Monika Fuun dan Secuil Kenangan
Ditulis oleh Agem Rahardjo
(Mengenang satu tahun meninggalnya Tante Monik)
** Bahan tulisan oleh Imman Chiang.
Sinar matahari siang itu menyengat cukup panas membakar kulit kering yang lupa dibaluri sunblock. Saya menyingkir dan masuk ke dalam tenda sesekali untuk berteduh sebentar di bawah kain terpalnya yang melebar panjang. Ada hembusan angin dingin yang menusuk ketika bersembunyi dari sorotan tajam sang mentari. Saya berada di cosmopolitan gathering place, Union Square di pusat kota San Francisco saat itu. Kalau ingatan saya tidak salah, waktu itu sekitar pertengahan bulan September tahun 2012. Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) menyelenggarakan acara Indonesia Day----- peringatan rutin tahunan perayaan Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia yang sebenarnya jatuh pada tanggal 17 Agustus, dan bagi kita di Indonesia peringatan itu cukup diucap tujuh belasan.
Saya membantu Konsulat Jendral Republik Indonesia menunggui stand mereka. Sebuah tenda yang tersedia sebagai pusat informasi dan promosi mengenai Indonesia berdiri di sudut deretan akhir di antara tenda-tenda yang menjual makanan dan jajanan khas Indonesia. Di dalam tenda itu, di atas meja ber-taplak kain batik berjejer brocure dan leaflet yang memperkenalkan dan menampilkan pariwisata serta keragaman budaya. Ada juga buku-buku karya sastra Indonesia baik asli maupun terjemahan yang diapit hiasan payung Bali dan beberapa patung wayang. Stand yang saya tunggui hanya sedikit menarik pengunjung yang datang. Mengherankan sekaligus juga menyedihkan. Panggung besar di sisi tengah lapangan tempat menyajikan acara utama seperti tari-tarian dan bermacam kebudayaan Indonesia punya nasib baik. Suara gamelan, tari-tarian dan nyanyian lagu-lagu Batak serta permainan alat musik Kolintang yang keluar dari pengeras suara berhasil menarik banyak pengunjung.
Matahari mulai meninggi, orang yang datang bertambah semakin banyak. Mereka berserakan disetiap sudut lapangan berebut tempat dengan sinar matahari yang cepat menyebar memenuhi tempat bernama Union Square itu. Dari dalam tenda saya melihat sebagian besar lainnya tampak berjubel dengan semangat 45 bagai pejuang-pejuang kemerdekaan yang tak kenal menyerah mengular antri di tenda-tenda makanan dan jajanan khas Indonesia di pinggir lapangan berharap tidak kehabisan Nasi Padang, Lontong Sayur ataupun Es Cendol. Beberapa yang telah mendapat makanan asyik menyantap sambil menyaksikan sisa pertunjukkan yang tidak sempat diperhatikan sewaktu mengantri tadi…. sebagian lain yang telah memborong berbungkus-bungkus langsung pulang karena takut makanan dan jajanan itu basi atau rusak karena terlalu lama di kantong plastik dalam cuaca panas.
Ingatan mengenai acara itu masih menggantung di kepala, tetapi ada satu hal yang tetap melekat resap di hati yang mendorong saya menyelesaikan tulisan ini. Secuil kenangan yang menyadarkan banyak hal….secuil saja, karena sebiji sesawi juga mampu memindah gunung.
Tengah hari menjelang sore, seorang wanita tiba-tiba saja masuk ke dalam tenda dengan senyum ramah agak malu-malu. Mata yang terbuka lebar menyapa tepat ketika saya selesai menghabiskan kotak nasi makan siang pembagian dari panitia. Saya membalas sapaan ramahnya. Saya mengenal beliau di gereja Union City. Wanita itu bernama Monika Fuun atau yang akrab kita panggil Tante Monik. Kalau boleh saya menyuruh ingatan kembali ke masa itu, rasa-rasanya beliau adalah umat wkicu pertama yang berbicara hati ke hati, penuh kehangatan dan keakraban kepada saya.
Obrolan di antara kami terjadi. Beliau tinggal seorang diri di downtown San Francisco. “Saya sih cuma tinggal jalan kaki aja sampe.” Begitu katanya menjawab pertanyaan saya soal tempat tinggalnya. Mendengar jawaban itu, saya yang belum genap dua tahun berada di Amerika dan belum juga berhasil mendapat pekerjaan segera menduga bahwa Tante Monik ini pasti bekerja di tempat yang sangat baik dan bergaji besar karena jika tidak, mana mungkin akan sanggup membayar tempat tinggal yang jaraknya hanya tinggal selangkahan kaki saja dari Union Square?
