Romo Stefanus Hendrianto, SJ
Aktivis pro-demokrasi Indonesia yang menjadi seorang imam Jesuit.
Aktivis pro-demokrasi Indonesia yang menjadi seorang imam Jesuit.
Romo Stefanus Hendrianto pernah berada di antara kelompok mahasiswa yang terlibat dalam gerakan pro-demokrasi di Indonesia pada tahun 1998 yang akhirnya menjatuhkan rezim otoriter Suharto setelah 32 tahun memerintah dengan tangan besi.
Dia adalah seorang mahasiswa hukum Universitas Gajah Mada di Yogyakarta yang bergabung dengan gerakan mahasiswa dalam protes anti-Suharto. Hendrianto saat itu bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik, salah satu kelompok oposisi utama rezim Suharto. Tak lama setelah jatuhnya Suharto, yang menandai awal era reformasi, Hendrianto memilih untuk mengasingkan diri dari aktivisme dan melanjutkan studi hukumnya di luar negeri.
Sebuah keputusan yang akan membawanya ke cara hidup yang sama sekali berbeda - kehidupan seorang imam. Dia menggambarkan perubahan dalam cara hidupnya sebagai "sebuah misteri" dan sepenuhnya tidak direncanakan.
"Ketika saya masih kecil dan tinggal di Indonesia, niat saya sama sekali bukan untuk menjadi seorang imam," katanya kepada ucanews.com.
Setelah tumbangnya Suharto, Hendrianto memilih untuk mengejar gelar master dalam bidang hukum di Universitas Utrecht di Belanda, sementara rekan-rekan aktivisnya tetap memilih untuk menempuh jalur politik. Setelah mendapatkan gelar, ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai peneliti hukum untuk Kantor Dana Moneter Internasional di Jakarta.
Sekembalinya ke Indonesia, Hendrianto tetap merasakan ada yang kosong dalam kehidupan dan dia mencoba mencari jawaban atas makna kehidupan dengan memutuskan untuk melanjutkan program doktor di University of Washington Law School di Seattle. Di sana, katanya, perjalanan hidupnya berubah, terutama setelah interaksinya dengan Mudika Seattle.
"Mereka banyak membantu saya dalam perjalanan iman saya dan akhirnya menuntun saya ke imamat," katanya.
Hendrianto mengatakan bahwa benih panggilan imamat tumbuh lebih kuat ketika dia menjadi aktif di UW Newman Center yang dikelola oleh para Romo Dominikan. Akan tetapi Dominikan hanya menanam benih panggilan dan Yesuit yang memetik hasilnya. Suatu hari, UW Newman Center mengadakan acara diskusi tentang iman Katolik dan filsafat politik, dibawakan oleh Imam Jesuit Fr. Robert Spitzer, yang waktu itu adalah presiden Universitas Gonzaga. Diskusi tersebut memiliki pengaruh yang sangat dalam bagi panggilan Hendrianto.
"Pada waktu itu, saya pikir, jika saya ingin menjadi seorang imam, harus seperti Fr. Spitzer," katanya.
Namun, itu bukan pertemuan pertamanya dengan para Jesuit. Selama di Indonesia, ia sering menghabiskan waktu di paroki-paroki yang dilayani oleh para Jesuit.
"Ketika saya masih belajar di Universitas Gajah Mada, saya selalu menghadiri Misa Mingguan di kapel Universitas Sanatha Dharma, yang dilayani oleh para Imam Jesuit," kenangnya di ucanews.com. Setelah pindah ke Jakarta, ia menghadiri Misa di Gereja Kathedral Perawan Maria diangkat ke Surga, yang juga dilayani oleh para Imam Jesuit.
Pada tahun 2009, setelah menyelesaikan gelar doktornya, ia memasuki novisiat Jesuit di Amerika Serikat. Setelah mengucapkan Kaul Pertama pada tahun 2011, ia belajar filsafat di Universitas Loyola, Chicago. Setelah pendidikan filsafat dia menjalani Tahun Orientasi Kerasulan dengan mengajar ilmu hukum dan ilmu politik di Universitas Santa Clara yang dikelola Jesuit di California. Setelah menyelesaikan Tahun Orientasi Kerasulan dia menghabiskan waktu selama satu tahun untuk melakukan penulisan dan penelitian di Institut Kellogg untuk Studi Internasional di Universitas Notre Dame. Pada tahun 2016 dia mulai menempuh pendidikan teologi di Boston College, di mana ia meraih dua gelar Master dalam bidang Keilahian (Master of Divinity) dan Teologi (Master of Theology).
Romo Hendrianto ditahbiskan pada tanggal 8 Juni, 2019 bersama empat Jesuit lainnya di Gereja Our Lady of La Vang di Portland, Oregon. Uskup Agung Portland, Alexander Sample, memimpin Misa Imamat. Romo Hendrianto ditahbiskan sebagai Imam Yesuit dari Provinsi Serikat Yesus Amerika bagian Barat (Jesuits West), yang meliputi negara-negara pantai Barat Amerika Serikat ditambah Alaska dan Hawaii.
Mengingat kembali saat menjadi aktivis mahasiswa, Hendrianto mengatakan itu adalah bagian dari proses sebagai seorang pemuda, yang “idealis dan naif.” Sebagai seorang pemuda, ia merasakan panggilan untuk mengubah dunia dengan bergabung pada gerakan politik mahasiswa, tetapi gagal menunjukan kepada pencarian spiritualnya.
"Hati saya dipenuhi dengan hasrat balas dendam, kemarahan dan kepahitan," katanya. "Semua hal ini membuat hidup saya kosong. Pada prinsipnya, jiwa saya seperti berada di ladang yang kering, tandus dan tanpa air."
Dia mengatakan meskipun dia menjadi seorang Jesuit terlambat dalam hidupnya daripada kebanyakan anak – anak muda lainnya, dia telah menemukan bahwa spiritualitas Ignasian menjawab apa yang selama ini dia cari. Dia bahkan menemukan kesamaan antara dirinya dengan St. Ignatius dari Loyola.
"Jika Anda melihat pengalaman hidup Santo Ignatius dari Loyola, ia juga memutuskan terlambat untuk menjadi seorang imam dan kemudian mendirikan Serikat Yesus."
"Santo Ignatius harus kembali ke sekolah dan belajar bahasa Latin bersama dengan orang yang lebih muda. Saya juga kurang lebih sama dan belajar filsafat dengan mahasiswa generasi milenial," jelasnya.
Meski demikian dia berkata "Saya bangga karena itu berarti saya berjalan di jalan yang sama dengan Santo Ignatius."
{Tulisan di terjemahkan dan disadur dari essay yang dipublikasi UCANews dengan judul Indonesian prodemocracy activist becomes a Jesuit priest, pada tanggal 1 Agustus 2019}
Dr. Hok Kan Lim
Mengenal Dr. Hok Kan Lim layaknya mengenal tokoh-tokoh besar lainnya.
Seorang peneliti berjiwa Indonesia dengan visi besar dan iman Katolik yang kuat.
Dokter penggagas komunitas WKICU
Sosok sederhana dan murah senyum ini adalah seorang dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Lahir di Banjarmasin, 23 November, 1934 dan besar di Samarinda, Kalimantan. Menamatkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Bandung, dan kemudian hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi, Universitas Indonesia. Hok Kan muda berhasil meraih Master of Science dan mengajar sebagai asisten dosen di fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
Sebagai orang muda yang berpendidikan tinggi, Dr. Hok Kan Lim memiliki idealisme yang sangat kuat. Beliau sangat tertarik dengan bidang penelitian dan tidak berniat menjadi seorang dokter praktek seperti kebanyakan teman-teman se-profesinya, “Waktu itu profesi seorang dokter sangat menjanjikan dan dapat menghasilkan banyak uang. Sebagian besar teman-teman saya hidup makmur. Tetapi saya tidak tertarik dengan itu. Saya ingin menjadi seorang peneliti, khususnya penelitian bidang parasitology,” jelasnya.
Tahun 1961 Dr. Hok Kan Lim memutuskan untuk menikah dengan gadis pujaan bernama Grace Khouw. Tiga tahun kemudian (1963) beliau pindah ke Bandung karena mendapat pekerjaan menjadi dosen fakultas kedokteran di Universitas Padjadjaran, Bandung. Selama mengajar dan bergabung dalam project-project penelitian mengenai parasitology, hasrat untuk menjadi seorang peneliti kian memuncak tak terbendung. “Menjadi seorang peneliti di Indonesia saat itu sangat sulit. Kita harus memiliki uang yang banyak atau paling tidak ada orang yang mau mensponsori. Pemerintah Indonesia belum berpikir ke situ. Peluang lebih banyak terbuka di Eropa atau Amerika. Mereka lebih membutuhkan banyak peneliti,” begitu penjelasannya.
Antara hasrat, cita-cita dan kenyataan sepertinya bertolak belakang. Keadaan tidak berpihak kepada Dr. Hok Kan Lim pada saat itu sampai di tahun 1965 beliau mendengar kabar bahwa imigrasi Amerika membuka peluang kepada orang-orang non Eropa untuk tinggal dan menetap di Amerika. Keputusan dibuat dan ditandatangani oleh presiden Amerika saat itu, Lyndon B Johnson. Keputusan menetapkan 6 persyaratan utama yang salah satunya adalah memberikan kesempatan kepada para profesional. Waktu itu banyak sekali para professional dari Indonesia yang mencoba mengambil kesempatan. Engineer (insinyur), dokter, tenaga ahli medis dan juga dari berbagai profesi lainnya. Akan tetapi, keputusan imigrasi itu tidak hanya mengutamakan profesi. Ada persyaratan dan ketentuan lain yang harus dipenuhi para imigran seperti, keharusan memiliki sponsor, bukti memiliki pekerjaan di Amerika, dan berapa banyak uang yang dimiliki pada saat mengajukan visa. Para dokter biasanya sudah mendapat tawaran pekerjaan dari rumah sakit - rumah sakit lokal, dan para engineer (insinyur) banyak yang mendapat sponsor dari gereja-gereja. Sementara Dr. Hok Kan Lim yang idealis hanya memiliki ilmu dan keahlian sebagai dokter peneliti, bukan seperti kebanyakan rekan-rekannya yang memiliki banyak uang dengan menjadi dokter di rumah sakit, klinik, dan praktek di rumah.
Dengan keyakinan dan harapan besar surat pengajuan imigrasi itu tetap dikirim. Sembilan bulan lebih tidak ada kabar berita. Kembali Dr. Hok Kan Lim mengalami kebuntuan dan ketidak yakinan. Sang istri, Grace tidak mengenal lelah dan terus berusaha memperjuangkan keinginan suaminya. Grace saat itu bekerja dan membantu di kepanduan International School yang banyak kedatangan suster-suster berkebangsaan Amerika yang melakukan volunteer disana. Usaha melobi dan meminta bantuan dari para suster itu akhirnya membuahkan hasil. “Sebenarnya waktu Grace meminta bantuan sponsor dari para suster itu, tidak ada satupun yang sanggup….tetapi dari sana kemudian sebuah mukjizat datang. Beberapa lama setelah itu seorang nyonya mendatangi istri saya dan menanyakan mengenai keinginan kami untuk pindah ke Amerika. Saya bahkan tidak kenal dan tidak tahu nama nyonya itu. Dia memberikan alamat kepada istri saya dan menyuruh istri saya menghubungi seseorang yang dapat membantu,” katanya mengenang.
