Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Miracle on a Train

But things happen whenever God pleases, either we ask it or not, not according to us, but according to His will.

Dalam perjalanan kereta api dari sebuah kota di Jawa Tengah menuju Jakarta, seorang kakek duduk tenang menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan. Dia tampak begitu menikmati apa yang terlihat lewat jendela kereta; alam pedesaan, silih berganti dengan alam perkotaan, rumah-rumah penduduk dan aktivitas mereka, pepohonan, sawah dan keindahan perbukitan dan gunung-gunung yang tampak di kejauhan. Begitu menyenangkan melihat semuanya itu, membawa rasa takjub dan pelan-pelan memunculkan rasa syukur di dalam hatinya.

KA.jpg

Dari tempat dudukku yang berseberangan, berhadap-hadapan dan hanya berjarak dua baris jauhnya, saya bisa melihat kakek itu sepertinya hendak mulai berdoa. Dia memejamkan mata, dan secara perlahan tangannya yang kiri diletakkan di dada, dan tangan kanannya membuat tanda salib: Atas nama Bapa, Putera dan Roh Kudus. Oh dia seorang Katolik, pikirku.

Saya mengalihkan pandangan keluar jendela di sebelah saya,.. memandang alam persawahan yang mulai menguning, terbentang seluas mata memandang.

Tidak terlalu keras, tetapi saya bisa mendengarnya dengan jelas. Suara seorang wanita, katanya: “Bapak berdoa kan bisa diam-diam, tidak perlu bikin tanda salib begitu. Kan ini kereta, orang tidak perlu melihat itu, mengganggu sekali”.

Kakek itu diam, tetapi karena wajahnya sedang menghadap ke seseorang duduk di hadapannya, maka saya mengerti bahwa wanita yang duduk di depannya lah itu, yang tadi bersuara.

Wah bakal ribut ini,..pikirku. Seketika suasana terasa awkward sekali, ..akankah kakek itu balas membela diri? ataukah sang ibu akan berkata-kata protes lagi ?.

Hening,.... Kakek itu tampak menundukkan kepalanya, menutup mata..dia tampak melanjutkan doanya, dan tak lama kemudian dia selesai.

Aku menunggu apa yang akan terjadi, tetapi nothing.

Good,..nothing’s bad happening, pikirku lega. Case closed. Sesederhana itu.



I was wrong.

Tangan kakek itu tampak mengambil sesuatu dari balik jaketnya, saku dalam di bagian dada. Oh my,..what is that? a gun? a knife? his wallet ..?. apakah dia akan menyakiti si ibu ?.

Oh saya hampir tidak mempercayai apa yang saya lihat… begitu familiar, begitu kecil tapi it is really something. Kakek itu hendak berdoa rosario !. Salib rosario itu diciumnya,.. Dia hendak memulai berdoa dengan membuat tanda salib…. Dan di saat itulah terdengar suara sang ibu, kali ini lebih keras dari yang tadi saya dengar, dan nadanya tidak segan-segan lagi.

“Pak !,.. bapak silakan jangan berdoa di sini, semua orang bisa melihat apa yang bapak lakukan, ini tempat umum. Jangan mengganggu semua penumpang di sini, silakan bapak pergi ke tempat lain kalau mau berdoa. Sudah tua dan sudah bau tanah, masih bertingkah seperti orang suci. Bukan sombong ya pak, saya ini juga Katolik, tapi tidak perlu seperti itu”.

Sang kakek saya lihat menutup mulutnya rapat-rapat, tapi saya tau dia kelihatan menahan emosi, karena pandangannya tertuju kepada si ibu itu.

Katanya kemudian, “Maaf ibu,..saya tidak bermaksud mengganggu siapa pun. Saya berdoa di tempat duduk saya sendiri sesuai tiket, dan saya tidak bisa pindah ke tempat duduk orang lain di kereta ini. Justru karena saya sudah tua ini,..saya perlu berdoa lebih banyak lagi untuk lebih dekat dengan Tuhan”.

Si ibu tiba-tiba berdiri sambil satu tangannya diletakkan di pinggang..”Pokoknya saya tidak mau bapak berdoa di depan saya…! Silakan perg....”

Belum selesai ucapan si ibu,.. anak remaja laki-laki yang sedari awal duduk persis di bangku depan saya tiba-tiba berteriak “Ibu ! jangan larang bapak itu berdoa. Dia orang Kudus !”.


Belum pernah saya melihat pancaran mata seseorang berubah begitu drastisnya. Sang ibu terbelalak matanya, mulutnya menganga, seperti orang bingung dia memandang sang anak, kemudian ganti berpaling ke sang kakek, kemudian ke sang anak, kembali ke sang kakek…..dia seperti orang kebingungan tapi tidak mengucapkan apa pun. Matanya seperti melihat hantu.

Aku juga ikutan bingung. Lho… lho… ternyata sang anak tahu sang kakek berasal dari Kudus ? dan ini amat mengejutkan ibunya?.

Belum sempat aku berpikir mencerna apa yang sedang terjadi,..tiba-tiba sang ibu menangis keras,..jatuh bersimpuh di depan sang kakek sambil menyentuh lututnya. Para penumpang yang lain menoleh dan seolah ingin tahu apa yg telah terjadi, beberapa penumpang berdiri untuk melihat lebih jelas siapa yang menangis. Tangis sang ibu semakin menjadi-jadi,.. Dia sesenggukan, kulihat bahunya berguncang menahan emosi yang begitu meluap.

Sang kakek berusaha menenangkan si ibu,.. “Sudahlah bu, duduklah kembali. Tidak ada yang perlu disesalkan”

Masih terisak-isak dan sapu tangannya menutup mulutnya,.. Dia berkata pelan tapi aku jelas mendengarnya..”bukan,...bukan,......anak.. .. anakku ini .. dia bisu sejak lahir. Tapi hari ini bisa bicara”.



Suara roda besi kereta api saling bersahutan, beradu dengan rel kereta,..tiap gesekannya seperti musik yang indah dalam waktu yang seolah berhenti. Guncangan dan goyangan kereta tak mampu menggerakkan bola mataku, pandanganku terpaku. Hanya terasa begitu banyak angin di tenggorokanku dan terasa dingin,.. tak sadar, entah sudah berapa lama aku menganga.


- - - -

Miracle itu sungguh mengguncang jiwanya, sehingga sang ibu merespon dengan sebuah pertobatan hati, karena kuasa Tuhan terjadi pada anaknya yang sudah 14 tahun bisu, tidak pernah bicara sejak lahir. Kejadian ini membuatnya sungguh percaya kepada Tuhan, dan kekatolikannya berubah 180 derajat sehingga sekarang dia tidak lagi malu mengakui dan mempraktekkan imannya Kristennya di depan umum. Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga.” (Matius 10:32-33). Bapa mengijinkan mujizat ini terjadi untuk membawa sang ibu kepada pertobatan.


Sekarang, tulisan ini bukan tentang si ibu atau anaknya, bukan pula tentang si kakek yang bahkan tidak pernah menginjakkan kakinya di kota Kudus. Melainkan, tentang apakah sebagai orang Katolik, anda dan saya sudah mempraktekkan kekatolikan kita, ataukah sebaliknya kita malu menjalankannya?.

Aku juga percaya kisah ini akan membawa perenungan dan pertobatan, maka aku menuliskannya dengan kesungguhan hati. Nothing is impossible for God. Sometimes we just have to ask, seek, and knock on the door. But things happen whenever God pleases, either we ask it or not, not according to us, but according to His will.

Ingatlah bahwa the greatest miracle from God the Father sudah terjadi 2,000 tahun lalu di Bethlehem. Santa Maria Perawan Tak Bernoda telah dipilih Allah untuk melahirkan Immanuel, Sang Juru Selamat bagi kita umatNya. Merry Christmas.

Bay Area, Dec 2020

(Tulisan ini terinspirasi dari ilustrasi yang disharingkan oleh Uskup Mgr Antonius Budianto Bunjamin, OSC dari keuskupan Bandung, dalam homili misa Natal 2020)

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Kasih Tuhan Sepanjang Masa; Kejarlah Keutamaan Dalam Hidup.

Selamat Natal 2020 dan Berkat Tuhan dalam Tahun 2021

(Surat Natal dari om Hok Kan)

natal2020.jpg

Ola Kawan2 dan Keluarga,

Semoga surat ini menjumpai kalian sekeluarga dalam keadaan sehat walafiat.

Tahun 2020 banyak mengandung kejadian yang tidak menyenangkan. Media dan TV memuat kabar bohong dan palsu, yang kadang2 memuakkan. Pernyataan2 dan tingkah laku pembesar sering tidak sepantasnya. Dan ini berlaku dalam pandemi virus dan krisis ekonomi. Ditambah lagi ketegangan dengan China dan Russia, serta banyak daerah rusuh didunia. Menjelang pemilihan umum di Amerika Serikat keadaan menjadi semakin kacau dan demokrasi agak terancam.

Syukurlah Tuhan Maha Pengasih. Segala kegaduhan ini pada akhirnya hanya menghasilkan kekecewaan. Hanyalah satu hal yang penting: hubungan kita dengan Tuhan. Yang lainnya adalah kesiasiaan. Semoga masa Natal membawa kembali ketenangan dan Tahun Baru 2021 menyertai harapan dan perdamaian di dunia.

Segala daya-upaya mengumpulkan harta dunia, pengetahuan dan nama ; malah juga usaha memupuk hubungan baik dan cinta kasih dengen kawan dan keluarga, hanya memberi kepuasan sementara. Semuanya adalah sia- sia belaka.

Dalam beberapa bulan terakhir saya cukup waktu untuk meneropong petualangan saya dan keluarga. Kami keluarga imigran keturunan Tionghoa-Indonesia-Amerika dari tanah Dayak, yang memberanikan diri mengejar impian hidup layak di benua Amerika. Berkat karunia Tuhan keluarga kami selamat sampai sekarang.

Semoga kalian, teman dan keluarga yang terkasih, serta semua yang kalian cintai, juga masih diberi kesempatan untuk menyumbangkan jasa bagi kemuliaan Nama Tuhan.

AdMajorem.jpg


Selamat Natal 2020 dan Berkat Tuhan dalam Tahun 2021

Dengan salam hangat serta doa dalam Kristus,

Hok Kan, Ayke, Mike, Robert, Raymond, Stephanie, Sid, Maya, Marissa, Nathaniel dan Grace (dari atas)

Hok Kan, Ayke, Mike, Robert, Raymond,
Stephanie, Sid, Maya, Marissa, Nathaniel dan Grace (dari atas)

 
Read More
Kesaksian WKICU admin Kesaksian WKICU admin

Community

“…for this is my body which will be given up for you.” From a routine, to a ritual, to a fascination of something deeper, something I did not appreciate.

by Theo (OMK)

My 28th birthday came and went uneventfully: a mini celebration – cheesecake topped with a single lanky candle, broken happy birthdays, and a photo or two to remember. Everything was the way I preferred it; of course, not counting the looming global pandemic situation that we are in right now. It was a bit special, as it signified that I have spent longer time away from home by then.

I left home for studies abroad in my early teens, having felt a somewhat premature sense of freedom. I learnt how to budget for lunch and games, how to study and interact with adults, to make bigger decisions with even bigger impacts, usually unknown, down the road. People call it being independent; I am far from it. Most of my friends then were either roommates, or fellow compatriots. In the beginning, most were Christian, or at least nominally. Studying abroad exposed us with a plethora of perspectives: some good, some bad, most we have no idea how to discern. Met my first staunch “communist” friend whom I had great time talking politics, nonsense, and Risk to; another self-proclaimed bohemian with a very Sartre-Derrida-esque attitude (he was and still is an amazing Jazz artist); another extremely bright, full-blown atheist, whose mother is one of the more devout, persevering person I have ever met. I was somewhat stuck in the middle, that one odd kid doing his routine, trying to fit in.

As with any young teenager, I wanted to latch onto a community. Obvious first step was with my fellow Indonesians, and then with my fellow Catholics. It was something of a routine: a small group of us went to church 20 minutes away every Sunday, get to see other Indonesians - those from the girls’ school especially, had lunch afterwards and played arcade games. After a short while the group got smaller; some just fell away from the faith, and no parents were there to tell us otherwise. There were occasions when I was drifting, but somehow, I stuck around.

romans 15.5.jpg

Soon after it was time to move again, even further across the globe. Now I had my own room, in a student housing filled with everyone from everywhere. I wanted to go out of my shell a little bit, explore new extracurriculars, yet I found myself signing up for the university’s Catholic society. At first, I thought of it like a routine, going to church on Sunday, talking a bit with other churchgoers. I noticed how much fewer the attendees were compared to Indonesia especially: mostly older people – white hair, hunched backs, and some were veiled. There were no compatriots with me at that time. Yet, what was a routine had slowly morphed into a ritual. It became a source of stability in a strange land.

Even stranger when I stepped foot into a non-English speaking Mass in the old churches of Europe filled with history and grandeur. I found myself there understanding almost nothing, and yet I felt familiar – as if it was home. Even when words dissolved into a cacophony of noises, melodies, and ringing of the bells, there was stability: “…Das ist mein Leib, der für euch hingegeben wird”; “…detta är min kropp som offras för er.”; “Hoc est enim Corpus meum.”; “…for this is my body which will be given up for you.” From a routine, to a ritual, to a fascination of something deeper, something I did not appreciate.

Eucharist is also called Holy Communion, which in Greek (Κοινωνία) also refers to community – participation. It echoes 1 Corinthians 10:16, where the bread and wine that are blessed enable us to participate in the body and blood of Christ, the paschal sacrifice. Eucharist is at the core of our Faith, and in it there is shared community with one another in Christ Jesus. Such community was something I often take for granted: a given. Yet, it is none other than through God’s grace that I am still tethered to this community.

My younger self went through the motion, trying to break new grounds. I saw self-discovery as a romantic journey into the unknown grounds, to find something distinctive about our own self, or so that was what I thought. University is the marketplace of ideas, and its best-seller involves self-actualization: the me-centeredness, discovery of the real you, and defining your own meaning in life. Look at where those ideas took them: the great progress of the Western society! Equality and liberty! Lifting of human dignity! In retrospect, I understood better about how it was on the ivory tower. There is good in those ideas; if not, from where does the appeal come from? Maybe there is too much good; paraphrasing Chesterton: “modern world is not evil, instead it’s far too good, full of wild and wasted virtues.” Breaking new grounds are great, but sometimes we forget about the foundation.

Here I am now in the US. Somewhere along the way I should be called an adult by now. Sometimes I forgot how incapable I truly am, and in turn forgot about the community I am tethered to. Oftentimes I forgot about such reality, building my castle of dreams, ornate walls, towers, neglecting the base that supports it all. This community in one body of Christ, is the foundation on which we start building up our lives. Chesterton mentioned in Orthodoxy that he wanted to write about: “an English yachtsman who miscalculated his course and discovered England under the impression that it was a new island in the South Seas”. He went further: “he looked like a fool, but his mistake was an enviable one: what could be more delightful than to have in the same few minutes all the fascinating terrors of going abroad combined with all the humane security of coming home again?” I hope that I can always remember, coming home is a good thing.

Read More
Tulisan Romo WKICU admin Tulisan Romo WKICU admin

Refleksi Singkat Satu Tahun Tahbisan Imamat (bagian 4)

Bahwa Yesus adalah seorang sahabat saya yang setia dan Dia terus setia kepada saya meskipun saya pernah cukup lama meninggalkan Dia.

persahabatanindah.jpg

Oleh Romo S. Hendrianto, SJ

Pengantar

Bacaan Injil pada hari Minggu Biasa Ke 32, tanggal 8 November 2020 berisi perumpamaan tentang sepuluh orang gadis yang mengambil pelitanya untuk menyongsong mempelai laki-laki. Pada hari Minggu itu saya bertugas untuk memimpin misa bagi Warga Katolik Indonesia di California Utara. Ketika saya merenungkan bacaan Injil tersebut, ingatan saya pun melayang-layang pada kejadian lima belas tahun yang lalu. Tanpa terasa waktu cepat sekali berlalu; lima belas tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 6 November 2005, saya juga mendengar bacaan Injil yang sama. Bacaan Injil tentang cerita sepuluh orang gadis itu ternyata menjadi awal dari perjalanan saya menjadi seorang Imam Katolik. 