Monika Fuun berasal dari Maluku. Dilahirkan 13 Desember 1956 di desa Sofianin kepulauan Tanimbar, tepatnya di sebuah pulau kecil bernama Fordate yang terletak di sebelah tenggara kepulauan Maluku. Desa kelahirannya terpencil sekali hingga saya kesulitan mencari keterangan mengenai daerah itu meskipun dibantu oleh tuan Google. Sebagai anak tukang kayu pasangan Theodorus Fuun dan Wilhelmina Bungaa, beliau telah terdidik hidup keras dan menjadi kuat. Sejak lulus SMP telah sangat terampil dan cekatan membantu ayahnya.
Saat umur 19 tahun pindah ke Jakarta bersama ketiga saudaranya dan kemudian diboyong ke kota Bogor bekerja di sebuah rumah makan. Hijrahnya ke Bogor inilah yang kemudian merubah perjalanan hidup Monika Fuun hingga akhir hayatnya. Sejak rumah makan tempatnya bekerja tutup setelah pemiliknya meninggal dunia, beliau mendapat pekerjaan baru di sebuah Apotik (toko obat) yang berlokasi di kota yang sama, hingga akhirnya tahun 1995 diajak ke Amerika oleh salah satu anak pemilik Apotik tersebut untuk membantunya mengurus keluarga dan merawat anak-anak mereka. Lama setelah bekerja membantu keluarga ini beliau memutuskan untuk mencari pengalaman baru. Dengan bantuan seorang teman akhirnya beliau berhasil mendapatkan pekerjaan di sebuah hotel/penginapan khusus yang merawat orang-orang tua yang terletak di tengah kota San Francisco. Dan atas kebaikan pemilik perusahaan tersebut beliau diijinkan menempati salah satu kamar di sana.
Dari cerita dan obrolan kami di dalam tenda sepanjang siang hingga sore itu menjadikan saya paham mengenai apa yang dikerjakan selama kedatangannya di Amerika. Dengan status keimigrasian yang tidak jelas, keterbatasan bahasa dan pendidikan yang menurut beliau sama sekali tidak dapat diandalkan untuk mendapat pekerjaan dan hidup layak telah membuatnya lebih kuat dan tahan banting. Keyakinan diri dan penyerahan jalan hidupnya kepada Tuhan telah membawanya pada sebuah keajaiban akan berkat berkelimpahan dari Allah yang memampukannya melewati segala rintangan dan mendapatkan apa yang menurut beliau sudah lebih dari cukup. Berkat dari harapan sederhana yang beliau inginkan untuk menjalani kehidupan seorang diri di Amerika sudah diterima. “Tuhan itu baik sekali. Semua yang saya minta dalam doa selalu dikasih, Saya mau terima kasih sama Tuhan. Pengen melayani dan selalu kasih waktu untuk Dia,” jelasnya ketika saya tanyakan mengapa sering terlihat di gereja Union City sementara beliau tinggal di San Francisco.
Monika Fuun selalu hadir di tiga wilayah misa WKICU setiap bulan, San Francisco, Santa Clara dan Union City. Bahkan beliau masih menyempatkan diri hadir di misa Minggu keempat bersama KKI Sacramento…..belum lagi beliau selalu muncul dengan semangat tinggi di beberapa undangan acara doa Rosario, Persekutuan Doa, dan kegiatan religius lain tanpa perduli jarak yang membentang menghadang. Perjuangan dan dedikasinya menunjukkan komitmen akan cinta dan rasa syukur kepada Tuhan yang hanya dapat beliau lakukan lewat WKICU. Niat adalah api yang membakar, dan perjuangan sebagai perwujudannya. Beliau mengajarkan kepada saya dan juga kepada kita bagaimana seharusnya melayani Tuhan sekaligus mencintai komunitas ini. Mungkin saya terbiasa bersembunyi dibalik alasan-alasan ketidak mampuan, tidak ada waktu, dan sifat terbiasa dilayani hingga niat yang seharusnya ada di dalam diri terkubur dalam-dalam, tinggal tunggu waktu sampai akhirnya mengikis cinta….
