The Gifts Of The Holy Spirit
Tahukah Anda ..
How many are the gifts of the Holy Spirit ?
1 Corinthians 12:4-6 “There are different kinds of spiritual gifts but the same Spirit; there are different forms of service but the same Lord; there are different workings but the same God who produces all of them in everyone”
According to Catholic Tradition, how many are the gifts of the Holy Spirit that were to descend upon us at the Sacrament of Confirmation?
a. Three
b. The number is different from one another, depending how focus we are during the Sacrament of Confirmation.
c. Seven
d. Ten
e. Are there such a thing?
Answer: C
The seven gifts of the Holy Spirit are, according to Catholic Tradition, wisdom, understanding, counsel, fortitude, knowledge, piety, and fear of God. The standard interpretation has been the one that St.Thomas Aquinas worked out in the thirteenth century in his Summa Theologiae:
Wisdom is both the knowledge of and judgment about “divine things” and the ability to judge and direct human affairs according to divine truth (I/I.1.6; I/II.69.3; II/II.8.6; II/II.45.1–5).
Understanding is penetrating insight into the very heart of things, especially those higher truths that are necessary for our eternal salvation—in effect, the ability to “see” God (I/I.12.5; I/II.69.2; II/II.8.1–3).
Counsel allows a man to be directed by God in matters necessary for his salvation (II/II.52.1).
Fortitude denotes a firmness of mind in doing good and in avoiding evil, particularly when it is difficult or dangerous to do so, and the confidence to overcome all obstacles, even deadly ones, by virtue of the assurance of everlasting life (I/II.61.3; II/II.123.2; II/II.139.1).
Knowledge is the ability to judge correctly about matters of faith and right action, so as to never wander from the straight path of justice (II/II.9.3).
Piety is, principally, revering God with filial affection, paying worship and duty to God, paying due duty to all men on account of their relationship to God, and honoring the saints and not contradicting Scripture. The Latin word ‘pietas’ denotes the reverence that we give to our father and to our country; since God is the Father of all, the worship of God is also called piety (I/II.68.4; II/II.121.1).
Fear of God is, in this context, “filial” or chaste fear whereby we revere God and avoid separating ourselves from him—as opposed to “servile” fear, whereby we fear punishment (I/II.67.4; II/II.19.9).
These are heroic character traits that Jesus Christ alone possesses in their plenitude but that he freely shares with the members of his mystical body (i.e., his Church). These traits are infused into every Christian as a permanent endowment at his baptism, nurtured by the practice of the seven virtues, and sealed in the sacrament of confirmation. They are also known as the sanctifying gifts of the Spirit, because they serve the purpose of rendering their recipients docile to the promptings of the Holy Spirit in their lives, helping them to grow in holiness and making them fit for heaven.
These gifts, according to Aquinas, are “habits,” “instincts,” or “dispositions” provided by God as supernatural helps to man in the process of his “perfection.” They enable man to transcend the limitations of human reason and human nature and participate in the very life of God, as Christ promised (John 14:23). Aquinas insisted that they are necessary for man’s salvation, which he cannot achieve on his own. They serve to “perfect” the four cardinal or moral virtues (prudence, justice, fortitude, and temperance) and the three theological virtues (faith, hope, and charity). The virtue of charity is the key that unlocks the potential power of the seven gifts, which can (and will) lie dormant in the soul after baptism unless so acted upon.
Because “grace builds upon nature” (ST I/I.2.3), the seven gifts work synergistically with the seven virtues and also with the twelve fruits of the Spirit and the eight beatitudes. The emergence of the gifts is fostered by the practice of the virtues, which in turn are perfected by the exercise of the gifts. The proper exercise of the gifts, in turn, produces the fruits of the Spirit in the life of the Christian: love, joy, peace, patience, kindness, goodness, generosity, faithfulness, gentleness, modesty, self-control, and chastity (Gal. 5:22–23). The goal of this cooperation among virtues, gifts, and fruits is the attainment of the eight-fold state of beatitude described by Christ in the Sermon on the Mount (Matt. 5:3–10).
Source/Sumber: Catholic Answer
https://www.catholic.com/magazine/print-edition/the-seven-gifts-of-the-holy-spirit
(Indonesian translation)
Karunia Roh Kudus
1 Korintus 12:4-6 “Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang”
Menurut Tradisi Katolik, ada berapa karunia Roh Kudus yang kita terima saat Sakramen Krisma?
A. Tiga
B. Jumlahnya berbeda-beda satu sama lain, tergantung seberapa fokus kita saat Sakramen Krisma.
C. Tujuh
D. Sepuluh
E. Apakah benar ada hal seperti itu?
Jawaban: C
Tujuh karunia Roh Kudus, menurut Tradisi Katolik, adalah Kebijaksanaan, Pengertian, Nasihat, Ketabahan Hati, Pengetahuan, Kesalehan, dan Takut akan Tuhan. Interpretasi standar ini adalah yang dibuat oleh St. Thomas Aquinas pada abad ketiga belas dalam Summa Theologiae-nya:
Kebijaksanaan adalah pengetahuan dan penilaian tentang “hal-hal ilahi” dan kemampuan untuk menilai dan mengarahkan urusan manusia berdasarkan kebenaran ilahi (I/I.1.6; I/II.69.3; II/II.8.6;II/II.45.1 –5).
Pengertian adalah kemampuan untuk menembus wawasan ke hal yang paling dalam, terutama hal kebenaran yang diperlukan untuk keselamatan jiwa kita—efektifnya, kemampuan untuk “melihat” Tuhan (I/I.12.5; I/II.69.2; II/II. 8.1–3).
Nasihat memungkinkan seseorang untuk diarahkan oleh Tuhan dalam hal yang diperlukan untuk keselamatan jiwanya (II/II.52.1).
Ketabahan hati berarti keteguhan dalam berbuat baik dan menjauhi kejahatan, terutama ketika seseorang sulit atau membahayakan untuk berbuat baik, disertai keyakinan dan kemampuan untuk mengatasi segala rintangan, termasuk rintangan yang dapat mengambil jiwa seseorang, dengan tujuan kehidupan abadi II/II. 61.3; II/II.123.2; II/II.139.1).
Pengetahuan adalah kemampuan menilai secara benar dalam hal iman dan kebenaran, agar tidak menyimpang dari keadilan (II/II.9.3).
Kesalehan pada prinsipnya adalah menghormati Tuhan dalam kasih sayang anak terhadap Bapak, setia melakukan ibadah dan kewajiban kepada Tuhan, memberikan kewajiban kepada semua orang berdasarkan hubungan manusia dan Tuhan, dan menghormati orang-orang kudus dan tidak bertentangan dengan Kitab Suci. Kata Latin ‘pietas’ menunjukkan rasa hormat yang kita berikan kepada ayah dan negara kita; karena Tuhan adalah Bapak segala bangsa, maka melakukan ibadah kepada Tuhan adalah kesalehan (I/II.68.4; II/II.121.1).
Takut akan Tuhan, dalam konteks ini, adalah rasa untuk “berbakti” atau rasa takut yang membuat kita menghormati Tuhan dan tidak memisahkan diri dari-Nya—berbeda dengan rasa takut karena hukuman (I/II.67.4; II/II.19.9 ).
Karunia-karunia ini, menurut Santo Aquinas, adalah “kebiasaan”, “naluri”, atau “watak” yang diciptakan Tuhan sebagai bantuan supernatural untuk manusia dalam proses “kesempurnaannya”. Hal-hal tersebut memampukan manusia untuk melampaui keterbatasan akal budi dan kodrat manusia serta berpartisipasi dalam kehidupan Allah, seperti yang dijanjikan Kristus (Yohanes 14:23). Santo Aquinas menegaskan bahwa hal-hal tersebut diperlukan untuk keselamatan manusia, yang tidak dapat dicapainya sendiri. Karunia ini berfungsi untuk “menyempurnakan” empat kebajikan pokok atau kardinal (kebijaksanaan, keadilan, keberanian, dan penguasaan diri) dan tiga kebajikan teologis (iman, harapan, dan kasih). Kasih adalah kunci yang membuka potensi kekuatan tujuh karunia, artinya menjadikan tujuh karunia pasif setelah Sakramen Baptis kecuali ada kasih.
Karena “kasih karunia terbentuk secara natural” (ST I/I.2.3), ketujuh karunia itu bekerja secara sinergis dengan tujuh kebajikan, juga dengan dua belas buah-buah Roh Kudus dan delapan Ucapan Bahagia. Munculnya karunia-karunia tersebut dipupuk oleh praktik kebajikan, disempurnakan dengan penerapan karunia tersebut. Penggunaan karunia yang benar, akan menghasilkan buah-buah Roh Kudus dalam kehidupan: kasih, sukacita, kedamaian, kesabaran, kemurahan, kebaikan, murah hati, kesetiaan, kelembutan, kesopanan, pengendalian diri, dan kesucian ( Gal.5:22–23). Tujuan dari kerja sama antara kebajikan, karunia, dan dua bleas buah ini adalah untuk mencapai delapan ucapan kebahagiaan yang dijelaskan oleh Kristus dalam Khotbah di atas Bukit (Mat. 5:3-10).
Bersepeda Bersama Yesus
Hidupku menjadi bagaikan sebuah arena balap sepeda, tetapi sepedanya adalah sepeda tandem, dan aku tahu bahwa Yesus duduk di belakang, membantu aku mengayuh pedal sepeda
Pada awalnya, aku memandang Tuhan sebagai seorang pengamat; seorang hakim yang mencatat segala kesalahanku, sebagai bahan pertimbangan apakah aku akan dimasukkan ke surga atau dicampakkan ke dalam neraka pada saat aku mati. Dia terasa jauh sekali, seperti seorang raja. Aku tahu Dia melalui gambar-gambar-Nya, tetapi aku tidak mengenal-Nya.
Ketika aku bertemu Yesus, pandanganku berubah. Hidupku menjadi bagaikan sebuah arena balap sepeda, tetapi sepedanya adalah sepeda tandem, dan aku tahu bahwa Yesus duduk di belakang, membantu aku mengayuh pedal sepeda. Aku tidak tahu sejak kapan Yesus mengajakku bertukar tempat, tetapi sejak itu hidupku jadi berubah. Saat aku pegang kendali, aku tahu jalannya. Terasa membosankan, tetapi lebih dapat diprediksi ... biasanya, hal itu tak berlangsung lama. Tetapi, saat Yesus kembali pegang kendali, Ia tahu jalan yang panjang dan menyenangkan. Ia membawaku mendaki gunung, juga melewati batu-batu karang yang terjal dengan kecepatan yang menegangkan. Saat-saat seperti itu, aku hanya bisa menggantungkan diriku sepenuhnya pada-Nya!
Terkadang rasanya seperti sesuatu yang 'gila', tetapi Ia berkata, "Ayo, kayuh terus pedalnya!" Aku takut, khawatir dan bertanya, "Aku mau dibawa ke mana?" Yesus tertawa dan tak menjawab, dan aku mulai belajar percaya.
Aku melupakan kehidupan yang membosankan dan memasuki suatu petualangan baru yang mencengangkan. Dan ketika aku berkata, "Aku takut!" Yesus menurunkan kecepatan, mengayuh santai sambil menggenggam tanganku.
Ia membawaku kepada orang-orang yang menyediakan hadiah-hadiah yang aku perlukan... orang-orang itu membantu menyembuhkan aku, mereka menerimaku dan memberiku sukacita. Mereka membekaliku dengan hal-hal yang aku perlukan untuk melanjutkan perjalanan... perjalananku bersama Tuhanku.
Lalu, kami pun kembali mengayuh sepeda kami. Kemudian, Yesus berkata, "Berikan hadiah-hadiah itu kepada orang-orang yang membutuhkannya; jika tidak, hadiah-hadiah itu akan menjadi beban bagi kita." Maka, aku pun melakukannya. Aku membagi-bagikan hadiah-hadiah itu kepada orang-orang yang kami jumpai, sesuai kebutuhan mereka. Aku belajar bahwa ternyata memberi adalah sesuatu yang membahagiakan.
Pada mulanya, aku tidak ingin mempercayakan hidupku sepenuhnya kepadaNya. Aku takut Ia menjadikan hidupku berantakan; tetapi Yesus tahu rahasia mengayuh sepeda. Ia tahu bagaimana menikung di tikungan tajam, Ia tahu bagaimana melompati batu karang yang tinggi, Ia tahu bagaimana terbang untuk mempercepat melewati tempat-tempat yang menakutkan. Aku belajar untuk diam sementara terus mengayuh... menikmati pemandangan dan semilir angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahku selama perjalanan bersama Sahabatku yang setia: Yesus Kristus.
Dan ketika aku tidak tahu apa lagi yang harus aku lakukan, Yesus akan tersenyum dan berkata... "Mengayuhlah terus, Aku bersamamu."
sumber: “Thoughts For The Day” by Chuck Ebbs
“When You Arrive Late to Mass, Do You Commit a Sin?”
According to Fr. Miguel A Fuentes, IVE, the precept of the Church concerning the Mass says: “The first precept: You shall attend the entire Mass on Sundays and holy days of obligation.” (Catechism n. 2042). “The entire Mass” indicates physical presence and attention. This presence must be continuous, that is, lasting from the beginning to the end of the Mass so that one who omits the most important part of the Mass does not fulfill this precept. In particular:
1) He who omits the consecration (for example going outside), even if they are present the whole time before and after the consecration, does not fulfill the precept.
2) He who arrives after the offertory does not fulfill the precept.
3) He who arrives at the Gospel and also leaves immediately after communion does not fulfill the precept.
In these cases, clearly, I am referring to an absence from Mass without a just cause. It is not the case for the sick person who for one reason or another must leave the Church because of their illness or for parents who have to leave for their children, etc.
In short, this is why, we need to pay more attention to the reason why a person does not attend Mass. It could be that the negligence causing him to be late implies that he has little appreciation for the Holy Sacrifice of the Mass.
Father Edward McNamara, professor of liturgy at the Pontifical Athenaeum Regina Apostolorum explained that arriving on time is not just a question of obligation but of love and respect for Our Lord who has gathered us together to share his gifts, and who has some grace to communicate to us in each part of the Mass.
Fr. McNamara added that it is also a sign of respect for the community with whom we worship and who deserves our presence and the contribution of our prayers in each moment. The liturgy is essentially the worship of Christ's body, the Church. Each assembly is called upon to represent and manifest the whole body but this can hardly happen if it forms itself in drips and drabs after the celebration has begun. Thus, people who arrive late to Mass have to honestly ask themselves: Why? If they arrive late because of some justified reason or unforeseen event, such as blocked traffic due to an accident, they have acted in good conscience and are not strictly obliged to assist at a later Mass (although they would do well to do so if they arrive very late and it is possible for them).
Fr. McNamara noted that if people arrive late due to culpable negligence, and especially if they do so habitually, then they need to seriously reflect on their attitudes, amend their ways, and if necessary, seek the sacrament of reconciliation. Depending on how late they arrive they should prefer to honor the Lord’s Day by attending some other Mass, or, if this is not possible, at least remain in the Church after Mass is over and dedicate some time to prayer and reflection on the readings of the day.
Sources:
https://catholicqa.org/when-you-arrive-late-to-mass-do-you-commit-a-sin/
https://www.ewtn.com/catholicism/library/communion-for-late-arrivals-at-mass-4974
===============================================
“Ketika Anda Datang Terlambat ke Misa, Apakah Anda Melakukan Dosa?”
Menurut Fr. Miguel A Fuentes, IVE, ajaran Gereja mengenai Misa mengatakan: “Sila pertama: Anda harus menghadiri seluruh Misa pada hari Minggu dan hari-hari suci wajib.” (Katekismus no. 2042). “Keseluruhan Misa” menunjukkan kehadiran dan perhatian fisik. Kehadiran ini harus berkesinambungan, yaitu berlangsung dari awal hingga akhir Misa, sehingga siapa pun yang melewatkan bagian terpenting Misa tidak memenuhi aturan tersebut. Secara khusus:
1) Siapa yang mengabaikan konsekrasi (misalnya pergi ke luar), meskipun mereka hadir sepanjang waktu sebelum dan sesudah konsekrasi, tidak memenuhi sila.
2) Siapa pun yang datang setelah persembahan tidak memenuhi perintah.
3) Siapa pun yang tiba pada Injil dan juga segera pergi setelah komuni, tidak memenuhi perintah tersebut.
Dalam kasus ini, jelas yang saya maksud adalah ketidakhadiran Misa tanpa alasan yang masuk akal. Tidak demikian halnya dengan orang sakit yang karena satu dan lain hal harus meninggalkan Gereja karena penyakitnya atau orang tua yang harus meninggalkan Gereja demi anak-anaknya, dan sebagainya.
Singkatnya, inilah sebabnya, kita perlu lebih memperhatikan alasan seseorang tidak ikut Misa. Bisa jadi kelalaian yang menyebabkan dia terlambat itu menyiratkan bahwa dia kurang menghargai Kurban Kudus Misa.
Father Edward McNamara, profesor liturgi di Regina Apostolorum Pontifical Athenaeum menjelaskan bahwa datang tepat waktu bukan hanya soal kewajiban tetapi juga cinta dan rasa hormat kepada Tuhan kita yang telah mengumpulkan kita untuk berbagi karunia-Nya, dan yang memiliki rahmat untuk berkomunikasi kepada kita di setiap bagian Misa.