“Saat itu istri saya langsung memacu scooter nya ke alamat yang diberikan sang nyonya. Dan ternyata itu alamat seorang pastor berkebangsaan Amerika bernama Eugene Linch,” sambungnya. Dari father Eugene ini kemudian mereka direkomendasikan kepada seseorang yang bekerja di Kedutaan Amerika, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, dan akhirnya berhasil mendapat visa.
Mereka kemudian hijrah ke Amerika tahun 1966. Dr. Hok Kan Lim melanjutkan sekolah kedokterannya di UC Berkeley dengan meraih gelar PhD (1967-1970). Beliau kemudian lanjut mengambil gelar MD dari University Of California San Francisco (UCSF) untuk bidang Comparative Pathology. Pathology/Parasitology (1974-1976). Selama tiga belas tahun bekerja di tempatnya bersekolah, UCSF sebagai Associate Research Parasitologist (1966 - 1979), dan enam belas tahun bekerja di rumah sakit sebagai Chief, Pathology Service (1982 - 1998).
Dr. Hok Kan Lim adalah seorang tokoh besar yang memiliki pandangan luas, nasionalisme tinggi dan sangat taat beragama. Sosoknya yang ramah dan bersahaja, profesinya sebagai dokter dan aktifnya beliau dalam setiap acara kumpul-kumpul orang Indonesia menjadikan dirinya tokoh panutan bagi masyarakat Indonesia di California, khususnya Bay area. Dalam kesempatan wawancara dengan media Kabari, sebuah media Indonesia yang terbit di Amerika, beliau sempat bercerita, “Keberadaan saya di Amerika ini bukan karena tekanan, rasa diabaikan atau diusir dari negara Indonesia. Selama lebih dari 30 tahun saya memperoleh pendidikan dan hidup nyaman di sana. Saya sangat berterima kasih kepada Indonesia untuk itu….,” ujarnya dengan lugas. “Dan sebagai seorang Katolik saya meyakini bahwa hidup ini untuk berbagi dan saling melayani demi kemuliaan Tuhan yang lebih besar,” tambahnya lagi.
Tahun 1998 sang istri, Grace Khouw terdiagnosa penyakit cancer dan meninggal pada tahun 2006. Dari perkawinannya itu Dr. Hok Kan Lim dikarunia dua orang putra dan satu orang putri. Saat ini Dr. Hok Kan Lim tinggal bersama anaknya di Castro Valley…..
Mengenal Dr. Hok Kan Lim layaknya mengenal tokoh-tokoh besar lainnya. Sosok yang selalu mau berbagi pengalaman dan dapat menerima pemikiran-pemikiran orang lain dengan arif. Perhatian dan kecintaan terhadap anak-anaknya telah dibagikan juga kepada sesama orang Indonesia. Salah satu ujud nyatanya adalah dengan mendirikan komunitas Warga Katolik Indonesia California Utara (WKICU). Ujud nyata dari sebuah visi besar seorang peneliti yang berjiwa Indonesia dan memiliki iman Katolik yang kuat.
Dr. Hok Kan Lim pernah menuliskan dalam catatannya mengenai sejarah berdirinya WKICU yang mampu bertahan sampai saat ini.
(kontributor artikel Hanafi Daud —-Bahan diambil dari beberapa sumber)
Catatan asli Dr. Hok Kan Lim:
Indonesians started to emigrate to USA in large numbers in the early 1970’s. A new USA immigration act was signed by President Johson in 1965. This allows more non-European citizens to settle in America. The new law categorized prospective immigrants into 6 preferences. For example, the third preference is for professionals. Many engineers, doctors, dentist, pharmacist from Indonesia came over under this category. Beside eligibility, they needed to fulfill one of 3 requirements: proof of having a job in the US, or sponsorship, or much money before the visa were issued. Doctors usually came with job offers from local hospitals, engineers mostly were sponsored by a church.
My guess is that since that over 10.000 Indonesians emigrated to USA. About 75% were Christians, half of them Catholics. California was the preferred state, mostly because of the good climate and job availability around Los Angeles and San Francisco. Also settling down in California were many Indo-Belandas. When the free Indonesian Republic was established in 1945, about ¼ million Indo-Belandas were returned to Holland. Through some special agreement between Holland and USA, many of them settled in America.
The Indonesian Protestants in California started to organize early on. The Catholic Indonesians around Los Angeles established their KKIA (Keluarga Katolik Indonesia Amerika) in the 1980’s. This group expanded quickly, and at one time had over 1.000 members. Their elders encouraged the Catholic Indonesians in Northern California to organize also. But locally their was little enthousiasm. We in North California were quite comfortable with the local churches.
Sometime in mid summer 1991, I received a call from Dr. Tango, an elder of KKIA. “Would you like to have a faith renewal in your community?” A famous Capuchin priest from Medan will spend a few months in L.A., specially to encourage and renew the faith among the Indonesian Catholic community. KKIA would like to send him up North…would we be interested? I asked around. And again met with indifference and apathy, until I talked with an old friend, Oey Hock Chuan. He was very supportive. Then we gathered a few other friends, like Wisnu Wirawan, and sent out invitations.
The first mass was at St. Joanne d’Arc in San Ramon on November 16, 1991. Romo Victor Tobing OFM came, with Monsignor John Liku Ada, bishop of Ujung Pandang, and about 40 friends from KKIA. About 40 Bay Area Indonesian Catholics came. The next day local attendance had increased. During the masses and meetings, many friends from L.A. gave witness, eg the Tango family, mr. and mrs. Herkata, Sanjaya family. Henry Sanjaya came with a band of about 10 musicians. After the first mass I invited everyone to our house in Yountville (Napa area) for dinner and fellowship. After the second mass we gather in the church hall, and there persuaded someone to maintain the bond and organize the group for future regular meetings. After much efforts we manage to have Arie Go to accept the task. He established a small committee, and we planned for regular meetings.
Struggling years 1992-1997.
After a committee was formed to developed and maintained the bond among Bay area Indonesian Catholics headed by Arie Go, we encountered two immediate problems. One was to find a church that will allow us to come together and celebrate mass. And another was to find a priest sympatethic to our cause.
The first few gatherings we had were at various local churches, thanks to different members requesting their local pastors, who also celebrated mass with us. And then we managed to get commitment from the University of San Francisco to hold regular meetings al Lone Mountain church. Father Ruland took pity on us.
And the Lord sent us a guardian angel…in the disguise of Sister Felicia Sarati, CSJ. She was head of the ethnic group of the Diocese of Oakland and with encouragement of bishop John Cummins, was building a multi-diversity group. She attended several of our committee meetings and also provided us with some cash funds. With her assistance we were able to use several churches in the area for our regular meetings. We also participated with various multi-diversity activities of the diocese, like the annual Chautauquas, Diocese Jubillee, bishop Cummins birthday and other unter-group celebrations.
In 1993 bishop Cummins officially installed and blessed our leadership during mass at the Mother Seton community center in Pleasanton. Also present were the Indonesian Consul General and his staff. At that time time Oey Hock Chuan was our chairman. And fortunately we also had our first Indonesian priest, Romo Ismartono SJ. Romo Is was on sabbatical and studied at the GTU in Berkeley.
The Lord also blessed us with another priest, Romo Subroto SJ, another Jesuit who also was on sabattical at GTU. After that, three other Jesuits took up residence in Berkeley, Romo Hartono Budi, Romo Deshi Ramadhani and Romo Mutiara Andalas. They nourished our community, each for about 5 years. And all succeeded with their doctoral study and returned to Indonesia. Under their spiritual guidance WKICU expanded and flourished.
Romo Mangun yang Saya “Kenal”
Entah saya sadari atau tidak, dalam sosok Romo Mangun saya melihat sosok Yesus yang hadir membela orang – orang miskin dan menderita.
Oleh: S. Hendrianto, SJ
Saya pertama kali mendengar nama Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau yang biasa dikenal sebagai Romo Mangun, ketika duduk di bangku SMA. Ketika itu dalam kelas Bahasa Indonesia, guru saya meminta kami membaca beberapa paragraf dari karya beliau Burung–Burung Manyar. Sebagai anak SMA yang masih naif dan bodoh, saya tidak tertarik untuk membaca buku tersebut secara lengkap. Karena kita hanya ditugaskan membaca beberapa paragraph, saya pun berhenti disitu saja.
Di samping kelas Bahasa Indonesia, saya juga mendengar nama Romo Mangun dari kelas Agama Katolik ketika guru saya menceritakan bagaimana Romo Mangun mengancam mogok makan untuk membela orang-orang di Kali Code yang terancam akan digusur oleh pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sehubungan dengan normalisasi sungai. Waktu itu beliau sudah punya nama besar sebagai seorang rohaniawan Katolik, intelektual publik yang disegani, dan sebagai mantan anggota Tentara Pelajar yang terlibat dalam revolusi. Oleh karena itu pemerintah DIY pun berpikir dua kali sebelum menggusur warga di pinggiran Kali Code. Cerita itu cukup berkesan bagi saya karena ada seorang sosok Rohaniawan Katolik yang berani berpihak pada orang-orang kecil dan menderita.
Pada saat yang sama, nama Romo Mangun menjadi perbincangan nasional karena beliau adalah tokoh yang mendampingi warga Kedung Ombo yang menuntut ganti rugi lebih layak atas tanah mereka yang digusur demi pembangunan waduk. Waduk Kedung Ombo mulai diairi tahun 1989 dan diresmikan oleh Soeharto pada tahun 1991. Pada waktu itu banyak mahasiswa yang ikut mendukung Romo Mangun, baik dengan turun langsung membantu beliau ataupun berdemonstrasi di jalanan, khususnya para mahasiswa di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada tahun 1992, saya pindah ke Jogja untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum UGM. Karena saya baru tiba di Jogja setelah kasus Kedung Ombo mereda, saya tidak sempat menyaksikan dari dekat aksi demonstrasi mahasiswa yang menentang pembangunan Kedung Ombo itu. Akan tetapi cerita tentang Romo Mangun yang berani menghadapi militer yang diperintahkan untuk mengepung waduk itu dan bagaimana dia mendampingi warga yang bertahan hingga rumahnya tenggelam, menjadi legenda di kalangan mahasiswa baru seperti saya.
Sebagai mahasiswa baru yang mencari jati diri dan makna kehidupan, saya pun mulai membaca banyak bacaan di luar bangku kuliah. Ketika saya tiba di Jogja pada tahun 1992, Gramedia Pustaka Utama baru saja menerbitkan edisi pertama novel karya Romo Mangun yang berjudul Burung Burung Rantau. Saya pun tergerak untuk membeli dan membaca novel tersebut. Novel itu sangat menyihir saya karena berisi cerita tentang satu keluarga dimana setiap anggotanya memiliki suatu keunikan tersendiri dalam pemahaman filosofi kehidupan yang berbeda. Setting novel itu berpindah-pindah dari Jakarta, Jenewa, Yunani, India, dan Banda Neira. Filosofi sederhana dari novel ini adalah mengenai burung-burung rantau. Burung yang bisa terbang ribuan mil dari tempat asalnya, dari belahan bumi utara ke belahan bumi selatan, tapi pada akhirnya burung-burung tersebut akan pulang dan tahu di mana tempat asalnya.