Lima belas tahun yang lalu, saya sedang menempuh pendidikan doktoral saya di bidang Ilmu Hukum di University of Washington, Seattle. Saya tiba di Seattle pada tahun 2004 dan tahun pertama saya sebagai mahasiswa doktoral cukup melelahkan secara fisik dan mental, dan konsekuensinya pun saya cukup terisolasi. Memasuki tahun kedua, saya mencoba untuk keluar dari isolasi dan bersosialisasi dengan banyak pihak, diantaranya adalah Mudika Seattle. 

persahabatan.jpg

Ketika itu Mudika Seattle mengadakan acara retreat dari tanggal 4 sampai 6 November 2005 di Rumah retreat Sambica yang terletak di tepi danau Sammamish, sekitar 20 menit dari Seattle. Rumah retreat itu sendiri dikelola oleh kelompok Kristen Protestan yang tidak masuk dalam dominasi manapun (non-denominational Christian). Saya pun memutuskan ikut retreat tersebut dengan motivasi ingin mengenal lebih dekat teman-teman Mudika Seattle. Sebelumnya pada bulan September saya juga sudah pernah hadir di acara Welcoming Party mereka, akan tetapi saya belum mengenal dekat para anak muda yang aktif di sana. 

renungan.jpg

Singkat cerita retreat itu sendiri menjadi titik balik bagi perjalanan iman saya. Retreat itu dibimbing oleh Romo Benny Phang O.Carm, seorang Romo Carmelite yang ketika itu sedang menyelesaikan Licentiate in Sacred Theology di Catholic University of America di Washington DC. Pada hari kedua retreat, Romo Benny meminta para peserta untuk hening total mulai dari setelah makan siang sampai sekitar jam 5 sore. Saya pun mencoba untuk tidur siang di tengah masa hening tersebut. Akan tetapi saya tidak bisa tidur dan jadilah sayapun merenungkan perjalanan hidup saya. Dalam perenungan itu saya mulai tersadar mengapa selama ini menjauh dari Tuhan. Bahwa di lubuk hati yang mendalam saya merasa tidak ada orang yang mencintai dan peduli dengan saya, termasuk Tuhan. Akan tetapi saya tidak bisa melihat segala nikmat dan syukur yang telah Tuhan berikan kepada saya. 

Setelah masa hening selesai, para peserta retreat pun kembali beraktivitas normal. Setelah makan malam, kita kembali berkumpul di aula utama dan masuk dalam renungan malam. Romo Benny Phang menggunakan sesi renungan malam tersebut sebagai ajang pencurahan Roh Kudus. Terus terang saja saya tidak familiar dan sedikit skeptis terhadap pencurahan Roh Kudus. Meski demikian saya tidak menutup diri terhadap acara tersebut. Romo Benny mendoakan setiap peserta retreat, dan ketika sampai pada giliran saya, saya bisa merasakan kekuatan Roh Kudus menyelimuti tubuh seperti gelombang listrik yang masuk ke tubuh. Saya tidak berbicara dalam bahasa roh, cuma ketika itu saya merasakan tubuh bergetar dan saya pun jatuh terbaring di lantai. Yang bisa saya rasakan malam itu adalah Kasih dan Kuasa Tuhan Yesus seperti membasuh diri saya. 

manusiabaru.jpg

Keesokan harinya, saya merasa bangun sebagai seorang manusia baru. Saya melihat dunia begitu indah dengan matahari pagi yang bersinar, burung-burung yang bernyanyi dan udara pagi yang bersih. Karena hari itu adalah hari Minggu maka kami pun mengakhir retreat dengan misa hari Minggu. Bacaan Injil pada hari itu dari Kitab Matius, perumpamaan tentang sepuluh orang gadis. Akan tetapi Romo Benny entah mengapa berkhotbah tentang panggilan untuk menjadi seorang Imam, entah itu Imam Religius ataupun Imam Diocesan dan beliau menghimbau para peserta retreat untuk bisa membuka dirinya terhadap panggilan menjadi Imam.

Terus terang saya berpikir bahwa khotbah tersebut sangat aneh karena tidak ada hubungannya sama sekali dengan bacaan Injil pada hari itu. Saya sama sekali tidak bercita-cita menjadi seorang Imam, meski demikian pesan dari Romo Benny terlanjur lengket di pikiran saya. Setelah retreat selesai dan kita kembali ke Seattle, saya pun mulai aktif bergabung bersama teman-teman Mudika Seattle. Singkat cerita pertemanan saya dengan mereka berlanjut menjadi persahabatan dan mereka banyak membantu pertumbuhan iman saya. Seiring dengan waktu, saya pun mulai pelan-pelan memikirkan panggilan menjadi Imam dan sejumlah teman-teman Mudika Seattle mendukung saya dalam panggilan tersebut. 

Empat belas tahun setelah peristiwa retreat di Sambica itu saya ditahbiskan menjadi Imam Katolik. Setelah menerima Sakramen Imamat saya kembali ke Indonesia dan merayakan misa syukur di Jakarta. Karena ketika tinggal di Jakarta dulu saya tidak pernah terdaftar secara resmi di paroki manapun, saya agak kesulitan untuk mencari tempat merayakan misa syukur. Dengan bantuan sejumlah sahabat-sahabat lama dan Serikat Yesus di Indonesia, akhirnya saya memutuskan untuk merayakan misa syukur di Kapel SMA Kanisius. Saya bukan alumnus Kanisius, akan tetapi para Romo Yesuit di Kanisius telah bermurah hati untuk memberi saya kesempatan merayakan misa syukur di Kapel SMA Kanisius. 

Pada misa syukur saya di Kapel SMA Kanisius, saya berkesempatan kembali bertemu dengan teman-teman dari Mudika Seattle. Tentu saja situasi kita masing-masing sudah banyak berubah dari pertemuan pertama kita empat belas tahun sebelumnya. Sebagian besar dari mereka sudah berkeluarga dengan anak-anak yang masih kecil. Tentu usia kita semua semakin bertambah, akan tetapi saya akan selalu mengingat dukungan dan doa mereka sehingga saya bisa menjadi seorang Imam Katolik. 

Pertemanan atau persahabatan kadang kala adalah misteri, sering kali kita tidak bisa menjelaskan mengapa kita bisa berteman satu sama lain. Saya juga tidak bisa menjelaskan mengapa saya bisa berteman dengan anggota Mudika Seattle. Atau kita bisa mencoba dekat atau berteman dengan sejumlah orang, tetapi belum tentu orang-orang tersebut ingin berteman dengan kita. Pada akhirnya hubungan pertemanan selalu melibatkan kedua belah pihak. Kita bisa mencoba menjadi orang baik ataupun berbuat baik terhadap orang lain, akan tetapi orang tersebut bisa saja menolak kebaikan kita dan menolak menjalin hubungan dengan kita. Untuk itu lah saya berterima kasih terhadap teman-teman dari Mudika Seattle yang sudi berteman dengan orang seperti saya. Saya menduga mereka percaya apa yang dikatakan Yesus, “aku memanggil kamu Sahabat” (Yohanes 15:15) dan oleh karena itu pula mereka juga mencoba meneladani Yesus dengan bersahabat dengan orang seperti saya. 

Untuk lebih mendalami perjalanan panggilan saya menjadi Imam, silahkan dibaca teks homili saya pada misa syukur di SMA Kanisius yang terlampir di bawah ini. 


Homili pada misa syukur Romo Stefanus Hendrianto, SJ pada tanggal 20 Juli,  di Kapel SMA Kanisius, Jakarta.  

Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam atas kehadiran kalian semua pada misa syukur malam hari ini. Saya sadar bahwa banyak pihak yang hadir pada malam hari ini mengenal saya dengan karakter yang berbeda-beda, karena masing-masing orang hanyalah mengenal saya dalam satu periode dalam kehidupan saya, entah sebagai siswa SMA St. Yosef, mahasiswa Fakultas Hukum UGM, aktivis mahasiswa, ataupun mahasiswa PhD di University of Washington, Seattle.  

  Akan tetapi, saya berharap kalian semua bisa menilai saya sebagai seorang Imam Jesuit dan bukan berdasarkan satu episode dalam kehidupan saya di masa lalu dimana kalian mengenal saya. Karena pada akhirnya misa malam hari ini bukan mengenai saya tetapi mengenai Yesus Kristus dan GerejaNya. 

Dalam bacaan kedua yang kita dengar pada hari ini, Santo Paulus berbicara tentang penderitaan dan harapan.  Santo Paulus mengatakan bahwa dia rela menderita karena Kristus ada di antara kita, dan Yesus Kristus adalah harapan akan kemuliaan. Penderitaan dan harapan adalah kosa kata yang tidak asing lagi bagi kita semua. Ketika masih muda dulu, saya juga sering bergelut dengan kedua kosa kata tersebut. 

Sebagai seorang idealis, ketika masih muda saya sering bergelut dengan pertanyaan, mengapa begitu banyak penderitaan di muka bumi ini, dan dimanakah kita harus menggantungkan harapan hidup kita. Sebagai seorang pemuda idealis saya juga cukup naif karena saya percaya bahwa penderitaan di muka bumi ini bisa dihapuskan dengan perjuangan kelas, dan kemudian saya pun menjadi seorang demonstran.  

Seperti yang saya katakan tadi, ketika itu saya adalah seorang anak muda yang naif karena bahan bacaan saya masih terbatas. Filsuf Yunani Kuno, Plato pernah mengatakan bahwa dalam karyanya the Republic bahwa “ketika seseorang benar-benar belajar, dia akan peduli dengan kesenangan jiwa, khususnya dengan jiwanya sendiri dan dia akan meninggalkan kesenangan yang datang melalui tubuh. " (Plato, Republic, Book VI, 485 e). Akan tetapi, waktu muda dulu saya tidak pernah baca the Republic sehingga saya  tidak tahu tentang pentingnya memperhatikan kesenangan jiwa saya sendiri. 

Pada tahun 1999, ketika saya sedang sibuk dengan aktivitas politik, saya bertemu dengan seorang teman lama di sebuah pesta perkawinan. Teman saya tersebut mengingatkan saya bahwa para mantan teman seperjuangan saya, para demonstran yang dia temui di kampusnya mempunyai jiwa yang kering. Akan tetapi sebagai seorang demonstran yang keras kepala dan naif, saya tidak mengakui ataupun menyangkal bahwa jiwa saya kering dan tandus. 

Ketika saya menjadi seorang aktivis politik, saya percaya bahwa saya telah menemukan jawaban dan arti kehidupan.  Akan tetapi saat yang sunyi dalam kehidupan adalah ketika kita berpikir bahwa kita sudah menemukan jawaban, dan jawaban yang kita temukan itu justru membuat kita terhempas. Selama bertahun-tahun saya merasa bahwa akar dari semua masalah ketidakadilan di Indonesia adalah Soeharto. Sejarah mencatat bahwa pada tanggal 20 Mei 1998, Soeharto turun sebagai presiden. Akan tetapi, tidak ada kebahagiaan ataupun kepuasan, dan justru kemenangan reformasi menghempaskan harapan saya. 

Di tahun 2004, saya meninggalkan Indonesia dan memutuskan untuk memulai kehidupan baru di Amerika Serikat. Saya memulai kehidupan baru sebagai mahasiswa program doktoral di University of Washington, School of Law. Ketika saya tiba di Seattle, saya tidak lebih dari seorang pria yang jiwanya terluka. Akan tetapi kondisi jiwa yang terluka ini justru menjadi awal dari perjalanan saya untuk menjadi seorang rohaniawan Katolik. 

Ada orang bijak yang mengatakan bahwa luka bisa menjadi guru kita yang paling baik. Hal ini jelas nyata pada kehidupan Santo Ignatius dari Loyola pendiri Serikat Yesus. Dalam pertempuran di Benteng Pamplona, bola Meriam menghantam kaki Ignatius. Selama masa penyembuhannya yang panjang di puri keluarga di Loyola, Ignatius mulai berpikir dan merenungkan kehidupan Yesus dan para orang kudus seperti Santo Dominikus dan Santo Fransiskus. Dia pun berpikir kalau sekiranya Dominikus dan Fransiskus bisa berbuat banyak untuk Kerajaan Allah, seharusnya saya juga bisa berbuat hal yang sama. Pertobatan Ignatius mulai dari Loyola, akan tetapi ketika berada di Manresa, khususnya di tepi sungai Cardoner, Ignatius mendapat kejelasan tentang kehendak Tuhan buat dirinya. Di tepi sungai Cardoner, Ignatius menerima rahmat Tuhan untuk melihat ke belakang tentang perbuatan-perbuatan dia di masa lalu, yang mana dia ingin mencapai kemuliaan manusiawi dengan menjadi seorang serdadu. Akan tetapi sekarang dia bisa melihat bahwa dia bisa menggantikan keinginan-keinginan duniawi itu menjadi keinginan untuk bekerja demi kemuliaan Tuhan. 

Jikalau Ignatius mempunyai Manerssa and Cardoner experience, Seattle adalah merupakan tempat dimana bagi saya untuk merenungkan kembali makna kehidupan dan menemukan jalan baru. Lebih tepatnya, di tepi danau Sambica di Washington bagian timur, saya menerima rahmat Tuhan yang menyadarkan saya akan perbuatan-perbuatan saya di masa lalu. 

Ketika itu saya ikut retreat bersama teman-teman Mudika Seattle. Akan tetapi retreat tersebut justru membuka mata hati dan pikiran saya tentang sosok Yesus. Bahwa Yesus adalah seorang sahabat saya yang setia dan Dia terus setia kepada saya meskipun saya pernah cukup lama meninggalkan Dia. Setelah retreat itu, saya pun mulai merasa terpanggil untuk menjadi lebih dekat mengenal Yesus dan bersahabat dengan Yesus. 

mengenal.jpg

Singkat cerita, perjalanan saya untuk menjadi seorang Imam Yesuit, bermula dari persahabatan. Pertama persahabatan saya dengan teman-teman Mudika Seattle. Mereka banyak membantu saya untuk menjadi lebih dekat dengan Yesus dan menghayati lebih dalam Iman Katolik. Kedua, dan yang lebih penting, adalah persahabatan dengan Yesus sendiri. Dengan mengenal Yesus lebih dekat, saya pun merasa terpanggil untuk mengikuti Yesus lebih dekat dengan menjadi seorang Imam Yesuit. 

Ketika saya mulai merenungkan kehidupan religius, Paus Benediktus XVI mengeluarkan surat ensiklik nya yang menurut saya the greatest encyclical letter ever yaitu Spe Salvi (kita diselamatkan dalam pengharapan). Membaca Spe Salvi saya tersadar bahwa isu ketidakadilan di muka bumi ini ujung-ujungnya adalah persoalan tentang harapan dan keselamatan. Dimanakah kita semua menggantungkan harapan akan keselamatan kita. 

Yang menarik bagi saya dari surat itu adalah bahwa Paus mengatakan bahwa contoh yang paling menarik dari sosok yang ingin memperjuangkan keadilan di atas bumi adalah Karl Marx. Marx berusaha membangun kerajaan surga di atas bumi dengan jalan revolusionernya. Akan tetapi, menurut Paus Benediktus, kesalahan utama dari Marx adalah, “dia dengan gampang berpikir bahwa dihancurkannya kelas penguasa…sebuah Yerusalem yang baru akan terbentuk.”

Paus Benediktus mendeskripsikan kesalahan fundamental Marx dengan sebuah argumen bahwa, Marx lupa bahwa manusia akan selalu menjadi manusia.  Marx berpikir bahwa ketika sistem ekonomi sudah diperbaiki, maka semuanya pasti beres. Akan tetapi Marx lupa bahwa manusia bukan sekedar produk dari kondisi ekonomi dan tidak mungkin bagi kita menyelamatkan manusia dengan menciptakan situasi ekonomi yang lebih baik. 

hanyatuhan.jpg

Dalam suratnya, Paus mengatakan bahwa respon terbaik bagi kita sebagai orang  Kristiani terhadap ketidakadilan di dunia adalah menerima kondisi manusia yang tidak sempurna. Dengan kata lain kita harus menerima kenyataan bahwa penderitaan dan ketidakadilan adalah bagian dari hakikat kita sebagai manusia. Kita bisa berusaha sekuat mungkin untuk melawan ketidakadilan dan penderitaan, akan tetapi kita tidak bisa menghilangkan ketidakadilan dan penderitaan dari muka bumi ini karena kita tidak mempunyai kekuatan untuk itu.  Hanya Tuhan lah yang bisa mengakhiri penderitaan, yaitu Tuhan yang turun ke bumi dan menjadi manusia dan ikut menderita sebagai seorang manusia dan mati di kayu salib, hanya Dia lah yang bisa mengakhiri penderitaan di dunia ini.  

Pada akhirnya perjuangan untuk mencapai ketidakadilan harus berujung kepada pemahaman bahwa Keadilan yang paling sempurna adalah Tuhan sendiri. Tuhan adalah keadilan dan Dia lah yang menciptakan keadilan. Jadi pengharapan kita sebagai orang Katolik adalah bahwa kita menggantungkan harapan pada Tuhan yang bisa menciptakan keadilan. Pengharapan kita sebagai umat Katolik adalah kita berharap bisa bertahan dalam menerima penderitaan dan menunggu dengan penuh harapan akan janji kebangkitan badan dan kemenangan Kritus akan maut.  

Setelah membaca surat ensiklik Spe Salvi tersebut, saya pun memutuskan untuk membanting dan membuang masa lalu saya sebagai seorang aktivis politik dan memutuskan untuk menjadi seorang Imam Yesuit. Apakah dengan menjadi seorang Imam Yesuit, saya hanya akan menjadi seorang rohianawan yang besikap pasif yang berdoa dan nrimo saja. Jawaban atas pertanyaan itu bisa kita temukan dalam bacaan Injil hari ini.  

