta universal itu adalah cinta Yesus, dan kita mau mengikutiNya secara lebih dekat dan mencintaiNya secara lebih dalam.
Selamat merayakan Imlek, Valentine dan memasuki masa prapaskah!!