Dari filsafat burung rantau ini kemudian Romo Mangun mencetuskan gagasan konsep generasi pasca Indonesia. Istilah ‘generasi pasca-Indonesia’ dicetuskan oleh tokoh utama dalam novel ini Marianeti atau Neti saat berdiskusi mengenai generasi dengan ayahnya. “Pasca artinya masih tetap sama sekaligus menjadi lain. “Papi di KTP ... berbangsa Indonesia, tetapi kan tetap orang Jawa yang suka wayang, alias manusia Indonesia pasca-Jawa. Pascasarjana kan tetap sarjana juga, tetapi meningkat.” Bagi Neti, kakaknya, Bowo, pakar fisika nuklir dan astrofisikawan yang bekerja di Jenewa, Swiss sebagai seorang pasca-Indonesia. Singkat cerita pasca-Indonesia berarti bersifat mengglobal tanpa kehilangan sifat lokalnya. Seperti yang dikatakan Neti “Pascanasional dan pasca-Indonesia tidak berarti kami bukan orang Indonesia lagi dan menjadi entah apa, tanpa identitas, tanpa kesadaran nasional, akan tetapi lihatlah kalian generasi tua dulu menjadi nasional, kalian bisa menjadi nasional pasca-Jawa atau tidak berhenti menjadi Jawa.”
Setelah selesai membaca buku tersebut saya pun mulai giat berburu buku – buku Romo Mangun, baik itu Novel atau buku non-fiksi nya. Saya melahap karya lainnya dari Romo Mangun seperti Di Bawah Bayang Bayang Adikuasa, Putri Duyung Yang Mendamba, Durga Umayi, dan tentunya tidak ketinggalan trilogi Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri. Belakangan saya baru membaca karya beliau Burung – Burung Manyar.
Di samping sibuk kuliah dan melanjutkan hobi saya membaca, saya pun mulai aktif dalam kegiatan mahasiswa, khususnya terlibat dalam pers mahasiswa. Ketika itu saya mulai aktif dalam majalah Mahkamah yang merupakan organ pers mahasiswa di Fakultas Hukum. Di samping aktif di pers mahasiswa, saya juga terlibat di Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK), akan tetapi saya merasa bosan dengan KMK karena kegiatan mereka biasanya hanya berdoa dan latihan koor. Saya juga kurang sreg dengan banyak anggota KMK yang seperti memandang rendah mahasiswa miskin seperti saya. Ditambah lagi karena bukan asli Jogja sehingga secara kultural cukup sulit bagi mereka untuk menerima saya. Pengalaman tidak berkesan dengan anggota KMK ini mengingatkan saya kepada Romo Mangun yang berkata bahwa “Negeri ini sungguh-sungguh membutuhkan pemberani-pemberani yang gila, asal cerdas. Bukan yang tahu adat, yang berkepribadian pribumi, yang suka harmoni, yang saleh alim, yang nurut model kuli dan babu.”
Suatu hari, seorang teman dari KMK meminta bantuan karena dia tahu saya sedang belajar menjadi reporter di pers mahasiswa. Teman ini ingin mewawancarai Romo Mangun untuk kepentingan bulletin gereja nya, dan tema yang ingin di angkat adalah masalah pendidikan dasar Katolik. Setelah hingar bingar Waduk Kedungombo mereda, Romo Mangun memfokuskan kegiatannya pada dunia pendidikan. Dia mulai membuat sekolah dasar dengan konsep yang membebaskan, bukan hanya sekedar membuat murid-murid menyalin apa yang ditulis guru di papan tulis dan membuat murid menjadi bebek. Saya pun dengan antusias mengulurkan bantuan membantu teman dari KMK itu untuk mewawancarai Romo Mangun. Meski saya baru belajar menjadi reporter, saya pikir ini adalah kesempatan unik untuk bisa bertemu dengan sosok yang sudah saya kagumi. Saya yakin kesempatan ini hanya datang sekali, jadi meskipun hanya seorang reporter amatiran, saya langsung saja memutuskan untuk maju mewawancarai Romo Mangun.
Pada suatu siang, saya dan teman KMK datang di kediaman Romo Mangun di Gang Kuwera dan mencoba untuk membuat janji wawancara dengan beliau. Ketika itu kita bertemu dengan seorang asistennya; dan kita pun terkaget kaget, karena asisten Mangun ini meminta kita kembali pada sore harinya karena kebetulan beliau ada waktu. Jadilah dalam waktu beberapa jam kita harus mempersiapkan diri untuk melakukan wawancara..
Sore harinya kita kembali ke Gang Kuwera. Dari luar rumah Romo Mangun yang memiliki seni arsitektur unik, jelas terlihat bahwa rumah tersebut memiliki atap dengan kemiringan yang tajam. Ketika kita masuk di ruang tamu yang terletak di sebelah kiri depan rumah, bisa terlihat ruangan dengan dinding bambu yang seperti dianyam. Setelah menunggu sebentar, kami pun melihat sosok Romo Mangun yang turun melalui tangga papan ke ruang tamu. Beliau memakai baju batik dan menyambut kami dengan ramah. Singkat cerita wawancara berjalan lancar, beberapa hal yang saya masih ingat dari wawancara sore itu adalah bagaimana Romo Mangun ingin menekankan pendidikan Bahasa kepada anak-anak miskin di sekolah eksperimen nya. Beliau berkata bahwa dengan penguasaan Bahasa yang baik, beliau berharap anak-anak didikannya bisa mengartikulasi pemikirannya. Meskipun banyak dari mereka tidak bisa kuliah di perguruan tinggi, paling tidak mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Semisal dengan menjadi awak kapal pesiar, mereka punya kebanggaan sendiri bisa berkunjung ke Rio de Janeiro.
Dalam kesempatan ini Romo Mangun juga menyesalkan Gereja Katolik yang seperti tidak terlalu peduli lagi dengan pendidikan dasar. Dia mengambil contoh IKIP Sanatha Dharma yang ketika memutuskan untuk berubah menjadi Universitas Sanatha Dharma. Beliau sangat menyayangkan keputusan tersebut yang menurut beliau menandakan bahwa Gereja sudah menomorduakan pendidikan dasar.
Yang paling menarik dalam wawancara itu adalah ketika kami menanyakan persoalan kemiskinan dan pendidikan dasar, jawaban beliau adalah, “Ya kalau mau mengatasi masalah kemiskinan di negeri ini, Soeharto harus turun dulu.” Statement ini tentu merupakan statement yang cukup berani pada masa itu karena Soeharto dan rezim Orde Baru masih bercokol kuat. Akan tetapi Romo Mangun bisa berani berkata seperti itu paling tidak karena dua hal. Pertama, Mangun muda pernah menjadi ajudan Mayor Soeharto dalam Batalyon X, yang mana tugasnya adalah sebagai sopir untuk mengantar makanan buat sang Mayor. Kedua, Romo Mangun mempunyai reputasi besar sebagai seorang intelektual publik dan rohaniawan Katolik yang dikenal dunia internasional. Jadi tentu tidak gampang bagi Soeharto untuk “menggebuk” mantan ajudannya semasa revolusi itu.
Kurang lebih satu tahun setelah wawancara dadakan dengan Romo Mangun, saya berkesempatan lagi untuk bertemu beliau. Ketika itu Majalah Mahkamah tempat saya aktif sebagai reporter memutuskan mengundang Romo Mangun menjadi pembicara dalam seminar buku membahas Kedung Ombo. Ketika itu Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi memutuskan bahwa pemerintah harus memberi ganti rugi Rp 9,1 miliar kepada 34 kepala keluarga yang menuntut ganti rugi kepada pemerintah karena tanahnya diambil bagi pembangunan waduk Kedungombo. Karena teman – teman di Mahkamah tahu saya pernah bertemu dengan Romo Mangun dan kebetulan rumah kos saya tidak terlalu jauh dari Gang Kuwera, maka saya pun ditugaskan untuk menemui dan meminta kesediaan beliau menjadi pembicara.
Malam tersebut setelah selesai kursus Bahasa Inggris, sambil berjalan pulang ke tempat kos, saya pun memutuskan untuk mampir ke tempat Romo Mangun. Tidak yakin apakah beliau dapat ditemui, tapi paling tidak saya bisa menitipkan surat undangan kepada asistennya. Ketika masuk ke halaman rumah, ternyata beliau sedang duduk di teras depan dan menerima dua orang wartawan yang sedang mewawancarai. Asisten Romo Mangun mempersilahkan saya masuk dan menunggu di teras. Kabarnya wawancara dengan wartawan sudah hampir selesai, jadi saya bisa sekalian menunggu dan bertemu beliau.
Sambil duduk saya pun mendengar bagian akhir wawancara. Romo Mangun bercerita tentang kondisi fisiknya yang mulai terbatas sejak di pasang alat pacu jantung beberapa tahun sebelumnya dan karena kondisi itu beliau harus sering kontrol ke dokter. Romo Mangun pun bercanda bahwa hidup dia setelah dipasang alat pacu jantung itu adalah bonus dari Tuhan agar dia bisa terus berbuat baik di dunia ini, “Ben masuk surga,” katanya sambil tertawa.
Setelah wartawan itu selesai dan pergi, giliran saya maju dan menjelaskan bahwa kita berniat mengundang beliau untuk menjadi pembicara dalam diskusi buku di Fakultas Hukum UGM. Beliau langsung menjawab bahwa saat ini sudah menghentikan aktivitasnya sebagai pembicara di berbagai seminar dan diskusi karena kondisi kesehatannya. Saya sendiri belum sempat menjelaskan tema diskusi tentang Kedung Ombo, tapi karena beliau sudah bilang tidak, ya mau bagaimana lagi. Saya pun kemudian berkata, “Baiklah Romo, saya menghargai keputusan Romo, akan tetapi kami sudah menyiapkan buku ini sebagai hadiah kepada Romo, jadi harap diterima.” Saya pun menyodorkan buku berjudul Seputar Kedung Ombo, yang diterbitkan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Setelah melihat buku tersebut sikap Romo Mangun pun berubah dan berkata, “Kenapa kamu tidak bilang-bilang ini soal Kedung Ombo?” Dalam hati saya bergumam, ya saya tidak sempat bilang apa-apa karena Romo langsung mengatakan tidak. “Baiklah, demi rakyat Kedung Ombo, saya bersedia tampil sebagai pembicara,” kata Romo Mangun. Setelah mencocokan tanggal dan waktu, beliau mengatakan kepada saya bahwa beliau minta dijemput di Rumah Sakit Panti Rapih pada hari tersebut karena sudah ada janji dengan dokter. Singkat cerita, seminar kita berjalan dengan sukses dan Romo Mangun mendapatkan standing ovation dari para peserta yang hadir.
Setelah seminar itu, Romo Mangun hilang dari perhatian saya. Pertama, saya sendiri mulai melahap buku-buku lain yang pada masa itu dianggap sebagai bacaan “subversif” oleh pemerintah Orde Baru. Kedua, saya sendiri mulai sibuk menceburkan diri dalam aktivisme mahasiswa, mulai dari berdiskusi sampai berdemonstrasi di jalanan. Kemudian tibalah Peristiwa 27 Juli 1996, ketika terjadi kerusuhan di Jakarta setelah terjadi konflik antara PDI pendukung Megawati dengan PDI abal-abal yang didukung oleh pemerintah. Kelompok yang didukung pemerintah berusaha mengambil-alih kantor DPP PDIP di jalan Diponegoro, Jakarta, yang berakhir dengan kerusuhan berdarah. Pemerintah Orde Baru menuduh sebuah partai kecil, yakni Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang didirikan oleh anak-anak muda dua minggu sebelum peristiwa berdarah itu, sebagai dalang semua kekacauan politik di Indonesia ketika itu. Militer bergerak dengan cepat menangkapi aktivis-aktivis PRD dan penangkapan pun dibarengi dengan perintah tembak di tempat.