Injil hari ini sering salah ditafsirkan sebagai keberpihakan Yesus terhadap spiritualitas yang kontemplatif yang dilambangkan oleh Maria, sementara Martha disalahkan karena terlalu aktif, jadi dengan kata lain model spiritualitas yang aktif cukup bermasalah. Akan tetapi, jikalau kita cermati Injil pada hari ini, Yesus mengatakan bahwa Maria telah memilih bagian yang terbaik. Yesus menggunakan kata yang terbaik untuk menunjukkan bahwa bagian yang dipilih oleh Martha juga baik. Jadi apa yang dilakukan oleh Martha bukanlah hal yang buruk ataupun jelek. 

Pada intinya Yesus ingin mengingatkan bahwa pada akhirnya kehidupan kita yang aktif dalam karya Tuhan akan berakhir dengan kematian kita secara fisik. Ketika kita meninggal, tentu saja tubuh kita tidak bisa lagi memberi makan kepada orang-orang yang kelaparan atau pun membantu orang-orang miskin. Martha cepat menangkap pelajaran dari Yesus, karena dia tahu dan mengerti bahwa kehidupan kita yang aktif di dunia ini akan berakhir. Buktinya adalah kejadian ketika saudara laki-lakinya, Lazarus meninggal dunia. Di Injil Yohanes bab 11, Martha berkata kepada Yesus bahwa dia percaya bahwa saudaranya Lazarus akan bangkit pada akhir zaman. Kemudian Yesus berkata: "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?" Martha pun menjawab, "Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia." Dengan kata lain Martha mengerti bahwa akan tiba saatnya ketika kehidupan aktif duniawi akan diambil dari kita semua. Martha percaya akan kehidupan kekal yang merupakan bagian utama dari iman Kristiani.

Di Injil hari ini kita mendengar bahwa Martha bergulat antara keinginan untuk bersikap aktif dan bersikap pasif. Hal yang sama juga terjadi pada Santo Ignatius dari Loyola. Ketika dia berada di Manresa, Ignatius berpikir bahwa cara terbaik untuk melayani Tuhan adalah dengan cara-cara yang kontemplatif, mulai dari doa sampai mati raga. 

Akan tetapi ketika Ignatius mulai kuliah di University of Paris, Ignatius mendapat inspirasi dari Santo Thomas Aquinas yang menjadi dasar teologis dan intelektual bagi dia untuk menggunakan cara-cara yang lebih aktif untuk memuliakan nama Tuhan, dan pada saat yang sama, dia meninggalkan cara-cara mati raga nya yang berlebihan di Manresa. 

Ignatius yang lebih matang dan dewasa mulai membangun sebuah sistem baru di Serikat Yesus yang mencoba menggabungkan kedua sistem yang kontemplatif dan aktif. Santo Ignatius percaya bahwa semuanya tergantung pada rahmat Tuhan, akan tetapi kita juga harus menggunakan segala kemampuan, tenaga dan pikiran untuk bekerja sama dengan Yesus. 

Dalam karyanya Pilgrim’s Progress, John Bunyan menceritakan tentang seseorang yang mencoba membersihkan lantai yang kotor berdebu. Akan tetapi setiap kali dia mencoba menyapu, debu di ruangan tersebut terbang ke udara dan kemudian kembali lagi ke lantai. Setelah dia memerciki air di atas lantai yang berdebu, orang tersebut bisa menyapu lantai dengan lebih gampang.  Disini kita bisa melihat bahwa sapu bisa melambangkan kerja-kerja aktif kita di dunia untuk kerajaan Allah, akan tetapi percikan air, yang melambangkan rahmat Tuhan, juga diperlukan untuk membantu sapu mencapai tujuan akhirnya. 

Analogi antara sapu dan air ini merupakan contoh bahwa kita bekerja sama dengan Tuhan untuk membangun Kerajaan Allah. Kita harus menggunakan segala kemampuan kita untuk membangun perdamaian dan keadilan di dunia ini. Meski demikian, kita juga membutuhkan rahmat Tuhan untuk mencapai tujuan kita mewujudkan perdamaian dan keadilan di muka bumi ini. 

Saya baru saja memulai perjalanan saya sebagai seorang Imam Yesuit. Oleh karena itu saya meminta tolong doa kalian semua agar saya bisa menjadi Imam Yesuit yang rendah hati dan penuh pengharapan. Saya ingin menjadi seorang Imam Yesuit yang penuh pengharapan karena saya ingin membantu memberikan harapan kepada orang banyak di tengah penderitaan mereka. 

Akan tetapi, sebagai seorang Imam Yesuit, saya sadar bahwa ada keterbatasan bagi kita umat manusia karena usia, kemampuan fisik dan pikiran, dan akan tiba saatnya ketika harus menyadari bahwa misi kita di dunia ini tidak selesai. Oleh karena, seperti yang dikatakan oleh Santo Ignatius, “Hanya rahmat dan cintaMu padaku yang ku mohon menjadi milikku.”

Tuhan memberkati kalian semua. 

Read More
Senyum itu Sehat Eliza Kertayasa Senyum itu Sehat Eliza Kertayasa

Pendatang Baru

Memilih bangku paling depan di gereja

E-Bulletin 5.jpg

Seperti biasanya, setiap hari Minggu pagi orang-orang datang ke gereja dan langsung memilih tempat duduk di bangku bagian belakang. Demikian juga dengan pagi ini, kecuali seorang pendatang baru yang langsung menuju ke bangku paling depan.

Setelah kebaktian, Pendeta memberi salam kepada pendatang baru ini sambil bertanya mengapa ia duduk di bangku paling depan. "Saya seorang sopir bus," jawabnya, "dan saya datang untuk belajar dari anda bagaimana caranya membuat orang-orang berebut duduk di bangku yang paling belakang."


Read More
Apa dan Siapa WKICU admin Apa dan Siapa WKICU admin

Monika Fuun dan Secuil Kenangan

Perjuangan dan dedikasinya menunjukkan komitmen akan cinta dan rasa syukur kepada Tuhan yang hanya dapat beliau lakukan lewat WKICU.

Ditulis oleh Agem Rahardjo

(Mengenang satu tahun meninggalnya Tante Monik)

** Bahan tulisan oleh Imman Chiang.

Sinar matahari siang itu menyengat cukup panas membakar kulit kering yang lupa dibaluri sunblock. Saya menyingkir dan masuk ke dalam tenda sesekali untuk berteduh sebentar di bawah kain terpalnya yang melebar panjang. Ada hembusan angin dingin yang menusuk ketika bersembunyi dari sorotan tajam sang mentari. Saya berada di cosmopolitan gathering place, Union Square di pusat kota San Francisco saat itu. Kalau ingatan saya tidak salah, waktu itu sekitar pertengahan bulan September tahun 2012. Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) menyelenggarakan acara Indonesia Day----- peringatan rutin tahunan perayaan Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia yang sebenarnya jatuh pada tanggal 17 Agustus, dan bagi kita di Indonesia peringatan itu cukup diucap tujuh belasan

Monik.jpg

Saya membantu Konsulat Jendral Republik Indonesia menunggui stand mereka. Sebuah tenda yang tersedia sebagai pusat informasi dan promosi mengenai Indonesia berdiri di sudut deretan akhir di antara tenda-tenda yang menjual makanan dan jajanan khas Indonesia. Di dalam tenda itu, di atas meja ber-taplak kain batik berjejer brocure dan leaflet yang memperkenalkan dan menampilkan pariwisata serta keragaman budaya. Ada juga buku-buku karya sastra Indonesia baik asli maupun terjemahan yang diapit hiasan payung Bali dan beberapa patung wayang. Stand yang saya tunggui hanya sedikit menarik pengunjung yang datang. Mengherankan sekaligus juga menyedihkan. Panggung besar di sisi tengah lapangan tempat menyajikan acara utama seperti tari-tarian dan bermacam kebudayaan Indonesia punya nasib baik. Suara gamelan, tari-tarian dan nyanyian lagu-lagu Batak serta permainan alat musik Kolintang yang keluar dari pengeras suara berhasil menarik banyak pengunjung.

Matahari mulai meninggi, orang yang datang bertambah semakin banyak. Mereka berserakan disetiap sudut lapangan berebut tempat dengan sinar matahari yang cepat menyebar memenuhi tempat bernama Union Square itu. Dari dalam tenda saya melihat sebagian besar lainnya tampak berjubel dengan semangat 45 bagai pejuang-pejuang kemerdekaan yang tak kenal menyerah mengular antri di tenda-tenda makanan dan jajanan khas Indonesia di pinggir lapangan berharap tidak kehabisan Nasi Padang, Lontong Sayur ataupun Es Cendol. Beberapa yang telah mendapat makanan asyik menyantap sambil menyaksikan sisa pertunjukkan yang tidak sempat diperhatikan sewaktu mengantri tadi…. sebagian lain yang telah memborong berbungkus-bungkus langsung pulang karena takut makanan dan jajanan itu basi atau rusak karena terlalu lama di kantong plastik dalam cuaca panas. 

Ingatan mengenai acara itu masih menggantung di kepala, tetapi ada satu hal yang tetap melekat resap di hati yang mendorong saya menyelesaikan tulisan ini.  Secuil kenangan yang menyadarkan banyak hal….secuil saja, karena sebiji sesawi juga mampu memindah gunung.

Tengah hari menjelang sore, seorang wanita tiba-tiba saja masuk ke dalam tenda dengan senyum ramah agak malu-malu. Mata yang terbuka lebar menyapa tepat ketika saya selesai menghabiskan kotak nasi makan siang pembagian dari panitia. Saya membalas sapaan ramahnya. Saya mengenal beliau di gereja Union City. Wanita itu bernama Monika Fuun atau yang akrab kita panggil Tante Monik. Kalau boleh saya menyuruh ingatan kembali ke masa itu, rasa-rasanya beliau adalah umat wkicu pertama yang berbicara hati ke hati, penuh kehangatan dan keakraban kepada saya.

Obrolan di antara kami terjadi. Beliau tinggal seorang diri di downtown San Francisco. “Saya sih cuma tinggal jalan kaki aja sampe.” Begitu katanya menjawab pertanyaan saya soal tempat tinggalnya. Mendengar jawaban itu, saya yang belum genap dua tahun berada di Amerika dan belum juga berhasil mendapat pekerjaan segera menduga bahwa Tante Monik ini pasti bekerja di tempat yang sangat baik dan bergaji besar karena jika tidak, mana mungkin akan sanggup membayar tempat tinggal yang jaraknya hanya tinggal selangkahan kaki saja dari Union Square? 

Monika Fuun berasal dari Maluku. Dilahirkan 13 Desember 1956 di desa Sofianin kepulauan Tanimbar, tepatnya di sebuah pulau kecil bernama Fordate yang terletak di sebelah tenggara kepulauan Maluku.  Desa kelahirannya terpencil sekali hingga saya kesulitan mencari keterangan mengenai daerah itu meskipun dibantu oleh tuan Google. Sebagai anak tukang kayu pasangan Theodorus Fuun dan Wilhelmina Bungaa, beliau telah terdidik hidup keras dan menjadi kuat. Sejak lulus SMP telah sangat terampil dan cekatan membantu ayahnya. 

Saat umur 19 tahun pindah ke Jakarta bersama ketiga saudaranya dan kemudian diboyong ke kota Bogor bekerja di sebuah rumah makan. Hijrahnya ke Bogor inilah yang kemudian merubah perjalanan hidup Monika Fuun hingga akhir hayatnya. Sejak rumah makan tempatnya bekerja tutup setelah pemiliknya meninggal dunia, beliau mendapat pekerjaan baru di sebuah Apotik (toko obat) yang berlokasi di kota yang sama, hingga akhirnya tahun 1995 diajak ke Amerika oleh salah satu anak pemilik Apotik tersebut untuk membantunya mengurus keluarga dan merawat anak-anak mereka. Lama setelah bekerja membantu keluarga ini beliau memutuskan untuk mencari pengalaman baru. Dengan bantuan seorang teman akhirnya beliau berhasil mendapatkan pekerjaan di sebuah hotel/penginapan khusus yang merawat orang-orang tua yang terletak di tengah kota San Francisco. Dan atas kebaikan pemilik perusahaan tersebut beliau diijinkan menempati salah satu kamar di sana.

Dari cerita dan obrolan kami di dalam tenda sepanjang siang hingga sore itu menjadikan saya paham mengenai apa yang dikerjakan selama kedatangannya di Amerika. Dengan status keimigrasian yang tidak jelas, keterbatasan bahasa dan pendidikan yang menurut beliau sama sekali tidak dapat diandalkan untuk mendapat pekerjaan dan hidup layak telah membuatnya lebih kuat dan tahan banting. Keyakinan diri dan penyerahan jalan hidupnya kepada Tuhan telah membawanya pada sebuah keajaiban akan berkat berkelimpahan dari Allah yang memampukannya melewati segala rintangan dan mendapatkan apa yang menurut beliau sudah lebih dari cukup. Berkat dari harapan sederhana yang beliau inginkan untuk menjalani kehidupan seorang diri di Amerika sudah diterima. “Tuhan itu baik sekali. Semua yang saya minta dalam doa selalu dikasih, Saya mau terima kasih sama Tuhan. Pengen melayani dan selalu kasih waktu untuk Dia,” jelasnya ketika saya tanyakan mengapa sering terlihat di gereja Union City sementara beliau tinggal di San Francisco. 

keyakinan.jpg

Monika Fuun selalu hadir di tiga wilayah misa WKICU setiap bulan, San Francisco, Santa Clara dan Union City. Bahkan beliau masih menyempatkan diri hadir di misa Minggu keempat bersama KKI Sacramento…..belum lagi beliau selalu muncul dengan semangat tinggi di beberapa undangan acara doa Rosario, Persekutuan Doa, dan kegiatan religius lain tanpa perduli jarak yang membentang menghadang. Perjuangan dan dedikasinya menunjukkan komitmen akan cinta dan rasa syukur kepada Tuhan yang hanya dapat beliau lakukan lewat WKICU. Niat adalah api yang membakar, dan perjuangan sebagai perwujudannya. Beliau mengajarkan kepada saya dan juga kepada kita bagaimana seharusnya melayani Tuhan sekaligus mencintai komunitas ini. Mungkin saya terbiasa bersembunyi dibalik alasan-alasan ketidak mampuan, tidak ada waktu, dan sifat terbiasa dilayani hingga niat yang seharusnya ada di dalam diri terkubur dalam-dalam, tinggal tunggu waktu sampai akhirnya mengikis cinta….

Di tenda berukuran kurang lebih 8 x 10 feet itu saya asyik mendengarkan rangkaian rasa syukur yang meluncur tanpa hambatan dari mulutnya. Tanpa beban kisah demi kisah terus mengalir. Saya tidak melihat ada rasa sombong dan sikap merasa hebat. Tertangkap semua tutur cerita dan ujaran kata yang keluar dari mulutnya penuh ketulusan. Takjub atas segala penyertaan Tuhan dan terjawabnya semua doa-doa serta harapan. Harapan dalam ujud permohonan yang begitu sederhana untuk hanya bisa diberi tempat tinggal dan berteduh, mendapatkan makan, diberi waktu luang untuk melayani, dan kemampuan menyimpan sedikit uang lebih sekedar membantu keluarga di kampungnya. Dengan wajah serius sambil menatap ke luar tenda sempat terucap keinginannya membantu menyekolahkan seorang keponakannya. Keinginan dari keterbatasan dan kesederhanaannya yang menyentuh hati. Suara gamelan yang dimainkan oleh para bule dari tengah panggung menambah suasana perbincangan kami. Ada nuansa magis tercipta yang  mengingatkan ujaran; Ketulusan datang dari dasar hati yang paling dalam…..jika hati seumpama lautan dalam, ketulusan bersemayam di dasar sana. Kita harus sanggup dan mau turun menyelam ke bawah dan terus ke bawah, merendahkan diri dan hati kita serendah-rendahnya agar dapat menyentuh, merasakan dan sampai ke sana. Jangan biarkan tubuh, ego dan kesombongan mengangkatmu kembali ke atas. 