Fr. McNamara menambahkan, hal ini juga merupakan tanda penghormatan terhadap komunitas yang kita sembah dan berhak atas kehadiran kita serta kontribusi doa kita di setiap momen. Liturgi pada hakikatnya adalah penyembahan tubuh Kristus, yaitu Gereja. Tiap-tiap majelis dipanggil untuk mewakili dan mewujudkan keseluruhan tubuh, namun hal ini hampir tidak mungkin terjadi jika ia membentuk dirinya sendiri secara samar-samar setelah perayaan dimulai. Oleh karena itu, orang-orang yang datang terlambat ke Misa harus dengan jujur bertanya pada diri sendiri: Mengapa? Jika mereka datang terlambat karena suatu alasan yang dapat dibenarkan atau kejadian yang tidak terduga, seperti kemacetan lalu lintas karena kecelakaan, mereka telah bertindak dengan hati nurani yang baik dan tidak diwajibkan untuk datang hadir pada Misa berikutnya (walaupun mereka sebaiknya melakukan hal tersebut jika mereka datang sangat terlambat dan memungkinan bagi mereka).
Fr. McNamara mencatat bahwa jika seseorang datang terlambat karena kelalaiannya, dan terutama jika mereka melakukannya karena kebiasaan, maka mereka perlu secara serius merenungkan sikap mereka, mengubah cara mereka, dan jika perlu, mengupayakan sakramen rekonsiliasi. Tergantung pada seberapa terlambat mereka tiba, mereka sebaiknya memilih untuk menghormati Hari Tuhan dengan menghadiri Misa lain, atau, jika hal ini tidak memungkinkan, setidaknya tetap berada di Gereja setelah Misa selesai dan meluangkan waktu untuk berdoa dan merenungkan bacaan-bacaan hari itu.
Sumber:
https://catholicqa.org/when-you-arrive-late-to-mass-do-you-commit-a-sin/
https://www.ewtn.com/catholicism/library/communion-for-late-arrivals-at-mass-4974
“Advent: What are We Preparing For?”
By John M. Grondelski, an author of Catholic Living Magazine and former associate dean of the School of Theology, Seton Hall University, South Orange, New Jersey. He is especially interested in moral theology and the thought of John Paul II.
Advent means “coming” or “arrival.” It is the season preceding Christmas, encompassing at least the four Sundays prior to December 25. (I say “at least” because, as you may notice this year, the “Fourth Week” of Advent is actually only the Fourth Sunday of Advent, as Christmas falls on a Wednesday in 2024.) The “four weeks” of Advent allude to the four thousand years that were literally attributed to the interval between the fall of Adam and the birth of Jesus Christ.
When most Catholics talk about Advent, they speak of it as “preparation for Christmas.” That’s not necessarily wrong, inasmuch as celebration of the commemoration of the Nativity of the Lord requires preparation.
But let’s recognize that, in commemorating Christ’s Nativity, we are in fact remembering a past event. Jesus was born over two thousand years ago.
When we look at how Advent is structured, the truth is that the focus on Jesus’ birth becomes predominant only in the season’s last nine days—i.e., December 16-24. That’s when the Gospels specifically center on the historical birth of Jesus in Bethlehem. That’s when the Preface used for Mass speaks most directly to the historical nativity of Christ.
The greater part of Advent—the 13-18 days (depending on when Advent starts) preceding December 16—is not focused on Jesus’ first coming in Bethlehem. It is focused on his second coming at the end of time.
Advent opens with an eschatological focus. In that sense, it continues the eschatological focus of the last weeks of Ordinary Time. The Thirty-Third Sunday of Ordinary Time and the First Sunday of Advent always have a judgment motif, either the Lord’s return at the end of time (Ordinary Time) or the need for watchfulness and sober readiness for that coming (Advent). The Solemnity of Christ the King hinges them together: Jesus is King of the Universe.
We need to be preparing not for a past event, but a future one. That’s why, at every Mass, after the Our Father, the priest prays that we be delivered from evil to await Jesus’ return in “joyful hope.”
I’ve been asked whether Advent is still a “penitential season.” At one time, it clearly was, though some people today are confused. Yes, the priest’s vestments are purple, a penitential color. But some of the spiritual exercises of yesteryear—missions, retreats, extended confession hours—seem to have disappeared. And if you ask a canon lawyer, he’ll tell you that the Church’s penitential times are “every Friday of the whole year and the season of Lent” (CIC 1250).
Well, solid Catholic spirituality starts with good Catholic theology, not canon law. Law exists to serve the faith and its appropriation by Catholics. So is Advent still a “penitential season”?
It is, in the sense that all times are penitential times. The Catholic is called to constant conversion. Conversion is an ongoing aspect of the Christian life. There are times in our life when conversion may have a greater focus and others when it has a lesser focus, but there is no time when attention to conversion can be absent. Jesus calls us to “be perfect as your heavenly Father is perfect” (Matt. 5:48), a constant task. So, yes, to the degree that we are all affected by sin (and we all are to a greater or lesser degree), in that measure, we also are all called to conversion.
But the conversion we are called to in Advent has a distinctive character: one of “joyful hope.” A Catholic living Advent today is in a better position than Messianic prophets like Isaiah and Micah: he knows how the story turned out in Jesus of Nazareth. At the same time, today’s Catholic also knows how the story will turn out: the triumph of God and goodness, “when everything is subjected to him . . . so that God may be all in all” (1 Cor. 15:28). We know that God, who will come to judge the living and the dead, will prevail. The only thing we do not know is on which side we will be in that judgment: among the sheep or the goats.
That is why Advent is a time of preparation and conversion: it is a time to make myself ready “for the coming of our Savior, Jesus Christ,” judge of the living and the dead, King of the Universe. The way I prepare myself is through conversion of heart, from turning from creatures to the Creator, from sin to grace. So pastors should restore some of the old Advent staples, like a parish mission, or at least extended hours for sacramental penance.
The liturgical calendar is not intended to be a re-enactment of the life of Christ. Rather, it is intended systematically, year after year, to lead us through the high points of the life of Christ, from his birth to his resurrection, ascension, and sending of the Holy Spirit. Obviously, Jesus is not born every December 25.
The liturgical calendar is similar to the rosary. Throughout the year, meditating on the mysteries of the rosary leads us through the most important events of Jesus’ life, death, and resurrected life. All those events retain a constant relevance for the Christian: that’s why we commemorate the glorious mysteries in Lent and the sorrowful mysteries in Eastertide. There is one, integral life of Christ that remains the normative measure for every Christian. Whether we meditate on them in the rosary or observe them through the course of the liturgical year, the motif should be the same: how these elements of his life shape ours.
Advent reminds us of what Jesus did for us so that, “now” (that little word we repeat in every Hail Mary), we may, by the prayers of Mary and all the saints, turn from whatever separates us from God and to God himself. Advent reminds us that “now” is the only moment we actually have and are promised, as we have no guarantees of our future. So we seize the moment of grace, the kairos that is “now,” to prepare for him who, by his past coming, made us aware he is coming back and that “my reward is with me, and I will give to each person according to what he has done” (Rev. 22:12).
What is our response, for which we prepare during Advent and our entire lives? The very last words of the Bible: “Come Lord Jesus!” (Rev. 22:20). Maranatha!
Source:
https://www.catholic.com/magazine/online-edition/advent-what-are-we-preparing-for
==========================================
“Adven: Apa Yang Kita Persiapkan?”
Oleh John M. Grondelski, penulis Catholic Living Magazine dan mantan dekan Fakultas Teologi, Universitas Seton Hall, South Orange, New Jersey. Beliau khususnya tertarik pada teologi moral dan pemikiran Yohanes Paulus II.
Advent berarti “kedatangan.” Ini adalah musim sebelum Natal, mencakup setidaknya empat hari Minggu sebelum tanggal 25 Desember. (Saya katakan “setidaknya” karena, seperti yang mungkin Anda perhatikan tahun ini, “Minggu Keempat” Adven sebenarnya hanyalah Minggu Adven Keempat, karena Natal jatuh pada hari Rabu di tahun 2024.) “Empat minggu” Adven mengacu pada empat ribu tahun yang secara harafiah dikaitkan dengan selang waktu antara kejatuhan Adam dan kelahiran Yesus Kristus.
Ketika sebagian besar umat Katolik berbicara tentang Adven, mereka menyebutnya sebagai “persiapan untuk Natal.” Hal tersebut tidak salah, karena perayaan peringatan Kelahiran Tuhan memerlukan persiapan.
Namun mari kita sadari bahwa dalam memperingati Kelahiran Kristus, kita sebenarnya sedang mengenang peristiwa masa lalu. Yesus lahir lebih dari dua ribu tahun yang lalu.
Ketika kita melihat bagaimana struktur Adven, sebenarnya fokus pada kelahiran Yesus menjadi dominan hanya pada sembilan hari terakhir musim tersebut—yaitu, 16-24 Desember. Saat itulah Injil secara khusus berpusat pada sejarah kelahiran Yesus di Betlehem. Pada saat itulah Kata Pengantar yang digunakan dalam Misa berbicara secara langsung mengenai sejarah kelahiran Kristus.
Sebagian besar masa Adven—13-18 hari (tergantung kapan Adven dimulai) sebelum tanggal 16 Desember—tidak berfokus pada kedatangan Yesus yang pertama di Betlehem. Fokusnya adalah pada kedatangan-Nya yang kedua kali di akhir zaman.
Adven dibuka dengan fokus eskatologis. Dalam pengertian ini, ini melanjutkan fokus eskatologis dari minggu-minggu terakhir Masa Biasa. Minggu Biasa Ketiga Puluh Tiga dan Minggu Pertama Adven selalu mempunyai motif penghakiman, entah kedatangan Tuhan kembali di akhir zaman (Waktu Biasa) atau perlunya kewaspadaan dan kesiapan sadar untuk kedatangan itu (Adven). Hari Raya Kristus Raja menyatukan semuanya: Yesus adalah Raja Alam Semesta.
Kita perlu bersiap bukan untuk kejadian di masa lalu, tapi untuk kejadian di masa depan. Itu sebabnya, pada setiap Misa, setelah doa Bapa Kami, imam berdoa agar kita dibebaskan dari kejahatan untuk menantikan kedatangan Yesus kembali dalam “pengharapan yang penuh sukacita.”
Saya ditanya apakah Adven masih merupakan “musim pertobatan.” Pada suatu waktu, hal itu jelas terjadi, meskipun beberapa orang saat ini bingung. Ya, jubah imam berwarna ungu, warna pertobatan. Namun beberapa latihan rohani di masa lalu—misi, retret, perpanjangan jam pengakuan dosa—tampaknya telah hilang. Dan jika Anda bertanya kepada ahli hukum kanon, dia akan memberi tahu Anda bahwa masa pertobatan Gereja adalah “setiap hari Jumat sepanjang tahun dan masa Prapaskah” (CIC 1250).
Spiritualitas Katolik yang kuat dimulai dengan teologi Katolik yang baik, bukan hukum kanon. Hukum ada untuk melayani iman dan penggunaannya oleh umat Katolik. Jadi apakah masa Adven masih merupakan “masa pertobatan”?
Artinya, semua masa adalah masa pertobatan. Umat Katolik dipanggil untuk melakukan pertobatan terus-menerus. Pertobatan adalah aspek berkelanjutan dalam kehidupan Kristen. Ada saat-saat dalam hidup kita ketika pertobatan mungkin memiliki fokus yang lebih besar dan ada saat-saat ketika pertobatan memiliki fokus yang lebih kecil, namun tidak ada waktu ketika perhatian terhadap pertobatan bisa hilang. Yesus memanggil kita untuk “menjadi sempurna seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat. 5:48), sebuah tugas yang terus-menerus. Jadi, ya, sejauh kita semua dipengaruhi oleh dosa (dan kita semua, pada tingkat yang lebih besar atau lebih kecil), dalam ukuran itu, kita semua dipanggil untuk bertobat.
Namun pertobatan yang kita terima di masa Adven memiliki karakter yang khas: “pengharapan yang penuh sukacita.” Seorang Katolik yang hidup di Advent saat ini berada dalam posisi yang lebih baik daripada para nabi Mesianis seperti Yesaya dan Mikha: dia tahu bagaimana kisah Yesus dari Nazaret. Pada saat yang sama, umat Katolik masa kini juga mengetahui bagaimana kisah ini akan terjadi: kemenangan Tuhan dan kebaikan, “ketika segala sesuatunya tunduk kepada-Nya . . . supaya Allah menjadi segalanya” (1 Kor. 15:28). Kita tahu bahwa Tuhan, yang akan datang untuk menghakimi orang hidup dan orang mati, akan menang. Satu-satunya hal yang kita tidak tahu adalah di pihak mana kita akan berada dalam penghakiman itu: di antara domba atau kambing.
Itulah sebabnya masa Adven adalah masa persiapan dan pertobatan: masa ini adalah masa untuk mempersiapkan diri “menyongsong kedatangan Juruselamat kita, Yesus Kristus,” hakim bagi yang hidup dan yang mati, Raja Alam Semesta. Caraku mempersiapkan diri adalah melalui pertobatan hati, dari berpaling dari makhluk kepada Sang Pencipta, dari dosa menuju kasih karunia. Jadi para imam harus memulihkan beberapa hal pokok Advent yang lama, seperti misi paroki, atau setidaknya perpanjangan waktu untuk sakramental penebusan dosa.
Kalender liturgi tidak dimaksudkan sebagai peragaan ulang kehidupan Kristus. Sebaliknya, hal ini dimaksudkan secara sistematis, tahun demi tahun, untuk menuntun kita melewati puncak-puncak kehidupan Kristus, mulai dari kelahiran-Nya hingga kebangkitan-Nya, kenaikan-Nya, dan pengucuran Roh Kudus. Jelas sekali, Yesus tidak lahir setiap tanggal 25 Desember.
Kalender liturgi mirip dengan rosario. Sepanjang tahun, merenungkan misteri rosario membawa kita melalui peristiwa-peristiwa terpenting dalam kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus. Semua peristiwa tersebut tetap mempunyai relevansi bagi umat Kristiani: itulah sebabnya kita memperingati misteri-misteri mulia di masa Prapaskah dan misteri-misteri duka di masa Paskah. Ada satu kehidupan Kristus yang integral dan tetap menjadi ukuran normatif bagi setiap orang Kristen. Apakah kita merenungkannya dalam rosario atau mengamatinya sepanjang tahun liturgi, motifnya harus sama: bagaimana unsur-unsur kehidupan-Nya ini membentuk kehidupan kita.
Adven mengingatkan kita akan apa yang Yesus lakukan bagi kita sehingga, “sekarang” (kata kecil yang kita ulangi di setiap Salam Maria), kita dapat, melalui doa Maria dan semua orang kudus, berpaling dari apa pun yang memisahkan kita dari Tuhan dan kepada Tuhan. diri. Adven mengingatkan kita bahwa “sekarang” adalah satu-satunya momen yang benar-benar kita miliki dan dijanjikan, karena kita tidak memiliki jaminan akan masa depan kita. Jadi kita memanfaatkan momen rahmat, kairos yang ada “saat ini,” untuk bersiap menghadapi dia yang, dengan kedatangannya di masa lalu, menyadarkan kita bahwa dia akan datang kembali dan bahwa “upahanku ada pada diriku, dan aku akan memberikannya kepada setiap orang. sesuai dengan apa yang telah dilakukannya” (Wahyu 22:12).
Apa tanggapan kita, yang kita persiapkan selama masa Adven dan sepanjang hidup kita? Kata-kata terakhir dalam Alkitab: “Datanglah Tuhan Yesus!” (Wahyu 22:20). Maranatha!
Sumber:
https://www.catholic.com/magazine/online-edition/advent-what-are-we-preparing-for
Kekuatan Sebuah Doa
1 Tesalonika 5:18 - “Dalam segala hal bersyukur, karena itulah yang diinginkan Tuhan dalam Kristus Yesus untuk anda.”
Saya berterima kasih kepada Tuhan atas rasa sakitnya, saya berterima kasih kepada Tuhan atas kesembuhannya. Saya berterima kasih kepada Tuhan untuk semua teman dan keluarga saya dan saya berterima kasih kepada Tuhan atas anugerah kehidupan.
Selama 2 hari terakhir, punggung bawah saya sangat sakit. Suatu pagi saya bangun dan tidak bisa menahan rasa sakit. Saya kesakitan dan tidak yakin harus berbuat apa. Saya terus bertanya kepada Tuhan dalam doa saya mengapa saya kesakitan dan saya bertanya kepada-Nya apa yang harus saya lakukan.
Pada pagi hari Thanksgiving, saya masih kesakitan. Saya sangat ingin memasak tetapi rasa sakit membuat saya berpikir dua kali. Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak memasak. Tapi alhamdulillah, saya punya teman dan keluarga yang peduli meski saya tidak memberi tahu mereka bahwa saya kesakitan. Selama Thanksgiving ini, karena kami tidak bisa berkumpul karena COVID-19, mereka menawari saya jika saya ingin mampir dan mengambil makan malam dan melakukan makan malam zoom (ide yang bagus, bukan?). Entah bagaimana, saya bisa mengatur waktu saya untuk mengambil makanan, dan entah bagaimana dalam perjalanan, saya punya keinginan untuk pergi ke misa. Saya tahu saya akan melewati gereja yang akan mengadakan misa malam itu.
Selama misa, saya merasakan sakit yang luar biasa. Selama konsekrasi saya berdoa untuk rasa sakit saya tetapi ketika saya menerima komuni, saya memiliki perasaan yang mendesak untuk meminta kesembuhan dari Tuhan. Saya berdoa dan saya memohon. Tiba-tiba saya merasa saya harus mendoakan perintah-perintah. Saya perintahkan rasa sakit untuk pergi dan penyembuhan akan dilakukan.
Puji Tuhan, setelah berdoa…rasa sakitku berkurang. Saya berterima kasih kepada Tuhan atas kesembuhannya dan saya berterima kasih kepada Tuhan atas karunia iman.