Saya sendiri saat itu bergabung dengan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang merupakan organ kemahasiswaan PRD. Tapi bisa dipastikan bahwa militer tidak akan membedakan yang mana PRD dan yang mana SMID. Karena itu saya dan sejumlah teman-teman mahasiswa di Jogja pun segera memikirkan rencana penyelamatan diri. Seorang aktivis senior di Jogja, menyarankan agar kita meminta bantuan kepada Romo Mangun. Maka kami pun bertemu dengan beliau. Singkat cerita beliau berkata siap membantu; saya masih ingat ketika itu Romo Mangun memberikan analogi Presiden Panama Manuel Noriega yang lari meminta perlindungan di dalam Kedutaan Vatikan di Panama City ketika dikejar oleh tentara Amerika. Romo Mangun mengatakan bahwa sebagai Rohaniawan Katolik, dia harus selalu siap membantu. Kemudian beliau menambahkan, kalau ada Rohaniawan Katolik yang tidak mau membantu seharusnya mereka jangan menyebut dirinya Rohaniawan Katolik. Singkat cerita beliau menyembunyikan kami di beberapa tempat sampai situasi cukup aman.
Dua tahun kemudian pemerintah Orde Baru tumbang dan saya sendiri tidak sempat bertemu lagi dengan Romo Mangun, karena saya sudah terlanjur pindah ke Jakarta setelah lulus dari Fakultas Hukum UGM. Pada tanggal 10 Februari 1999, Romo Mangun meninggal dunia, ketika menghadiri kegiatan yang beliau hindari yaitu seminar bertemakan “Meningkatkan Buku Dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia,” yang diselenggarakan Yayasan Obor Indonesia, di Hotel Le Meridien, Jakarta. Kabarnya badannya limbung, nyaris jatuh di tengah acara seminar dan beliau meninggal dunia karena serangan jantung.
Sore itu saya pergi ke Gereja Katedral untuk melayat, tapi sampai di sana saya melihat sudah ada ribuan pelayat. Sementara hari sudah beranjak malam, dan saya pun merasa lapar. Karena tidak sabaran mengantri, saya pun memutuskan untuk keluar gereja dan memutuskan makan malam di Bakmi Gang Kelinci. Selesai makan, saya pun berniat kembali ke kos karena sudah merasa capek untuk kembali ke Katedral dan mengantri lagi. Saya pikir biar lah saya berdoa secara pribadi saja buat beliau. Entah mungkin karena tulah tidak menghormati Romo Mangun atau apa, keesokan harinya saya pun mengalami diare disertai mual dan muntah. Setelah berkali-kali ke toilet, akhirnya badan saya pun lemas. Mungkin saya keracunan makanan dari Bakmi Gang Kelinci atau mungkin juga itu merupakan pelajaran bahwa tidak selayaknya saya meninggalkan acara tuguran Romo Mangun demi mementingkan isi perut saya semata.
Dua puluh tahun setelah beliau meninggal, saya ditahbiskan menjadi seorang Rohaniawan Katolik. Meskipun tidak pernah mengenal Romo Mangun secara dekat, saya harus memberi kredit kepada Romo Mangun bahwa beliau adalah sosok seorang rohaniawan Katolik yang memberi inspirasi kepada saya untuk menjadi seorang Romo. Entah saya sadari atau tidak, dalam sosok Romo Mangun saya melihat sosok Yesus yang hadir membela orang-orang miskin dan menderita. Saya baru saja memulai perjalanan sebagai seorang Rohaniawan Katolik; untuk sementara saya adalah seorang Rohaniawan Katolik generasi pasca Indonesia, bak seekor burung rantau yang terus mengembara dan belum tahu kapan akan pulang.
Penumpang dan Bapak Tua
Hormatilah orang yang lebih tua
Seorang bapak tua yang saleh dan taat beragama berada di sebuah pesawat terbang dan duduk di samping seorang yang mengaku sebagai orang yang tidak beragama dan tidak percaya Tuhan.
Mereka dengan damai mengobrol selama perjalanan.
Sesekali, cucu bapak tua itu, yang duduk di baris kursi lain, datang kepadanya, membawakan sang kakek minum, dan bertanya apakah ia bisa mengambilkan sesuatu untuk membuatnya lebih nyaman.
Setelah ini terjadi beberapa kali, penumpang sebelah mulai bertanya sambil berkeluh, "Saya berharap cucu-cucu saya akan memperlakukan saya dengan hormat seperti itu. Mereka bahkan nyaris tidak menyapa saya. Apa rahasianya?"
Bapak tua itu menjawab: "Cucu-cucu saya berpikir, saya dua generasi lebih dekat dengan Adam dan Hawa, dua individu yang dibuat se-citra dengan Tuhan. Jadi mereka menghormati saya. Namun menurut filosofi yang Anda ajarkan... mungkin cucu anda berpikir Anda adalah dua generasi lebih dekat dengan monyet. Jadi mengapa mereka harus menghormati Anda?"
Ora Et Labora
Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.” (Matius 6: 33-34)
Ora Et Labora artinya berdoa dan bekerja
Dua hal penting yang harus kita lakukan dalam hidup ini. Tanpa bekerja kita tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup kita. Semakin banyak pekerjaan, kebutuhan, tekanan dan tanggungjawab yang menyelimuti kehidupan hari-hari kita hingga menghabiskan seluruh waktu yang ada. Apakah masih ada waktu tersisa untuk berdoa jika kita selalu hanyut dalam kesibukan itu? Yang muda terlalu sibuk belajar di sekolah dan di rumah, yang bekerja kantoran juga tenggelam dalam pekerjaan di kantor maupun di rumah. Belum lagi sisipan hiburan yang sering kita lakukan dengan browsing, bermain game atau aktif chat di social media. Masihkah tersisa peluang waktu untuk berdoa?
Apakah Anda semua merasakan sesuatu yang berbeda saat epidemi virus Corona ini? Dimana kita diminta tinggal di rumah saja, berjaga, belajar dan bekerja sambil berkumpul bersama keluarga. Keadaan ini memberikan hikmah yang besar kepada kita. Hikmah yang menyadarkan dan memberikan peluang untuk merenung. Hikmah yang datang dari banyaknya waktu yang kita miliki saat ini. Tidak perlu bermacet-macet menghabiskan waktu pulang pergi di jalan. Berkurangnya stres dan kelelahan dapat membantu kesehatan dengan meningkatnya kekebalan pada tubuh kita.
Dengan keadaan ini juga akhirnya kita menjadi lebih memperhatikan dan melayani anggota keluarga. Yang terpenting dan merupakan anugerah dan hikmah terbesar dari keadaan ini adalah tersedianya banyak waktu yang dapat kita isi dengan berdoa. Menyadarkan kita sebagai anak Allah yang perlu melayani dan berdoa kepada Allah Bapa yang sungguh mencintai kita. Marilah kita mendoakan diri sendiri dan semua orang tercinta agar terhindar atau sembuh dari virus Corona. Mendoakan dokter dan tenaga medis yang merawat dan melayani si penderita. Berdoa untuk kebijaksanaan dan kelangsungan jalannya pemerintahan negara dan gereja. Juga berdoa agar segera ditemukan vaksin dan obat Covid 19 ini sehingga saat New Normal, kita dapat berkumpul bersama lagi tanpa takut dan curiga.
Apa sih yang masih diharapkan pada akhir perjalanan jika nantinya semuanya akan kita tinggalkan? Janganlah ada kekhawatiran asal kita percaya, tetap setia dan beriman bahwa pasti ada keselamatan.
Renungkan ayat kitab suci Matius 6:33-34 berikut ini:
Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.”
-LL/ June 2020-
Kitab Suci
Menemukan Kitab Suci yang hilang
Seorang bapak tua yang saleh kehilangan Kitab Suci kesayangannya. Dia merasa sangat bersedih dan tidak yakin lagi bahwa Kitab Suci itu akan dia temukan
Tiga minggu kemudian, seorang anak mendekatinya sambil menyodorkan Kitab Suci dari tangannya.
Orang tua itu hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya.
Dia mengambil buku berharga itu dengan tangan bergetar seraya meneteskan air mata dan mengarahkan pandangan matanya ke langit sambil berseru, "Ini adalah sebuah keajaiban dari Mu Tuhan!"
"Tidak juga," kata sang anak dengan tenang, "Ada nama dan alamat Anda di sampul depannya."
Bagaimana Melawan Musuh Yang Tidak Terlihat?
Dalam doa, harapan kita akan terus dipupuk menjadi antibodi yang menghidupkan keadilan, amal dan solidaritas bagi dan bersama sesama dalam mewartakan kabar baik Kerajaan Allah.
"May we find within us the necessary antibodies of justice, charity and solidarity. We must not be afraid to live the alternative – the civilization of love" (Pope Francis).
Belum lama ini Paus Fransiskus menerbitkan sebuah buku: “Life after the pandemic.” Buku ini berisi delapan tulisan yang dibuat/disampaikan Paus terkait masa pandemi. Tanpa ragu, Paus Fransiskus menawarkan jalan keluar dalam menghadapi krisis iman yang terjadi karena adanya pandemi ini. Solusi untuk menanggulangi virus Covid-19 ini adalah melalui solidaritas dan doa. “Jangan takut,” tawaran alternatif ini merupakan peradaban cinta yang akan mengantar pada keselamatan.
Gerakan solidaritas adalah hal yang penting dalam melawan musuh yang tak terlihat. Dengan solidaritas, kita bahkan akan dimampukan melawan virus egoisme yang lebih mematikan dibanding Covid-19. Doa menjadi api baru yang senantiasa menyemangati kita dalam berharap dan berjuang melawan pasukan yang tidak kasat mata. Untuk itulah, persiapan diri menjadi penting. Doa menjadi senjata dan perisai kita dalam melawan dosa dan egoisme.
Kristus menjadi teladan nyata dalam cara kita berdoa; Kristus bukan saja berseru kepada Bapa, tetapi Dia juga menghidupi doa-Nya dengan tindakan nyata. Tidak hanya kasihan terhadap mereka yang kelaparan, tetapi mau memberi mereka makan; tidak hanya mendoakan yang cacat, tetapi juga memulihkan mereka dari kutuk yang melumpuhkan; terlebih tidak hanya mengeluh terhadap dosa kita, tetapi rela menebus dan menyelamatkan kita dengan wafat-Nya di salib.
Itulah sebabnya, kita diajak untuk berani berdoa secara benar sebagaimana Kristus. Melakukan/menghidupi apa yang didoakan dan mendoakan apa yang telah/sedang/akan dilakukan. Dengan berdoa, kita menunjukan kerendahan diri kita dihadapan Tuhan, sehingga tidak dipandang jahat sebagaimana raja Yoyakhin. Dalam doa, harapan kita akan terus dipupuk menjadi antibodi yang menghidupkan keadilan, amal dan solidaritas bagi dan bersama sesama dalam mewartakan kabar baik Kerajaan Allah.
Kontemplasi:
Bayangkanlah Allah yang bukan saja mendengar doa-doamu, tetapi juga mengajak anda untuk menghidupkan doa melalui tindakan nyata.
Refleksi:
Bagaimana anda berani melakukan apa yang anda doakan dan mendoakan apa yang anda lakukan?