Tante Monik orang yang selalu mencari Tuhan dan berusaha dekat denganNya. Dengan segala keterbatasan, beliau telah menyentuh lini setiap sudut ruang hati kita. Rasa gerah dan tidak senang akan sikapnya yang sering kita salah artikan mampu merubah suasana hati menjadi rasa nyaman, tenang dan aman ketika bekerja dan berada di sekitarnya. Seperti apa yang pernah dirasakan oleh Imman, keponakannya yang tinggal di LA, “Personally, growing up in Bogor with her I always felt safe when she is around for she is strong and brave and very protective of us as children at that time. And I know she loved us her nephew,  she always remember to called each of us on our birthdays and even on our wedding anniversary.  So very thoughtful of her.”

flower.jpg

Monika Fuun telah pergi meninggalkan kita semua dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dua hari sebelum beliau meninggal dunia, saya mendapat sms dan pesan wa dari beberapa umat yang bertanya tentang keberadaannya. Beliau yang tidak pernah absen dari acara-acara religius tiba-tiba menghilang tanpa pesan. Tak ada sms atau whatsapp yang terkirim darinya. Handphone yang tak pernah lepas dari tangannya juga diam seribu bahasa tanpa pernah menjawab panggilan. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya dimana rutinitas kesehariannya adalah memberi perhatian melalui kiriman doa dan renungan lewat pesan whatsapp. Menelpon saya dan beberapa teman lain untuk minta bersama-sama mendoakan kesembuhan salah seorang umat atau seseorang yang dekat dengannya. Mengingatkan akan ulang tahun dan tahbisan para Romo, juga selalu menawarkan diri untuk membantu acara-acara WKICU tanpa kita minta. 

Tengah malam di bulan November tahun 2019 usaha pencarian berhenti setelah mendapat kabar beliau ditemukan tergeletak di dalam kamarnya dalam keadan sudah meninggal dunia. Kabar itu menyengat kesadaran tentang betapa tipis dan dekatnya sebuah kematian pada diri kita. Dimensi ruang antara hidup dan mati bagai sebuah jaring internet yang tak terlihat namun mampu memindah partikel pesan ketempat yang jauhnya ribuan, bahkan jutaan kilometer dengan tertekannya tombol send sekejapan saja. We are a messenger, saya pernah dengar ungkapan itu. Hidup membawa pesan yang akan kita goreskan ….jika nanti pada gilirannya tombol send kita itu tertekan, pesan apakah yang sudah dan akan kita tulis agar tersurat di layar kehidupan? 

Saya termenung di sudut rumah sambil menatap sebuah meja kecil yang sengaja tersedia khusus untuk menaruh sebuah box berisi urn----tempat berbentuk kendi yang di dalamnya bersemayam abu kremasi Tante Monik. Di luar rumah suasana muram dan sepi. Hanya suara kicau burung dan angin bertiup lamban yang tak mampu menggerakkan daun-daun di pepohonan sekedar melambai pelan untuk mengucap salam perpisahan. Saya nyalakan dua batang lilin kecil di samping kanan-kiri sebuah photo. Photo almarhumah yang sedang tersenyum bahagia berdiri persis di depan box berisi urn itu. Ada seuntai Rosario berwarna biru kesayangan beliau yang selalu menemaninya setiap saat masuk ke dalam doa, baik di rumah ataupun di dalam kendaraan umum yang menjadi alat transportasinya setiap hari. Salib Yesus dan patung Bunda Maria mengapit abu jenazahnya dengan rapih.

”Suatu hari nanti saya pasti nginep di rumah kamu,” katanya saat menolak halus tawaran saya untuk menginap. Masih teringat jelas kedatangan beliau bersama romo-romo tamu yang dihantarnya ke rumah saya menginap satu hingga dua malam dalam program “romo tamu” WKICU sebagai usaha membantu memimpin misa karena ketiadaan romo. Sungguh tak mengira kamu memenuhi janji itu setelah menjadi abu. Tak juga menyangka bahwa usaha kamu yang tak kenal lelah mengajak umat datang ke misa San Francisco akhirnya menjadi nyata. Lebih dari 200 orang telah berbondong ikut misa, meski itu untuk menghadiri misa pemakamanmu. Misa pemakaman yang megah dan indah di St. Ignatius Church, San Francisco telah Tuhan Yesus sediakan menghantar kepergianmu ke rumah Bapa. 

Sabtu pagi hari kedua, keponakan beliau datang menjemput abu jenazahnya. Pertemuan hangat dengan sang keponakan (Imman dan istrinya) mengalirkan cerita dan kenangan baik tentang seorang tante yang sangat dicintai oleh keluarga dan saudara-saudaranya. Terlontar kabar hari itu bahwa harapan yang pernah beliau katakan di dalam tenda telah terlaksana. Suri, keponakan perempuannya di Indonesia telah berhasil disekolahkannya hingga bangku kuliah. Imman dan istrinya pamit pulang tak lama berselang dan mengatakan akan mampir dahulu menikmati pemandangan sepanjang pantai Monterey sebelum perjalanan kembali menuju Los Angeles. “Istri saya ingin jalan-jalan kesana.” Kata Imman. Bagai tersengat listrik mendengar itu saya berujar dalam hati, “Oh Tante…..indah betul cara Tuhan membalas ketulusan dan kesederhanaan cintamu.” Betapa Tante Monik sangat menyukai indahnya pantai Monterey hingga selalu menyarankan saya untuk membawa para romo yang menginap di rumah untuk pelesir ke sana. “Saya suka sekali ke Monterey. Pemandangan pantainya sungguh indah. Nggak pernah bosen saya!” Katanya menjelaskan ketika saya tanya mengapa harus selalu pergi ke sana?…………sudah menjadi abu-pun kamu masih diberi kesempatan menikmati pantai kecintaanmu. 

Menyadari apa yang barusan saja terjadi, ketika melihat mobil keponakannya itu menghilang di tikungan jalan saya tergesa masuk rumah. Meraih handphone di atas meja. Teringat pesan terakhirnya yang terkirim satu minggu sebelum beliau meninggal yang isinya pesanan gado-gado dan telur balado untuk acara rekoleksi para suster Putri Carmel. Jempol ini dengan cepat mengetik kata, “Terima kasih tante! Saya akan pastikan tidak ada yang mengganti menu pilihan ini.” Jempol menekan tombol send…..Terkirim! Entah siapa yang membaca pesan balasan itu di hp-nya. Saya hanya ingin menambah terwujudnya satu keinginan beliau, dari sekian banyak permintaan dan keinginannya yang secara ajaib telah terpenuhi.  

Sambil merapihkan kembali meja kecil, lilin, Salib Yesus dan patung Bunda Maria bekas tempat meletakkan box berisi urn tadi pikiran saya terbang mengembara. Ada rasa damai nan membahagiakan ketika membayangkan Tante Monik sedang bergandengan tangan berjalan di sepanjang pantai Monterey bersama sosok tubuh seseorang yang dibalut cahaya benderang. Mereka berjalan mesra beriringan, sesekali terlihat menari lincah….deburan ombak mengiringi lamat-lamat sebuah lagu riang yang terbawa angin pantai,

Maumere da gale kota Ende
Pepin gisong gasong
Le'le Luk Ele Rebin Ha

La Le Le Luk Si La Sol
Mi Fa Mi Fa Sol Le'le Tiding Fa Fa
Rebing Mude Mi
Do Do Do Do Mi Do Mi Do Gemu Fa Mi Re
Ele le ... Ele le...

Putar ke kiri e...
Nona manis putarlah ke kiri
ke kiri ke kiri ke kiri
dan ke kiri ke kiri ke kiri
ke kiri manis ee...

Sekarang kanan e...
Nona manis putarlah ke kanan
ke kanan ke kanan ke kanan ke kanan
dan ke kanan ke kanan ke kanan
ke kanan manis ee..

missed2.jpg
Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

A Half-Full Glass of Life

Jadi biarlah kapal ini tenggelam bila harus tenggelam, dengan segala kail dan jalanya
Biarlah guncangan badai menceburkan ku ke dinginnya danau
Selama Yesus ada di dalam perahuku, tentramlah jiwaku

Pandemi belum berakhir, kebakaran hutan mengikuti, polusi udara dan evakuasi.
Ekonomi jalan di tempat, resesi menghantui
Kontak sosial jadi minimum, kesepian menjadi-jadi
Bagaimana juga emosi ini, kekuatiran menjadi warnanya, dan ketakutan begitu nyata.
Hari esokku bagaimana, kesuksesanku jadi tanda tanya. Rasa amanku terusik dan kian sirna.

Aku bertanya, di manakah Engkau Tuhan.

Kuraih cangkir kopiku. Yang selalu setia menemani setiap pagi, tiada henti. Ya, setia.
Seperti Mentari yang tidak pernah terlambat
Sehari pun tiada pernah dia tak datang, sejak aku lahir.
Sinarnya menerangi agar jalanku tak jatuh.
Hangatnya begitu sempurna bagaimana jadinya bila tanpa hadirnya.

Adakah yang lebih setia dari cangkir kopiku?
Adakah?.
Ya ada.. ! Dia yang mencipta, Dia Sang Pencipta.

Oh bunga bakung merenunglah
Sepanjang hidup ternyata oh baik-baik saja
Separoh jalan hidup ini oh pernahkah engkau berkekurangan?.
Jadi mengapakah kau dan aku tambahkan lagi beban di pundak, semua kekuatiran yang dunia tawarkan.

Besok akan baik-baik saja seperti kemarin dan hari ini
Kesuksesan dan rasa aman tiada lagi penting selama aku berjalan bersamamu Yesus.
Aku pilih menjadi ‘happy’, aku pilih menjadi berani dan besar hati.
Hanya rahmat dan kasihMu padaku,
yang kumohon menjadi milikku.

Bukankah limitation semata menggiring kerinduan untuk menghargai sesamaku lebih lagi?
Membawa hadirku dan hadir mereka menjadi syukur akan karuniaNya
memberi bukti dan aplikasi turutkah kami akan jalanNya
berlomba dengan waktu, sebelum hari berganti malam.

Tiadalah perlu hidup berlebih, memimpi apa yang aku tak harus punya
Apa itu resesi? Hidup ini penuh berkat, seperti kemarin dan hari ini
Buktinya gelas hidup ini telah setengah penuh terisi
In fact terlalu cukup untuk berbagi
Terlalu banyak untuk janda miskin dengan dua sen persembahannya.
Adalah mimpi di atas mimpi oh semua yatim piatu dan korban perang yang makanpun tak selalu .
Padahal aku sesungguhnyalah tiada lebih berharga dari mereka
Apa yang membuatku ?.

Jadi biarlah kapal ini tenggelam bila harus tenggelam, dengan segala kail dan jalanya
Biarlah guncangan badai menceburkan ku ke dinginnya danau
Selama Yesus ada di dalam perahuku, tentramlah jiwaku
BerkatNya cukup untuk hari ini dan esok, hidup dan matiku untuk Kristus dan bersama Dia.
We can even walk on this stormy water, and for that you may ask Peter.

Ya dan amin, semua akan baik-baik saja ketika kita percaya.

CA, Fall 2020

 
Read More
Senyum itu Sehat Eliza Kertayasa Senyum itu Sehat Eliza Kertayasa

Nasihat Pendeta

Resep pandai bergaul

E-Bulletin 6.jpg

Seorang pemuda yang akan berangkat ke ladang misi (tugas mengemban misi agama) pamit pada Pendetanya.
"Pa, minta doa. Besok saya akan pergi ke ladang misi," katanya.

"Pergilah, Nak. Hati-hatilah di negeri orang, kau harus pandai bergaul, supaya banyak menenangkan jiwa."

"Bagaimana resepnya, Pa?"

"Ya, jika kau bertemu dengan tukang tahu, bicaralah soal tahu. Jika bertemu dengan tukang lontong, bicaralah soal lontong, dan jika bertemu dengan tukang sayur, bicaralah soal sayur."

"Bagaimana, jika bertemu dengan ketiganya, Bapa?"

"Ya, bicara saja soal gado-gado, Nak.."

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

God's Wings...

Time waits for no one. Treasure every moment you have.

godswing.jpg

After a forest fire in Yellowstone National Park, forest rangers began their trek up a mountain to assess the inferno's damage. One ranger found a bird literally petrified in ashes, perched statuesquely on the ground at the base of a tree. Somewhat sickened by the eerie sight, he knocked over the bird with a stick. When he gently struck it, three tiny chicks scurried from under their dead mother's wings. The loving mother, keenly aware of impending disaster, had carried her offspring to the base of the tree and had gathered them under her wings, instinctively knowing that the toxic smoke would rise.
She could have flown to safety but had refused to abandon her babies. Then the blaze had arrived and the heat had scorched her small body, the mother had remained steadfast...because she had been willing to die, so those under the cover of her wings would live.

'He will cover you with His feathers, and under His wings you will find refuge.' (Psalm 91:4)

Time waits for no one. Treasure every moment you have.
You will treasure it even more when you can share it with someone special. To realize the value of a friend...lose one.

Certain things catch your eye, but pursue only those that capture your heart.

(Bahan tulisan dikumpulkan oleh Hanafi Daud dari beberapa sumber)

Read More
Senyum itu Sehat Eliza Kertayasa Senyum itu Sehat Eliza Kertayasa

Pasukan Allah

Ada waktunya untuk bertugas

E-Bulletin 4.jpg

Setelah Kebaktian usai, ada seorang Pendeta yang selalu berdiri di depan pintu keluar untuk menyalami seluruh umat yang hadir. Pendeta ini menyalami teman saya dan menariknya ke sudut gereja untuk berbicara dengannya.

Pendeta ini berkata :
”Anda perlu bergabung dengan 'pasukan Allah', nak!"

Teman saya menjawab :
" Saya sudah bergabung dengan 'pasukan Allah', Pak."

Pendeta itu kemudian bertanya, "Tapi mengapa saya hanya melihatmu pada hari Natal dan Paskah saja?"

Teman saya itu kemudian berbisik, "Saya termasuk dalam agen rahasia!"


Read More
Tulisan Romo WKICU admin Tulisan Romo WKICU admin

Surat Cinta Rm. Macarius Maharsono, S.J

Doa kesembuhan kita lambungkan bersama. Allah akan selalu menjaga dan melindungi anak yang dikasihi dengan rencana terbaikNya.

Bahan tulisan oleh Hanafi Daud.

romoMaharsono2.jpg

Kita mendengar kabar mengenai seorang romo yang pernah membaktikan diri melayani WKICU tahun 2002. Beliau adalah romo Macarius Maharsono, S.J. Beliau dikabarkan mengalami kecelakaan jatuh di kamar mandi beberapa minggu lalu, dan saat ini sedang menjalani operasi karena pendarahan di otak dan dirawat di ICU  Rumah Sakit Panti Rapih, Jogjakarta. Doa kesembuhan kita lambungkan bersama. Allah akan selalu menjaga dan melindungi anak yang dikasihi dengan rencana terbaikNya.

Pengabdiannya yang hanya 8 bulan begitu memiliki kesan yang sangat mendalam bagi umat WKICU kala itu. Wajahnya yang kalem dengan senyum ramah yang selalu mengembang seperti meletupkan aura tersendiri sehingga umat merasa dekat dengan beliau.

Mungkin banyak anggota WKICU sekarang tidak tahu dan tidak kenal romo Maharsono, atau mungkin juga lupa. Di bawah ini ada sebuah surat yang ditulis sangat indah oleh beliau ketika beliau pamit karena harus menghentikan pelayanannya di WKICU dan melanjutkan pelayanan di Thailand. Ibu-ibu anggota Golden Girls WKICU mengatakan bahwa romo Maharsono ini mirip dengan  salah satu bintang film seri California Highway Patrol/CHIP, Eric Estrada. (lihat foto). 

Silakan Anda membaca surat perpisahan beliau kepada WKICU ini. Sebuah ungkapan rasa yang sangat menyentuh. Ungkapan rasa terima kasih dari hati tulus nan sederhana yang merasakan jalinan cinta umatnya dengan penyerahan total kepada Allah yang dirindukannya. Semoga rahmat kesembuhan beliau terima dengan segera, dan berkat kesehatan serta kebahagiaan menyertai beliau dalam pengabdian dan pelayanan kepada umat yang dicintainya.

————————ooo0ooo—————————

melindungi.jpg

Surat diambil dari berita WKICU Juni 2002

kataberbahaya.jpg

Rembulan menggantung di jendela kamar. Itulah sambutan mesra kedatangan saya di Berkeley tahun lalu bulan Agustus. Hari berikutnya, Minggu pertama, saya merayakan ekaristi di komunitas WKICU.

Saya ingat, saya masuk tanpa pamit permisi. Terlambat lagi! Maaf ya. Oleh karena itu, supaya tidak terlalu kurang ajar, setelah 8 bulan merasakan kegembiraan dan kepahitan umat Katolik Indonesia di Bay Area, ijinkan saya pamit. Pamit dengan rasa haru dan penuh syukur terima kasih.

Hari-hari saya di Berkeley dan Bay Area penuh rahmat. Studi yang saya dalami terasa makin lama makin menarik. Makin lama makin terasa, betapa saya masih jauh dari mengenal Allah yang kita sembah bersama. Ya, Allah sungguh tak terpahami dengan budi akal. Allah hanya bisa kita rasakan dan alami hanya karena kasih KaruniaNya saja. Saya merasakannya secara berlimpah-limpah. Allah memang bagai laut tanpa tepi. Dan itulah sebabnya saya menjadi agak tidak berani bicara mengenai Allah. Biarlah Allah sendiri yang mewahyukan diri.