-Anonymous-
Reparation, Restoration, and Elevation
Ada tiga penyangkalan dan sebelumnya tiga kali pernyataan kasih.
Apakah semua ini sebuah kebetulan belaka? Tentu saja tidak, semuanya telah diantisipasi oleh Yesus.
Perbaikan, Pemulihan, dan Pengangkatan
Dalam kisah sengsara Tuhan kita Yesus Kristus, diceritakan bagaimana Simon Petrus telah menyangkal Yesus sampai tiga kali, sebelum kemudian terdengar kokok ayam jantan yang menyadarkan sekaligus mengingatkannya kembali akan perkataan Yesus bahwa hal itu akan terjadi. (Mat 26:34)
Terjadinya penyangkalan itu terasa begitu menyentak hati dan menimbulkan sesal yang mendalam dalam diri Petrus, seorang murid yang begitu dekat dan dikasihi oleh Yesus. Seolah adalah sebuah kesalahan dan dosa yang begitu serius, berat, dan tidak terampuni. Seolah adalah sebuah akhir yang menyakitkan dari hubungan baik dan kedekatan yang terjalin begitu berarti dari seorang murid dengan sang guru yang dikasihinya. Seolah adalah sebuah kenyataan yang tidak perlu terjadi.
Ya,.. saya pun awalnya berpikir itu tidak perlu terjadi.
Tetapi saya pun beriman bahwa bagi Tuhan, tidak ada sesuatu pun yang sia-sia, termasuk peristiwa itu. Maka jadilah saya bertanya-tanya dan merenungkan dalam hati, mengapa Tuhan membiarkan penyangkalan itu terjadi. Terlebih lagi, apa yang Tuhan kehendaki dari peristiwa itu.
Dalam Mat 26:31-35 kita membaca bagaimana Simon Petrus dengan yakinnya berkata bahwa dia sesekali tidak akan pernah menyangkal Yesus meskipun dia harus mati bersamaNya. Bahwa meskipun iman semua orang lain goyah, imannya kepada Yesus tidak akan tergoyahkan. Sebuah pernyataan iman yang mungkin (bagi kita) terdengar begitu membesarkan hati, tetapi mungkin Yesus tidak ingin Petrus menonjolkan diri, merasa lebih hebat dan lebih kuat imannya daripada murid-murid yang lain ataupun orang lain. Yesus tidak ingin Petrus memiliki kesombongan rohani, Yesus tidak ingin Petrus menjadi lupa diri bahwa kemampuan manusia mempertahankan iman (seperti itu) hanya mungkin jika Roh Kudus bekerja bersamanya. Bukan keinginan dan kemampuan manusiawi semata.
Maka penyangkalan itu terjadi membawa makna akan perlunya penyertaan Roh Kudus dalam hidup pengikut Kristus, teristimewa dalam menghadapi masalah-masalah yang terasa berat. Itu terjadi agar kita, pengikut Kristus, selalu mengikutsertakan bahkan mengandalkan Roh Kudus. Penyangkalan itu terjadi sebagai pengingat abadi bahwa kita tidak sempurna, sang batu karang tidaklah sempurna, dan gereja tidaklah sempurna. Kesadaran yang membuahkan kerendahan hati untuk selalu mau bangkit dan memperbaiki diri agar tidak terjadi lagi penyangkalan-penyangkalan yang lain.
Dan penyangkalan itu sendiri ternyata bukanlah akhir buruk hubungan Petrus dengan gurunya. Petrus menyadari dan menyesali kesalahannya dan bertobat. Di sinilah terjadinya perbaikan (“reparation”) oleh kuasa Roh Kudus. Roh Kudus memperbaiki kesalahan yang dilakukan oleh diri Simon Petrus.
Tidak hanya berhenti pada penyesalan dan tobat, tetapi Simon Petrus juga bangkit, bersekutu dan membangun umat gereja pertama yang hakikatnya adalah gereja yang didirikan Tuhan Yesus sendiri. Di sinilah terjadinya pemulihan (“restoration”) oleh kuasa Roh Kudus.
Dan lihatlah bahwa Yesus memenuhi janjinya bahwa gereja yang didirikanNya akan bertahan sampai akhir jaman, sebagaimana tertulis dalam Mat 28: 20 “Dan ajarilah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir jaman”). Amanat Suci ini adalah bukti bahwa Yesus mengangkat (“elevate”) martabat & peran Simon Petrus untuk melanjutkan karya keselamatan Yesus bagi semua orang yang percaya.
Bila kita bandingkan, semuanya ini sangat bertolak belakang dengan tragisnya nasib Yudas Iskariot yang justru malah mengakhiri hidupnya setelah juga berdosa terhadap Kristus (menjual, menyerahkan Yesus kepada pemuka agama dan ahli taurat). Ini sekali lagi menunjukkan bahwa tanpa rahmat dan penyertaan Roh Kudus yang menggiring kepada pertobatan hati, manusia tidak akan beroleh kekuatan dan keselamatan.
Kalau kita mau jujur, seperti Petrus - kita pun seringkali menyangkal Kristus dalam hidup sehari-hari. Dalam banyak hal, entah karena kepentingan pribadi atau alasan cari aman, kita menolak menjalankan atau menunjukkan iman kekatolikan kita terutama bila sedang bersama orang lain. Semakin jarang atau bahkan hanpir tidak pernah lagi kita melihat orang membuat tanda salib di luar gereja Katolik sendiri. Selain menyangkal Yesus, kita pun menyangkal orang-orang yang terdekat dengan kita, meskipun kita tidak pernah benar-benar menginginkan hal itu terjadi. Sama seperti Simon Petrus yang tidak pernah ingin menyangkal gurunya.
Kita bisa mensyukuri “reparation, restoration, dan elevation” yang dialami oleh Simon Petrus, dan kita pun bisa memohon agar rahmat itu terjadi juga pada kita, terutama saat kita terjatuh melawan godaan dan cobaan hidup.
Bila di awal tulisan kita seolah melihat penyangkalan Petrus sebagai sebuah kesalahan dan dosa yang begitu serius, berat, dan tidak terampuni; tampaknya sekarang itu bisa jadi statement yang keliru. Mengapa?. Karena ternyata sebelum Petrus menyangkal Yesus tiga kali, telah sebanyak tiga kali pula Simon Petrus menyatakan kasih dan cintanya kepada Tuhan Yesus. Dalam Yoh:21:15-17 Yesus bertanya kepada Petrus: Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?. Dan Tiap kali, Simon menjawab “Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau”.
Inilah pernyataan cinta kasih yang keluar dari hati yang terdalam dari seorang Simon Petrus, yang setelah Yesus mendengarnya kemudian berkenan memberikan amanat suci “Gembalakanlah domba-dombaku”. Kita melihat sekarang, bahwa ada tiga kali penyangkalan dan ada tiga kali pernyataan kasih. Simon Petrus menyangkal tiga kali tetapi tidak sebelum dia menyatakan kasihnya yang begitu tulus dan besar kepada Yesus gurunya.
Setiap penyangkalan itu telah disangkal pula oleh setiap pernyataan kasih dan amanat suci.
Apakah semua ini sebuah kebetulan belaka? Tentu saja tidak. Artinya Yesus telah mempersiapkan & mengantisipasi segala sesuatunya. Yesus tidak ingin Simon Petrus menjadi goyah imannya oleh karena penyangkalan itu. Terlebih pernyataan kasih telah didengar oleh Yesus dari Petrus sendiri, dan amanat suci (“Gembalakanlah domba-dombaku”) telah diberikan kepadanya.
Sungguh Kasih lebih besar daripada segalanya, dan mengalahkan segalanya. Sebab Allah sendiri adalah kasih. Semoga kita selalu mengutamakan kasih itu terhadap Tuhan dan sesama, sehingga seperti Petrus yang penyangkalannya diampuni serta mengalami “reparation, restoration, and elevation”, kitapun dimampukan oleh Roh Kudus untuk bangkit dalam setiap kejatuhan iman kita.
Amin.
Sumber: Terinspirasi dari Homili Misa Minggu 1 Mei 2022
English Translation
Reparation, Restoration, and Elevation.
In the story of the passion of our Lord Jesus Christ, it is told how Simon Peter had denied Jesus three times, before he heard the crowing of a rooster awakening and reminding him of Jesus' words that this would happen. (Mt 26:34)
The occurrence of this denial felt so heartbreaking and caused deep regret in Peter, a disciple who was so close and loved by Jesus. As if it is a serious and unforgiveable mistake and sin. As if it is a painful ending of the good relationship and the closeness that is so meaningful between a disciple and the teacher he loves. As if it is a fact that does not need to happen. Yes, at first, I don't think that needs to happen either.
But I also have faith that for God nothing is in vain, including that event. So I wondered and pondered in my heart, why God allowed this denial to happen. What's more, what God wants from that event.
In Matthew 26:31-35 we read how Simon Peter confidently said that he would never deny Jesus sometimes even if he had to die with Him. That even though if everyone else's faith was shaken, his faith in Jesus would not. A statement of faith that may (to us) sound so encouraging, but perhaps Jesus did not want Peter to stand out, feel greater and stronger in his faith than the other disciples or anyone else. Jesus didn't want Peter to have spiritual pride, Jesus didn't want Peter to forget that the human ability to maintain such faith is only possible with the permission of the Father. Not mere human desires and abilities.
So that denial takes place to mean the need for the inclusion of the Holy Spirit in the lives of Christ's followers, especially in dealing with difficult problems. It happens so that we, followers of Christ, always include and even rely on the Holy Spirit. The denial comes as a perpetual reminder that we are imperfect, the ‘Rock’ is not perfect, and the church is no different. Awareness that produces humility to always want to get up and improve yourself so that other denials don't happen again.
And the denial itself turned out to be not a bad end to Peter's relationship with his teacher. Peter realized and regretted his mistake and repented. This is where the repair ("reparation") by the power of the Holy Spirit. The Holy Spirit corrected what was wrong with Simon Peter.
Not only did he stop at repentance and repentance, but Simon Peter also rose, fellowshiped and built the first church people, which is essentially the church that the Lord Jesus himself founded. This is where the restoration ("restoration") by the power of the Holy Spirit.
And see that Jesus fulfilled his promise that the church he built would endure to the end of time, as it is written in Matthew 28:20 “And teach them to do all things that I have commanded you. And behold, I am with you always, even to the end of the age." This Holy Commission is proof that Jesus entrusted and raised ("elevate") the dignity of Simon Peter to continue the work of Jesus' salvation for all who believe.
If we compare, all of this is in stark contrast to the tragic fate of Judas Iscariot who actually ended his life after also sinning against Christ (selling, handing Jesus over to religious leaders and scribes). This once again shows that without the grace and inclusion of the Holy Spirit which leads to conversion of the heart, humans will not have the necessary strength and salvation.
If we are being honest, like Peter - we often deny Christ in our daily lives. In many cases, whether for personal reasons or for safety reasons, we refuse to practice or demonstrate our catholic faith especially in our interactions with other people. Rarely or almost never again do we see people making the sign of the cross outside the Catholic church itself.
In addition to denying Jesus, we also deny those closest to us, although we never want that to happen. Just as Simon Peter never meant to deny his teacher.
We can be grateful for the “reparation, restoration, and elevation” that was experienced by Simon Peter, and we can also ask for that grace to happen to us, especially when we fall against the temptations and trials of life.
When at the beginning of the writing we seem to see Peter's denial as a mistake and a sin that is so serious and unforgivable; now it seems that it could be a false statement.
Why?. Because apparently before Peter denied Jesus three times, something much important had proceeded where Simon Peter had expressed his love and affection for the Lord Jesus three times. In John:21:15-17 Jesus asked Peter: Simon, son of John, do you love me? And each time, Simon answered "Lord, you know that I love you". This is a very significant confession and proclamation. This is a statement of love that comes from the deepest heart of a Simon Peter, who after Jesus heard it then deigned to give the sacred message "Feed my sheep".
We see now, that there are three times of denial and three times of expression of love.
Simon Peter denied three times but not before he expressed his sincere and great love for his teacher Jesus. Every denial has been refuted by every declaration of love and sacred commission.
Is all this a mere coincidence? Of course not.
This means that Father and Jesus have prepared everything. The declaration of love that has been heard by Jesus, and the sacred commission (“Feed my sheep”) that has been given - are so fundamental, so that Peter’s faith did not have to shaken because of the denials. Here, we see how God loves his people and Jesus’ salvation mission (through Holy Spirit) continues.
Truly Love is greater than all, and conquers all, because God Himself is love. May we always put love for God and others first, so that like Peter, whose denial was forgiven and experienced “reparation, restoration, and elevation”, we too are enabled by the Holy Spirit to rise in every fall of our faith.
Amen.
(Writing inspired from the Sunday Mass Homily May 1st, 2022)
Maria Yang Penuh Cinta
Dia hanya percaya Tuhan. Bagi Maria, kehendak Tuhan adalah kehendaknya.
Gadis itu sedang makan malam dengan mantan rekannya – dua penganut Buddha dan dua Agnostik – ketika percakapan beralih tentang kekatolikan dan denominasi Kristen lainnya. Dia ingin tahu apakah teman-temannya mengetahui perbedaan antara denominasi, dan terkejut dengan tanggapan mereka: “Katolik menyembah Bunda, sementara orang Kristen menyembah Putra. Sang Ibu seperti Guan Yin, dewi Buddha.” Dia tidak bisa menahan senyum ketika teman Buddhisnya menambahkan bahwa putrinya yang berusia delapan tahun suka memandangi patung Mary di gereja dekat sekolahnya, mengagumi senyum lembut dan gaun indah Mary.
Malam itu teman-temannya menjadi mengerti bahwa orang Katolik juga orang Kristen yang menyembah Yesus Kristus dan bukan ibu-Nya, bahwa mereka memuliakan dan menghormati Bunda Maria; dan bukan, Maria bukanlah seorang dewi meskipun dia adalah ibu dari Tuhan kita. Malam itu, dia merenungkan mengapa umat Katolik sangat mencintai Bunda Maria, yang telah mengilhami tak terhitung banyaknya seni, himne dan aria, dan doa renungan selama dua ribu tahun.
Maria benar-benar diberkati dan suci. Dia adalah satu-satunya manusia yang disapa oleh malaikat Gabriel sebagai manusia yang sangat disayangi, dipilih oleh Bapa untuk menjadi ibu dari Putra, yang kepadanya Roh Kudus turun, yang dinaungi oleh kuasa Yang Mahatinggi (Luk. 1:26-35).
Dia adalah "Perempuan" dalam kitab pertama dan terakhir dari Kitab Suci: orang yang keturunannya akan memukul kepala ular (Kej 3:15) dan berpakaian dan dimahkotai dengan matahari, bulan, dan dua belas bintang (Wahyu 12:1 ). Dia adalah “Perempuan” yang Yesus sapa ketika Dia melakukan mukjizat pertama-Nya di Kana (Yoh 2:4) dan dalam tindakan terakhir-Nya memberikan ibu tercinta-Nya kepada murid-Nya yang terkasih – dan selanjutnya, kepada semua orang Kristen – di Golgota (Yoh 19 :26).
Sungguh, Maria berharga di mata Tuhan. Dia adalah yang terpilih, contoh sempurna tentang bagaimana hubungan seorang anak Tuhan dengan Penciptanya:
Maria menanggapi Tuhan dengan murah hati. “Saya adalah hamba Tuhan; terjadilah padaku menurut perkataanmu” (Luk 1:38). Meskipun dia tidak tahu bagaimana Inkarnasi akan mungkin atau jalan yang dikehendaki darinya, dia mengatakan ya dengan sepenuh hati - ya yang dia tahu bisa mengorbankan nyawanya. Dia hanya percaya Tuhan. Bagi Maria, kehendak Tuhan adalah kehendaknya.
Maria bersukacita dan memuji Tuhan. Magnificat adalah salah satu doa terindah dalam Kitab Suci. Maria dengan rendah hati menyebut dirinya hamba yang hina dan memuliakan Tuhan atas berkat yang diterimanya – Yang Mahakuasa yang telah melakukan hal-hal besar baginya (Luk 1:46-55).
Maria merenung dalam hatinya. Ketika dihadapkan pada sesuatu yang tidak dapat dia pahami, Maria dengan tenang merenungkannya dalam hati. Dia dengan rendah hati menerima bahwa dia mungkin tidak memahami peristiwa-peritiwa yang terjadi dalam hidupnya, karena hanya iman dan waktu yang akan mengungkapkan misteri pekerjaan Tuhan.
Petisinya kepada Putranya sederhana: “Mereka tidak punya anggur.” Nasihatnya kepada para pelayan sama sederhananya: "Lakukan apa pun yang Dia perintahkan kepadamu" (Yoh 2:3,5). Dia mengajar kita untuk menjadi lemah lembut dalam doa kita dengan permohonan tanpa hiasan – doa seorang pemungut cukai dan bukan dari orang Farisi – dan untuk mendengarkan dan menuruti apa pun yang Tuhan perintahkan untuk kita lakukan, tanpa meragukan atau mempertanyakan Dia, karena Dia sungguh tahu apa kita butuh.
Hidupnya berpusat pada Putranya. Oh, betapa seorang Kristen akan memberikan apa saja hanya untuk memiliki satu hari bersama Yesus! Satu perjumpaan dengan-Nya secara radikal mengubah hidup seseorang – wanita Samaria, pria buta, pemungut cukai, penderita kusta, dan banyak lagi. Tiga tahun hidup bersama Yesus mengubah para Rasul sehingga mereka rela memberikan hidup mereka bagi-Nya. Apa lagi Maria yang bersama Yesus sepanjang hidup-Nya, dari rahimnya sampai kubur? Sukacita yang luar biasa, hari-hari biasa, kesedihan yang mendalam, hati yang gembira dan patah, dia memiliki semuanya. Hidupnya hanya untuk Dia.