Doa:
Ya Bapa, ajarlah kami untuk berani menghidupi doa-doa kami dengan tindakan nyata; sehingga melalui doa, solidaritas kami diperkuat dan kabar keselamatan dapat semakin dirasakan oleh banyak orang. Amin.
Perutusan:
Aku akan melakukan apa yang kudoakan dan mendoakan apa yang kulakukan.
– Rm. Antonius Yakin –
Sebuah Surat dari Romo Muda
Bisakah Kita Lebih Menghargai Sakramen Ekaristi Kudus?
Oleh: S. Hendrianto, SJ
Saya ditahbiskan pada tanggal 8 Juni, 2019 di Portland, Oregon dan setelah tahbisan saya mulai menjalani penugasan di California, khususnya saya ditugaskan untuk melayani Warga Katolik Indonesia di California Utara. Tulisan ini merupakan renungan singkat terhadap perjalanan saya mendampingi warga WKICU selama Sembilan bulan terakhir. Adapun tulisan ini tidak bermaksud untuk membanggakan diri ataupun menonjolkan diri sebagai seorang Romo muda yang serba tahu ataupun merasa benar sendiri. Saya juga menulis tulisan ini bukan untuk menunjukkan bahwa lebih suci dari yang lainnya. Adapun tulisan ini hanyalah untuk menjadi bahan perenungan untuk kita semua. Apa yang saya tuangkan dalam tulisan ini adalah berdasarkan apa yang saya pelajari dari bangku sekolah Teologi dan mungkin realitas di lapangan sangat berbeda.
Pada minggu pertama saya mulai menjalankan tugas mendampingi WKICU, the Pew Research Center mempublikasikan survei yang menunjukkan bahwa 70 % orang Katolik di Amerika Serikat tidak percaya bahwa Yesus benar- benar hadir dalam wujud roti and anggur dalam Ekaristi Kudus. Bagi orang-orang tersebut, roti and anggur yang digunakan dalam Ekaristi Kudus hanyalah simbol semata. Saya mengangkat tema ini dalam khotbah saya yang pertama di St. Justin Church di Santa Clara. Ketika saya menanyakan ini kepada umat, apakah ada yang mendengar, ada yang secara bergurau mengatakan bahwa itu hanyalah fake news. Seingat saya ketika itu hanya lah seorang tante saja yang mengatakan bahwa dia mendengar berita itu. Saya sendiri tidak tahu apakah umat WKICU ikut-ikutan gerbong orang yang tidak percaya atau mungkin mereka cuek saja terhadap survei tersebut atau mereka adalah orang-orang yang benar percaya akan kehadiran Kristus dalam Ekaristi Kudus.
Dalam sembilan bulan terakhir saya pun mulai mengamati pola kerja warga WKICU dalam membantu para Romo mempersiapkan perayaan Ekaristi Kudus. Banyak hal yang membuat saya berpikir bahwa entah mereka sadari atau tidak, ada beberapa praktek yang secara terselubung ikut mendukung tergerus nya kepercayaan orang akan kehadiran Kristus dalam Ekaristi Kudus.
Pertama, saya harus berkali kali mengingatkan kepada sakristan atau pun petugas liturgi untuk mempersiapkan jumlah hosti yang kira-kira sesuai dengan jumlah umat yang datang. Tentu kita tidak bisa persis berapa jumlahnya, tapi paling tidak jumlah hosti tersebut bisa dikira-kira. Pada intinya agar jangan sampai jumlah hosti kekurangan banyak atau berlebihan banyak. Bisa diduga bahwa peringatan saya menimbulkan sejumlah reaksi dari umat. Semisal, ada yang berkata, “Romo yang lain saja tidak masalah, mengapa Romo Hendri menganggap ini ada masalah?” Atau ada yang mengatakan “Kalau kurang kan tidak masalah Romo, kan bisa ambil hosti di Tabernakel.” Dengan nada yang sama, ada juga yang berkata, “Kalau lebih kan tidak masalah Romo, hostinya bisa disimpan di Tabernakel.”
Saya tidak menyalahkan mereka yang berkata seperti itu; saya percaya mereka punya niat baik dan mungkin juga mereka melakukan itu sebagai kebiasaan mereka yang sudah bertahun-tahun. Akan tetapi para umat juga perlu diingatkan akan teologi Ekaristi, ataupun Pedoman Umum Misale Romawi. Bahwasannya Ekaristi itu, secara teologis, adalah kurban suci; Yesus mengorbankan tubuh dan darahnya di kayu salib untuk kita semua, dan sekarang para Romo di atas altar melakukan pengorbanan dengan roti dan anggur, yang mana itu merupakan tubuh dan darah Yesus yang dikurbankan di atas altar. Jadi disini ada kesinambungan antara tradisi di perjanjian lama, yang mana yang dikurbankan adalah domba dan lembu, dan di perjanjian baru, Yesus mengorbankan tubuh dan darahnya di kayu salib dan sekarang kita meneruskan perintah Yesus dengan mengorbankan roti dan anggur yang merupakan tubuh dan darahNya. Jadi kalau yang dikurbankan di atas altar hanyalah satu hosti saja untuk dimakan sendiri oleh Romo, berarti para umat tidak menerima hasil kurban pada hari itu, melainkan mereka hanya menerima hasil kurban kemarin atau beberapa hari yang lalu atau bahkan minggu sebelumnya.
Di samping sebagai kurban kudus, Ekaristi kudus juga mempunyai makna lain, yaitu perjamuan suci. Jadi dalam perjamuan suci ini, makanan rohani yang disajikan adalah roti dan anggur yang merupakan tubuh dan darah Kristus. Oleh karena itu, kalau roti dan anggur yang dipersiapkan cuma satu atau sedikit, berarti hanya Romo atau segelintir orang saja yang menerima makanan rohani yang disajikan dalam pesta perjamuan suci pada hari itu. Sementara yang lain hanya menerima “left over,” karena hosti yang disimpan di Tabernakel adalah makanan rohani yang dipersiapkan dalam pesta satu hari sebelumnya atau pun satu minggu sebelumnya.
Tentu bahwa hosti yang telah diberkati dan disimpan di Tabernakel tersebut adalah tubuh dan darah Kristus, dan kehadiran Yesus tidak hilang karena sudah disimpan disitu. Akan buah Ekaristi yang merupakan kurban suci dan perjamuan suci tidak dinikmati secara langsung oleh para umat yang hadir karena kurban dan makanan tersebut kadang tidak cukup atau hanya dinikmati oleh para Romo saja. Oleh karena itu menurut Pedoman Umum Misale Romawi, “ Sangat dianjurkan, agar umat, sebagaimana diwajibkan untuk imam sendiri, menyambut Tubuh Tuhan dari hosti-hosti yang dikuduskan dalam Misa yang sedang dirayakan. Pada kesempatan-kesempatan tertentu umat hendaknya juga menerima roti dan anggur kudus. Dengan demikian menjadi lebih jelas, bahwa umat berpartisipasi dalam kurban yang sedang dirayakan.”
Selang beberapa lama, ada juga yang menanyakan kepada saya, apakah salah kalau kita menyimpang banyak hosti di dalam Tabernakel. Menyimpan hosti dalam tabernakel tentu bukan hal yang salah, akan tetapi hosti yang disimpan dalam tabernakel tersebut pada prinsipnya disimpan untuk dua hal yang utama: pertama, untuk adorasi Sakramen Maha Kudus, dan yang kedua adalah hosti untuk orang-orang sakit. Yang menjadi masalah adalah hosti sering ditumpuk-tumpuk di dalam Tabernacle sehingga siborium menjadi menggunung dan meluap-luap. Bahkan dalam satu Tabernakel bisa sampai dua tiga buah siborium untuk menampung hosti yang sudah menumpuk.
Tabernakel juga menjadi poin penting yang agak terlupakan dalam kehidupan berjemaat. Ide Tabernakel berasal dari Tabernakel yang dibangun oleh Musa di Kitab Kejadian di Perjanjian Lama. Pada masa Musa, Tabernakel berbentuk kemah empat persegi Panjang, sehingga dikenal dengan istilah Kemah Suci. Tabernakel Musa dibagi dalam dua ruangan, Ruang Kudus dan Ruang Maha Kudus. Di jaman Musa, hanyalah para Imam yang bisa masuk ke dalam Ruangan Kudus dan hanya Imam Agung yang bisa masuk ke dalam Ruangan Maha Kudus. Tentu kita sudah tidak hidup di jaman Musa lagi, akan tetapi konsep tersebut telah diadaptasi ke dalam kehidupan gereja modern, bahwa Tabernakel merupakan tempat yang maha kudus, dan idealnya hanya para Romo atau Deakon yang bisa membuka dan mengambil tubuh Kristus dari dalam Tabernakel.
Dalam pengamatan saya, bukan hanya di misa WKICU, tapi juga banyak misa di Amerika Serikat, banyak orang awam yang dengan gampang membuka Tabernakel dan kemudian mengambil tubuh Kristus dari Tabernakel sebelum komuni didistribusikan dan kemudian mengembalikan siborium tersebut ke Tabernakel setelah komuni selesai dibagikan. Jikalau kita percaya tabernakel adalah tempat Maha Kudus tempat dimana Tuhan Yesus hadir di situ, maka sudah selayaknya bahwa hanya Romo atau Deakon yang bisa membuka dan ataupun menutup serta mengambil siborium dari dalam Tabernakel.
Ketika hal ini saya angkat secara halus ke beberapa orang pengurus WKICU, ada yang berkata kepada saya, “Loh bukan kah para orang awam tersebut sudah ditunjuk sebagai Eucharistic Minister?” Disini kembali terjadi pemahaman yang keliru terhadap fungsi EM, bahwasannya EM itu adalah singkatan dari “Extra Ordinary Minister.” Jadi istilah “eucharistic minister” or sering juga disebut “extraordinary minister of the eucharist” adalah salah dan tidak seharusnya dipakai. Sejatinya, istilah “eucharistic minister” hanyalah diperuntukkan untuk para Uskup dan para Romo, karena hanya merekalah yang minister yang bisa mempersembahkan Sakramen Ekaristi atas nama Tuhan Yesus.
Pedoman Umum Misale Romawi mengatakan bahwa, “Imam-imam lain yang kebetulan hadir dalam perayaan Ekaristi dapat membantu melayani komuni umat. Kalau imam-imam seperti itu tidak ada, padahal jumlah umat yang menyambut besar sekali, imam dapat memanggil “pelayan komuni tak-lazim” (ekstra ordinary minister) untuk membantu, yakni: akolit yang dilantik secara liturgis atau juga anggota jemaat yang sudah dilantik secara liturgis untuk tugas ini. Dalam keadaan darurat, imam dapat menugaskan anggota jemaat yang pantas hanya untuk kesempatan yang bersangkutan.” Dengan demikian idealnya pelayan komuni yang tidak lazim (ekstra ordinary minister – EM) tersebut perlu dilantik secara liturgis dan hanya dibutuhkan dalam keadaan- keadaan tertentu saja.
Segala hal yang saya angkat di atas adalah tataran ideal, tentu saja banyak hal yang membuat umat WKICU mengalami keterbatasan sehingga tidak bisa memenuhi peraturan-peraturan yang ideal tersebut. Akan tetapi, menurut saya sudah sebaiknya jikalau WKICU mencoba untuk memenuhi standard yang telah digariskan oleh Gereja. Hal-hal ini saya angkat dalam tulisan karena saya berpendapat bahwa praktek kita dalam memperlakukan Ekaristi Kudus bisa secara tidak langsung ikut mendukung tergerusnya kepercayaan orang terhadap makna kehadiran Yesus dalam Ekaristi.