Saya mengalami betapa saya takut berdoa dengan banyak kata. Biasanya makin banyak kata, makin besar dan makin licin jalan menuju ke diri sendiri. Saya merasai kematian kata. Biarlah Tuhan yang berbicara, bukan saya yang merangkai selaksa kata. Tetapi saya juga mengakui betapa pada umumnya manusia kesulitan untuk doa diam dan mendengarkan. Orang masih mudah mengira bahwa dengan banyak kata bisa mengalahkan hati Allah. Makin banyak kata, makin licinlah jalannya. Bisa terpeleset dan memakai “doa” sebagai kendaraan penguasaan atas orang lain dan Allah. Wah! Doa diam dan mendengarkan memang memerlukan kerendahan hati luar biasa.

cintamenggoda.jpg

Delapan bulan di Bay Area bagai hidup dalam dua garba bunda pengasih.  Cinta dan kehangatan komunitas Katolik Indonesia bagai air dingin penyejuk jiwa. Terima kasih. Terima kasih. Saya mohon maaf kalau kadang tiba-tiba menghilang dari arena. Bukan lari, marah atau ngambek. Saya tahu diri. Cinta mesra “umat” bisa menggoda seperti dibuai dalam ayunan kedamaian para pangeran besar. Dan itu tidak cocok untuk saya.

Saya sangat menghargai cinta yang tulus ini. Tetapi saya harus pergi. Masih panjang jalan pelayanan saya. Maka dengan sadar dan penuh syukur, Bay Area menjadi oasis yang menyejukkan. Sesudah dikuatkan dengan banyak berkah di sini, saya harus melanjutkan perjalanan pelayanan yang tidak mudah itu. Oasis memang surga bagi pengelana. Tetapi pengelana sejati tidak menetap di Oasis.

sayangpastur.jpg

Gereja komunitas Katolik Indonesia di Bay Area memang unik. Sejarah tidak meluruhkan serat-serat ke-Indonesiaan umat. Meski Amerika bergerak dalam pikirannya sendiri, WKICU menari dalam tenunan banyak benang kultur: Amerika, Indonesia, Cina, Jawa, Jakarta, dan lain-lain. Dalam rajut-rajut budaya yang punya sejarah yang panjang dan berakar dalam itulah, kita sekarang memasuki wilayah refleksi mengenai peranan imam dalam jemaat. Dan yang luarbiasa (syukur alhamdulilah) Tuhan memberi diakon sebagai “penatua” bagi jemaat yang bergerak ini. 

Kalau ada imam yang pastur, barangkali itu hanya kebetulan. Kebetulan ada yang sedang tugas belajar di Bay Area. Dan itu malah baik. Biarlah pastur itu menjadi orang-orang “kebetulan” saja. Kebetulan singgah di oasis penuh kasih ini. Terimalah mereka dan cintailah mereka secara bijaksana. Terlalu menuntut atau terlalu memanjakan barangkali adalah ketidak-bijaksanaan pula.

Saya mohon pamit. Saya meninggalkan Berkeley dan Bay Area dengan penuh rasa syukur dan terima kasih. Ada relung-relung karya lain yang akan saya masuki bersama kaum tanpa suara. Kalau ada yang mau belajar diam dan mendengarkan, saya akan mendapat lebih banyak teman lagi.

Tak ada gading yang tak retak. Begitulah pepatah Melayu kuno. Saya sadar sesadar-sadarnya, bisa saja saya pernah mengecewakan atau membuat orang tidak senang. Mohon maaf. Bagai tapak-tapak kaki di pasir pantai dihapus oleh ombak, biarlah kebaikan hati anda menghapus kesalahan-kesalahan saya.  

 
Read More
Tulisan Romo WKICU Admin Tulisan Romo WKICU Admin

Refleksi Singkat Satu Tahun Tahbisan Imamat (bagian 3)

Saya bisa melihat bagaimana Tuhan bekerja dalam hidup saya dan saya tidak melihat alasan lain untuk memuji, menghormati dan mengabdi kepada Yesus dengan menjadi seorang Imam.

kebahagianterakhir.jpg

Oleh: Romo S. Hendrianto, SJ


Apakah ada yang lebih dahsyat dari doa seorang Ibu? Sungguh doa seorang ibu itu adalah sebuah keajaiban dan bahkan ada yang berkata bahwa doa seorang Ibu bisa menembus langit. Dalam renungan saya yang terdahulu saya juga sudah menceritakan doa ibu dapat merubah takdir yang tidak di sangka-sangka. Pengalaman pribadi saya menunjukkan bahwa doa ibu telah menghantarkan saya menjadi seorang Romo. Meskipun ibu saya tidak pernah punya niat agar anaknya menjadi Romo, dia terus berdoa kepada Bunda Maria agar menunjukkan jalan yang benar kepada anaknya, sehingga akhirnya Bunda Maria-pun menuntun saya menjadi seorang Romo. 

doaibu.jpg

Akan tetapi, dalam pengamatan saya, banyak juga para ibu yang berdoa hanya untuk sesuatu yang menurut dia terbaik buat anak-anak mereka. Dengan kata lain mereka tidak berdoa agar Tuhan memberikan yang terbaik menurut kehendak Tuhan. Para ibu banyak juga yang berdoa hanya untuk kepentingan dan kesuksesan duniawi semata bagi anak-anak mereka, mulai dari harta, karir, kekayaan dan prestasi yang cemerlang. Mungkin perlu dilakukan survey untuk menilai berapa banyak para Ibu yang berdoa untuk keselamatan jiwa-jiwa anak mereka atau agar anak-anak mereka menjadi orang Kudus. 

Santa Monica adalah teladan bagi para Ibu untuk bisa berdoa agar anak-anak mereka menjadi orang Kudus. Santa Monica sendiri adalah seorang Ibu yang menderita cukup panjang. Secara pribadi dia menderita karena ketergantungan pada alkohol.  Akan tetapi niat beliau yang kuat untuk berhenti minum alkohol menjadi fondasi untuk bisa bertahan dalam penderitaan dan masa-masa sulit dengan keluarganya. Di atas segalanya Santa Monica mengerti bahwa menjadi pengikut Yesus berarti kita harus memikul salib dan menderita seperti Yesus. Pemahamannya yang mendalam tentang penderitaan Yesus dan Salib terwujud dalam kata-katanya menjelang ajalnya kepada putranya Santo Augustinus, “Makamkan aku di manapun juga sesuai dengan keinginanmu, jangan sampai pemakamanku menjadi masalah buatmu. Aku hanya meminta satu hal bahwa agar kamu selalu mengingatku di altar Tuhan di manapun kamu berada.”

Santa Monica mengucapkan pernyataan di atas karena dia tahu bahwa anaknya Santo Agustinus telah dipilih oleh Tuhan untuk berkarya dalam namaNya, lebih tepatnya Yesus telah memilih Augustinus untuk menjadi seorang Imam dan Uskup. Sama halnya dengan sang Ibu, Santo Augustinus sendiri sadar bahwa identitas ganda seorang Imam dan Kurban dalam perayaan Ekaristi. Dalam karyanya yang berjudul De Trinitate (Tri Tunggal MahaKudus), menjelaskan bahwa Misa adalah kurban kudus, di mana Kristus menjadi Imam dan sekaligus Kurban. Santo Agustinus menulis, “Apa yang bisa kita berikan dan terima, dengan mengurbankan diri kita sendiri, sehingga kita menjadi seorang Imam?” Santo Augustinus juga menekankan bahwa makna kurban kudus dalam Misa tidak bisa dipisahkan dari pengorbanan Kristus untuk manusia. Dalam khotbahnya kepada orang-orang yang baru dibaptis pada Malam Paskah, Augustinus berkata, “Setelah konsekrasi dari Kurban Kudus oleh Tuhan, Dia menginginkan kita juga menjadi kurban, sebuah fakta yang jelas bahwa ketika Kurban Kudus pertama kali ditetapkan pada perjamuan malam terakhir, dan oleh karena kurban tersebut adalah jati diri kita yang utama, maka setelah upacara pengurbanan selesai, kita pun mendoakan doa Bapa Kami” (Sermon 227). 

St.Augustinus.jpg

Dalam renungan singkat saya pada bagian pertama, saya sudah menjelaskan tentang peran Bunda Maria sebagai seorang Ibu yang berpengaruh besar terhadap perjalanan Imamat saya. Sementara dalam tulisan bagian kedua, saya lebih menceritakan peran ibu biologis yang mendoakan saya tanpa sadar untuk menjadi seorang Romo. Dan karena ibu saya meminta doa kepada Bunda Maria, maka semuapun menjadi klop karena Bunda Maria langsung menunjukkan jalan kepada saya untuk menjadi seorang Romo. 

Ketika merenungkan kembali satu tahun tahbisan Imamat saya, khususnya hubungan Santa Monica dengan Santo Augustinus, saya jadi teringat akan sosok seorang “ibu” yang juga ikut berjasa dalam menghantarkan saya menjadi seorang Romo yaitu “ibu persusuan” saya. Istilah Almamater populer di kalangan akademik untuk menyebut perguruan tinggi atau sekolah tempat seseorang menyelesaikan suatu jenjang pendidikan. Akan tetapi banyak orang yang tidak tahu arti sesungguhnya dari istilah tersebut. Secara harafiah, istilah alma mater dalam Bahasa Latin bermakna “ibu persusuan.” Istilah ini digunakan berdasarkan kebiasaan orang Yunani Kuno dalam mengirim anak- anaknya untuk mengenyam pendidikan, dengan menyerahkan atau menitipkan anak-anak mereka  kepada seseorang yang dianggap bijaksana. Di tempat orang bijak itulah, anak-anak dapat belajar atau berlatih untuk melakukan segala hal sebagai bekal untuk menjalani kehidupan orang dewasa. Tempat pendidikan ini disebut alma mater yang bisa juga berarti “ibu pengasuh” atau “ibu yang memberikan ilmu.”

Fakta yang menarik adalah setelah kejatuhan kerajaan Romawi, istilah alma mater mulai masuk ke dalam kosa kata liturgi Gereja Katolik dan Gereja pun menggunakan istilah ini untuk merujuk Bunda Maria. “Alma Redemptoris Mater” (Ibu Sang Penyelamat) adalah antifon yang cukup popular pada abad ke 11 dan didedikasikan kepada Bunda Maria. 

Setelah ditahbiskan sebagai seorang Imam pada bulan Juni 2019, saya kembali ke tempat saya pernah bersekolah dan mempersembahkan misa syukur pada hari pertama tahun ajaran baru, tanggal 15 Juli, 2019. Ketika mempersembahkan misa syukur di SMA Katolik Santo Yosef dan SMP Theresia, Pangkalpinang, saya merasakan suasana hati yang berbeda sekali dengan pengalaman sehari sebelumnya ketika mempersembahkan misa syukur di Paroki tempat saya dibaptis. Dalam renungan terdahulu (bagian 2) saya telah mengutip penyair asal Inggris Hilaire Belloc “…setiap kali aku mengingat masa kecilku dan setiap kali aku merasa senang pulang ke rumah. Tapi aku tidak pernah menemukan kebahagiaan terakhir” (each time I have remembered my boyhood and each time I have been glad to come home.  But I never found it to be a final gladness). Akan tetapi ketika mempersembahkan misa syukur di alma mater saya, saya merasa benar-benar pulang ke rumah dan menemukan “kebahagian terakhir.”

Tanpa saya sadari, SMA Katolik Santo Yosef dan SMP Theresia Pangkalpinang telah berjasa besar sebagai alma mater yang ikut menumbuhkan panggilan imamat saya. Saya bukanlah murid yang saleh dan suka berdoa; saya tidak pernah ikut Legio Maria atau pesekutuan doa, ataupun kelompok rosario di sekolah. Bahkan dalam beberapa hal saya juga sering berbuat onar di sekolah. Saya juga bukanlah seorang putra altar waktu di sekolah dulu.  Selama hidup, baru sekali saya jadi putra altar waktu Ulang Tahun SMA tahun 1990, itupun karena putra altar yang seharusnya bertugas berhalangan. Jadilah detik-detik terakhir saya diminta jadi putra altar. Bisa dipastikan tidak ada guru-guru yang pernah membayangkan seorang murid seperti saya bisa menjadi seorang Rohaniawan Katolik. 

Memuji.jpg

Meski demikian, guru-guru di SMP dan SMA cukup luhur untuk mendidik saya menjadi seorang terbuka dan percaya kepada penyelenggaraan Ilahi. Pendidikan di bangku sekolah menengah juga cukup mumpuni untuk mempersiapkan saya lebih terbuka dan mendalami pengetahuan filsafat, politik, hukum dan teologi, sehingga saya pun terus mencari makna kehidupan. 

Melihat ke belakang, sewaktu SMA dulu banyak guru-guru saya yang lulusan IKIP Sanatha Dharma, jadi secara tidak langsung saya juga sering mendengar tentang Serikat Yesus melalui mereka. Kemudian waktu di SMA, suatu hari guru agama saya pernah menceritakan kisah tayangan film di bioskop lokal berjudul ‘The Mission’ yang dibintangi oleh Robert De Niro dan Jeremy Irons. Film tersebut bercerita tentang perjuangan para Romo Jesuit di Paraguay. Setelah menonton film itu saya cukup terkesan akan komitmen para Romo Jesuit dalam menyebarkan injil kepada kelompok Indian Guarani yang tinggal di perbatasan Paraguay dan Uruguay, bahkan sampai mereka rela memberikan nyawanya demi kehidupan Gereja. Jadi sedikit banyak para guru-guru saya ikut menanamkan bibit panggilan untuk masuk Serikat Yesus. 

Akan tetapi, pada akhirnya rahmat Tuhanlah yang menggerakan saya untuk menjadi seorang Romo, dan kemudian saya pun merespon rahmat Tuhan tersebut dengan memenuhi panggilanNya. Melihat pengalaman saya sejak masih duduk di bangku sekolah menengah, saya bisa melihat bagaimana Tuhan bekerja dalam hidup saya dan saya tidak melihat alasan lain untuk memuji, menghormati dan mengabdi kepada Yesus dengan menjadi seorang Imam. 

Untuk lebih mendalami suasana batin saya ketika kembali ke alma mater, silakan dibaca teks homily dibawah ini. 

Homili pada misa syukur Romo Stefanus Hendrianto, SJ pada tanggal 15 Juli, SMAK St. Yosef and SMP St. Theresia Pangkalpinang.

Teman-teman yang terkasih dalam Kristus, izinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Saya Romo Stefanus Hendrianto, SJ; saya adalah lulusan Angkatan 1992 SMA Santo Yosef dan Angkatan 1989 SMP Santa Theresia. Bisa dipastikan bahwa sebagian besar dari kalian belum lahir ketika saya lulus dari bangku SMP dan SMA. Mungkin sebagian guru – guru kalian juga masih duduk di bangku SD waktu saya bersekolah dulu. 

Adalah sebuah kehormatan besar bagi saya hari ini bisa mempersembahkan misa syukur di depan murid-murid SMP Santa Theresia dan SMA Santo Yosef, khususnya pada hari pertama pembukaan tahun ajaran baru. Kemarin saya sudah sempat berkeliling Gedung baru SMA Santo Yosef dan juga SMP Theresia. Pak Frans (kepala sekolah SMA) dengan senang hati memberikan tour kepada saya untuk melihat fasilitas sekolah. Saya harus mengakui bahwa sudah banyak kemajuan secara fisik baik untuk SMP maupun SMA dibanding ketika jaman saya sekolah 30 tahun yang lalu. Akan tetapi setelah berkeliling cukup lama, saya tidak melihat dua obyek yang penting, pertama saya tidak melihat ada patung Santo Yosef dan kedua saya juga tidak melihat ada patung Santa Theresia Kanak-Kanak Yesus. Dua patung pelindung sekolah yang saya pikir bisa dengan gampang ditemukan di kompleks sekolahan.

Setelah tidak melihat kedua patung tersebut, saya juga tidak melihat patung saya. Mengapa harus ada patung saya? Jawabannya karena saya juga akan menjadi orang Kudus. Kalian mungkin menduga saya adalah orang yang narsistik, akan tetapi menjadi orang kudus itu bukan hanya panggilan bagi seorang romo seperti saya, melainkan panggilan bagi semua orang termasuk kalian sebagai pelajar. Izinkan saya mengulangi pelajaran agama Katolik yang mendasar, bahwa kita sebagai orang Katolik percaya akan kehidupan setelah mati. Bagi orang yang meninggal dalam dosa berat tanpa bertobat dan menolak rahmat Tuhan, mereka akan masuk ke neraka. Sementara bagi orang yang meninggal dalam rahmat Tuhan dan persahabatan dengan Tuhan akan hidup selamanya bersama Yesus di surga. Orang-orang ini kemudian disebut orang-orang Kudus. Oleh karena itu saya yakin kalian semua juga pasti ingin masuk surga dan menjadi orang-orang Kudus. 