Maria menunjukkan kepada kita bagaimana hidup bersama dan mencintai Tuhan. Betapa beruntungnya kita bisa memanggil dia sebagai Ibu kita! Saat kita merayakan Hari Raya Santa Perawan Maria DIangkat Ke Sorga (yang jatuh tanggal 15 Agustus ini), marilah kita mengingat dan menghormati Bunda jiwa kita. Semoga dia terus melakukan perjalanan bersama kita, menghibur dan mendoakan kita, membimbing dan mengajar kita, memegang tangan kita dan membawa kita kepada Putranya, Yesus Kristus. Karena dia adalah ibu Tuhan kita. Dan dia adalah ibu kita juga. (RS)
Original Article
Loving Mary
The girl was having dinner with her ex-colleagues – two Buddhists and two Agnostics – when the conversation turned to Catholicism and other Christian denominations. She was curious whether her friends knew the difference between the denominations and was taken aback by their responses: “Catholics worship the Mother, while Christians worship the Son. The Mother is like Guan Yin, the Buddhist goddess.” She couldn’t help but grin when her Buddhist friend added that her eight-year-old daughter loves gazing at Mary’s statue at the church near her school, admiring Mary’s gentle smile and beautiful dress.
That evening her friends learned that Catholics are also Christians who worship Jesus Christ and not His mother, that they venerate and honor Mother Mary; and no, Mary is not a goddess even though she is the mother of our God. That night, she pondered why Catholics love Mother Mary dearly, one who has inspired countless arts, hymns and arias, and devotional prayers for two thousand years.
Mary is truly blessed and holy. She is the only human whom the angel Gabriel greets as the highly-favored one, chosen by the Father to be the mother of the Son, to whom the Holy Spirit comes upon, one who was overshadowed by the power of the Most High (Lk 1:26-35).
She is the “Woman” in the first and last books of the Scriptures: the one whose offspring will strike the serpent’s head (Gen 3:15) and clothed and crowned with the sun, the moon, and twelve stars (Rev 12:1). She is the “Woman” Jesus addresses when He performs His first miracle in Cana (Jn 2:4) and in His final act of gifting His beloved mother to His beloved disciple – and by extension, to all Christians – in Golgotha (Jn 19:26).
Indeed, Mary is precious in God’s eyes. She is the chosen one, the perfect exemplar of how a child of God relates to her Creator:
Mary responds to God generously. “I am the handmaid of the Lord; let it be done to me according to your word” (Lk 1:38). Even though she knows not how the Incarnation is made possible nor the path she is asked to take, she says yes wholeheartedly – a yes that she knows could cost her life. She simply trusts God. To Mary, God’s will is her will.
Mary rejoices and praises the Lord. The Magnificat is one of the most beautiful prayers in the Scriptures. Mary humbly calls herself the lowly servant and glorifies the Lord for the blessings she receives – the Mighty One who has done great things for her (Lk 1:46-55).
Mary ponders in her heart. When faced with something she cannot comprehend, Mary quietly reflects and ponders in her heart. She humbly accepts that she may not grasp the unfolding events in her life, as only faith and time will reveal the mystery of God’s work.
Her petition to her Son is simple: “They have no wine.” Her advice to the servants is equally simple: “Do whatever He tells you” (Jn 2:3,5). She is teaching us to be meek in our prayer with unadorned supplication – the prayer of the tax collector and not of the Pharisee – and to listen and be compliant with whatever God tells us to do, without doubting or questioning Him, for He knows what we need.
Her life is centered on her Son. Oh, what a Christian would give just to have one day with Jesus! A single encounter with Him radically changes a person’s life – the Samaritan woman, the blind man, the tax collector, the leper, and many more. Three years living with Jesus transforms the Apostles that they willingly give their lives for Him. What more of Mary who is with Jesus throughout His life, from her womb to the tomb? The overwhelming joy, the mundane days, the intense sorrow, the joyful and broken heart, she has it all. Her life is for Him alone.
Mary shows us how to live with and to love God. How fortunate we are to claim her as our Mother! As we celebrate the Solemnity of the Assumption, let us remember and honor the Mother of our soul. May she continue to journey with us, to console and pray for us, to guide and teach us, holding our hands and bringing us to her Son, Jesus Christ. For she is our Lord’s mother. And she is our mother also. (RS)
Is it Okay to Celebrate Halloween as Catholics?
Halloween, etymology speaking, means All Hallow’s Eve or the Eve of all Saints Day which falls on October 31st every year. In Catholic Church around the world, All Saints Day falls on November 1st every year is a Holy Day of Obligation, per Pope George III in the eight century, where all believers need to attend a mass either on the day or on the eve of the day. The priests usually have special message in their homily on this day to remind us the importance of All Saints Day.
When children and adult alike wear costumes and asking for candies on Halloween, it is not part of the Catholic Church teaching. Rather, it is a cultural celebration and is an English language countries phenomenon. Though, one needs to remember that the initial inspiration did come from the All-Saints Day. The origin of the cultural phenomenon started with the Ancient Celtic festival of Samhain, where people light bonfires and wear costumes to ward off ghosts. Overtime, Halloween evolved into a day of activities like trick-or-treating, carving jack-o-lanterns, festive gatherings, and eating treats.
Jimmy Akin, an internationally known author and speaker at Catholic Answers radio program, stated that scary customs, kids asking for candies are not inartistically wrong. As a matter of fact, scary customs can be a sense of empowerment as it is an exclamation of there is no need to be scary over the customs, etc. Most importantly, Akin said, the Catholic Church does not against anyone to celebrate Halloween since it is entirely up to each individual parent on how they view what is appropriate and what is inappropriate way to celebrate this day.
Sources:
“Catholic Answers: Jimmy Akin – Is it ok to let your children celebrate Halloween? Website: https://www.youtube.com/watch?v=gUfQMfyZ8JM”
“Halloween: Origins, Meaning & Traditions.” History.com
—————————————————————————————
Bolehkah Merayakan Halloween sebagai Umat Katolik?
Halloween, secara etimologi, berarti All Hallow's Eve atau Hari Semua Orang Kudus yang jatuh pada tanggal 31 Oktober setiap tahunnya. Di Gereja Katolik di seluruh dunia, Hari Semua Orang Kudus yang jatuh pada tanggal 1 November setiap tahun adalah Hari Suci Kewajiban, menurut Paus George III pada abad kedelapan, di mana semua orang percaya harus menghadiri misa baik pada hari itu atau pada malam hari raya. Para imam biasanya mempunyai pesan khusus dalam homilinya pada hari ini untuk mengingatkan kita akan pentingnya Hari Semua Orang Kudus.
Ketika anak-anak dan orang dewasa bersama-sama mengenakan kostum dan meminta permen pada Halloween, itu bukan bagian dari ajaran Gereja Katolik. Sebaliknya, ini adalah perayaan budaya dan merupakan fenomena negara-negara berbahasa Inggris. Namun perlu diingat bahwa inspirasi awal memang datang dari Hari Semua Orang Suci. Asal usul fenomena budaya ini dimulai dengan festival Celtic Kuno Samhain, di mana orang-orang menyalakan api unggun dan mengenakan kostum untuk mengusir hantu. Seiring berjalannya waktu, Halloween berkembang menjadi hari aktivitas seperti trick-or-treat, mengukir jack-o-lantern, pertemuan meriah, dan makan camilan.
Jimmy Akin, seorang penulis dan pembicara terkenal secara internasional di program radio Catholic Answers, menyatakan bahwa kebiasaan yang menakutkan, anak-anak meminta permen bukanlah hal yang salah secara artistik. Sebenarnya, adat istiadat yang menakutkan bisa menjadi sebuah rasa pemberdayaan karena merupakan seruan untuk tidak perlu takut terhadap adat istiadat dan sebagainya. Yang terpenting, kata Akin, Gereja Katolik tidak melarang siapa pun untuk merayakan Halloween karena sepenuhnya tergantung pada masing-masing orang tua tentang bagaimana mereka memandang cara yang pantas dan apa yang tidak pantas untuk merayakan hari ini.
Sumber:
“Jawaban Katolik: Jimmy Akin – Bolehkah membiarkan anak-anak Anda merayakan Halloween? Situs web: https://www.youtube.com/watch?v=gUfQMfyZ8JM
“Halloween: Origins, Meaning & Traditions.” History.com
Apakah Arti Seorang ‘Paus’ Dalam Hidup Seorang Katolik
Apakah arti seorang ‘Paus’ dalam hidup seorang Katolik?
Menjadi Katolik serasa hanya sebuah identitas saja sampai saat Roh Kudus ‘menjamah’ hati ku. Secara hirarki dalam gereja Katolik, aku mengerti siapa Paus itu. Lebih dari itu…… aku tidak tertarik, mungkin juga aku tidak perduli.
Tapi saat Roh Kudus ‘bekerja’, banyak hal hal ke-Katolik-an yang sebelumnya tidak pernah ‘nyambung’ baik ke pemikiran maupun ke hati, menjadi terasa berarti untuk pertumbuhan iman, mungkin ini yang sering kita sebut sebagai pencerahan dari Roh Kudus. Salah satu pencerahan yang aku alami adalah sedikit pengertian tentang arti seorang Paus, sedikitnya untuk hidup ke imananku. Aku katakan sedikit karena aku percaya Roh Kudus memberikan pencerahan ‘secukupnya’ sesuai dengan keterbatasanku dan kemampuanku saat itu.
Dimulai dari seorang kawan baik di gereja yang sering aku kunjungi meminjamkan aku DVD tentang hidup Paus Yohanes Paul II. Aku tidak ingat bilamana tepat nya, namun ini terjadi setelah Paus meninggal ditahun 2005 dan sebelum kanonikasi menjadi Santo. Kawan lain memberikanku sebuah buku tentang beliau pula.
Dengan banyaknya pembicaraan tentang beliau baik berupa artikel, video, berita di televisi, dan juga buku, rasa ingin tahu tentang beliau menjadi tinggi. Dengan keterbatasan waktu, aku memutuskan untuk menonton DVD daripada membaca buku. Ternyata DVD ini menceritakan bagian hidup beliau sebelum menjadi Paus. Entah apa, yang pasti setelah menonton DVD ini, aku menjadi sangat menghormati beliau. Mungkin karena kesusahan, tantangan dan perjuangan hidup yang di alami beliau. Di keluarga, beliau adalah anak bungsu dari tiga saudara. Kakak perempuan tertua meninggal saat masih bayi. Ibunya meninggal saat beliau berumur 9. Kakak lelaki nya meninggal 3 tahun setelah itu.
Menjadikan sebagian besar kehidupan beliau di jalankan bersama ayahnya, seorang Katolik yang beriman kuat. Ayahnyalah yang memberikan peran penting dalam hidup beliau yang menjadikan beliau sangat mencintai Tuhan Yesus dan setia menjalani iman kehidupannya. Ayah beliau meninggal saat beliau berumur 21.
Tantangan lainnya, beliau hidup saat penjajahan Nazi (komunis) di Polandia. Panggilan untuk menjadi romo menjadi sebuah tantangan berat dalam situasi politik saat itu, termasuk penderitaan beliau karena di curigai dan di mata-matai. Saat menonton DVD itu, aku merasakan tantangan-tantangan lain yang dialami beliau saat seminari, menjadi romo, uskup, cardinal dan akhirnya menjadi Paus ke 263 tahun 1978, saat beliau umur 58. DVD berakhir disini.
Selain membuat aku menghormati beliau, aku belum merasakan pencerahan lain nya yang menyentuh imanku. Aku tidak tahu ternyata ada DVD ke 2, yang menceritakan kehidupan beliau sejak menjadi Paus sampai beliau meninggal.
Karena tidak tahu, akupun tidak mencari. Rupanya Roh Kudus belum selesai ‘bekerja’ dalam hal ini. Tidak terencana, seorang kawan lain menyewa DVD ke 2 dan mengajak aku untuk menonton bersama.
Aku hanya berkata, aku sudah menonton DVD tersebut, tetapi tidak keberatan untuk menemani dia dan menonton untuk kedua kalinya. Baru kemudian aku sadari, DVD ini menceritakan kelanjutan hidup Paus Yohanes Paulus II. Kesan dan arti ‘Paus’ menjadi sangat mendalam dalam pikiran dan hatiku. Sekali lagi, dengan keterbatasanku, aku menyadari betapa berat tugas seorang Paus. Setiap saat beliau harus siap untuk ‘berperang’ melawan musuh-musuhnya. Perlahan dan secara damai beliau mengusir komunis dari Eropa Timur. Tanggung jawab. Mata dunia selalu tertuju oleh tindakan dan kata-kata beliau. Konsekrasi Russia. Di tembak. Mengampuni penembak. ‘Divine Mercy Sunday’ dan ‘the Year of Mercy’ tahun 2000. Membuka dialog antara umat Yahudi dan Muslim. Banyak lagi…..
Beliau menjadi Paus terlama, 27 tahun, sampai beliau meninggal di usia 85 tahun, di hari ‘Divine Mercy Sunday’ tahun 2005. Beliau adalah Santo Pelindung Hari Pemuda Sedunia (Patron of World Youth Day).
Aku tidak ingat apakah aku menangis saat beliau meninggal (2005), yang pasti banyak air mata terurai saat menonton DVD ke 2 ini.
‘Tak kenal maka tak sayang’
Buah-buah pencerahan; Rasa hormatku yang dalam untuk beliau; mengenali cinta beliau untuk manusia dan kemanusiaan, cinta beliau untuk anak muda (World Youth Day), cinta beliau untuk bunda Maria dan Tuhan Yesus (Totus Tuus), keberanian beliau menyatakan ajaran Gereja kepada dunia, kesetiaan dan kekuatan iman beliau pada Tuhan Yesus.
Aku melihat dengan nyata bahwa Tuhan selalu bersama beliau dalam situasi apapun karena kesetiaan dan ketaatan beliau kepada Tuhan sampai beliau dipanggil olehNya. Pada akhirnya, ini adalah tantangan iman untuk kita semua; mampukah kita memanggul salibNya dan menjalani hidup kita sesuai kehendakNya dengan taat dan setia sampai kita dipanggil olehNya?
Santo Yohanes Paulus II, doakanlah kami…..
Ditulis untuk memperingati ‘the feast of St John Paul II’ pada tanggal Oktober 22.
With deep respect,
Metanoia
Historical source: https://www.jp2shrine.org/en/about/jp2bio.html
Bunda Teresa dan Inspirasi Jalan Kesuciannya
“Bepergian tanpa lelah di jalan-jalan di seluruh dunia, Bunda Teresa benar-benar menandai sejarah abad kita.”
Masa remaja adalah masa pencarian dan pembentukan jati diri, dan pada umumnya seseorang akan menemukan satu atau beberapa orang tokoh idola yang dikagumi, dibanggakan, dihormati atau dijadikan teladan dalam pikiran dan cita-citanya.
Ketika saya masih seorang siswa SMP hingga SMA, sosok Mother Teresa yang saya kenal lewat media berita (TV, koran, majalah, pelajaran agama di sekolah) sangatlah menarik dan menyentuh hati saya. Diam-diam saya mengidolakannya. Kerelaan serta totalitasnya dalam melayani kaum miskin, sakit dan terasingkan, seolah menjadi oase di padang gurun, menjadi terang kemanusiaan di tengah egoisme dunia. Roh Kudus sungguh bekerja & menguatkan beliau dalam semua pelayanannya yang totalitas bagi sesama, sejalan dengan pengorbanan Kristus yang totalitas dan sempurna hingga wafat di kayu Salib.
Entah karena tuntunan Roh Kudus, ataukah niscaya karena dalam masa pencarian jati diri seorang remaja, saya ketika itu sungguh ingin berbuat seperti apa yang mother Teresa lakukan. “Penyerahan diri sepenuhnya bagi kaum miskin dan papa” seolah sebuah alunan musik yang merdu dalam hati saya, sekaligus memberi nafas, semangat, dan arti kehidupan yang luhur. Karena iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati, maka saya pun waktu itu berpikir bahwa tanpa bukti dan perbuatan cinta kasih, maka iman saya belumlah sungguh-sungguh pantas bagi Yesus.
Maka apa yang saya lakukan kemudian,..saya pun benar-benar terpanggil untuk pergi mencari kaum miskin dan tersingkir seperti kaum yang dilayani oleh mother Teresa itu,... yakni mereka yang homeless, miskin papa, bahkan sakit dan terasingkan oleh karena ketidakberdayaan mereka. Dalam pikiranku, aku pasti akan menemukan mereka.
Dengan hanya berbekal uang yang tak seberapa,..saya pergi naik bis ke sebuah kota kecil berjarak 3 jam perjalanan dari kota tempat tinggalku. Tiga hari lamanya saya tinggal di kota kecil itu, sambil berkeliling mencari mereka. Saya layaknya seorang homeless juga, tidur pun menumpang di sebuah sekolah Katolik (untung dikasih izin oleh kepala sekolahnya).
Sampai tiga hari berakhir dan uang bekal saya pun sudah hampir habis, saya ternyata tidak menemukan apa yang ingin saya temukan. Tetapi dalam tiga hari itu,..saya sudah menjawab sebuah panggilan paling lembut dalam dalam hati saya yang terdalam. Selama tiga hari itu saya selalu merasa dikuatkan dan dituntun oleh sebuah kekuatan dan semangat yang membara dalam hati. Kekuatan itu menuntun dan memberi harapan, dan tidak ada sedikitpun ruang untuk rasa takut atau kuatir. Apa yang membimbing saya selama tiga hari itu, saya yakini kemudian adalah roh yang sama dengan yang memberi kekuatan dan pengharapan bagi seorang bunda Teresa.