Setelah saya melayani WKICU selama delapan bulan, dunia terhantam pandemic virus Corona. Salah satu imbas dari pandemi ini adalah banyak-nya orang Katolik yang tidak bisa menerima komuni karena para Uskup menutup Gereja dan memberhentikan misa publik. Setelah sempat merenung dan berpikir panjang, mungkin ada hikmah yang kita dapatkan dari situasi ini. Sebelum saya masuk ke inti pemikiran, saya perlu meng-klarifikasi terlebih dahulu bahwa saya bersimpati kepada umat awam yang tidak bisa menerima Sakramen Ekaristi Kudus. Orang mungkin akan berkata bahwa saya bisa gampang saja bicara karena sebagai seorang Romo, saya bisa terus mengadakan misa harian secara pribadi dan menerima Sakramen Ekaristi. Akan tetapi masalahnya adalah bukan siapa yang punya privilege atau tidak; yang ingin saya angkat adalah kerinduan akan Ekaristi bisa membantu kita mengapresiasi makna Ekaristi.
Perlu diingat bahwa praktek untuk menerima Sakramen Ekaristi Kudus secara reguler baru dimulai tahun 1905 di bawah kepemimpinan Paus Pius X. Untuk menggalakan umat menerima komuni secara regular dan mengkaitkan kehadiran pada misa dengan penerimaan Ekaristi, Paus Pius XII mengubah kebijakan soal puasa sebelum menerima Komuni. Tahun 1953, Pius XII menetapkan bahwa persyaratan puasa sebelum menerima komuni mulai dari tengah malam sebelum menerima Ekaristi, akan tetapi umat tetap diperbolehkan minum air. Paus Pius XII juga melonggarkan peraturan puasa untuk orang-orang sakit, orang yang sedang dalam perjalanan, orang yang bekerja keras menggunakan tenaga fisik dan para Romo yang memimpin beberapa misa pada hari yang sama. Di tahun 1957, Paus memutuskan untuk mengganti kebijakan puasa dari tengah malam menjadi puasa mulai tiga jam sebelum menerima komuni. Jadi peraturannya adalah puasa tiga jam dari makanan yang solid dan alkohol dan satu jam puasa dari minum air.
Peraturan puasa yang dibuat pada masa tersebut adalah untuk membantu para umat mempersiapkan diri dalam perayaan Ekaristi. Semua peraturan ini dibuat dalam konteks bahwa kita harus benar-benar mempersiapkan hati kita sebelum menerima Tubuh dan darah Kristus. Dalam satu dekade terakhir, kelihatannya para umat tidak mementingkan lagi puasa sebelum menerima perayaan Ekaristi, sehingga menerima perayaan Ekaristi hanyalah kegiatan yang biasa saja.
Suatu hari nanti ketika pandemi virus corona telah berakhir, saya harap para umat, khususnya umat WKICU bisa lebih menghargai Sakramen Ekaristi Kudus. Semoga masa-masa ini bisa kita pergunakan untuk merenungkan tentang makna sesungguhnya dari Sakramen Ekaristi Kudus dan kita bisa benar-benar mempersiapkan diri untuk menyambut Sakramen Ekaristi ketika saatnya tiba.
Sepuluh Perintah Allah - Dari Kitab Suci sampai Tradisi
Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasihKu itu. Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasihKu, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya. (Yoh. 15:9-10).
Oleh RP. Thomas Ferry Suharto, OFM
Bila kita perhatikan dengan seksama dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, ternyata perintah Allah yang mengatur kehidupan moral manusia dituliskan dua kali, pada peristiwa yang berbeda. Pertama tatkala Musa melihat “teofani” kehadiran Allah dalam semak yang menyala, perintah ini disampaikan sendiri oleh Tuhan kepada Musa (Keluaran 20:1-17) Kedua, disampaikan oleh Musa kepada bangsa Israel, tentang apa yang didengar dan diperintahkan Tuhan. (Ulangan 5:6-21)
Keduanya sama tetapi ada kalimat-kalimat tambahan guna menguatkan perintah Tuhan tsb, bandingkan antara Keluaran 20:1-17 (Kel.) dengan Ulangan 5:6-21 (Ul.) sebagai berikut:
1. Jangan ada padamu Allah yang lain (Kel.)
Sebab Aku, Tuhan Allahmu yang membawa engkau keluar dari Mesir adalah Allah yang cemburu (Ul.)
2. Jangan membuat patung berhala
3. Jangan menyebut nama Tuhan, Allahmu dengan sembarangan
4. Ingat dan kuduskanlah hari Sabat (Kel.)
Sebab hambamu laki-laki dan hambamu perempuan, harus beristirahat seperti engkau Sebab demikianlah engkau akan mengenangkan bahwa Tuhan Allahmu membebaskan engkau dari perbudakan. Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan, tetapi pada hari ketujuh Ia beristirahat. (Ul.)
5. Hormatilah ayah dan ibumu
6. Jangan membunuh
7. Jangan berzinah
8. Jangan mencuri
9. Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu
10. Jangan mengingini istri sesamamu (Kel.)
Dan jangan menghasratkan apapun yang dipunyai sesamamu (Ul.)
Peristiwa dekalog (bhs Yunani artinya 10 kata) tidak terpisah dari kisah panjang pembebasan bangsa Israel dari Mesir. Bangsa Israel mengimani sepuluh perintah ini, bukan semata-mata telah dibebaskan dari penjajahan bangsa Mesir, namun juga telah menjadikan bangsa Israel yang merdeka yang memiliki hak-hak asasi manusia dan hanya tunduk dan taat pada Tuhan Allah yang telah memberi peraturan-peraturan yang tidak dimiliki oleh bangsa lain di dunia ini. Kepercayaan bangsa ini terhadap Tuhan demikian besar, keimanan yang seperti ini pada saat itu belum dimiliki bangsa lain di manapun juga.
DARI DEKALOG MENJADI HUKUM KASIH
Kehadiran Yesus bukan meniadakan Hukum Taurat, melainkan melengkapinya. Sepuluh perintah Tuhan oleh Yesus diperdalam dengan Khotbah di bukit (Mat. 5). Selanjutnya diajakNya para pengikut melalui pintu sempit. (Mat. 7:13-14) karena Yesus mengajar para murid-Nya dengan cara yang radikal:
Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikuti Aku. (Luk. 9:23)
Bagaimana menyangkal diri dan mengikuti diri-Nya, telah ditunjukkan secara radikal pula: Menjadi miskin, artinya hidup bersandar seutuhnya pada kehendak Allah, bukan pertama-tama pada kemampuannya, seperti harta, kepandaian dll. Menjadi lapar dan haus, akan keadilan yang bersumber dari Allah, melalui tangan-tangan manusia, demi kepentingan orang lain atau sesama. Menjadi pemurah, karena mementingkan keperluan mereka yang tersingkir, orang sakit, orang asing, tahanan dan orang berdosa. Menjadi suci hatinya, laksana kaca yang mampu ditembus cahaya, dan hati kita diharapkan mampu ditembus cahaya atau Terang Allah. Menjadi rendah hati, setia sabar, mencontoh kerendahan hati Yesus sebagai Anak Allah yang bersedia menjadi manusia miskin dan hina. Membawa kedamaian, membangun tembok (benteng) untuk melawan segala macam kekerasan, membangun jembatan sebagai penghubung pertikaian.
Tuntutan Yesus yang demikian radikal membuat kita harus menyerahkan seluruh hidup kita seutuhnya pada-Nya. Menurut Sabda Bahagia (Mat. 5:1-12), kita kelak akan berbahagia di surga, namun sebenarnya kebahagiaan telah terwujud dalam hidup kita selama kita mampu menempuh jalan tersebut. Untuk melaksanakan perintah Yesus, kita membutuhkan tuntunan atau petunjuk, agar kita mampu bergerak maju menuju yang diajarkan Yesus. Petunjuk telah dinubuatkan oleh Yesaya: Kamu akan Kuberi hati yang baru, roh yang baru dalam batinmu ... sehingga kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang teguh pada peraturan-peraturanKu dan melakukannya (Yes. 36:26-27). Kesulitan, beban berat yang kita hadapi akan sirna, karena kuk yang dikenakan pada kita akan enak dan beban akan ringan. (Mat. 11:28-30). Roh Kudus mampu membuat kita seperti batu-batu hidup untuk membangun cinta kasih Allah. Roh yang sama telah memberi kekuatan pada Santo Fransiskus untuk mengucapkan “Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai”, karena perintah Yesus adalah “cinta kasih” seperti dipesankan-Nya.
Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasihKu itu. Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasihKu, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya. (Yoh. 15:9-10).
Karena kehadiran Yesus Kristus ke dunia bukan untuk menghapus hukum Taurat, melainkan untuk melengkapinya maka Sepuluh Perintah Tuhan pun mengalami penyempurnaan. Tradisi kristiani berusaha merumuskan kembali dengan diilhami oleh iman kristiani, sehingga siap dipakai oleh para pewarta kabar sukacita. Sepuluh perintah Tuhan demikian mudah untuk dimengerti meskipun dari kacamata kaum awam sekalipun. Beginilah bunyinya:
Akulah Tuhan Allahmu:
1. Jangan memuja berhala, berbaktilah kepada-Ku saja dan kasihilah Aku lebih dari segala sesuatu.
2. Jangan menyebut Nama Tuhan, Allahmu, tidak dengan hormat.
3. Kuduskanlah hari Tuhan
4. Hormatilah ibu-bapakmu
5. Jangan membunuh
6. Jangan berbuat cabul
7. Jangan mencuri
8. Jangan bersaksi dusta terhadap sesamamu manusia
9. Jangan ingin berbuat cabul
10. Jangan ingin akan milik sesamamu manusia secara tidak adil
The Cookies
Cerita ini membantu kita untuk tidak mudah menghakimi dan mampu melihat melampaui apa yang sekilas terlihat.
Bayangkan saat kamu berada di airport. Ketika sedang menunggu penerbangan, kamu melihat kios yang menjual kue kering yang orang sini menyebutnya “cookies”. Kamu membeli satu bungkus, menaruhnya dalam tas perjalanan dan kemudian dengan sabar mencari kursi kosong di mana kamu bisa duduk dan menikmati cookies itu. Akhirnya kamu mendapat kursi di samping seorang pria yang berpenampilan rapih dan terlihat baik.
Kamu merogoh tas perjalanan dan mengambil bungkusan cookies tadi. Ketika melakukan itu, kamu melihat pria di sampingmu mulai mengamati dengan seksama. Dia memperhatikan kamu ketika membuka bungkusan cookies itu dan matanya mulai mengikuti setiap gerakan tanganmu ketika mengambil dan memasukkannya ke mulut. Tiba-tiba dia mendekat dan menjangkau mengambil satu kue kesukaanmu itu dari dalam bungkusan dan memakannya! Kamu sangat terkejut, kehilangan kata-kata. Pria itu tidak hanya mengambil satu, tetapi dia juga bergantian mengambilnya bersama kamu. Dari setiap satu yang kamu ambil, dia juga mengambil satu.