Berbicara tentang orang kudus, hari ini kita merayakan pesta seorang Santo, yaitu Santo Bonaventura. Saya pikir sangat pas sekali bagi SMA Santo Yosef dan SMP Theresia memulai tahun ajaran baru pada hari peringatan Santo Bonaventura, yang merupakan seorang uskup, kardinal, dan doktor gereja. Santo Bonaventura hidup pada abad ke 13 dan dia telah menyumbangkan banyak pemikiran-pemikiran besar bagi Gereja Katolik. Santo Bonaventura adalah pemimpin Ordo Fransiskan dan dia memberi dukungan kepada kehadiran para Romo Fransiskan di universitas dan mendirikan biara khusus di dalam universitas kota karena menurutnya, belajar merupakan kunci dari sikap apostolik biarawan dan juga membuat mereka dapat berkhotbah dan memberikan pengarahan spiritual kepada masyarakat. 

Salah satu pemikiran Santo Bonaventura yang relevan untuk kita semua, khususnya kalian para murid adalah teori tentang perilaku  manusia. Santo Bonaventura membedakan antara tiga macam perilaku manusia (human behavior). Pertama adalah perilaku bawaan (Innate Habit atau habitus innatus), yang kita dapatkan secara lahiriah, dan kita mempelajari perilaku ini dari usia yang sangat dini dan sangat mudah untuk dipelajari. Contohnya, seorang anak kecil akan cepat belajar untuk mempertahankan barang miliknya dan jikalau barang tersebut diambil oleh anak yang lain, dia akan berusaha merebut kembali.   

  Kedua, ada perilaku yang muncul karena kehendak pribadi kita yang bebas (acquired habit – habitus acquistus). Ketika seorang anak sudah tumbuh dewasa, dia pun mempunyai keinginan-keinginan dalam hidup, mulai dari menyantap makanan tertentu, ice cream, chocolate atau pola hidup tertentu, seperti pesta, dansa-dansi dan sebagainya. 

Yang terakhir adalah perilaku manusia yang ditanamkan oleh Tuhan (infused habit – habitus infusus), khususnya melalui perantaraan Roh Kudus. Perilaku manusia yang berhubungan dengan iman, harapan, dan kasih adalah perilaku yang ditanamkan oleh Tuhan dan semua perilaku ini ditanamkan Tuhan bersama-sama dengan rahmatNya.  

Apa hubungannya tiga model perilaku manusia tersebut dengan kehidupan kita? Sering kali dalam kehidupan ini, kita dikuasai oleh nafsu dan keinginan yang kuat, sehingga kita tidak bisa keluar dari kungkungan hawa nafsu tersebut tanpa bantuan dari rahmat Tuhan. Jikalau tubuh kita yang sakit, terkadang tubuh kita bisa menyembuhkan diri sendiri. Akan tetapi, jikalau kita berdosa, kita tidak bisa menyembuhkan luka dalam jiwa-jiwa kita dengan kekuatan sendiri, karena jiwa kita membutuhkan suntikan dari kasih Tuhan yang menyembuhkan. 

Saya pikir teori Santo Bonaventura tentang perilaku manusia masih cukup relevan untuk kehidupan kalian sebagai siswa sekolah di abad ke -21 ini. Ketika saya seusia kalian 30 tahun yang lalu, tantangan dan godaan yang saya hadapi tidaklah sehebat yang kalian alami. Saat ini kalian telah hidup di era digital, yang mana godaan dan tantangan di dunia digital sangat luar biasa, mulai dari pornografi, gossip, ataupun informasi yang tidak benar. Media sosial telah membuat kita menjadi monster karena kita bisa dengan gampang menyerang karakter orang atau bahkan membunuh karakter orang. 

Dunia digital juga menawarkan godaan bagi kalian untuk serba instant sehingga banyak anak-anak muda yang tidak bisa tekun belajar lagi. Dunia digital menawarkan informasi yang serba cepat, sehingga kalian cenderung ingin copy and paste, tanpa ada lagi keinginan untuk membaca lebih dalam ataupun melakukan penelitian terhadap sebuah subyek. Pada intinya, dunia digital telah memupuk keinginan kita untuk selalu ambil jalan pintas. 

Bagaimana kita mengatasi semua masalah tersebut. Kita tentu bisa berusaha mengurangi ketergantungan kita terhadap internet ataupun media sosial. Kita tentu saja bisa  berkeinginan untuk mengubah diri ataupun berikrar untuk melawan semua yang berbau godaan  di dunia digital. Akan tetapi kita tidak bisa melepaskan diri dari rasa lekat yang tidak sehat itu dengan kemampuan kita sendiri. Semua rasa lekat itu hanya bisa diatasi dengan doa dan rahmat Tuhan 

Di injil hari ini Yesus mengatakan bahwa “Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” Melalui pernyataan ini Yesus ingin mengingatkan kita yang sering mengandalkan kekuatan sendiri, dengan cara meninggikan diri kita sendiri. Tapi kita lupa akan keterbatasan kemampuan kita, sehingga Tuhan pasti akan selalu mengingatkan kita dengan merendahkan kita.

Apakah Yesus berlaku semena-mena dengan merendahkan kita. Yesus tentu tidak bisa disalahkan di sini karena tanpa Yesus berbuat apa-apapun, kita pasti akan direndahkan entah itu karena keterbatasan kemampuan fisik, pikiran, ataupun rohani. Oleh karena itu Yesus mengingatkan kita untuk merendahkan diri dan bergantung kepada rahmat Tuhan sehingga kita akan ditinggikan. Meski demikian bukan berarti kita bersikap pasif atau pasrah saja. Kita tentu harus berusaha sekuat tenaga karena pikiran, dan kemampuan fisik kita juga adalah anugrah Tuhan, akan tetapi kita sadar bahwa pada akhirnya semua usaha kita tidak akan berhasil tanpa rahmat Tuhan. 

Hari ini adalah hari pertama kalian memulai tahun ajaran baru. Salah satu pertanyaan yang harusnya hadir di benak kalian semua pada hari pertama sekolah ini adalah, “Apa yang aku cari dalam hari pertama di sekolah?” Saya menduga salah satu jawaban kalian atas pertanyaan itu adalah pertemanan atau friendship

Kalian semua pasti ingin mencari teman baru atau merajut hubungan pertemanan selama bersekolah. Akan tetapi hubungan pertemanan adalah hubungan yang cukup rumit. Sebagai seorang romo dan juga orang yang telah hidup lebih lama, saya ingin berpesan kepada kalian untuk mencari teman yang ingin berbuat terbaik buat diri kalian masing masing. Carilah teman-teman yang ingin membantu kamu tumbuh berkembang dan menjadi orang yang lebih baik. Tentu saja kalian bebas untuk memilih berteman ataupun bergabung dengan teman-teman yang pecundang. Jikalau itu pilihan kalian, ingatlah bahwa kalian juga harus siap menanggung konsekuensinya bahwa suatu hari nanti para pecundang tersebut akan menggiring kalian atau membawa kalian ke dalam jurang kejatuhan.  

Yang lebih penting adalah carilah teman-teman yang bisa membantu kalian menjadi orang kudus, ataupun kalian juga bisa menjadi orang kudus buat teman-teman kalian. Hal ini mungkin terkesan sangat berat untuk dijalani oleh anak-anak SMP ataupun SMA. Akan tetapi, saya pikir hal ini bukan tidak mungkin dilakukan oleh kalian semua. Tiga puluh tahun yang lalu, saya mempunyai pengalaman dengan seorang teman yang menjadi orang kudus buat saya. 

Ketika duduk di bangku SMA dulu, saya sering berbuat onar dengan cara saya sendiri. Suatu hari seorang teman perempuan saya yang kebetulan nama baptisnya adalah Katarina dari Siena minta waktu berbicara dengan saya. Santa Katarina dari Siena terkenal sebagai seorang Santa yang berani menghadap Paus dan meminta Paus  untuk bertobat dan kembali ke Roma dari pelariannya di Avignon. Jadi bukan sebuah kebetulan teman saya ini juga mewarisi karisma yang sama dari Santa pelindungnya. Singkat cerita kita duduk bersama dan teman ini berkata kepada saya, “Hendri, saya tahu mengapa kamu sering membuat ulah di sekolah, jawabannya adalah karena kamu bukan murid yang berprestasi.” Terus terang saja ketika itu saya marah dan sekaligus terhina juga oleh ucapan teman saya tadi. Tapi kata-katanya justru mencambuk untuk menunjukkan saya bisa berprestasi dan melakukan introspeksi diri. Teman tersebut berani mengingatkan saya dan menjalankan peran sebagai orang Kudus karena dia ingin saya menjadi orang yang lebih baik.  Oleh karena itu carilah teman yang seperti itu ataupun kalian bisa bersikap seperti teman saya tersebut. 

Akhir kata, saya mengucapkan selamat menempuh tahun ajaran baru buat kalian semua. Marilah kita saling mendoakan agar kita semua bisa menjadi orang kudus buat sesama kita. Panggilan untuk menjadi orang kudus bukanlah suatu hal maksimal yang harus kita capai melainkan hal itu adalah hal minimal yang harus kita capai sebagai pengikut Kristus. Tuhan memberkati kalian semua. 






Read More
Puisi dan Karya WKICU Admin Puisi dan Karya WKICU Admin

Membantu dan Dibantu

Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai, Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya.

Apakah ada orang dalam kehidupan  Tanpa persoalan Tanpa penderitaan Tanpa kesakitan Tanpa kekurangan Tanpa perjuangan

Karena akibat adanya dosa Adam dan Hawa

Manusia pertama yang diciptakan Tuhan di dunia

Manusia perlu bersusah payah mencari rezeki dan makanan

Mengalami kesakitan saat melahirkan keturunan

Juga akhirnya harus mengalami kematian

Dimana sebagai Kristiani yang memiliki kasih, iman dan harapan

Percaya akan mendapat keselamatan dan kebangkitan

Dalam kondisi epidemi saat ini.

Makin banyak yang ditangisi

Makin banyak  yang menangisi

Makin banyak yang mengalami masalah ekonomi

Dan makin banyak negara yang mulai menghadapi resesi

Karena semuanya semakin dibatasi

Sampai akses keluar masuk negara bisa dikunci

Semua berusaha melindungi diri sendiri

Jangan sampai banyak orang yang tidak dapat bernafas lagi

Begitu banyak orang semakin berada

Tapi banyak juga yang tambah menderita

Kapan orang bisa merasa sudah memiliki cukup harta 

Bagi keluarga dan keturunannya

Dengan segala ambisi, ego dan cita-cita

Meski sudah lama belajar dan bekerja

Usaha kerasnya masih terasa belum cukup saja

Apalagi ada pertimbangan butuh banyak dana

Jika nanti sakit atau sudah tua 

Jika sudah tidak bisa lagi bekerja

Berharap akan panjang usianya di dunia

Apakah banyak harta bisa membawa bahagia

Jadi kapan saat memberi derma dan untuk siapa?

Bagaimana kalau kita terlahir hidup sederhana sekali

Biaya sekolah susah, tidak bisa sekolah tinggi

Kerja berat, tidak seberapa penghasilan gaji

Persaingan usaha di sana sini

Keluarga besar perlu dibiayai

Apa arti kehidupan masih bisa lebih dimaknai

Untuk bisa diisi lebih lama lagi

Apabila tanggung jawab sudah menanti

Tapi belum juga bisa terpenuhi

Kalau bisa mencari jalan keluar untuk menghindari

Apalagi memikirkan untuk berbagi

Paling tidak, berilah bantuan dalam doa dan belajar mengerti

Supaya orang bisa memperoleh kedamaian hati

Karena Tuhan baik dan selalu mengasihi

Semoga kita semua selalu diberkati

1 Korintus 10:13

Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai, Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya.

Matius 5:2-12

Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah (‘poor in spirit’), karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.

Lukas 6:20

Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah

1 Timotius 6: 17-19

Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaanNya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati. Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya.

Katekismus Gereja Katolik No.1723

Kebahagiaan yang dijanjikan menuntut keputusan-keputusan moral yang penting dari kita. Ia mengundang kita, membersihkan hati kita dari nafsu yang jahat dan berusaha supaya mencintai Allah di atas segala-galanya. Ia mengajarkan kepada kita: kebahagiaan sejati tidak terletak dalam kekayaan dan kemakmuran, tidak dalam ketenaran dan kekuasaan, juga tidak dalam karya manusia - bagaimanapun juga nilainya seperti ilmu pengetahuan, teknik dan kesenian - dan juga tidak dalam salah satu makhluk, tetapi hanya di dalam Allah, sumber segala yang baik dan segala cinta kasih.

LL - 7/18/2020

 
Read More
Artikel & Renungan WKICU Admin Artikel & Renungan WKICU Admin

Iman dan Kasih di Atas Sebuah Pulau

Untuk semua yang kita tahu, berkat-berkat kita bukanlah buah dari doa-doa kita sendiri, tetapi buah dari doa-doa orang lain untuk kita.

Sebuah kapal pesiar karam saat terjadi badai di laut, dan hanya dua orang pria di atasnya yang mampu berenang ke pulau terdekat yang kecil dan tandus seperti gurun. Kedua orang yang selamat itu, yang tidak tahu harus berbuat apa lagi, setuju bahwa mereka tidak punya jalan keluar selain hanya berdoa kepada Tuhan. Namun, untuk mengetahui doa siapa yang lebih kuat, mereka sepakat untuk membagi wilayah di antara mereka dan tetap tinggal di sisi pulau yang berlawanan.

Hal pertama yang mereka doakan adalah makanan. Keesokan paginya, pria pertama melihat ada sebuah pohon penuh dengan buah-buahan di sisi tanahnya dan dia langsung memakan buahnya. Sedangkan sebidang tanah milik pria lain tetap tandus, tak ada apa-apa. Setelah seminggu, pria pertama merasakan kesepian dan dia memutuskan berdoa untuk meminta seorang istri. Keesokan harinya, kapal lain karam, dan satu-satunya yang selamat adalah seorang wanita yang berenang ke sisi daratannya. Sementara, di sisi lain pulau, tidak terjadi apa-apa.

Lalu kemudian pria pertama tadi melanjutkan berdoa untuk sebuah rumah, pakaian, dan juga lebih banyak makanan. Dan keesokan harinya, seperti sulap, semua ini diberikan kepadanya. Namun sungguh berbeda dengan apa yang terjadi di sisi pulau bagian lain, keadaan masih sama….pria kedua tidak mempunyai apa-apa.

Berikutnya pria pertama yang permintaanya selalu terkabul ini berdoa untuk mendapatkan sebuah kapal, agar dia dan istrinya dapat pergi meninggalkan pulau itu. Dan kemudian di pagi hari tertambat sebuah kapal berlabuh di sisi pulau bagiannya. Pria itu naik kapal bersama istrinya dan memutuskan untuk meninggalkan pria kedua di pulau itu. Dia menganggap pria kedua itu tidak layak untuk menerima berkat Tuhan, karena tidak ada doanya yang terkabul. Pada saat kapal hendak berangkat, terdengar suara menggelegar dari atas langit, "Mengapa kau meninggalkan teman kamu di pulau itu?"

Dengan ketakutan pria pertama itu menjawab lirih, “Berkat-berkat aku adalah milikku sendiri, karena akulah yang mendoakan semua berkat itu.” Kemudian ia melanjutkan . "Dan doa-doa orang itu tidak terjawab, karena itu dia tidak pantas mendapatkan apa pun."

"Kamu salah!" Suara itu terdengar lebih keras. "Dia hanya memiliki satu doa, dan Aku telah menjawabnya. Dan jika bukan karena doa orang itu, kamu tidak akan menerima satu pun berkat daripada Ku."

"Apa yang dia doakan sehingga aku harus mengajaknya ikut serta bersama ku?" Kata pria itu.

"Dia berdoa agar semua doamu terkabul."

Untuk semua yang kita tahu dan renungkan, berkat-berkat kita bukanlah buah dari doa-doa kita sendiri, tetapi buah dari doa-doa orang lain untuk kita.


Iwan S. (Artikel ini diambil dari berbagai sumber dan diterjemahkan oleh Team E-Bulletin)

Read More
Artikel & Renungan WKICU Admin Artikel & Renungan WKICU Admin

'Forgiveness Wanted'

Kita semua membutuhkan pengampunan, dan kita semua harus belajar bagaimana cara mengampuni.

Cerita ini mengisahkan tentang seorang ayah dan putranya yang tinggal di Spanyol. Selama bertahun-tahun, hubungan mereka menjadi tegang. Daftar rasa sakit hati bertambah panjang sehingga akhirnya putranya memutuskan kabur dari rumah. Sang ayah mencari putranya, tetapi setelah berbulan-bulan berusaha mencari, dia gagal menemukannya. Sang ayah melakukan upaya terakhir, karena sudah merasa putus asa, dengan memasang iklan di koran lokal di Madrid. Dalam iklan tersebut, tertulis:

 “Paco sayang, tolong temui aku di depan kantor penerbit koran ini pada siang hari. Semuanya telah dimaafkan. Aku mencintaimu - Ayahmu."