Pada tanggal 5 September kita merayakan hari kepulangan Bunda Teresa kepada Tuhan. Pemakamannya di tahun 1997 itu telah menyatukan orang-orang dari semua lapisan masyarakat dan dari seluruh belahan dunia; dia telah melintasi batas-batas perbedaan agama dan etnis. Semua tertarik oleh cahaya cinta yang terpancar dari kehidupan dan tindakannya. “Bepergian tanpa lelah di jalan-jalan di seluruh dunia, Bunda Teresa benar-benar menandai sejarah abad kita.” (Yohanes Paulus II 1997.09.06)
Apa kekuatan pendorong yang menggarisbawahi semua karyanya?
Pada beatifikasinya, Paus Yohanes Paulus II menyatakan: Seruan Yesus di kayu Salib, "Aku haus" (Yoh 19:28), mengungkapkan kedalaman kerinduan Tuhan kepada manusia, menembus jiwa Bunda Teresa dan menemukan tanah subur di hatinya. Memuaskan dahaga Yesus akan cinta dan jiwa-jiwa yang bersatu dengan Maria, Bunda Yesus, telah menjadi satu-satunya tujuan keberadaan Bunda Teresa dan kekuatan batin yang menariknya keluar dari dirinya sendiri dan membuatnya "berlari tergesa-gesa" melintasi dunia untuk bekerja untuk keselamatan dan pengudusan yang termiskin dari yang miskin.
“Di wajah orang yang menderita, dia mengenali Yesus, yang dari ketinggian Salib berseru, “Aku haus”. Dan dengan dedikasi yang murah hati dia mendengarkan seruan ini dari bibir dan dari hati yang sekarat, dari anak-anak kecil yang ditinggalkan, dari pria dan wanita yang dihancurkan dari beban penderitaan dan kesendirian.”… (Yohanes Paulus II dalam Homilinya di Misa Beatifikasi). Nyatalah sekarang bagi kita, bahwa "'Kehausan' Yesus yang disalibkan menjadi kehausan Bunda Teresa sendiri dan inspirasi jalan kesuciannya." (Yohanes Paulus II 2003.10.19.)
Latar Belakang
Bunda Maria Teresa Bojaxhiu (lahir Anjezë Gonxhe Bojaxhiu, 26 Agustus 1910 – 5 September 1997), dihormati di Gereja Katolik sebagai Santa Teresa dari Kalkuta adalah seorang Albania-India biarawati dan misionaris Katolik Roma. Beliau lahir di Skopje (sekarang ibu kota Makedonia Utara), yang saat itu merupakan bagian dari Vilayet Kosovo dari Kekaisaran Ottoman. Setelah tinggal di Skopje selama delapan belas tahun, dia pindah ke Irlandia dan kemudian ke India, di mana dia tinggal hampir sepanjang hidupnya.
Pada tahun 1950, Teresa mendirikan Missionaries of Charity, sebuah kongregasi religius Katolik Roma yang memiliki lebih dari 4.500 biarawati dan aktif di 133 negara pada tahun 2012. Kongregasi tersebut mengelola rumah bagi orang-orang yang sekarat karena HIV/AIDS, kusta dan TBC. Ia juga menjalankan dapur umum, apotik, klinik keliling, program konseling anak-anak dan keluarga, serta panti asuhan dan sekolah. Para anggota mengucapkan kaul kesucian, kemiskinan, dan kepatuhan, dan juga mengucapkan kaul keempat – untuk memberikan "pelayanan gratis sepenuh hati kepada yang termiskin dari yang miskin."
Doa-doa yang Disukai oleh Bunda Teresa
Radiating Christ
Dear Jesus, help us to spread Your fragrance everywhere we go.
Flood our souls with Your Spirit and Life.
Penetrate and possess our whole being so utterly
that our lives may only be a radiance of Yours.
Shine through us and be so in us
that every soul we come in contact with may feel Your presence in our souls.
Let them look up, and see no longer us, but only Jesus!
Stay with us and then we shall begin to shine as You shine,
so to shine as to be a light to others.
The light, O Jesus, will be all from You; none of it will be ours.
It will be You, shining on others through us.
Let us thus praise You in the way You love best, by shining on those around us.
Let us preach You without preaching, not by words but by example
by the catching force, the sympathetic influence of what we do,,
the evident fullness of the love our hearts bear for You. Amen.
(CARDINAL JOHN HENRY NEWMAN)
_________________________________
Prayer for Peace
Lord, make me a channel of your peace, that
where there is hatred, I may bring love;
where there is wrong, I may bring the spirit of forgiveness;
where there is discord, I may bring harmony;
where there is error, I may bring truth;
where there is doubt, I may bring faith;
where there is despair, I may bring hope;
where there are shadows, I may bring light;
where there is sadness, I may bring joy.
Lord, grant that I may seek rather
to comfort than to be comforted;
to understand than to be understood;
to love than to be loved;
for it is by forgetting self that one finds;
it is by forgiving that one is forgiven;
it is by dying that one awakens to eternal life. Amen.
(ST. FRANCIS OF ASSISI)
______________________________
Make us worthy Lord
Make us worthy, Lord, to serve our fellow men
throughout the world who live and die in poverty and hunger.
Give them through our hands, this day their daily bread,
and by our understanding love, give peace and joy. Amen.
(POPE PAUL VI)
_________________________________
Memorare
Remember, O most gracious Virgin Mary,
that never was it known that anyone who fled to your protection,
implored your help, or sought your intercession, was left unaided.
Inspired with this confidence, we fly to you,
O Virgin of virgins, our Mother;
to you we come, before you we stand, sinful and sorrowful;
O Mother of the Word Incarnate, despise not our petitions,
but in your clemency hear and answer us. Amen.
(ST. BERNARD)
_________________________________
Anima Christi
Soul of Christ, sanctify me.
Body of Christ, save me.
Blood of Christ, inebriate me.
Water from the side of Christ, wash me.
Passion of Christ, strengthen me.
O good Jesus, hear me.
Within Thy wounds, hide me.
Suffer me not to be separated from Thee.
From the malicious enemy, defend me.
In the hour of my death, call me and bid me come unto Thee,
that with Thy Saints I may praise Thee,
forever and ever. Amen.
Memberi Tanpa Syarat
Rasa sayang kepada orang tua (dan sesama) akan menjadi berarti bila diungkapkan, bukan sekedar disimpan dalam hati. Seperti ada tertulis, bahwa iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati.
Sepasang suami istri yang telah berusia lanjut tinggal di rumah mereka yang sederhana, terpisah dari ketujuh anak laki-laki dan perempuan mereka yang semuanya telah berkeluarga dan tinggal di luar kota.
Suatu saat menjelang Hari Raya, semua anak mereka berencana pulang dan berkumpul. Anak yang sulung datang sendiri tanpa ditemani keluarganya, dan dia tidak sempat membeli oleh-oleh. Sebelum berangkat dia berpikir, “Ah… mungkin kali ini tidak masalah aku pulang tidak membawa apa-apa, mungkin saudaraku yang lain sudah banyak membawa oleh-oleh untuk bapak dan ibu’
Anak kedua yang adalah eksekutif di perusahaan besar tidak membawa keluarga dan tidak pula membawa oleh-oleh, karena dia tergesa-gesa meninggalkan rumah. Anak ini pun berpikir, “Mungkin saudaraku yang lain sudah banyak membawa bingkisan, tidak masalah jika kali ini saya tidak bawa apa-apa”.
Ternyata, semua saudara-saudara yang lain pun berpikiran dan melakukan hal yang sama, sehingga mereka semua tidak membawa apapun untuk kedua orang tua mereka.
Tetapi anak yang bungsu, mengajak istri dan kedua anak mereka. Selain membawa buah-buahan hasil kebun mereka dan beberapa bingkisan yang sederhana, tidak lupa mereka membawa dua bungkus mi rebus kesukaan bapaknya, dan sekotak kue bolu kesukaan ibunya.
***Renungan..
Mudah-mudahan hal senada tidak banyak terjadi di masa sekarang ini. Semoga kita bisa memilih untuk berpikir seperti anak bungsu itu, yang mau tulus memberi tanpa syarat. Rasa sayang kepada orang tua (dan sesama, komunitas) akan menjadi berarti bila diungkapkan tanpa pamrih dan tanpa syarat, terlepas orang lain sudah melakukannya atau belum. Tindakan adalah bukti iman; seperti ada tertulis, bahwa iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati.
Siapakah Santa Maria Magdalena?
Banyak sekali pernyataan yang kontroversi tentang ‘Maria Magdalena’.
Mari kita lihat sepintas pandangan Gereja Katolik dan pandangan lain nya.
Gereja Katolik
Hari Raya: 22 Juli
Pelindung: Santa untuk kehidupan kontemplatif, mualaf, penata rambut, pendosa yang bertobat, orang-orang yang diejek karena kesalehan mereka, apoteker, godaan seksual, wanita pada umumnya.
Santa Maria Magdalena adalah salah satu santa terbesar dalam Alkitab dan contoh legendaris dari belas kasihan dan kasih karunia Allah. Tanggal pasti kelahiran dan kematiannya tidak diketahui, tetapi kita tahu dia hadir bersama Kristus selama pelayanan publik, kematian dan kebangkitan-Nya. Dia disebutkan sedikitany 12 kali dalam Injil.
Maria Magdalena telah lama dianggap sebagai pelacur atau tidak bermoral dalam kehidupannya, tetapi ini tidak didukung dalam kitab suci. Diyakini dia adalah seorang wanita Yahudi yang hidup di antara orang-orang bukan Yahudi, hidup seperti mereka.
Injil setuju bahwa Maria pada mulanya adalah seorang pendosa besar. Yesus mengusir tujuh setan darinya ketika dia bertemu dengannya. Setelah ini, Yesus memberi tahu beberapa wanita dalam kehidupan Maria Magdalena dan wanita-wanita ini kemudian juga menjadi pengikut Yesus.
Ada perdebatan apakah Maria Magdalena adalah wanita yang tidak disebutkan namanya, seorang pendosa, yang menangis dan membasuh kaki Yesus dengan rambutnya dalam Injil Yohanes. Para ahli Alkitab skeptis bahwa ini adalah orang yang sama.
Terlepas dari perselisihan ilmiah tentang latar belakangnya, apa yang dia lakukan dalam kehidupan selanjutnya, pengertian setelah bertemu Yesus adalah jauh lebih penting. Dia pasti orang berdosa yang diselamatkan Yesus, memberi kita contoh bagaimana tidak ada orang yang berada di luar kasih karunia Allah.
Selama pelayanan kehidupan Yesus, diyakini bahwa Maria Magdalena (Maria) mengikutinya, bagian dari rombongan yang melayani Yesus dan murid-muridnya.
Maria kemungkinan besar menyaksikan penyaliban dari kejauhan bersama dengan para wanita lain yang mengikuti Kristus selama pelayanan-Nya. Maria hadir ketika Kristus bangkit dari kematian, mengunjungi makam-Nya untuk mengurapi tubuh-Nya hanya untuk menemukan batu terguling dan melihat Yesus yang hidup. Dia adalah saksi pertama kebangkitan-Nya.
Setelah kematian Kristus, sebuah legenda menyatakan bahwa dia tetap berada di antara orang-orang Kristen awal. Setelah empat belas tahun, dia diduga dimasukkan ke dalam perahu oleh orang-orang Yahudi, bersama dengan beberapa orang suci lainnya dari Gereja mula-mula, dan terombang-ambing tanpa layar atau dayung. Perahu itu mendarat di Prancis selatan, di mana dia menghabiskan tahun-tahun sisa hidupnya hidup dalam kesendirian, di sebuah gua.
Menurut Injil
Maria Magdalena, kadang-kadang disebut Maria Magdala, atau hanya Magdalena atau Madeleine, adalah seorang wanita yang, menurut empat Injil, bepergian dengan Yesus sebagai salah satu pengikutnya dan menjadi saksi penyaliban-Nya dan sesudahnya. Dia disebutkan namanya dua belas kali dalam Injil, lebih dari kebanyakan rasul dan lebih dari wanita lain dalam Injil, selain keluarga Yesus. Julukan Maria Magdalena mungkin berarti bahwa dia berasal dari kota Magdala, sebuah kota nelayan di pantai barat Laut Galilea di Yudea Romawi.
Injil Lukas 8:2–3 mencantumkan Maria Magdalena sebagai salah satu wanita yang bepergian bersama Yesus dan membantu mendukung pelayanannya "di luar sumber daya mereka", menunjukkan bahwa dia mungkin relatif kaya. Bagian yang sama juga menyatakan bahwa tujuh setan telah diusir darinya, sebuah pernyataan yang diulangi dalam Markus 16. Dalam keempat Injil kanonik, Maria Magdalena adalah saksi penyaliban Yesus dan, dalam Injil Sinoptik, dia juga hadir di pemakamannya. Keempat Injil mengidentifikasi dia, baik sendiri atau sebagai anggota dari kelompok wanita yang lebih besar yang mencakup ibu Yesus, sebagai yang pertama menyaksikan kubur yang kosong, dan yang pertama menyaksikan kebangkitan Yesus.
Karena alasan ini, Maria Magdalena dikenal dalam beberapa tradisi Kristiani sebagai "rasul bagi para rasul".
Penafsiran Lainnya
Maria Magdalena menjadi tokoh sentral dalam tulisan-tulisan Kristen Gnostik termasuk Dialog Juru Selamat, Pistis Sophia, Injil Thomas, Injil Filipus, dan Injil Maria. Teks-teks ini menggambarkan Maria Magdalena sebagai rasul, sebagai murid Yesus yang paling dekat dan paling dikasihi dan satu-satunya yang benar-benar memahami ajarannya. Dalam teks-teks Gnostik, atau Injil Gnostik, kedekatan Maria Magdalena dengan Yesus mengakibatkan ketegangan dengan Petrus, karena kecemburuan Petrus terhadap ajaran-ajaran khusus yang diberikan kepadanya. Beberapa fiksi menggambarkannya sebagai istri Yesus.
Penggambaran Maria Magdalena sebagai pelacur dimulai setelah serangkaian khotbah Paskah yang disampaikan pada tahun 591 ketika Paus Gregorius I menggabungkan Maria Magdalena, yang diperkenalkan dalam Lukas 8:2, dengan Maria dari Betania (Lukas 10:39) dan "pendosa" yang tidak disebutkan namanya. “Perempuan" yang mengurapi kaki Yesus dalam Lukas 7:36-50. Hal ini mengakibatkan kepercayaan luas bahwa dia adalah seorang pelacur yang bertobat atau wanita bebas.[4][2] Legenda abad pertengahan yang rumit dari Eropa Barat menceritakan kisah berlebihan tentang kekayaan dan kecantikan Maria Magdalena, serta dugaan perjalanannya ke Prancis selatan. Identifikasi Maria Magdalena dengan Maria dari Betania dan "wanita berdosa" yang tidak disebutkan namanya adalah kontroversi besar pada tahun-tahun menjelang Reformasi dan beberapa pemimpin Protestan menolaknya. Selama Kontra-Reformasi, Gereja Katolik menekankan Maria Magdalena sebagai simbol penebusan dosa.
Penetapan
Pada tahun 1969, identifikasi Maria Magdalena dengan Maria dari Betania dan "wanita berdosa" telah dihapus dari Kalender Umum Romawi oleh Paus Paulus VI, tetapi pandangannya sebagai mantan pelacur telah bertahan dalam budaya populer.
Maria Magdalena dianggap sebagai orang suci oleh gereja Katolik, Ortodoks Timur, Anglikan, dan Lutheran. Pada tahun 2016 Paus Fransiskus menaikkan tingkat kalendar liturgis pada tanggal 22 Juli dari hari ‘peringatan’ ke ‘pesta’, dan Maria Magdalena disebut sebagai "Rasul para rasul". Gereja-gereja Protestan lainnya menghormatinya sebagai pahlawan iman. Gereja-gereja Ortodoks Timur juga memperingatinya pada hari ‘Minggu Pembawa Mur’, peringatan yang setara dengan dengan salah satu tradisi dunia Barat sebagai hari ‘Tiga Maria’.
Terjemahan dan saduran bebas dari Catholic Online
https://www.catholic.org/saints/saint.php?saint_id=83
Adakah peran Malaikat Agung dalam Hidupku?
Tahun ini, pertama kali aku ingin ‘merayakan’ Pesta para malaikat agung; st. Mikael, Gabriel dan Rafael, sedikitnya aku mau rayakan secara istimewa di dalam hati ku.
Apakah kalian percaya dengan malaikat? Pernahkah anda bertemu atau berbincang dengan malaikat? Tahukah anda apa yang gereja Katolik katakan tentang malaikat?
Hari Rabu, tanggal 29 September adalah hari Pesta para malaikat agung; st. Mikael, Gabriel dan Rafael.
Apakah nama-nama ini berarti untuk anda?
Kira-kira 10 tahun lalu, aku diberi rahmat oleh Allah untuk merasakan ‘kehadiran’ st Mikael dalam hidupku. Ini terjadi di hari 9 setelah aku menyelesaikan “Mary Undoer of Knots” novena. Aku sangat terkejut, dan untuk beberapa saat masih belum sadar siapakah yang aku ‘lihat’ itu. Setelah beberapa detik, menyadari baju perang nya, aku sadar bahwa itu st Mikael.