Sekarang, apa kesan kamu terhadap pria ini? Gila? Rakus? Berani dan kurang ajar sekali dia? Tak terbayangkan kata-kata yang bisa kamu gunakan untuk menggambarkan pria ini. Sementara itu, dia dan kamu masih melanjutkan makan cookies tadi sampai tinggal satu yang tersisa. Pada saat tinggal satu di bungkusan, tiba-tiba dengan mengejutkan pria itu meraih dan mengambil satu-satunya yang tersisa. Kemudian dia melakukan sesuatu yang tidak disangka-sangka. Dia membagi dua cookies itu dan memberikan separuhnya kepadamu. Setelah dia menghabiskan bagiannya, dia berdiri, dan tanpa sepatah katapun, dia pergi.
Kamu berpikir, “Apa yang sesungguhnya terjadi?” Kamu ditinggal duduk di sana tercengang dan masih lapar. Dalam keadaan kesal, marah dan bingung kemudian kamu kembali ke kios penjual cookies tadi. Kamu berjalan kembali ke kursi sambil pelan-pelan memperhatikan apakah pria itu masih ada. Kemudian, sekali lagi kamu membuka tas untuk memasukkan bungkusan cookies yang baru kamu beli itu. Pada saat melihat ke dalam tas, terlihat di sana ada bungkusan yang sama persis dengan bungkusan yang baru saja kamu beli. Orisinil dan belum dibuka! Sambil melompat dari bangku karena terkejut luar biasa, kamu tersadar bahwa tadi itu, sewaktu mengambil cookies milikmu, kamu telah salah mengambil dari dalam tas pria di sampingmu, dan mengambil bungkusan cookies milik pria itu dengan tidak sengaja.
Sekarang apa yang kamu pikirkan tentang pria itu? Baik hati? Toleran? Kamu baru saja mengalami pergeseran paradigma yang mendalam. Kamu melihat sesuatu dari sudut pandang yang baru. Apakah ini waktunya untuk mengubah sudut pandang kamu?
Berkali-kali, kita diragukan oleh insting dan kecenderungan kita. Ini menghambat hubungan kita dengan teman sebaya, bawahan dan atasan kita. Cerita di atas membantu kita untuk tidak mudah menghakimi, dan mampu melihat melampaui apa yang sekilas terlihat.
- Iwan S. - (Artikel ini diambil dari berbagai sumber dan diterjemahkan oleh team E-Bulletin)
Wanita Pembersih Sekolah
Kitab Suci mengajarkan kita bahwa kita semua adalah sama di mata Tuhan. Setiap orang adalah penting, terlepas dari apapun, warna kulit, peran, kepercayaan, pekerjaan, kebangsaan dan yang lainnya
Pada bulan kedua masa kuliah, guru besar saya memberikan kuis secara mendadak kepada setiap murid. Saya adalah seorang murid yang teliti. Setelah mendapat lembaran kuis dadakan itu saya segera melihat dan membaca semua pertanyaan yang ada hingga sampailah saya pada pertanyaan terakhir:
“Siapa nama depan dari wanita yang membersihkan sekolah?”
Sepertinya ini semacam candaan. Saya sering melihat wanita pembersih sekolah kami. Dia tinggi, memiliki rambut gelap dan berumur sekitar 50 tahun, tapi bagaimana saya mengetahui namanya?
Saya menyerahkan kertas saya dan meninggalkan pertanyaan terakhir kosong. Sesaat sebelum kelas berakhir, seorang murid bertanya apakah pertanyaan terakhir itu akan dihitung untuk menentukan nilai kuis kami. Guru besar kami menjawab “Tentu. Dalam karir kamu, kamu akan bertemu banyak orang. Semua orang penting. Mereka berhak mendapat perhatian dan bantuan, meskipun jika yang kamu lakukan hanyalah tersenyum dan memberi salam“.
Saya tidak pernah melupakan pelajaran itu. Dari situ saya belajar sesuatu yang sangat berharga, dan akhirnya ingat sampai saat ini bahwa nama wanita pembersih sekolah itu adalah Dorothy.
Kitab suci mengajarkan kita bahwa kita semua adalah sama di mata Tuhan. Kita adalah putra dan putri dari Allah Bapa di Surga. Kita mungkin pendosa tetapi Allah mencintai kita. Setiap orang adalah penting, terlepas dari apapun, warna kulit, peran, kepercayaan, pekerjaan, kebangsaan dan yang lainnya.
“Janganlah kamu menghakimi, maka kamu pun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamu pun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni…” (Lukas 6:37)
“…Yesus memanggil kedua belas murid itu. Katanya kepada mereka “Jika seorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” (Markus 9:35)
- Iwan S. - (Artikel ini diambil dari berbagai sumber dan diterjemahkan oleh team E-Bulletin)
Tanding Bola di Alam Baka
Siapa yang menang?
Di alam baka, Santo Petrus dan Setan sedang bertengkar tentang sepakbola. Maka Setan mengusulkan diadakan pertandingan antara tim dari penghuni surga dan dari penghuni neraka.
"Baiklah," kata penjaga pintu surga, "Tapi Engkau harus sadar, bahwa kami punya semua pemain bagus dan pelatih terbaik."
"Aku tahu, dan itu tidak ada masalah," jawab Setan tidak gentar, "Kita punya semua wasit di sini."
Perang Dunia Kedua
Bingung apakah ini dosa?
X (ke gereja): "Bapa Pastor, aku... aku telah berdosa..."
Pastor: "Bicaralah, anakku, kamu ada urusan apa?"
X: "Pada waktu Perang Dunia kedua, aku telah menyembunyikan seorang Yahudi yang dikejar-kejar oleh kaum Nazi..."
Pastor: "Ini kan suatu perbuatan yang baik, mengapa kamu merasa dirimu berdosa?"
X: "Aku telah menyembunyikannya di dalam ruang bawah tanah di rumahku... dan... dan lagi, aku minta dia membayar uang sewa sebanyak 250 dollar per hari..."
Pastor: "Kamu kini bertobat apa untuk urusan ini? Jika demikian halnya ….."
X: "Tetapi, aku... sampai sekarang masih belum kasih tau dia bahwa Perang Dunia kedua sudah berakhir!"
Pelampung
Pengorbanan diri dalam keadaan mendesak
Kapal sedang akan tenggelam. Kepanikan melanda semua orang yang berada di dalam kapal.
Kapten kapal tiba-tiba bertanya dengan suara keras:
"Siapa di antara kalian yang bisa berdoa?"
"Aku..! ...... Aku bisa berdoa, Kapten!"
"Baik sekali. Segera berdoalah bagi dirimu!" kata kapten kapal itu dengan lega hati.
"Yo, para penumpang lainnya…segeralah kenakan baju pelampung kalian !.
Mari kita berterima kasih kepada Tuhan, karena kebetulan sekali baju pelampung kita kurang satu."
Yesus Sang Cinta Sejati
Yesus, ampunilah aku yang kurang mencintai. Tambahkan cintaMu setiap saat…Amin
Kalau mencermati berita tentang Covid-19 di U.S., ada satu hal yg menarik hatiku yaitu korban yang mati. Tiap hari ada yang mati. Sudah ribuan pasien mati. Dan aku tidak kaget dengan hal itu. Tiap beberapa jam kudengar sirene meraung-raung dari ‘highway’ dekat kamar. Bayanganku: satu jenazah yang masih hangat lewat. Hidup begitu akrab dengan kematian.
Kembali lagi kalau membedah statistik dari korban yang mati maka jelas seperti kristal fakta yang ada. Ras (race) ‘Hispanic, Blacks dan Asian’ mendominasi. Apakah virus itu ‘racist’? Sepengetahuanku tidak. Kecuali aku salah. Tapi dimana nama para Senator, bintang film, pemain NBA, NFL dalam daftar kematian? Mengapa mereka bertahan hidup? Mengapa yang lain mati? Karena mereka ‘super kaya’ yang punya ‘power’ (kuasa). Mereka mungkin sudah mati kalau ‘gembel’, ‘homeless’, ‘worker’ dan lainnya. Dan bagi para penguasa, lebih banyak pasien lebih cepat mati lebih baik. Daripada menghabiskan uang dan tenaga. Dan itu juga bukti kalau mereka kaum lemah (‘weak’). Tidak masuk seleksi "Survival of the Fittest" (hukum rimba). Yang lemah layak musnah. ‘Economy first’.
Apakah para penguasa itu begitu jahat? Tidak juga. Mereka hanya mencoba ‘survive’ dengan melibas yang lemah. Jika tidak, mereka yang tergilas. Itulah bedanya dengan Yesus. Dia begitu berkuasa tapi digunakan untuk merangkul, menyembuhkan dan mencinta tanpa pandang ras, status dan gender. Dia membuka hati dan mencintai orang kaya, penguasa, orang miskin, pendosa, gadis cantik, jelek, janda, emak-emak, pelacur, koruptor, orang kafir, orang asing, bahkan musuhnya. Semua Dia cintai, meskipun Dia tetap dibunuh oleh orang-orang yang Dia cintai.
Tubuh Yesus memang kalah, tapi CINTA nya tidak pernah kalah.
Yesus, ampunilah aku yang kurang mencintai. Tambahkan cinta-Mu setiap saat...Amin.
"ALLAH adalah KASIH" (1 Yoh 4:8)
Romo Paulus Dwintarto, CM
(pasien Covid-19 & pneumonia)
Kamar isolasi
NY April 9, 2020
Pergumulanku dengan Tuhan
Pertanyaanku kepada Tuhan “ Mengapa aku harus mengalami sakit tertular COVID-19?”
Pengalaman sakit, apalagi sakit yang mematikan seperti Covid-19 mau nggak mau membuatku bergumul dengan Tuhan. Pengalaman yg eksistensial. Menyentuh jati diriku. membuatku mempertanyakan dan “menantang" Penciptaku. Tapi jujur saja keyakinanku (semoga bisa menjadi penghayatanku) tentang Tuhan yang adalah kasih membuatku tidak merasa "wow" atau "ekstase" dengan pengalaman "smelling the hell" ini. Aku yakin kalau Tuhan punya rencana. Dan rencana Nya selalu indah meski mungkin perlu kesabaran untuk bisa memaknainya. Pergulatan awalku adalah: "Mengapa harus aku yang sakit, Tuhan. Kenapa bukan orang2 yang sembrono di jalanan, mall, bar atau pusat keramaian lainnya? Kenapa aku? Bukankah aku sudah doa, meditasi, adorasi, ibadat harian, dan ekaristi tiap hari? Bukankah aku telah menyembah dan mengagungkan namaMu? Bukankah aku sudah sering membasuh tanganku selama 20 detik, social distancing, dan tinggal dan bertahan di rumah jauh-jauh hari sebelum lockdown? Bukankah aku sudah hidup sehat dengan makan sayur, buah dan ikan? Bukankah aku sudah olahraga rutin tiap hari selama 1 jam? Mengapa yg sakit bukan anak-anak muda yg mengacaukan anjuran pemerintah? Itulah protesku di awal. Tapi nggak kencang2 amat sih.