Di tenda berukuran kurang lebih 8 x 10 feet itu saya asyik mendengarkan rangkaian rasa syukur yang meluncur tanpa hambatan dari mulutnya. Tanpa beban kisah demi kisah terus mengalir. Saya tidak melihat ada rasa sombong dan sikap merasa hebat. Tertangkap semua tutur cerita dan ujaran kata yang keluar dari mulutnya penuh ketulusan. Takjub atas segala penyertaan Tuhan dan terjawabnya semua doa-doa serta harapan. Harapan dalam ujud permohonan yang begitu sederhana untuk hanya bisa diberi tempat tinggal dan berteduh, mendapatkan makan, diberi waktu luang untuk melayani, dan kemampuan menyimpan sedikit uang lebih sekedar membantu keluarga di kampungnya. Dengan wajah serius sambil menatap ke luar tenda sempat terucap keinginannya membantu menyekolahkan seorang keponakannya. Keinginan dari keterbatasan dan kesederhanaannya yang menyentuh hati. Suara gamelan yang dimainkan oleh para bule dari tengah panggung menambah suasana perbincangan kami. Ada nuansa magis tercipta yang mengingatkan ujaran; Ketulusan datang dari dasar hati yang paling dalam…..jika hati seumpama lautan dalam, ketulusan bersemayam di dasar sana. Kita harus sanggup dan mau turun menyelam ke bawah dan terus ke bawah, merendahkan diri dan hati kita serendah-rendahnya agar dapat menyentuh, merasakan dan sampai ke sana. Jangan biarkan tubuh, ego dan kesombongan mengangkatmu kembali ke atas.
Tante Monik orang yang selalu mencari Tuhan dan berusaha dekat denganNya. Dengan segala keterbatasan, beliau telah menyentuh lini setiap sudut ruang hati kita. Rasa gerah dan tidak senang akan sikapnya yang sering kita salah artikan mampu merubah suasana hati menjadi rasa nyaman, tenang dan aman ketika bekerja dan berada di sekitarnya. Seperti apa yang pernah dirasakan oleh Imman, keponakannya yang tinggal di LA, “Personally, growing up in Bogor with her I always felt safe when she is around for she is strong and brave and very protective of us as children at that time. And I know she loved us her nephew, she always remember to called each of us on our birthdays and even on our wedding anniversary. So very thoughtful of her.”
Monika Fuun telah pergi meninggalkan kita semua dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dua hari sebelum beliau meninggal dunia, saya mendapat sms dan pesan wa dari beberapa umat yang bertanya tentang keberadaannya. Beliau yang tidak pernah absen dari acara-acara religius tiba-tiba menghilang tanpa pesan. Tak ada sms atau whatsapp yang terkirim darinya. Handphone yang tak pernah lepas dari tangannya juga diam seribu bahasa tanpa pernah menjawab panggilan. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya dimana rutinitas kesehariannya adalah memberi perhatian melalui kiriman doa dan renungan lewat pesan whatsapp. Menelpon saya dan beberapa teman lain untuk minta bersama-sama mendoakan kesembuhan salah seorang umat atau seseorang yang dekat dengannya. Mengingatkan akan ulang tahun dan tahbisan para Romo, juga selalu menawarkan diri untuk membantu acara-acara WKICU tanpa kita minta.
Tengah malam di bulan November tahun 2019 usaha pencarian berhenti setelah mendapat kabar beliau ditemukan tergeletak di dalam kamarnya dalam keadan sudah meninggal dunia. Kabar itu menyengat kesadaran tentang betapa tipis dan dekatnya sebuah kematian pada diri kita. Dimensi ruang antara hidup dan mati bagai sebuah jaring internet yang tak terlihat namun mampu memindah partikel pesan ketempat yang jauhnya ribuan, bahkan jutaan kilometer dengan tertekannya tombol send sekejapan saja. We are a messenger, saya pernah dengar ungkapan itu. Hidup membawa pesan yang akan kita goreskan ….jika nanti pada gilirannya tombol send kita itu tertekan, pesan apakah yang sudah dan akan kita tulis agar tersurat di layar kehidupan?
Saya termenung di sudut rumah sambil menatap sebuah meja kecil yang sengaja tersedia khusus untuk menaruh sebuah box berisi urn----tempat berbentuk kendi yang di dalamnya bersemayam abu kremasi Tante Monik. Di luar rumah suasana muram dan sepi. Hanya suara kicau burung dan angin bertiup lamban yang tak mampu menggerakkan daun-daun di pepohonan sekedar melambai pelan untuk mengucap salam perpisahan. Saya nyalakan dua batang lilin kecil di samping kanan-kiri sebuah photo. Photo almarhumah yang sedang tersenyum bahagia berdiri persis di depan box berisi urn itu. Ada seuntai Rosario berwarna biru kesayangan beliau yang selalu menemaninya setiap saat masuk ke dalam doa, baik di rumah ataupun di dalam kendaraan umum yang menjadi alat transportasinya setiap hari. Salib Yesus dan patung Bunda Maria mengapit abu jenazahnya dengan rapih.