Tidak dapat aku ceritakan apa yang aku rasakan, beberapa perasaan menjadi satu. Selang beberapa waktu, hal itu pun ‘menghilang’ dari pikiran ku. Buah dari doa novena tersebut lebih membekas di hati ku.
Waktu cepat berlalu, sekitar 5 tahun berikutnya, salah satu kawan dekat ku datang berkunjung dari luar negeri. Dia sangat setia dan mendalam iman Katolik nya. Dia memberikan aku sebuah bingkisan kecil. Mengetahui teman baikku ini, hati ku hanya menduga, tentunya barang yang berhubungan dengan iman Katolik.
Setelah ada kesempatan, aku buka bungkusan kecil itu, yang ternyata kaplet st Mikael, yaitu paket kecil berisi manik-manik (butir doa berwarna merah dan putih crystal) dan cara berdoa ke malaikat Agung st Mikael. Aku belum pernah berdoa kepada malaikat dan hanya membaca sekilas doa tersebut. Karena kesibukan dan ‘ketidak tahuan’ ku tentang malaikat, paket itu hanya menjadi hiasan di meja kecil dalam kamar tidur ku selama sekitar 4 tahun.
Selama 9 tahun tersebut, ternyata, tanpa sadar, beberapa kali aku di ‘ajak’ untuk mengingat malaikat agung st Mikael;
1. Misa di ‘Mission San Miguel’, San Miguel, CA. salah satu Mission California. Misa ini tidak di rencanakan dan tidak pernah terpikirkan untuk mengunjungi secara khusus.
2. Dalam salah satu ziarah, aku mengunjungi Santuario Di San Michele Archangelo, di Gargano, Italy. Walau ziarah ini sendiri direncanakan, tapi aku tidak menyadari bahwa aku akan mengunjungi tempat suci ini. Menurut informasi, tempat ini salah satu tempat penampakan St Mikael yang sangat istimewa. Malaikat Agung st Mikael menampakan dirinya 4 kali. Basilica di konsekrasi oleh St Mikael sendiri (daripada oleh Uskup setempat sesuai aturan umum).
3. Membaca bukan hobby ku, aku membaca karena sebuah keharusan. Tetapi entah bagaimana, aku terbentur dengan artikel tentang 7 monastery yang membentuk satu garis lurus yang manjadi Garis Suci melambangkan sebagai pedang pertempuran spiritual Kristiani melawan paganisme.
7 monasteries di mana malaikat agung st. Mikael menampakan dirinya:
- St. Patrick, Skellig Michael, Ireland
- St. Michael’s Mount, England
- Mont Saint Michael, France
- Sacra Di San Michele, Val de Susa, Italy
- Santuario Di San Michele Archangelo, Gargano, Italy
- Symi’s Monastery, in the island of Symi, Greece
- Stella Maris Monastery, Mount Carmel, Haifa, Israel
Jarak antara Mont Saint Michael France ke Sacra Di San Michele, Val de Susa Italy, sama dengan jarak antara Sacra Di San Michele, Val de Susa Italy dan Santuario Di San Michele Archangelo, Gargano, Italy.
Di tahun ke 9, aku berjumpa dengan seorang yang juga sangat setia dengan gereja Katolik. Aku membagikan pengalamanku tentang st Mikael. Singkat kata, dia menganjurkan aku untuk berdoa kaplet St Mikael.
Beberapa hari kemudian, pernyataan itu baru mengendap dan aku teringat bahwa kaplet itu sudah disediakan oleh st Mikael sendiri, yang telah menunggu aku sekitar 4 tahun.
Sejak saat itu, aku berdoa kaplet st Mikael sehari hari dimana aku bisa. Dengan doa ini, aku mengenal sedikit demi sedikit Malaikat Agung lainnya: st Gabriel dan St Rafael, termasuk Malaikat Pelindungku. Juga mulai mengenal 9 paduan suara malaikat: Seraphim, Cherubim, Thrones, Dominions, Virtues, Powers, Principalities, Archangels and Angels.
Aku mulai ‘berbicara’ dengan para malaikat, khususnya Malaikat Agung st Mikael dan Malaikat Pelindungku.
Aku merasa jalanku masih panjang untuk mengenal mereka lebih dalam. Tahun ini, pertama kali aku ingin ‘merayakan’ Pesta para malaikat agung; st. Mikael, Gabriel dan Rafael, sedikitnya aku mau rayakan dalam hati ku.
Bagaimana dengan para pembaca? Apakah ada pengalaman para pembaca yang dapat memperkaya pengalamanku tentang para malaikat? Jika ada, silahkan dan mohon bagikan, bisa dikirim ke redaksi eBulletin. Sangat appreciative.
Oleh Metanoia
Sumber lainnya dari https://catholicexchange.com/understanding-mysterious-sword-st-michael
Tuhan Tidak Pernah Meninggalkan Kita
Saat Semuanya Terlihat Tak Pasti,
Roh Kudus Memberikan Pengertian dan Pencerahan Hati
Pada suatu masa, saya diterima bekerja di salah satu kantor akuntan publik Internasional di Jakarta, salah satu the ‘big five’ auditors firm.This is my ‘dream job’. Saya sangat menyukai pekerjaan dan tanggung jawab saya sebagai senior auditor yang bisa manage pekerjaan bahkan merekrut staf-staf baru. Saya menjadi ‘tangan kanan’ atasan.
Belum genap setahun saya bekerja di situ, terjadi pemutusan hubungan kerja antara international head office dengan para partner auditor Indonesia.
Oleh karenanya, beberapa partner nasional (termasuk atasan saya) menggabungkan diri dengan kantor akuntan nasional lain. Namun proses penggabungan (merger) seperti itu tidak akan mengikutsertakan semua staff, dengan alasan efisiensi dan sebagainya.
Maka bagi para staf akuntan yang jumlahnya ribuan itu, sebagian bisa merasa tenang karena yakin tidak akan kehilangan pekerjaan, namun banyak juga yang cemas, terutama para staf yang masih relatif baru bergabung dalam perusahaan.
How about me? Saya merasa cukup tenang, karena sebagai asisten dan tangan kanan atasan, saya yakin chance saya lebih baik dibandingkan dengan 3 staf yang baru bergabung.
Atasan memanggil saya, dan memberitahu beliau sudah dalam proses bergabung dengan sebuah kantor akuntan nasional yg cukup bagus pula. Dijelaskannya bahwa hanya tiga orang staff saja yang secara otomatis bisa dia ‘bawa’ bergabung dengan perusahaan yang baru. Sedangkan saya, harus menunggu beberapa minggu, untuk kemudian mengikuti proses rekrutmen layaknya calon karyawan baru, dan saya akan direkomendasikan oleh beliau. Saya merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Saya tersinggung sekali. Saya merasa semua kedekatan, dedikasi dan prestasi kerja yang telah saya tunjukkan selama itu, tidak dihargai. Saya merasa ditinggalkan sendiri. Sebagai orang muda yang punya ambisi besar dan komitmen kerja yang tinggi, saya merasa kecewa. Kehilangan pekerjaan saja sudah menimbulkan rasa stress, tetapi perasaan ditinggalkan bos yg dekat, ternyata lebih sakit lagi. Aku ingin tahu dan terus bertanya, mengapa ..dan mengapa?
Memang benar satu minggu kemudian saya dijadwalkan untuk mengikuti tes ‘recruitment’ calon karyawan baru. Tesnya seharian, melelahkan, dan terus terang saja saya mulai setengah hati menjalaninya pada saat-saat terakhir, yakni pada session tes kepribadian. Perasaan diabaikan dan jenuh karena harus menjalani tes-tes awal seperti itu, amat mempengaruhi saya. Saya menjalani tes dengan perasaan yang tidak damai. Dua minggu sudah berlalu sejak test itu, namun tidak ada kabar dari mereka.
Sementara itu, saya sudah mengirimkan lamaran kerja ke beberapa perusahaan. Beberapa panggilan interview datang dari dua atau tiga perusahaan. Salah satunya adalah perusahaan manufaktur yang malah dekat dengan tempat tinggal saya, cuma 12 kilometer. Dan tidak kena macet.
Setelah melewati serangkaian tes dan interviews, saya diterima di perusahaan manufaktur itu sebagai Cost Accountant. Jabatan saya malah sangat bagus, dengan kemungkinan jenjang karier yang sangat bagus pula. Gaji saya dua kali lipat dari apa yang saya dapat di kantor akuntan, dan tiga bulan kemudian saya diberi berbagai fasilitas sebagai karyawan tetap. Semuanya sungguh sesuai dengan minat, tugas, dan skill. Saya bersyukur.
Ternyata semua inilah yang Tuhan rencanakan buat saya. Sungguh aku tidak perlu khawatir secara berlebihan, karena Tuhan sungguh tahu apa yang terbaik buat umat Nya. Meskipun kita ditinggalkan oleh orang-orang terdekat, tetapi Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Lalu apa sebenarnya alasan bos saya tidak mengikutkan saya? Saya butuh jawaban ini untuk kedamaian hati saya. Saya butuh kejelasan.
Dia tidak memilih saya, tentu bukan karena faktor prestasi kerja. Bukan pula karena emosi atau pertimbangan non-teknis. Bukan karena dia lebih suka teman-teman saya yang lain. Bukan karena dia tidak suka saya. Bukan karena dia tidak butuh saya. Dan bukan karena tidak menghargai saya. Tetapi justru karena dia percaya saya akan mampu melewati semua tes ‘recruitment’. Dia yakin saya lebih capable dari staf yang baru-baru itu.
Jadi ditariknya teman-teman saya yang "lemah", karena dia tidak yakin mereka akan mampu melewati tes itu. Dengan demikian, bos saya berharap akan bisa mengumpulkan semuanya kembali. Saya melihat kebijaksanaan dari seorang atasan. Terima kasih ya Tuhan, Roh KudusMu sungguh membuka pikiranku dan membawa kedamaian dalam hati.
Bagi teman-teman yang mengalami kehilangan pekerjaan, kesulitan mendapat pekerjaan, lamaran kerjanya ditolak, dan masalah-masalah sejenisnya. Tetaplah kuat dan bersabarlah. Bersabarlah, karena waktunya akan datang ketika rencana Tuhan sungguh bekerja bagi anda. Jangan marah, jangan kecewa, jangan merasa benci dan putus asa. Tetaplah kuat dan yakin di dalam Tuhan. Dia tidak pernah mengecewakan. Bawalah permohonan-permohonanmu dalam doa, dan tetaplah bermurah hati terhadap orang lain.
Terkadang kita tidak mengerti apa yang Tuhan telah siapkan bagi kita. Dan kita tidak tahu kapan saatnya itu tiba.
Satu hal yang pasti, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita.
CORPUS CHRISTI
Oleh Romo Hartono Budi, SJ. (Melayani WKICU 1994-2000)
Yesus berkata kepada murid-muridNya: “ Inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Lukas 22:19). Kita mendengar kembali kata-kata Yesus itu ketika kita membaca Injil atau dalam perayaan Ekaristi. Orang Katolik membuka mata batin dan mata imannya memandangi kehadiran Tuhan yang nyata dan menerimaNya dalam komuni. Pada masa pandemi ini banyak dari kita menerimaNya juga dalam kerinduan dan kenangan yang hidup akan saat-saat bersama keluarga atau kenalan mengikuti perayaan Ekaristi di hari minggu atau di hari biasa. Corpus Christi atau Tubuh Kristus adalah kenangan dan perayaan momen kehadiran Tuhan yang nyata itu.
Perayaan Corpus Christi diusulkan santo Thomas Aquinas (1225-1274) kepada paus Urbanus VI (1195-1264) untuk memulai penghormatan khusus pada Ekaristi. Ekaristi dimulai Yesus sendiri dalam perjamuan terakhir yang kita kenangkan setiap hari Kamis Putih. Fokusnya adalah sukacita dan kasih dalam perayaan bersama Yesus sebelum sengsaranya. Dalam perayaan Ekaristi selanjutnya kebersamaan dengan Yesus ini diimani secara mendalam khususnya dalam SabdaNya dan komuni Tubuh Kristus. Kehadiran Tubuh dan Darah Kristus dengan jiwa dan rahmat ilahinya diterima dan disyukuri oleh para sahabat Yesus disepanjang masa. Teologi Katolik meneguhkan pengalaman iman umat yang menerima Tubuh Kristus sebagai kehadiran Kristus yang nyata itu, bukan hanya kehadiran rohani.
Setiap tahun, saat liburan keluarga, saya selalu merayakan Ekaristi bersama ibu, ayah dan adik. Ibu ambil peran membaca bacaan pertama dan mazmur; Ayah menentukan waktu dan menyiapkan tempat; adik merencanakan lagunya. Ketika ayah semakin sulit untuk berjalan karena sakitnya, ibu juga bertugas menerimakan anggur sesudah saya menyampaikan “Tubuh Kristus”. Saat ini Ekaristi keluarga demikian tinggal sebagai kenangan berharga karena kami semua sudah berpisah tempat tinggal: ayah dirawat di panti Wredha Marganingsih Pekalongan; adik ikut keluarga Salatiga dan ibu sudah berpulang kepada Tuhan. Corpus Christi tetap menyatukan kami. Ekaristi menghidupkan dan mengabadikan kesatuan kita dalam keluarga atau dalam persahabatan: “Barang siapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman” (Yohanes 6:54)
Iman akan kehadiran Tuhan yang nyata itu didasarkan pada misteri inkarnasi, Sabda Allah yang menjadi daging dalam diri Yesus putra Maria dari Nazaret dan Yosef. Kasih Allah yang Agung bersinar di wajah Yesus, membadan dalam sejarah dan utuh dalam pribadinya. Allah beserta kita dalam Yesus dari Nazaret yang bisa senyum, bisa terharu dan menangis, bisa lapar dan haus serta bisa berjuang agar setiap orang mempunyai kehidupan yang utuh dan penuh, jasmani serta rohani (Yohanes 10:10).
“Senyumlah, walaupun hatimu sakit ataupun sedang hancur. Kalau engkau senyum, juga saat ketakutan atau dalam kesedihanmu, hari-hari gelap berawan akan bisa terlalui. Senyumlah, maka esok engkau akan melihat matahari bersinar dalam hidupmu”. Nyanyian terkenal Nat King Cole ini mau membangunkan daya-daya jiwa dan tubuh kita. “Biarlah wajahmu bersinar oleh kebahagiaan yang melebur setiap duka. Juga saat air matamu hampir jatuh, saat itu pula berupayalah tersenyum. Apa gunanya menangis saja. Dengan senyum, engkau akan sadar kembali betapa berharganya hidup ini”. Lagu Smile ini menyentuh jati diri kita sebagai manusia, dengan darah dan daging, dengan jiwa, hati dan perasaannya. Perayaan Corpus Christi mengingatkan kita akan keagungan realitas manusiawi sebagai citra Allah (Kejadian 1:26).
Masa pendemi ini juga mengingatkan saya akan lukisan altar Isenheim dari awal abad 16. Lukisan altar karya Nikolaus Hagenauer dan Matthias Grünewald ini menunjukan Tubuh Kristus yang pucat karena wabah penyakit kulit, dengan darah merah mengalir dari lambung kanan dan lubang-lubang pakunya. Santo Yohanes pembaptis dilukiskan berdiri tunjuk jari ke lambung kiri Yesus dengan kata-kata: “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yohanes 3:30)
Saat menerima Tubuh Kristus Kita menjawab: AMIN, yang berarti YA atau AKU PERCAYA. Apa adanya, tubuh, jiwa, hati dan perasaan manusia sudah menjadi ruang bagi Allah yang menjadi manusia. Itulah pula yang dirawat dan dikasihi Ibu Maria dan santo Yosef, seperti kita juga dirawat dan dikasihi ibu dan ayah kita. Santo Paulus menuliskannya: “Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita. Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya” (1 Korintus 12:26-27)
Penampakan Bunda Maria Guadalupe di Mexico (Tenochtitlan, December 1531)
Diceritakan kembali oleh Yanli S. Guerzon, HTCNA.
Dalam sejarah, tercatat penampakan Bunda Maria yang pertama adalah pada tahun 1531 di Tenochtitlan, Sekarang menjadi kota Mexico. Bunda Maria hadir 4 kali penampakan kepada seorang petani sederhana yang bernama Juan Diego Cuauhtlatoatzin (1474-1548).
Sejarah tidak membicarakan banyak tentang Juan Diego sebelum tahun 1531. Beliau hanya diketahui sebagai seorang petani lugu yang Beriman. Tiap pagi dia berjalan ke atas bukit dan menuju ke gereja kecil setempat
Penampakan Pertama: December 9, 1531, Subuh Pagi:
Suatu Sabtu pagi tertanggal December 9, 1531, Juan Diego seperti biasa berjalan menuju ke kelas Katekis agama menuju Bukit Tepeyac. Dia mendengar suara burung mencicit di pagi subuh, dan tersentak sadar dan berpikir, “Dimanakah aku ini? Apakah tempat ini yang dicertitakan para nenek moyang? Tanah ber bunga, jagung, dan sebagainya? Apakah ini tanah Surgawi?” Seketika ia mendengar suara yang memanggil dia “Juanito, Juan Dieguito!”