Keesokan siangnya, di depan kantor penerbit surat kabar itu, delapan ratus orang bernama Paco muncul.

Kita semua membutuhkan pengampunan, dan kita semua harus belajar bagaimana cara mengampuni.

Iwan S. (Artikel ini diambil dari berbagai sumber dan diterjemahkan oleh Team E-Bulletin)

 

Read More
Senyum itu Sehat WKICU admin Senyum itu Sehat WKICU admin

Penyelamatan Yang Salah

Aku adalah malaikat pelindung yang menjagamu

WKICU_Illustration.jpg

Seorang pemuda berjalan tergesa-gesa setelah mendapat telpon dari istrinya yang bawel dan suka marah-marah. Suara teriakan sang istri yang menyuruhnya segera pulang dari kantor karena hari sudah malam terdengar memekakkan telinga, padahal sebentar lagi pekerjaan kantor itu akan selesai. Dengan rasa takut istrinya akan bertambah marah pemuda itu segera angkat kaki pulang dengan setengah berlari menuju parkiran mobil yang terletak di gedung seberang kantornya. Tiba-tiba ada suara berseru sebelum pemuda itu menyeberang jalan, “Berhenti! Jangan kau lanjutkan…!'“.

Mendengar seruan itu sontak si pemuda kaget dan menghentikan langkahnya. Sedetik kemudian meluncur sebuah mobil dengan sangat kencang lewat persis di depan jalan yang ingin dia lewati. Pemuda tadi kaget dan juga bersyukur ada orang yang mengingatkan dia untuk berhenti. Pemuda itu celingukan kanan-kiri mencari tahu siapa yang berseru tadi, tetapi tidak ada siapapun di sana. Kosong….

Pemuda itu kemudian menyeberang dan melanjutkan jalan menuju mobil. Masih dengan pertanyaan besar dan rasa heran sang pemuda menghidupkan mesin mobilnya menuju rumah. Dalam perjalanan pulang, sebelum mobil pemuda ini melewati sebuah jembatan kecil, seruan yang sama kembali terdengar, “Berhenti! Jangan kau lanjutkan….!”

Dalam keadaan kaget tetapi percaya dengan pengalaman akan kejadian pertama tadi, sang pemuda dengan cepat menginjak rem dan membanting stirnya ke pinggiran jalan. Sedetik kemudian sebuah pohon besar tiba-tiba tumbang menimpa jembatan dan membuat setengah badan jembatan itu rusak parah. Kembali pria muda itu bersyukur karena telah diselamatkan oleh suara itu.

Akhirnya dengan berani dan rasa penasaran pemuda itu keluar dari mobil dan berteriak lantang, “Siapakah kamu?” sambil melihat sekeliling dan juga memeriksa di dalam mobil. “Anda telah dua kali menyelamatkan saya…” sambungnya lagi dengan suara pelan.

Tak lama kemudian sebuah suara lembut berseru, “Aku adalah malaikat pelindung yang menjagamu…” kata suara itu.

Paras wajah pemuda itu seketika berubah “Oh yah..?! Di mana kamu waktu aku memutuskan untuk menikahi istriku?!” Kata pemuda tadi dengan marah.

Read More
Tulisan Romo Gemah Rahardjo Tulisan Romo Gemah Rahardjo

Refleksi Singkat Satu Tahun Tahbisan Imamat (bagian 2)

Daripada memberi label atau cap kepada seseorang berdasarkan asal-usulnya, akan lebih baik kalau kita melihat relasi orang tersebut dengan Kristus.

kebahagian.jpg

Oleh S. Hendrianto, SJ

finalgladness.jpg

Salah satu persoalan yang menurut saya menjadi masalah dalam kehidupan ber-gereja ataupun bermasyarakat adalah kita sering menilai seseorang berdasarkan asal-usulnya, khususnya dari mana orang itu berasal. Saya adalah orang yang tidak suka untuk menonjolkan dari mana saya berasal. Meskipun saya tidak pernah mengingkari sejarah kehidupan saya, banyak hal yang membuat saya tidak suka menunjukkan tempat dari mana saya “berasal.” Pertama, banyak orang yang memiliki persepsi tertentu tentang dari mana seseorang berasal dan mereka bisa dengan cepat memberi label terhadap seseorang hanya berdasarkan asal usulnya. Tempat kelahiran saya adalah sebuah pulau kecil yang dulu di kenal sebagai tempat pembuangan selama masa penjajahan Belanda. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pernah diasingkan di tempat kelahiran saya. Kemudian pada suatu masa, tempat tersebut juga dikenal sebagai sarang kejahatan, dan akibatnya orang pun cepat memberi label bahwa saya berasal dari tempat yang penuh dengan perompak, penyamun dan penjudi. 

Dalam waktu satu dekade terakhir, ada seorang politisi kontroversial yang muncul di panggung politik Indonesia dan politisi kontroversial ini berasal dari pulau yang lokasinya terletak di sebelah tempat kelahiran saya. Celakanya banyak orang yang tidak tahu geografi dan langsung dengan gampang berkesimpulan bahwa politisi kontroversial ini berasal dari tempat yang sama dengan saya. Sering kali ketika saya menyebut dari mana saya berasal, orang pun langsung meng-identifikasikan saya sebagai pendukung sang politisi kontroversial tersebut. Fakta sesungguhnya, saya bukan pendukung politisi tersebut ataupun penggemar dia dan yang lebih jelas lagi dia berasal dari tempat yang berbeda dengan tempat kelahiran saya.  

Ada peristiwa menarik lagi sehubungan dengan tempat kelahiran saya yang terkenal dengan babi panggangnya. Tidak lama setelah saya ditahbiskan, seorang umat Warga Katolik Indonesia di California Utara (WKICU) menghubungi saya malam-malam. Katanya dia hendak bertanya tentang suatu hal penting; saya pikir orang ini mungkin ingin bertanya tentang masalah teologi ataupun masalah pribadi. Alih-alih bertanya tentang soal teologi ataupun masalah pribadi, orang ini justru bertanya tentang resep babi panggang dari tempat kelahiran saya. Faktanya saya adalah seorang vegetarian, akan tetapi orang ini langsung berkesimpulan bahwa karena saya berasal dari tempat tersebut, otomatis saya adalah penggemar babi panggang. Terus terang saja, saya tidak habis pikir mengapa orang ini ingin menghabiskan waktu untuk bertanya soal resep babi panggang kepada seorang Romo muda.

nazareth.jpg

Jikalau kita menyimak cerita di Kitab Suci, kita juga tahu bahwa penyakit orang yang suka memberi cap atas asal usul seseorang adalah penyakit yang sifatnya universal. Nathanael atau Bartolomeus adalah salah satu contoh orang yang suka memberi cap atas asal usul seseorang. Di Injil Yohannes kita tahu bahwa Filipus bertemu dengan Nathanael dan berkata kepadanya: "Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret (Yohannes 1:45). Nathanael seperti orang kebanyakan pun menjawab: "Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?" Jawaban Natahaniel ini menunjukkan bahwa hati manusia 2000 tahun yang lalu sama juga dengan hati manusia abad 21, dimana orang sering menilai orang dari mana dia berasal. Kalau mau ditelesuri sebenarnya identitas Yesus tidak bisa semata-mata disebut sebagai orang Nazareth. Pertama, Yesus lahir di Betlehem (Mattius 2:1 dan Lukas 2:4) dan kemudian Yesus juga besar di Mesir (Mattius 2:14-15). Yang lebih penting lagi adalah Yesus berasal dari Surga. 

Nathanael sendiri baru bisa meninggalkan pola pikir sesatnya setelah dia bertemu Yesus secara langsung. Ketika bertemu Yesus, hati Nathaniel pun tergerak dan dia mengerti tentang identitas Yesus yang sesungguhnya. Dia pun memberikan pengakuan iman, “Rabi, Engkau Anak Allah, Engkau Raja orang Israel!" Dalam statemen ini, Nathanael menunjukkan dua indentitas Yesus: pertama, dia mengakui bahwa Yesus sejatinya berasal dari surga karena Yesus mempunyai hubungan spesial dengan Bapa di Surga karena Yesus adalah Putra Allah. Kedua, Yesus bukan hanya seorang tukang kayu dari Nazareth. Meskipun Yesus menghabiskan sebagian hidupnya di Nazareth, identitas dia bukanlah semata-mata orang Nazareth, melainkan Yesus adalah Messias yang telah lama dinantikan oleh orang Israel. 

asalusul.jpg

Menurut saya, dalam kehidupan bermasyarakat dan ber-gereja, sudah bukan saatnya lagi kita meng-identifikasi identitas seseorang berdasarkan asal – usul atau dari mana dia berasal. Daripada memberi label atau cap kepada seseorang berdasarkan asal-usulnya, akan lebih baik kalau kita melihat relasi orang tersebut dengan Kristus. Mungkin banyak dari kita yang berpikir seperti Nathanael, dan mungkin sudah saatnya bagi kita untuk meninggalkan pola pikir seperti itu dan mulai mengenal seseorang berdasarkan nilai-nilai kehidupan yang dia pegang, kebijaksanaan atau pandangan hidup, dibanding sekedar mengenal dia berdasarkan asal-usulnya.  

Setelah saya ditahbiskan menjadi Romo pada tahun 2019, saya sempat kembali ke tempat saya dibesarkan dan mengadakan misa syukur di Gereja tempat saya dibaptis. Terus terang saja ketika perasaan saya bercampur aduk, pertama karena saya tidak tahu reaksi orang-orang di paroki tempat asal saya itu bersikap terhadap saya. Kedua, saya juga tidak tahu reaksi orang tua saya yang selama ini menentang keputusan saya untuk menjadi Romo. Ketiga, saya sendiri masih terus bergelut dengan persoalan identitas karena saya tidak ingin semata- mata identitas saya ditentukan berdasarkan tempat saya berasal. 

 Penyair Inggris Hilaire Belloc pernah menulis “…setiap kali aku mengingat masa kecil ku dan setiap kali aku merasa senang pulang ke rumah. Tapi aku tidak pernah menemukan kebahagiaan terakhir” (each time I have remembered my boyhood and each time I have been glad to come home.  But I never found it to be a final gladness). Saya pikir tulisan dari Belloc tersebut bisa melukiskan perasaan saya ketika mempersembahkan misa syukur di Gereja Santo Petrus, di Keuskupan Pangkalpinang. Bahwa saya bisa mengingat masa kecil dan merasa  pulang ke rumah, akan tetapi saya tidak menemukan kebahagiaan terakhir.  

Untuk lebih menjelaskan suasana hati ketika itu, saya lampirkan teks homili ketika mengadakan misa syukur di Gereja tempat saya dibaptis. Silahkan membaca lampiran teks di bawah ini. 

Homili pada misa syukur Romo Stefanus Hendrianto, SJ pada tanggal 14 Juli, 2019 di Gereja Santo Petrus, Keuskupan Pangkalpinang.

Saudara – saudari yang terkasih dalam Kristus, mungkin saat ini banyak pertanyaan di pikiran saudara-saudari tentang saya sebagai Romo yang memimpin misa pada hari ini. Pertama, saya menduga banyak yang bertanya, “bukankah dia adalah anak seorang buruh tambang, bukankah ibunya adalah seorang tukang jahit, bagaimana dia menjadi seorang Romo dan berkhotbah di depan kita.” Saya menduga hal ini pasti terjadi karena sama halnya dengan Yesus yang pulang ke kampung halamannya dan orang-orang pun bertanya "Dari mana diperoleh-Nya hikmat itu dan kuasa untuk mengadakan mujizat-mujizat itu? Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria?”

Kedua, saya juga menduga bahwa banyak yang berkesimpulan atau juga sudah bergosip bahwa saya menjadi seorang Romo karena saya patah hati setelah diputuskan dan dicampakkan oleh mantan tunangan saya. Perlu saya tegaskan pada hari ini di hadapan kalian semua bahwa cerita itu TIDAK BETUL dan SALAH BESAR. Betul bahwa saya pernah berpacaran selama 7 tahun dengan seorang perempuan dan bahkan kita sudah bertunangan dan berencana untuk menikah. Akan tetapi saya lah yang memutuskan membatalkan rencana perkawinan kami.  Adapun alasannya karena saya tahu bahwa dalam lubuk hati saya yang paling dalam, ketika itu saya belum siap untuk berkomitmen dan lebih tepatnya saya tidak siap untuk menjadi seorang suami dan ayah. 

Pertanyaan berikutnya mungkin adalah mengapa saya ingin menjadi Romo kalau bukan karena patah hati. Penjelasannya cukup panjang dan saya tidak bisa menceritakan semuanya dalam homily saya pada hari ini. Tapi izinkan saya menceritakan salah satu alasan saja yaitu karena doa ibu saya. Singkat cerita ketika duduk di bangku kuliah, saya meninggalkan Gereja karena saya mendapati bahwa Gereja Katolik di Indonesia cukup apatis terhadap masalah sosial dan politik, seakan-akan Gereja tidak peduli terhadap segala bentuk penindasan dan ketidakadilan di Indonesia ketika itu. Dan saya terus berada di luar Gereja setelah lulus kuliah. Pada masa-masa itu, ibu saya rajin berdoa setiap pagi dan memohon kepada Bunda Maria agar Bunda Maria menunjukkan jalan dan menghantarkan saya ke jalan yang benar. Dan akhirnya doa ibu saya terkabul karena Bunda Maria memang menunjukkan jalan yang benar kepada saya untuk masuk Novisiat Serikat Yesus dan menjadi seorang Romo. Jadi ketika ibu saya menentang keputusan saya untuk menjadi seorang Romo, jawaban saya kepada beliau adalah, “Salah sendiri mengapa kamu meminta kepada Bunda Maria menunjukkan jalan yang benar kepada saya. Jadi hati-hatilah terhadap doa yang kamu minta kepada Bunda Maria.”

Terlepas dari segala macam pendapat, gosip ataupun spekulasi apapun terhadap keputusan saya menjadi seorang Romo, saya bersyukur karena hari ini bisa merayakan misa syukur di Gereja tempat saya di baptis. Meski saya harus mengakui bahwa Gereja yang baru dan megah ini terasa asing buat saya. Saya dibaptis di Gedung gereja yang lama, jadi memori saya masih melekat di Gereja tua. Berbicara tentang Gereja baru ini, saya tahu bahwa banyak pihak yang menyumbang untuk pembangunan Gereja ini dan kemudian nama para penyumbang itu pun disebut dalam peresmian gereja baru. Ketika itu Tante saya, Ibu Iswadhani yang kalian kenal, merasa malu besar karena keluarga kita tidak mampu menyumbang sehingga tidak disebut dalam daftar penyumbang. Seharusnya dia tidak perlu malu karena keluarganya sudah memberi sumbangan yang jauh lebih besar dari sekedar uang ke Gereja. Keponakannya sudah menjadi seorang Romo, jadi itu merupakan sumbangan yang lebih besar daripada sumbangan semen dan batu bata untuk pembangunan gereja. 

Cerita tentang Ibu dan Tante saya ini menunjukkan bahwa kita harus memikul tanggung jawab atas segala doa dan perbuatan kita. Panggilan hidup Kristiani itu sebenarnya adalah panggilan bagi kita untuk bertanggung jawab dan memikul beban. Kalau kita ingat cerita Abraham yang disuruh oleh Tuhan pindah, dan setelah Abraham memutuskan pindah, Tuhan pun pergi dan meninggalkan dia, sehingga dia harus menjalani kehidupan barunya sendiri.  Kisah Bunda Maria juga menunjukkan pola yang sama, setelah Malaikat Gabriel memberitahu kan berita gembira, sang Malaikat pun langsung pergi dan meninggalkan Maria sendirian menanggung segala beban dan penderitaanya dalam mengandung Yesus. Sama halnya, Yesus juga memberikan contoh yang sama dalam kehidupannya bahwa kita harus memikul beban dan tanggung jawab. Yesus tidak menyalahkan siapapun ketika dia ditangkap dan kemudian disalibkan. Yesus menanggung segala penderitaannya dan menunjukkan contoh kepada kita untuk memikul salib masing-masing. 

  Cerita dalam Injil hari ini tentang orang Samaria juga mengangkat tentang tema tanggung jawab. Orang Samaria itu merasa dia mempunyai tanggung jawab untuk membantu orang Yahudi yang dirampok. Seperti kita ketahui, dimata orang Yahudi, orang Samaria adalah warga kelas dua atau orang buangan, atau paling tidak orang asing. Akan tetapi orang Samaria ini tidak cari-cari alasan untuk menghindar dari orang Yahudi. Bahkan dia merasa tanggung jawab nya tidak hanya sekedar menolong, tapi juga membantu lebih jauh dengan membayar penginapan dan pengobatan orang Yahudi yang telah dirampok.