”Suatu hari nanti saya pasti nginep di rumah kamu,” katanya saat menolak halus tawaran saya untuk menginap. Masih teringat jelas kedatangan beliau bersama romo-romo tamu yang dihantarnya ke rumah saya menginap satu hingga dua malam dalam program “romo tamu” WKICU sebagai usaha membantu memimpin misa karena ketiadaan romo. Sungguh tak mengira kamu memenuhi janji itu setelah menjadi abu. Tak juga menyangka bahwa usaha kamu yang tak kenal lelah mengajak umat datang ke misa San Francisco akhirnya menjadi nyata. Lebih dari 200 orang telah berbondong ikut misa, meski itu untuk menghadiri misa pemakamanmu. Misa pemakaman yang megah dan indah di St. Ignatius Church, San Francisco telah Tuhan Yesus sediakan menghantar kepergianmu ke rumah Bapa.
Sabtu pagi hari kedua, keponakan beliau datang menjemput abu jenazahnya. Pertemuan hangat dengan sang keponakan (Imman dan istrinya) mengalirkan cerita dan kenangan baik tentang seorang tante yang sangat dicintai oleh keluarga dan saudara-saudaranya. Terlontar kabar hari itu bahwa harapan yang pernah beliau katakan di dalam tenda telah terlaksana. Suri, keponakan perempuannya di Indonesia telah berhasil disekolahkannya hingga bangku kuliah. Imman dan istrinya pamit pulang tak lama berselang dan mengatakan akan mampir dahulu menikmati pemandangan sepanjang pantai Monterey sebelum perjalanan kembali menuju Los Angeles. “Istri saya ingin jalan-jalan kesana.” Kata Imman. Bagai tersengat listrik mendengar itu saya berujar dalam hati, “Oh Tante…..indah betul cara Tuhan membalas ketulusan dan kesederhanaan cintamu.” Betapa Tante Monik sangat menyukai indahnya pantai Monterey hingga selalu menyarankan saya untuk membawa para romo yang menginap di rumah untuk pelesir ke sana. “Saya suka sekali ke Monterey. Pemandangan pantainya sungguh indah. Nggak pernah bosen saya!” Katanya menjelaskan ketika saya tanya mengapa harus selalu pergi ke sana?…………sudah menjadi abu-pun kamu masih diberi kesempatan menikmati pantai kecintaanmu.
Menyadari apa yang barusan saja terjadi, ketika melihat mobil keponakannya itu menghilang di tikungan jalan saya tergesa masuk rumah. Meraih handphone di atas meja. Teringat pesan terakhirnya yang terkirim satu minggu sebelum beliau meninggal yang isinya pesanan gado-gado dan telur balado untuk acara rekoleksi para suster Putri Carmel. Jempol ini dengan cepat mengetik kata, “Terima kasih tante! Saya akan pastikan tidak ada yang mengganti menu pilihan ini.” Jempol menekan tombol send…..Terkirim! Entah siapa yang membaca pesan balasan itu di hp-nya. Saya hanya ingin menambah terwujudnya satu keinginan beliau, dari sekian banyak permintaan dan keinginannya yang secara ajaib telah terpenuhi.
Sambil merapihkan kembali meja kecil, lilin, Salib Yesus dan patung Bunda Maria bekas tempat meletakkan box berisi urn tadi pikiran saya terbang mengembara. Ada rasa damai nan membahagiakan ketika membayangkan Tante Monik sedang bergandengan tangan berjalan di sepanjang pantai Monterey bersama sosok tubuh seseorang yang dibalut cahaya benderang. Mereka berjalan mesra beriringan, sesekali terlihat menari lincah….deburan ombak mengiringi lamat-lamat sebuah lagu riang yang terbawa angin pantai,
Maumere da gale kota Ende
Pepin gisong gasong
Le'le Luk Ele Rebin Ha
La Le Le Luk Si La Sol
Mi Fa Mi Fa Sol Le'le Tiding Fa Fa
Rebing Mude Mi
Do Do Do Do Mi Do Mi Do Gemu Fa Mi Re
Ele le ... Ele le...
Putar ke kiri e...
Nona manis putarlah ke kiri
ke kiri ke kiri ke kiri
dan ke kiri ke kiri ke kiri
ke kiri manis ee...
Sekarang kanan e...
Nona manis putarlah ke kanan
ke kanan ke kanan ke kanan ke kanan
dan ke kanan ke kanan ke kanan
ke kanan manis ee..