Lalu Juan Diego naik keatas bukit itu, disana dia melihat seorang wanita berpakaian yang Bersinar seperti matahari, berdiri diatas Batu yang Bersinar terang. Begitu Indah laksana mutiara yang bersinar dengan pancaran terang seperti pelangi. Wanita itu berkata, “Putraku, anak yang kecil, Juanito, mau kemana Engkau?” Juan menjawab, “Tuan Putri, Sang Ratu, aku ini sedang menuju ke rumahMu, di Tlatilolco, untuk mengikuti perihal Tuhan. “
Wanita itu mejawab, “Ketahuilah anakku, bahwa Aku ini adalah yang paling sempurna dan perawan suci Maria, Bunda dari Allah yang benar, dimana sumber semua kehidupan, pencipta mahluk hidup, yang berkuasa dari Jauh dan dekat, pencipta surga dan dunia. Aku berkeinginan untuk dibangun sebuah rumah suci, di tempat yang aku Akan perlihatkan kepadaNya, Aku Akan menaikkan Dia dan menampakkan Dia. Aku akan mempersembahkan kepadaNya seluruh manusia dengan segenap cintaku, Karena aku ini bunda yang berbelas kasihan, milikmu dan Milik semua orang yang tinggal di Tanah ini.”
Juan Diego segera berangkat ke Kota Mexico mencari Uskup setempat, Monsignor Juan Zummarraga. Namun sang Uskup tidak meladeni ungkapan Juan. Dengan sedih hati, Juan kembali ke bukit Tepeyac dan melaporkan semua nya kepada Sang Ratu yang sudah menanti dia.
Penampakan Kedua, December 9, 1531, Siang Hari:
Dengan Sedih Juan menceritakan kepada Sang Ratu, dengan sopan Santun nya, bahwa sang Uskup tidak percaya kepada dia. Dia berkata, “Aku memohon dengan amat sangat, Tuan Putri Ratu, Percayakanlah kepada seorang yang pantas untuk membawa pesanMU itu, karena saya adalah seorang jelata. Aku ini seperti binatang liar yang terbeban, aku tidak dapat menentukan kemana Aku harus pergi.”
Tetapi Sang Ratu memaksa:”Dengarlah, anakku yang terkecil, Percayalah bahwa mereka yang percaya kepada Ku tidak Sedikit. Tetapi, sangatlah penting bahwa Engkau membawa berita Ku dan lewat perantaraanmulah keinginanKu terlaksanakan. Aku memohon kepadamu, anakku yang terkecil, dan laksanakanlah. Pergilah sekali lagi besok ke tempat Uskup.”
Penampakan Ketiga, December 10, 1531, Sore hari:
Sepanjang pagi Juan menunggu saat nya dia bisa bertemu dengan sang Uskup, setelah melewati para penjaga, dia akhirnya bisa menghampiri sang Uskup. Setelah Berkata panjang Lebar, akhirnya sang Uskup berkata pada Juan bahwa dia harus membawa suatu TANDA dari Tuan Putri. Pergilah Juan kembali melaporkan semua yang terjadi kepada Tuan Putri, yang kemudian berkata:” Bagus anakku yang terkecil, Besok Engkau kembali kesini dan Akan membawa TANDA yang diminta Uskup. Ke tahuilah, Putra kecil, bahwa Aku akan menggantikan kepadamu semua yang telah Kau korbankan, tenagamu, dan Segala kekuatiranmu yang telah Kau bebani untukku. Pergilah dan kembali besok pagi, aku Akan menanti disini.”
Ketika Juan tiba dirumah, dia mendapatkan paman nya, Juan Bernardino, sakit parah. Olehkarenanya, Juan mencari dokter dan Menemani paman nya seharian sehingga Juan tidak dapat pergi bertemu Sang Tuan Putri. Malam hari nya paman nya minta Juan untuk membawa seorang pastur kepadanya untuk persiapan mautnya. Pergilah Juan Diego pagi buta tertanggal December 11 untuk mencari pastur untuk paman nya. Dengan Sengaja Juan memutari bukit untuk menghindari pertemuan nya dengan Sang Tuan Putri. Nahum sang Tuan Putri memotong jalan dan dengan tersenyum berkata :”Ada apa anakku yang terkecil, Mau kemana kamu?”
Penampakan ke Empat, December 12, 1531, Pagi Hari:
Juan Diego Begitu terkejut lalu dia berlutut baring, dan berkata kepada Tuan Putri, “Tuan Putri Ku, aku Berharap agar Engkau gembira, Apa kabarMu pagi hari ini? Apakah anda….. Tidur nyenyak, Tuan Putriku?” Kemudian, Juan menceritakan situasi paman nya yang sakit keras dan menginginkan bertemu dengan seorang pastur, olehkarenanya, Juan menghindari Sang Tuan Putri. Berkata lah Juan, “Aku mohon Engkau memaafkan aku, bahwa aku tidak berbohong, Tuan Putriku, besok aku akan datang kembali segera.” Berkatalah Sang Tuan Putri, dengan kata-kata yang membakar hatii nurani jutaan orang setiap tahunnya ke Basilica dengan berlutut.”No Estoy, Yo Aqui Que Soy Tu Madre?” Dengarlah anakku, tidak ada yang perlu Engkau takut, tidak akan ada penderitaanmu. Jangan Takut akan ini atau segala sakit penyakit, apapun juga ….. Bukankah Aku disini, bukankah aku ini Ibumu? Tidakkah engkau ada dalam naunganku dan dalam perlingdungan Ku? Bukankah aku ini sumber dari kebahagiaanmu? Tidakkah engkau ada dalam Mantelku, dalam Pelukkanku. Jangan biarkan kegelisahan menjadi penderitaanmu atau penggodamu. Jangan biarkan penyakit paman mu menjadi batu sandungan mu sakit hati. Percayalah, dia sudah sembuh.
Sang Putri mengutus Juan untuk naik kebukit dan memetik bunga-bunga Mawar yang dia dapatkan diantara batu-batu yang tandus. Lalu Sang Putri menyusun sendiri bunga-bunga itu dikain Tillmanya Juan Diego. Diutuslah Juan Diego untuk membawa semua nya itu kepada Sang Uskup. Pergilah Juan Diego ke tempat Uskup. Setibanya langsung Juan Diego membuka Kain Tilma yang dia pakai didepan Uskup. Ketika di buka, Kain Tilma nya Juan Diego Terjelma seketika Paras Bunda Maria.Berlututlah sang Uskup segera didepan Tilma Juan Diego.
Dalam sejarah penampakan Bunda Maria, Our Lady Of Guadalupe telah menjadi sumber Iman kepada jutaan manusia yang dibaptis setelah melihat mujizat penampakan ini. Tercatat ada 8 Juta orang yang ber Tobat dan dibaptis dalam Jangan waktu 10 tahun di Mexico. Our Lady of Guadalupe adalah BUNDA BANGSA AMERIKA.
Kain Tilma yang bermujizat itu sudah diteliti secara ilmiah dan terbukti sebagai suatu yang ajaib. Tiap tahun, jutaan umat Katolik berziarah ke Guadalupe, Mexico, bersujud dihadapan TILMA AJAIB yang diberikan Bunda Maria kepada Juan Diego. Setiap tanggal December 12, dunia merayakan penampakan mujizat ini. Hari Raya Santo Juan Diego, dirayakan gereja pada setiap tanggal December 9. Our Lady of Guadalupe adalah Bunda Pelindung bangsa America Serikat.
Our Lady of Guadalupe, Doakanlah Kami!!!
Sumber: Pamphlet Nican Mopohua, written around 1550, translated by Fr, Illo from the Star of The Sea church, 4420 Geary Blvd., CA 94118.
Finding God in Silence
Rasa damai dalam hati datang dari Tuhan ..
Maka Tuhan ditemukan dalam ketenangan.
Christmas is fast approaching, and the world buzzes into a frenzy once again. The lengthy list of Christmas presents for family and friends, the invitations to Christmas and New Year celebrations, the long-awaited holiday with the families, et cetera, preoccupy our time and demand our attention. In the midst of distraction of the senses and disquiet of the mind, we often forget to prepare our hearts in silence to remember the Lord’s incarnation and await expectantly for His second coming.
A noisy world, deprived of silence, breeds restless souls. The ceaseless assault on the senses and mind has removed tranquility from humanity. Men and women are no longer accustomed to silence – noise is welcomed, and numerous activities and idle conversations are created to fill the void. Cardinal Sarah sums this up eloquently in The Power of Silence: “Without silence, God disappears in the noise. And this noise becomes all the more obsessive because God is absent. Unless the world rediscovers silence, it is lost”;
God is gently knocking at our door, patiently inviting us to encounter and to remain in Him. It is almost impossible for us to listen to Him, unless we are quiet. After all, the word LISTEN and SILENT are spelled with the same letters.
Being silent sounds simple, but it is not easy. Fortunately, the Church’s history is filled with saints who have a deep personal relationship with God, and to these contemplatives we turn our attention to rediscover the treasures within our heritage. They live a life of God-centeredness and with the stillness of the heart, which prepares them for an encounter with the Divine. They have left their gems to guide us so that we can discover and walk along the path ourselves:
Following Jesus’s footsteps, the desert fathers and mothers withdrew into the desert, and the monks retreated into the monasteries, spending their lives in silence and solitude. We may not be called to lead a contemplative life, and yet, if circumstances allow, it is good to make time for an annual silent retreat. Just as we have a vacation with our family or friends, we set aside time vacationing with God – to disconnect from the world and reconnect with the Divine.
Many saints, including Mother Teresa, spend daily quiet time at the Eucharist, before the Tabernacle or the Blessed Sacrament, or at the foot of the Cross, by simply remaining in His loving presence, where Heart speaks to heart.
Church tradition has encouraged us to pray Lectio Divina by meditating and contemplating on the Scripture, and allowing the word of God to seep into our being.
St. Paul asks us to pray unceasingly, and breathing is the one thing we do unceasingly from our birth to our passing. We still our wandering mind with every conscious breath we take. And when breath becomes our prayer – be it through the Jesus Prayer or simply being aware of God’s presence – we continuously dwell in Him.
Let this Advent season be our response to God’s invitation to rest in Him. Let us rediscover Silence. For it is in stillness that God speaks to us – in the silence of our body and our mind, in the depth of our heart, and with the eyes and ears of our soul.
RS
Menemukan Tuhan dalam Keheningan
Natal semakin dekat, dan dunia kembali menjadi hiruk-pikuk. Panjangnya daftar kado natal untuk keluarga dan sahabat, undangan natal dan tahun baru perayaan, liburan yang ditunggu-tunggu bersama keluarga, dan hal lainnya sungguh menyita waktu dan menuntut perhatian kita. Di tengah gangguan indera dan keresahan pikiran, kita sering lupa mempersiapkan hati kita dalam keheningan untuk mengingat inkarnasi Tuhan dan menunggu dengan penuh harap untuk kedatangan-Nya yang kedua kali.
Dunia yang bising, tanpa kesunyian, melahirkan jiwa-jiwa yang gelisah. Serangan tanpa henti pada indera dan pikiran telah menghilangkan ketenangan dari manusia. Pria dan wanita tidak lagi terbiasa dengan keheningan – kebisingan disambut, dan banyak aktivitas serta percakapan kosong diciptakan untuk mengisi kekosongan. Kardinal Sarah merangkum ini dengan tepat sekali dalam The Power of Silence: “Tanpa keheningan, Tuhan menghilang dalam kebisingan. Dan kebisingan ini menjadi semakin obsesif karena Tuhan tidak ada. Kecuali dunia menemukan kembali keheningan, itu akan hilang”.
Tuhan dengan lembut mengetuk pintu kita, dengan sabar mengundang kita untuk bertemu dan tetap tinggal dalam Dia. Hampir tidak mungkin bagi kita untuk mendengarkan Dia, kecuali kita diam. Lagipula, kata LISTEN dan SILENT (Mendengar dan Diam) dieja dengan huruf yang sama. Berdiam diri terdengar sederhana, tetapi tidak mudah. Untungnya, sejarah Gereja sudah terisi dengan orang-orang kudus yang memiliki hubungan pribadi yang mendalam dengan Tuhan, dan kepada para kontemplatif ini kita palingkan perhatian kita untuk menemukan kembali harta karun dalam warisan kita. Mereka menjalani kehidupan yang berpusat pada Tuhan dan dengan keheningan hati, yang mempersiapkan mereka untuk bertemu dengan Yang Ilahi. Mereka telah meninggalkan permata mereka untuk membimbing kita sehingga kita dapat menemukan dan berjalan di sepanjang jalan itu sendiri:
Mengikuti jejak Yesus, para ayah dan ibu gurun menarik diri ke gurun, dan para biksu masuk ke biara, menghabiskan hidup mereka dalam kesunyian dan kesendirian. Kita boleh saja tidak terpanggil untuk menjalani kehidupan kontemplatif seperti mereka, namun jika keadaan memungkinkan, amat baik menyisihkan waktu untuk retret sunyi tahunan. Sama seperti kita berlibur dengan keluarga atau teman kita, kita menyisihkan waktu berlibur dengan Tuhan – untuk memutuskan hubungan dari dunia dan berhubungan kembali dengan keilahian Tuhan.
Banyak orang suci, termasuk Bunda Teresa, menghabiskan waktu teduh setiap hari di Ekaristi, di depan Tabernakel atau Sakramen Mahakudus, atau di kaki Salib, hanya dengan tetap berada di dalam kehadiranNya yang penuh kasih, di mana Hati berbicara ke hati.
Tradisi Gereja menganjurkan kita berdoa Lectio Divina dengan cara meditasi dan kontemplasi pada Kitab Suci, dan membiarkan firman Allah meresap ke dalam diri kita.
Santo Paulus meminta kita untuk berdoa tanpa henti, dan bernafas adalah satu-satunya hal yang kita lakukan tanpa henti dari lahir sampai kita mati. Dengan setiap tarikan napas sadar yang kita ambil, kita menenangkan pikiran kita. Dan ketika nafas menjadi doa kita – baik itu melalui Doa Yesus atau hanya dengan kesadaran kehadiran Allah – maka kita akan terus tinggal di dalam Dia.
Biarlah masa Adven ini menjadi tanggapan kita atas ajakan Tuhan untuk beristirahat di dalam Dia. Mari kita temukan kembali Kesunyian. Karena dalam keheningan Tuhan berbicara kepada kita – dalam keheningan tubuh dan pikiran kita, di dalam kedalaman hati kita, dan dengan mata dan telinga jiwa kita.
RS
Hidup Di Sorga itu, Bagaimana ?
Di surga tidak akan ada lagi kerinduan atau keinginan, karena segala tujuan penciptaan kita akan telah terpenuhi dan digenapi dengan sempurna.
Untuk dapat memahami makna kehidupan kita di Surga, pertama-tama haruslah kita menyadari betapa sungguh istimewanya kita yang tercipta sebagai manusia. Tuhan menciptakan kita menurut gambar dan rupa-Nya. Kita bisa tahu dan mencintai. Kita dilayakkan menerima kehidupan ilahi Tuhan sendiri - rahmat - ke dalam jiwa kita. Kita dipanggil untuk menjadi (dan diubah menjadi) anak-anak Tuhan dalam hidup ini.Surga adalah tujuan terakhir hidup kita. Di sana, segala tujuan penciptaan kita mencapai pemenuhannya yang sempurna. Di Surga, kita akan menyadari sepenuhnya betapa berharganya anugerah Tuhan yang telah menciptakan kita menurut gambar dan rupa-Nya.
Dalam hidup ini, kita dituntun oleh berbagai terang yang berbeda-beda. Terang penglihatan tubuh (mata) memungkinkan kita untuk melihat dunia di sekitar kita.Terang akal memungkinkan kita menemukan kebenaran.Terang iman memampukan kita untuk menerima misteri Kerajaan Allah bahkan ketika semua itu berada di luar akal dan indera kita.
Di Surga kita akan menerima terang terakhir, yakni terang kemuliaan (the light of glory), yang memungkinkan kita untuk melihat Tuhan secara langsung dan untuk memahami kebenaran yang sejati dengan kekuatan yang tak terbayangkan.
Dalam terang kemuliaan itu Tuhan secara langsung memancarkan kepada kita kebenaran, cinta, dan hidup-Nya. Terang kemuliaan dan transfigurasi tubuh dan jiwa kita di surga akan menyempurnakan kita dengan kegembiraan rohani yang tak pernah terbayangkan. Di surga tidak akan ada lagi kerinduan atau keinginan, karena segala tujuan penciptaan kita akan telah terpenuhi dan digenapi dengan sempurna.
Adalah penting untuk tidak memandang Surga hanya sebagai kehidupan duniawi yang disempurnakan. Banyak orang Kristen dan non-Kristen terjebak dalam kesalahpahaman seperti ini. Dalam hidup surgawi, semua keadaan, pemahaman dan cinta kasih yang ada sungguh melampaui semua pengalaman duniawi.
“Tidak ada mata yang pernah melihat, tidak ada telinga yang pernah mendengar, atau hati manusia yang mampu membayangkan, apa yang telah Tuhan persiapkan bagi dia yang mengasihiNya” (1 Korintus 2: 9)
Ditranslate dari: “Heaven” - Beginning Apologetic - terbitan San Juan Catholic Seminars
From Death into Life
Do not let your heart be troubled… In My Father’s house, there are many dwelling places… And if I go and prepare a place for you, I will come again and will take you to myself, so that where I am, there you may be also (John 14:1-3)
From Death into Life
“Death Cafés” have sprung up in a few places; individuals spend their time in these cafés to talk about their understanding, thoughts, dreams, fears, and other areas of death. Some cafés decorate themselves as a funeral parlor with a casket in the middle, inviting customers to lie inside the coffin for a few minutes, trying out what it feels like when the coffin door closes on them when their journey on earth ends. Humans are both intrigued by and afraid of death.
In our culture, death is often considered morbid and taboo, as if when we talk about death, we invite it to come sooner. We avoid thinking about it, which is only natural; after all, humans have strong self-preservation and survival instinct. We desire to live well and long, accomplish what one sets out to do, and spend time with our children, grandchildren, great-grandchildren, et cetera. Many, however, readily admit that the dread of the unknown often causes their fear – something unseen, unfathomable, incomprehensible, and beyond our control.