Mungkin kita semua terpanggil untuk menjadi orang Samaria dan ingin membantu sesama. Akan tetapi hari ini saya ingin mengundang saudara-saudari sekalian untuk melihat cerita ini dari perspektif yang sedikit berbeda. Tentu saja tidak ada salahnya kalau kita ingin menjadi seperti orang Samaria yang membantu sesama, terutama musuh kita yang sedang menderita dan perlu pertolongan. Akan tetapi kalau kita mau jujur pada diri kita sendiri, kebanyakan dari kita bukanlah pahlawan seperti orang Samaria. Sering kali kita berpaling muka dan meninggalkan musuh, orang yang tidak kita sukai ataupun orang-orang yang membenci kita. 

  Hari ini saya ingin mengajak saudara-saudari untuk melihat cerita ini dari perspektif si pemilik penginapan. Saya pikir karakter pemilik penginapan adalah sosok yang lebih realistik untuk kita teladani. Pertama, kalau kita berada dalam posisi si pemilik penginapan, bisa dipastikan kita akan kesal dan marah melihat ada tamu kita membawa korban perampokan yang terluka di penginapan kita, dan bukannya dia membawa orang itu ke rumah sakit atau ruang gawat darurat. Kemudian cerita berlanjut bahwa si orang Samaria pergi dan sebelum pergi dia meminta si pemilik penginapan untuk merawat si orang Yahudi. Orang Samaria memberi biaya kepada si pemilik penginapan untuk merawat orang Yahudi dan berkata bahwa kalau ada kekurangan nanti akan dia ganti setelah dia kembali. 

mikul.jpg

Pertanyaannya adalah bagaimana kita akan bereaksi kalau kita berada dalam posisi sebagai pemilik penginapan. Apakah kita akan ambil uangnya dan kemudian mengusir si orang Yahudi itu. Apakah kita percaya bahwa orang Samaria itu benar-benar akan kembali dan mengganti segala biaya? Bagaimana kalau sekiranya si orang Samaria tidak pernah kembali, apakah kita akan terus merawat si orang Yahudi yang terluka. Saya pikir kita masing-masing bisa mengisi akhir cerita itu dengan berpikir bagaimana Yesus akan bersikap atau berbuat atau apa yang Yesus ingin kita lakukan dalam situasi tersebut. 

Menjadi pengikut Yesus adalah berarti kita semua harus siap sedia untuk memikul tanggung jawab dan panggilan ini berlaku bagi semua orang Kristiani. Sama halnya menjadi seorang Romo juga berarti memikul tanggung jawab, seperti Yesus yang memikul kayu salib. Jadi untuk itu saya minta tolong kepada kalian semua untuk mendoakan saya supaya saya bisa menjadi seorang Romo yang rendah hati dan bisa memikul salib seperti Yesus. 

 





Read More
Kesaksian WKICU Admin Kesaksian WKICU Admin

Bis Itu Tak Bisa Jalan. DituntunNya Aku Kembali Pulang

Sang Pencipta penuh cinta, Sang Empunya segalanya.

DibalikNya arah perjalananku, dikirimkanNya aku kembali, ....pulang.

Hari Jum’at malam saya berangkat ke Surabaya menggunakan bus malam. Tujuan saya hanya satu, menemui ‘pacar baru’ saya. Waktu mepet dan padat dalam kesibukan hari-hari tidak menjadi kendala walaupun Minggu malamnya saya sudah harus berangkat kembali ke Jakarta, agar hari Senin bisa masuk kerja lagi. Perjalanan yang melelahkan sekali tetapi saya tidak peduli. Demi bertemu sang kekasih lain……”Toh ini perjalanan pribadi, tidak ada hubungannya dengan tugas kantor”. Begitu kata hati ini meyakinkan.

Bus malam P.O “New Rejeki” berangkat dari Kelapa Gading sekitar jam 7.30 malam. Dalam bus, perasaan saya begitu tenangnya karena mengira semua akan berjalan lancar-lancar saja dan sesuai rencana. Rencanaku.

Sekitar jam 11 malam, bus berhenti di sebuah rumah makan yang amat ramai karena banyak bus malam yang berhenti di situ. Para penumpang dipersilakan turun untuk makan malam, dan bus akan kembali berangkat setengah jam kemudian.

Selesai makan ketika satu-dua penumpang mulai kembali ke dalam bus, sopir mulai menghidupkan mesin, hendak memanaskan mesinnya dan menyalakan AC. Saya berdiri menunggu di dekat pintu masuk bus waktu itu jadi saya dapat menyaksikan apa yang sedang terjadi.

Sopir mematikan kambali mesinnya, lalu menghidupkan kembali, mematikan lagi sekitar semenit, lalu menghidupkannya lagi. Keningnya berkerut-kerut, ia cemas. Dipanggilnya sopir cadangan, dan sopir-sopir dari bus lain mulai berdatangan. Mereka membuka kap mesin bus di bagian belakang, menyenter dan memeriksanya, semua tampak normal. Sopir menghidupkan mesin dan mematikannya lagi.

Something was wrong, tapi mereka tidak bisa menemukan apa yang salah. "Bagaimana bisa begini?" Sang supir berkata heran. Dia tampak panik dan semuanya tampak kebingungan tidak tahu hendak berkata apa atau berbuat apa. Ternyata temperatur mesin amat tinggi,..tidak mau turun. "Kalau bus tetap jalan, mesin akan meledak" kata sopirnya. Saya ingat betul,..pada wajah orang-orang dan para sopir, yang heran tak tahu hendak berbuat apa.

Pikiran saya mulai menduga-duga. Apa yang salah? Tadi dalam perjalanan dari Jakarta semuanya normal dan tidak ada apa-apa. Bus itu masih termasuk baru. Apalagi kata sopirnya, bus itu baru seminggu lalu diservis dan hampir tiap hari selalu dipakai untuk trip Jakarta- Surabaya, dan tidak ada apa-apa. Bus-bus malam sangatlah terpelihara mesinnya, apalagi bus-bus malam yang relatif baru seperti yang saya tumpangi itu. Bagaimana mungkin ada masalah mesin sangat panas di tengah perjalanan, padahal tadinya dalam 3 jam perjalanan semuanya baik-baik saja ?.

Para penumpang hendak ditransfer ke bus New Rejeki yang lain,..tetapi ternyata tidak bisa. Bus-bus itu sudah penuh semua. Agent bus di Jakarta dikontak, minta segera bus pengganti. Tetapi tunggu punya tunggu, datang jawaban lewat telpon pengemudi yang mengabarkan bus pengganti itu juga rusak, harus tunggu bus dari Jakarta. Dua jam lagi paling cepat katanya.

Saya mulai khawatir,..mengapa tiba-tiba semuanya jadi kacau berantakan begini?.

Para penumpang kembali putus asa, karena tidak mungkin harus tidur di tengah perjalanan seperti itu. Akhirnya ada kepastian kabar...bus pengganti baru berangkat dari Jakarta. Perlu tiga jam untuk sampai di situ. Itu artinya, Saat itu tengah malam, yang berarti jam 3 pagi baru datang bus pengganti. Nah, kapan sampai Surabaya nya?. Dengan perhitungan bus mulai jalan lagi jam 3 pagi, maka paling cepat sampai Surabaya jam 3 sore, hari Sabtu. Sedangkan hari Minggu malam saya harus sudah berangkat ke Jakarta lagi. Edan..! Nggak mungkin begitu.

Ada sebuah kekuatan yang menuntun langkah kakiku untuk menyeberangi jalan. Di sana aku ‘kan menghentikan sebuah bus umum mana saja yang bertujuan ke Jakarta. Langkah kakiku menembus malam yang remang-remang, segundah hatiku. Tubuh ini berjalan melawan dinginnya hawa persawahan di perbatasan Jawa barat - Jawa tengah itu. Angin meniup kencang, seolah hendak berkata-kata, dan memeluk aku. Terpaan angin malam itu, adalah bagai pesan kesadaran. Tamparannya, adalah pesan dari Tuhan. Pesan kesadaran bahwa Dia ....ada, dan sedang bicara. KehendakNya lah yang sedang tiba. Aku tak bisa apa-apa. Segala rencanaku, dibuatNya terhempas,..berkeping-keping.

"Bukan kehendakmu yang terjadi, melainkan kehendakKu lah"

Tak mungkin lagi aku tak sadar, betapa Tuhan sayang aku.

Tak mungkin lagi aku tak tahu, aku bukan milikku saja.

Sebab aku tak kekal, dan Dia kekal.

Dan jiwaku, adalah milik kekekalan, milik Tuhan.

Sang Pencipta penuh cinta, Sang Empunya segalanya.

DibalikNya arah perjalananku, dikirimkanNya aku kembali, ....pulang.

Airmataku mengalir, sesalku tiba, dalam sebuah bus umum yang menembus kebisuan malam, mengantarku pulang.

Tuhan, ampuni aku telah melupakanMu. Dan ampuni aku, telah bermain-main dengan hal yang tiada Engkau berkenan.

Aku kembali kepadaMu. Ampunilah aku.



Story Background

Sebagai cost controller di kantor pusat sebuah perusahaan manufaktur; secara rutin saya berkomunikasi dengan staf akunting di kantor-kantor cabang dan pabrik, sehubungan dengan laporan cost bulanan yang secara rutin mereka sampaikan kepada saya. Karena salah satu pabrik ada di Surabaya, maka dalam beberapa kesempatan, saya juga perlu kunjungan tugas ke sana.

Di cabang Surabaya ini, suatu ketika saya berkenalan dengan seorang staf bagian purchasing yang walaupun penampilannya sederhana, namun tutur katanya begitu sopan, cantik, sangat menarik. Singkat cerita, saya ingin mendekati dia, walaupun saat itu saya sudah punya tunangan.

Tuhan jelas tidak berkenan akan rencanaku menemuinya di Surabaya. Keanehan yang terjadi dalam perjalanan malam itu, adalah kuasa dan bentuk campur tangan Tuhan yang sedikitpun tidak terpikirkan olehku. Tuhan bisa bertindak, dan Dia akan.


Jakarta; 2020

nH



Read More
Artikel & Renungan Eliza Kertayasa Artikel & Renungan Eliza Kertayasa

Mengapa Kuatir tentang Hari Kemarin dan Risau tentang Hari Esok?

“Karena itu Aku berkata kepadamu, janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting daripada makanan dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian?”

Dontworry.jpg

Ditulis oleh Hanafi Daud


Orang seringkali gelisah sampai tidak bisa tidur karena memikirkan apa yang akan terjadi hari esok. Orang juga sering gelisah dan tidak bisa tidur karena memikirkan apa yang telah terjadi kemarin.

Pikiran menimbulkan emosi. Ada dua macam emosi; emosi jelek, negative, dan emosi bagus, positive. Emosi karena sesuatu yang menyenangkan adalah emosi yang baik, yang positive, tidak mengganggu kesehatan badan, bahkan berpengaruh baik. Tetapi emosi buruk, emosi negative, bisa sangat memperburuk kesehatan dan berpengaruh jelek terhadap keadaan umum seseorang.

Berpikir tentang sesuatu yang menyenangkan, yang telah terjadi kemarin atau yang dinantikan akan terjadi hari esok, menimbulkan emosi baik.

Tetapi kalau yang dipikirkan adalah sesuatu yang buruk atau yang tidak menyenangkan yang terjadi hari kemarin, atau sesuatu yang merisaukan yang dikira akan terjadi esok, akibatnya juga akan buruk, dan kemungkinan besar menggangu kesehatan.

Apa yang diajarkan oleh Jesus tentang kekuatiran hari ini dan hari esok? Kita lihat Matius 6:25-34. “Karena itu Aku berkata kepadamu, janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting daripada makanan dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian?

Pandanglah burung-burung di udara, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di surga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?

Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya yang dapat menambahkan satu menit saja pada jalan hidupmu? Dan mengapa kamu kuatir akan pakaian? Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal, namun Aku berkata kepadamu, Salomo dalam segala kemegahannya tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu.

Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya? Sebab itu janganlah kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di surga tahu bahwa kamu akan memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah lebih dahulu Kerajaan Allah dan kebenaranNya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari esok, karena hari esok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.”

Jangan salah mengerti bahwa kita tidak boleh memikirkan atau mengingat kembali apa yang terjadi kemarin. Jangan pula salah mengerti kita tidak boleh memikirkan atau merencanakan hari esok. Yang penting ialah kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.

Setiap pikiran, setiap perasaan, setiap perbuatan dan setiap kegiatan badaniah diatur oleh sejumlah besar sel-sel saraf, yaitu otak.

Dr. John A Schindler M.D., mantan kepala klinik Monroe di Wisconsin sejak 1954 sudah mengatakan bahwa emosi bisa menimbulkan banyak macam sakit badani. Keadaan ini kadang disebut Emotionally Induced Ilness (EII). Menurur Dr. Monroe, minimal 50% orang sakit disebabkan oleh EII. Bahkan menurut data yang ada padanya, 74% dari 500 pasien sakit maag disebabkan EII.

Salah satu definisi singkat dan sederhana tentang emosi ialah: emosi adalah satu keadaan dalam pikiran seseorang yang berakibat terjadinya perubahan-perubahan dalam badan.

Ada dua kelompok besar emosi: Pertama ialah emosi yang membawa perangsangan berlebihan melalui sistim syaraf, yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, diantaranya marah, kuatir, takut, kecewa, duka, tidak puas, dan lain-lain.

Kelompok besar kedua ialah emosi yang memberikan perangsangan oprtimal, yaitu tidak berlebihan dan tidak terlalu kecil, yang bisa kita namakan emosi yang menyenangkan, yang nyaman. Contoh-contohnya ialah harapan indah, suka, kasih, dan lain-lain.

Tulisan ini untuk direnungkan. Bukan membahas soal sakit penyakit, tetapi bagaimana menghadapi Hari Kemarin, Hari Ini, dan Hari Esok, dan tentang bagaimana gangguan kesehatan merupakan salah satu alasan mengapa kita jangan terlalu risau dengan apa yang telah terjadi Hari Kemarin, dan kuatir apa yang akan terjadi Hari Esok, Ingat apa yang dikatakan oleh Jesus: Kesusahan sehari cukup untuk sehari.

Matthew 6:34:
Therefore I tell you, do not worry about your life, what you will eat or drink; or about your body, what you will wear. Is not life more than food, and the body more than clothes?

Ini saya quote sesuatu uraian yang bagus tentang “Worry”

Worry does not empty tomorrow of its sorrow, it empties today of its strength.
If a problem is fixable, if a situation is such that you can do something about it, then there is no need to worry. If it's not fixable, then there is no help in worrying. There is no benefit in worrying whatsoever.

There is only one way to happiness and that is to cease worrying about things which are beyond the power of our will.

The only thing you will ever accomplish by worrying is to elevate your stress levels.
Worry a little bit every day and in a lifetime you will lose a couple of years. If something is wrong, fix it if you can. But train yourself not to worry. Worry never fixes anything.

The more you pray, the less you'll panic. The more you worship, the less you worry. You'll feel more patient and less pressured.

If you can't sleep, then get up and do something instead of lying there worrying. It's the worry that gets you, not the lack of sleep.

Happy is the man who has broken the chains which hurt the mind, and has given up worrying once and for all.

There is a great difference between worry and concern. A worried person sees a problem, and a concerned person solves a problem.

Whatever is going to happen will happen, whether we worry or not.

gelisah.jpg
 
Read More
Senyum itu Sehat WKICU Admin Senyum itu Sehat WKICU Admin

Bathtube

Kalau bertanya, pilihlah orang yang tepat

Bobby sedang berbelanja di toko kelontong milik Koh Aseng untuk membeli kebutuhan sehari-hari, dan secara tidak sengaja di sana dia bertemu dengan seorang Romo yang biasa melayani misa di gerejanya. Bobby mendekati sang Romo itu untuk bertegur sapa. Ketika mendekat terlihat jelas di wajah sang Romo ada memar di dahi dan benjol besar di kepala. Bobby yang merasa heran menyapa dengan ramah.

Bobby : “Halo Romo…Apa kabar?”

Romo : “Waaah….Bobby yah?! Kabar baik! Kok bisa ketemu di sini?”

Bobby : “Ha…ha…Iya Romo. Ngomong-ngomong apa yang terjadi dengan kepala Romo?”

Romo : “Oooo ini….saya terjatuh tadi pagi dan kepala terbentur “bathtube”, karena masih mengantuk.”

Bobby : “ Sepertinya harus dikompres benjol di kepala Romo itu agar cepat kempis.”

Romo : “ Iya…setelah pulang nanti akan saya kompres dengan air dingin. Baiklah, sampai berjumpa lagi, Bobby.” kata si Romo sambil ngeloyor pergi.

Setelah Romo keluar dari toko itu, Bobby dengan heran dan penasaran mendekati Koh Aseng pemilik toko langganannya itu dan bertanya kepada Koh Aseng.

Bobby : “Bathtube itu apaan yah Koh?”

Koh Aseng : “Nggak tau yah? Gue khan bukan Katolik….”

benjol_shinta.jpg
Read More