We may have learned first-hand that the perspective of life changes when one faces mortality – of self or loved ones. Individuals who suffered critical illnesses or had a brush with death are often transformed. Their priority in life shifts; they find new meaning, no longer taking life for granted, because every day, every minute, every second is now a precious gift. Such souls show such courage and acceptance that they make us wonder and marvel at the source of their strength.
Some of these brave souls are faithful Christians, who remember Jesus’s loving assurance: “For God so loved the world that He gave His only Son, so that everyone who believes in Him may not perish but may have eternal life (John 3:16); Do not let your heart be troubled… In My Father’s house, there are many dwelling places… And if I go and prepare a place for you, I will come again and will take you to myself, so that where I am, there you may be also (John 14:1-3); I will not leave you orphaned; I am coming to you (Johnn 14:18); Do not let your hearts be troubled, and do not let them be afraid (John 14:27).” They hold on to the promise of eternal life, of Jesus waiting for them in His Father’s house. He who has paved the way and shown them what to expect when they leave this life and move on to the next. These brave souls find their strength and hope in our Lord Jesus.
But what about us who may not have to face critical illnesses or have a close encounter with mortality? There is a lesser-known tradition within the Catholic Church for us to practice with – the remembrance of death. “In all you do, remember the end of your life, and then you will never sin” (Sirach 7:36). Those who often contemplate death have a taste of what awaits them in the end. And they live with that ending in mind.
The Church has prepared us throughout the Liturgical seasons. In Lent, we journey with the Lord through His struggle, suffering, and death. In Easter, we remember and celebrate His resurrection. Death has been conquered by His resurrection. We have been redeemed from death. Lent and Easter are but a continuum: the resurrection of our Lord brings new meanings to His death. And to ours. It gives us a glimpse of life after death: where death ends, a new life begins. On Easter, we are reminded again of this wonderful gift.
Every Sunday, we sing “We proclaim Your death, O Lord, and profess Your resurrection until You come again.” Perhaps we should also proclaim our death – to ourselves and to the world – and profess our resurrection in Him and with Him. When the ending is clear, fear evaporates. Dread melts away, for Love has defeated death, and Light prevails against darkness.
We begin with the end in mind, as the end is the beginning. We came to the world as a child of God; when we draw our last breath, may we return joyfully to our Father’s house. (RS)
(Translation in Bahasa Indonesia)
Dari Kematian Menuju Kehidupan
“Death Cafés” bermunculan di beberapa tempat; individu menghabiskan waktu mereka di kafe-kafe ini untuk berbicara tentang pemahaman, pikiran, mimpi, ketakutan, dan area kematian mereka lainnya. Beberapa kafe mendekorasi diri mereka sebagai ruang pemakaman dengan peti mati di tengahnya, mengundang pelanggan untuk berbaring di dalam peti mati selama beberapa menit, mencoba bagaimana rasanya ketika pintu peti mati ditutup ketika perjalanan mereka di dunia berakhir. Manusia tertarik dan takut akan kematian.
Dalam budaya kita, kematian sering dianggap tidak wajar dan tabu, seolah-olah ketika kita berbicara tentang kematian, kita mengundangnya untuk datang lebih awal. Kami menghindari memikirkannya, yang wajar saja; bagaimanapun juga, manusia memiliki naluri mempertahankan diri dan bertahan hidup yang kuat. Kami berhasrat untuk hidup dengan baik dan panjang, mencapai apa yang ingin dilakukan, dan menghabiskan waktu bersama anak-anak, cucu, cicit, dan lain-lain. Namun, banyak yang dengan mudah mengakui bahwa ketakutan akan hal yang tidak diketahui sering kali menyebabkan ketakutan mereka – sesuatu yang tidak terlihat, tidak terduga, tidak dapat dipahami, dan di luar kendali kita.
Kita mungkin telah belajar secara langsung bahwa perspektif hidup berubah ketika seseorang menghadapi kematian – diri sendiri atau orang yang dicintai. Orang-orang yang menderita penyakit kritis atau memiliki sikat dengan kematian sering berubah. Prioritas mereka dalam kehidupan berubah; mereka menemukan makna baru, tidak lagi menganggap remeh hidup, karena setiap hari, setiap menit, setiap detik sekarang adalah hadiah yang berharga. Jiwa-jiwa seperti itu menunjukkan keberanian dan penerimaan sedemikian rupa sehingga membuat kita heran dan kagum pada sumber kekuatan mereka.
Beberapa dari jiwa-jiwa pemberani ini adalah orang-orang Kristen yang setia, yang mengingat jaminan kasih Yesus: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16) ; Jangan biarkan hatimu gelisah… Di rumah Bapa-Ku, ada banyak tempat tinggal… Dan jika Aku pergi dan menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan akan membawamu ke tempat-Ku sendiri, sehingga di mana Aku berada, di sanalah kamu juga (Yohanes 14:1-3); Aku tidak akan meninggalkanmu yatim piatu; Aku datang kepadamu (Yohanes 14:18); Jangan biarkan hatimu gelisah, dan jangan biarkan mereka takut (Yohanes 14:27). Mereka berpegang pada janji hidup kekal, Yesus menunggu mereka di rumah Bapa-Nya. Dia yang telah membuka jalan dan menunjukkan kepada mereka apa yang diharapkan ketika mereka meninggalkan kehidupan ini dan melanjutkan ke kehidupan berikutnya. Jiwa-jiwa pemberani ini menemukan kekuatan dan harapan mereka di dalam Tuhan kita Yesus.
Namun bagaimana dengan kita yang mungkin tidak harus menghadapi penyakit kritis atau berhadapan langsung dengan kematian? Ada tradisi yang kurang dikenal di dalam Gereja Katolik untuk kita praktikkan – mengingat kematian. “Dalam segala hal yang kamu lakukan, ingatlah akhir hidupmu, maka kamu tidak akan pernah berbuat dosa lagi” (Sirakh 7:36). Mereka yang sering merenungkan kematian merasakan apa yang menanti mereka pada akhirnya. Dan mereka hidup dengan tujuan itu.
Gereja telah mempersiapkan kita sepanjang masa Liturgi. Dalam Prapaskah, kita melakukan perjalanan bersama Tuhan melalui perjuangan, penderitaan, dan kematian-Nya. Dalam Paskah, kita mengingat dan merayakan kebangkitan-Nya. Kematian telah ditaklukkan oleh kebangkitan-Nya. Kita telah ditebus dari kematian. Prapaskah dan Paskah hanyalah sebuah kontinum: kebangkitan Tuhan kita membawa makna baru pada kematian-Nya. Dan untuk kita. Ini memberi kita pandangan sekilas tentang kehidupan setelah kematian: di mana kematian berakhir, kehidupan baru dimulai. Pada Paskah, kita diingatkan kembali akan karunia yang luar biasa ini.
Setiap hari Minggu, kami menyanyikan “Kami memberitakan kematian-Mu, ya Tuhan, dan mengakui kebangkitan-Mu sampai Engkau datang kembali.” Mungkin kita juga harus menyatakan kematian kita – kepada diri kita sendiri dan kepada dunia – dan mengakui kebangkitan kita di dalam Dia dan bersama Dia. Ketika akhirnya jelas, ketakutan menguap. Ketakutan mencair, karena Cinta telah mengalahkan kematian, dan Cahaya mengalahkan kegelapan.
Kita mulai dengan tujuan akhir, karena akhir adalah awal. Kami datang ke dunia sebagai anak Allah; saat kita menghembuskan nafas terakhir, semoga kita kembali dengan sukacita ke rumah Bapa kita. (RS)
From Unable to Regain the Ability to Stand/Walk
“Tetaplah mengingat dan menyebut nama Tuhan. Dalam kesusahan masih terselip kepercayaan bahwa Allah tidak akan meninggalkan dan akan memberikan yang terbaik pada waktunya. Meski kita tidak dapat mengerti akan alasan/penyebab/akhir dari suatu musibah, namun kita masih tetap percaya Gusti Allah mboten sareh, Allah akan memulihkan segalanya.”
Pada saat berumur 14 tahun, tempurung lutut kiri saya tiba-tiba mengalami dislokasi/bergeser pada saat sedang berbincang-bincang dengan teman sekolah. Teman saya melihat saya jatuh dan berteriak minta tolong. Salah satu pegawai sekolah datang untuk menolong saya berdiri. Namun saya tidak bisa berdiri dikarenakan dislokasi tempurung lutut kiri. Setelah itu, pegawai sekolah itupun membantu untuk mengembalikan tempurung lutut saya. Setelah dia berusaha untuk mengembalikan tempurung lutut, saya bisa berdiri dan jalan kembali walaupun terpincang-pincang.
Setelah pulang sekolah, orang tua saya bertanya kenapa saya berjalan terpincang-pincang. Saya menceritakan apa yang terjadi. Di malam yang sama, papa saya membawa saya ke sensei yang menggunakan cara kerok dalam penyembuhannya untuk berusaha mengembalikan tempurung lutut saya. Saya berteriak-teriak kesakitan dan bercucuran air mata pada saat sensei itu mengerok kaki kiri saya. Setelah dari situ, ternyata tempurung lutut saya belum bisa kembali normal. Di hari pekan di minggu yang sama, papa saya membawa saya ke sensei lain yang menggunakan cara uap, namun tidak berhasil juga. Di pekan berikutnya papa membawa saya ke sensei lain lagi yang menggunakan salep obat Cina. Tempurung lutut dan kaki kiri saya merasa sedikit baikan dan saya tidak berjalan terpincang-pincang lagi, tetapi itu tidak berhasil mengembalikan nya 100%.
Setelah tiga Sensei, orang tua saya tidak tahu harus berobat ke mana lagi selain pergi ke dokter melakukan ronsen. Ronsen dijalani dan hasilnya tidak ada tulang yang retak selain tempurung lutut tidak ada di tempat yang seharusnya. Dokter menganjurkan untuk operasi. Saya tidak mau dioperasi dan orang tua sayapun tidak memaksa. Setelah ke dokter, saya pindah ke Amerika Serikat bersama dengan keluarga.
5 tahun berlalu sejak saya pindah ke Amerika Serikat, saya melakukan pekerjaan dan kegiatan lain dengan hanya satu tempurung lutut yang sehat (sebelah kanan). Saya dapat berjalan dan melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasa selama saya tidak melakukan kegiatan olahraga berat seperti waktu saya SD dan SMP.
Tepatnya setelah saya berulang tahun yang ke-19, saya pulang kerja shift malam di Panda Express dan siap untuk tidur, saya merasa ada yang mendorong saya dari belakang walaupun saya sendirian di dalam kamar. Saya tidak merasakan apa-apa dan tidur seperti biasanya. Keesokan pagi, pada saat saya mau berjalan ke kamar mandi setelah bangun, saya tidak bisa berdiri. Saya segera sadar kalau tempurung lutut kanan saya yang selama 5 tahun telah menanggung beban, karena kaki kiri saya tidak berfungsi normal telah ikut mengalami dislokasi/tergeser. Kedua lutut kaki saya kini mengalami hal yang sama. Sayapun merangkak ke kamar mandi dan setelah mandi, saya turun ke bawah di mana orang tua dan keluarga dekat (2 aunties dan 2 oma) saya berada. Saya meluncur melalui tangga dan semua sangat terkejut melihat saya tidak bisa berdiri dan berjalan. Tanpa ragu, semua berseru dan memutuskan untuk membawa saya ke tukang urut yang bernama KY (nama inisial) di Los Angeles. Saya tidak menolak atau berdebat karena saya ingin sekali bisa berdiri dan berjalan lagi seperti semula.
Di dalam perjalanan menuju rumah KY, salah satu auntie saya bercerita tentang anugerah kesembuhan yang Tuhan Yesus berikan ke KY. Kesaksian KY sudah diketahui dan tersebar oleh semua orang yang pernah urut dengan dia. Auntie saya bercerita, bahwa pada saat istri pertama KY meninggal dikarenakan kanker, diapun tidak ada keinginan untuk hidup lagi. KY kemudian berpuasa dengan tidak makan/minum selama 40 hari 40 malam. Namun di malam ke-40, ada satu orang berjubah putih datang kepadanya bertanya, "Sedang apa kamu tidak makan dan minum selama ini?" KY menjawab, "Saya ingin mati." Orang berjubah putih itu pun menjawab, "Waktumu belum tiba. Kamu masih harus menolong banyak orang di dunia ini." KY bertanya, "Bagaimana saya menolong orang lain; istri sayapun tidak bisa saya tolong." Orang berjubah putih itu menyuruh KY untuk membuka kedua telapak tangan selebar-lebar nya. Setelah itu ada sinar-sinar yang masuk ke dalam kedua telapak tangan nya. Esok paginya, KY ditemukan terbaring di lantai di dalam kamar. Setelah KY sadar kembali, dia masih belum tahu bagaimana harus menolong orang lain seperti orang berjubah putih itu katakan. Tidak lama kemudian, keponakan KY yang baru lahir tidak bisa menangis atau pun mengeluarkan air kecil dan tubuh nya sudah membiru. Dengan segera, KY pergi ke rumah sakit untuk membawa bayi itu pulang karena dia tidak ingin bayi itu meninggal di rumah sakit. Pada saat dia memegang bayi itu dan mengelus/mengurut halus, bayi itu tiba-tiba menangis dan mengeluarkan air kecil yang banyak sekali. Bayi itu selamat dan KY mulai menyadari apa yang harus dia lakukan agar bisa menolong orang, yaitu dengan menggunakan tangannya untuk mengurut. Setelah auntie saya selesai bercerita, auntie saya bilang kalau saya harus percaya bahwa Tuhan Yesus lah yang akan menyembuhkan kedua kaki saya 100% melalui KY. Saya langsung berkata, "Saya percaya!"
Setelah tiba di rumah KY, karena saya tidak bisa jalan, saya dibopong oleh tiga orang: papa saya dan 2 auntie saya untuk masuk rumah KY. Setelah KY melihat kedua kaki saya, dia menyuruh untuk tidur terlentang dan mulai mengurut kaki saya. Pertama, dia mulai mengurut kaki kanan saya, memutar tempurung lutut 360 derajat (satu lingkaran), dan menarik tempurung lutut yang tergeser dari dalam sampai bisa terlihat lagi seperti seharusnya. Saya pun berteriak sangat keras dan bercucuran air mata. Keluarga saya berusaha untuk menenangkan tapi dikarenakan rasa sakit yang luar biasa, saya pun tidak bisa tenang. Setelah tempurung kaki kanan saya kembali seperti semula, KY melakukan hal yang sama ke tempurung lutut sebelah kiri tanpa ada istirahat. Saya pun terus berteriak dan menangis keras. Tempurung lulut kiri saya pun terlihat kembali ke permukaan seperti sebelah kanan. KY pun terus mengurut saya selama beberapa menit setelahnya untuk meluruskan semua syaraf-syaraf di sekitarnya. Saya tetap berteriak karena merasa sakit sekali. Setelah selesai, KY menyuruh saya untuk berdiri dan berjalan tanpa bantuan dari siapapun. Saya langsung bisa berdiri dan berjalan sendiri walau masih pincang tanpa bantuan dari siapapun. Semua terkejut termasuk saya. Salah satu auntie saya bertanya kepada KY, ”apakah kedua kaki saya bisa 100% sembuh?” KY menjawab, ”Bisa, asalkan saya rutin datang urut setiap minggu sampai selesai.” Saya pun setuju. Selama 5 bulan, saya pun datang rutin setiap minggu (kadang-kadang 2x seminggu) untuk menerima urut dari KY. Setelah 5 bulan lamanya, KY pun memberi tahu kalau kedua kaki saya sudah 100% sembuh dan tidak perlu datang lagi. Saya sangat bergembira dan langsung bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan Yesus yang telah menyembuhkan kaki saya melalui KY.
Di dalam 5 bulan itu, saya juga mendapat cobaan dari beberapa orang termasuk mama saya agar berhenti total pergi ke rumah KY di Los Angeles setiap akhir pekan untuk menerima urut semata. Mereka berpendapat saya membuang waktu, tenaga, uang bensin, mileage mobil setiap minggu. Tetapi dengan dukungan auntie dan keteguhan hati, saya tidak mendengarkan mama dan orang-orang lain. Karena saya tidak mendengarkan omongan orang lain dan mama, ke dua kaki saya kembali normal 100% dan saya bisa kembali melakukan aktivitas-aktivitas seperti sebelumnya. Sayapun bisa kembali berlutut di gereja tanpa ada masalah dan tanpa rasa sakit di misa mingguan.
Seorang Romo menulis, “Tetaplah mengingat dan menyebut nama Tuhan. Dalam kesusahan masih terselip kepercayaan bahwa Allah tidak akan meninggalkan dan akan memberikan yang terbaik pada waktunya. Meski kita tidak dapat mengerti akan alasan/penyebab/akhir dari suatu musibah, namun kita masih tetap percaya Gusti Allah mboten sareh, Allah akan memulihkan segalanya.” Kutipan ini mengingatkan saya tentang kejadian ini. Walaupun kaki saya hampir dioperasi, setelah melalui 3 sensei, berjalan dengan satu tempurung lutut selama 5 tahun, dan pada akhirnya tidak bisa berdiri/berjalan, saya merasa Tuhan tidak pernah meninggalkan saya. Saya percaya bahwa Dia-lah yang memberi saya kekuatan selama 5 tahun itu dan akhirnya menunjukan jalan untuk bertemu dengan KY dan menerima kesembuhan total dariNya. Amin!
~CS~