Mungkin karena aku bingung dengan diriku sendiri. Karena sakit panas dan badan lemas bisa lebih dari seminggu. Belum pernah kualami sebelumnya. Biasanya 3 hari tidur sudah sembuh. Aku sudah minum obat (=racun) yang berbeda-beda selama 2 minggu. Maka jujur, saat ditest Covid-19 di Urgent Health Centre dan dinyatakan positif aku malah lega. Terima kasih Tuhan. ‘Now, I know it’. Aku masih punya waktu untuk bertempur melawan virus mematikan ini. Dan sudah jelas perawatan yg harus kujalani. Bantu aku Tuhan dalam pertempuran panjang ini! Dan lihatlah Tuhan mengirim bantuan. Anggota komunitas CM, keluarga dan Komunitas Katolik Indonesia di USA sangat ‘supportive’. Berdoa tiada henti. Kirim WA dukungan. Kirim makanan, vitamin dan alat kesehatan. Wow...Tuhan di pihakku. Aku tidak takut! Ya karena saat kritis, saat dimana aku merangkak ke lubang toilet untuk mengeluarkan dahak akibat batuk dan sesak nafas, aku sempat berteriak: “Tuhan kenapa Kau siksa aku! Kalau mau Kau ambil, ambillah. Tapi beri aku kematian yg damai. Kasihanilah aku Tuhan”...sambil merintih kesakitan memegangi dada yang nyeri. Kalau ingat malam-malam itu aku hampir menyerah. Tapi Tuhan mengirim terus dukungan Nya.
Membuatku bertekad: aku bisa!! Kalau Tuhan di pihakku, siapa yg kutakuti! Kini aku melewati masa kritis dan seiring dengan masa pemulihan ini aku sudah melihat titik terang bahwa Tuhan sedang mendidik. Seperti ayahku dulu mendidik, tidak hanya dengan memanjakanku tapi juga menghajarku. Supaya aku kuat dan supaya aku menghargainya. Ya betul kini aku lebih menghargai karya Mu Tuhan terutama melalui orang2 yang dengan tulus mencintaiku, padahal aku tidak berbuat banyak pada mereka. Mereka adalah perwujudan Mu Tuhan. Tuhan yg menghajar tapi tetap merangkul dengan penuh cinta.
Terima kasih atas sakit ini yang membuatku semakin yakin bahwa Engkau adalah KASIH. Membuat segalanya indah pada waktunya.
New York, 17 April 2020
Rm. Paulus Dwintarto, CM
(atas inspirasi Rm. Arm CM)
COVID-19 Survivor
Kisah Perjuangan Romo Paulus Menghadapi Covid-19 di New York
Saudari/i ku kubagikan kilas balik kisahku terkena Covid-19 dan perjuangan mengatasinya. Semoga berguna.
Sabtu 21 Maret, aku demam karena sariawan di lidah. 5 buah. Perih. Terbiasa sakit ini sejak kecil. Sariawan pertanda ‘immune’ sedang lemah. Bisa karena kurang vitamin atau stress. Terus aku konsumsi NyQuil untuk malam. Biar bisa tidur dan disembuhkan oleh tidur. Aku tidur 18-20 jam sehari. Sariawan sembuh setelah 5 hari. Panas turun. Selama itu aku banyak makan bawang putih mentah (untuk ‘immune’) dan air kacang hijau. Resep tradisional yang sudah kujalani bertahun-tahun. Efek samping bawang putih mentah adalah menurunkan tensi. Padahal aku cenderung darah rendah.
Kamis 26 Maret jam 8.42 a.m, aku pingsan saat adorasi. Para Romo dan Frater panik membangunkan aku. Aku ‘passed out’. Dituntun ke dapur, dibuatkan teh manis hangat. Mungkin tekanan darah drop karena bawang putih. Trus sarapan. Seminggu istirahat total dengan minum Mucinex.
Seminggu berikutnya, Jumat 3 April, aku periksa ke ‘Health Center’. Terkonfirmasi positif Covid-19 dan Pneumonia. Gejala batuk berdahak, panas dan sesak. Aku nggak pernah keluar. Darimana datangnya virus ini. Mungkin terbawa salah satu Seminarian (teman asrama) saat belanja atau dari tamu. Atau dari paket barang. Mungkin saja. Aku tidak bisa dan tidak boleh menghakimi tanpa bukti. Karena ‘carrier’ kan tidak selalu orang sakit. Orang sehat atau paket barang bisa membawa virus. Apalagi New York pusatnya Covid-19 di Amerika. Puluhan ribu meninggal. Udara New York sudah tercemar virus ini. Ditambah ‘immune’ ku yang pas lemah. Klop.
Malamnya dibawa ke Rumah Sakit. Opname. Dikasih Oxygen, disuntik tiap pagi, dan 1 butir obat kecil, putih dan pahit (Chloroquine). Setelah 5 hari disuruh pulang karena Rumah Sakit penuh. Diminta ‘self quarantine’ 2 minggu di rumah. Kalau ada darurat disuruh telpon 911.
Virus ini memang mengerikan. Aku hidup sehat dgn doa, tidur, ‘study’ serta olahraga rutin dan makan sehat (salmon, lemon, strawberry, alpokat, segala sayuran dan buah). Aku kuat jalan kaki di Manhattan 5 jam. Basket 2 jam. Lari 1 jam. Eh tumbang juga 😊.
Bagaimana dengan teman serumah (2 Romo dan 7 Frater)? Jujur aku tidak tahu pasti. Kuduga mereka juga terkena. Tetapi karena ketahanan tubuh tiap orang berbeda, mereka tidak perlu test. Kalau separah aku baru bisa test. Antrinya lama karena New York pusat virus.
Saat ini aku membaik. Suhu tubuh normal. Tinggal batuk dan sesak nafas yang bikin kesakitan. Tanda lain adalah doyan makan. Makan sangat penting untuk memperkuat ‘immune’. Selain itu dokter sudah tidak memberi obat lagi. Karena obatnya berbahaya. Mematikan katanya. Saat parah makan 2 - 3 sendok sudah mual. Sekarang lahap. Bisa 6 kali sehari. Sepiring tiap kali makan.
Terima kasih kepada ibu-ibu di New York, Philadelphia, Delaware, Dallas, Atlanta, New Hampshire yang kirim makanan, air, alat kesehatan dan vitamin/supplement. Dan untuk Ika Surabaya yang melakukan ‘healing’.
Selain itu harus kreatif. Aneh-aneh sedikit nggak apa. Nyanyi, nulis, ‘dance’, nonton komedi, film, yoga, berjemur, apapun yang membuat gembira dan sehat. Tidak olahraga berat dulu. Nafas bisa berhenti mendadak. Yang penting hati riang. Meningkatkan kekebalan tubuh. Jaga kesehatan. ‘Social distancing’ penting. Virus menular lewat orang sakit, orang sehat, maupun barang-barang. Tapi hidup sehat dan bergembira adalah penangkal yang jitu karena itu meningkatkan daya tahan tubuh. Benteng terhadap virus apapun.
Salam sehat dan gembira!
Tuhan memberkati! 🙏🤗
Rm. Paulus Dwintarto, CM
New York - USA
Dari Kekagetan Menuju Tindakan: Refleksi Sepenggal Hidup di Yogyakarta dalam Masa Covid
Menciptakan Suatu Cara yang Berguna untuk Berjalan Bersama dan Bertahan dalam Masa Pandemi sekarang.
Oleh: Effendi Kusuma Sunur, SJ
Para Sahabat WKICU,
Setelah Presiden Jokowi mengumumkan adanya orang yang terjangkit virus Covid-19 pada tanggal 2 Maret 2020, dunia saya langsung berubah drastis. Saya masih sempat memimpin misa pemberkatan sebuah klinik di Semarang tanggal 9 Maret 2020, namun setelah itu, Keuskupan Agung Semarang memulai menghentikan misa di gereja-gereja bagi umat dan menggantikannya dengan misa “online” pada tanggal 20 Maret 2020 agar “social distancing” terbentuk dan terjaga. Keputusan itu diperpanjang hingga tanggal 31 Mei 2020 dan kemungkinan besar akan diperpanjang lagi untuk tetap melakukan misa “online”.
Semuanya itu berlangsung cepat dan sebagaimana biasanya, perubahan yang cepat membuat kaget banyak orang. Saya termasuk salah satunya. Semua rencana kerja Pusat pastoral Mahasiswa DIY (PPM DIY), tempat saya hidup dan bekerja, yang disusun akhir tahun 2019 untuk dilaksanakan tahun ini terpaksa dibatalkan atau ditunda. Juga, semua rencana acara saya di kota-kota seperti Jakarta, Semarang dan Solo dibatalkan atas nama keselamatan dan kesehatan banyak orang dan saya. Lebih lanjut, pengajaran tatap muka di kelas-kelas UGM (Universitas Gadjah Mada) juga diubah menjadi kelas “online” dan kelas seminar saya di Seminari Tinggi Kentungan terpaksa dihentikan di tengah jalan. Semuanya seakan berhenti bergerak seketika dan saya pun merasa ikut “macet” bersama dunia. Saya ingin bergerak, namun pembatasan membuat saya merasa senewen (bingung dan hilang akal). Di balik kesenewenan itu, saya sering berkelakar dengan sesama teman Yesuit bahwa “saya di pra-covid adalah pengangguran terselubung sedangkan saya di masa covid ini adalah jelas-jelas pengangguran.”
Di bulan April, saya merasa bahwa saya harus meninggalkan “kekagetan” saya dan mulai mencoba untuk ber-“discernment” apa yang Tuhan ingin saya lakukan. Satu hasil ber-“discernment” yang saya pegang sampai saat ini adalah prinsip moderasi, tak jatuh dalam dua titik ekstrim yang sering saya amati ada dalam hidup banyak orang di masa pandemi ini. Yang pertama, sikap tak peduli yang melihat bahwa ancaman virus ini tak nyata karena tak terlihat. Sikap ini membuat penularan virus covid menjadi lebih mudah dan luas dampaknya. Yang kedua, sikap takut berlebihan sehingga bahkan menjadi murung dan tak bahagia. Lebih dari itu, sikap ini juga tanpa sadar menjadi penebar negativitas dengan mengirim berita apapun di sosial media yang membuat tarikan menjadi pesimis bagi orang yang mengonsumsi berita tersebut. Saya cermati bahwa orang-orang jenis ini biasanya:
[1] tak membaca habis beritanya, dan mungkin hanya judulnya,
[2] tak pernah menelaah secara seksama apa yang dibacanya, dan
[3] tak pernah mengecek kebenaran beritanya dengan mencari sumber lainnya yang dapat dipercaya.
Di bulan April pula, saya, dari hasil proses “discernment,” saya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berguna di masa pandemi ini daripada hanya menunggu berakhirnya masa pandemi ini dan tak melakukan apa-apa. Yang menarik adalah bahwa keputusan “discernment” ini sepertinya langsung ditetapkan dan disetujui oleh Tuhan sendiri dengan membawa alumni Kolese Johanes de Britto (JB), SMA Yesuit yang terkenal di Jogja, untuk mendirikan posko peduli Covid-19 di tempat saya, Pusat Pastoral Mahasiswa Daerah Istimewa Yogyakarta (PPM DIY). Saya melihat peluang untuk menggunakan sarana Gereja ini untuk menjadi kepanjangan tangan Tuhan bagi para medis di daerah pedesaan Jawa dan juga di luar Jawa. Lebih dari itu, beberapa organisasi masyarakat Katolik yang mempunyai Sekretariat Bersama di PPM DIY juga mengadakan gerakan untuk membantu masyarakat terdampak wabah ini. Maka, lengkaplah PPM DIY menjadi satu bagian kecil dari Gereja di Yogyakarta dalam berpartisipasi mengatasi dampak sosial dari wabah Covid-19 ini.
Tentunya masalah ekonomis yang ditimbulkan dari wabah ini juga berdampak terhadap mahasiswa perantauan yang karena beberapa alasan tak dapat kembali ke kampung halaman mereka. Mungkin mereka tak mempunyai dana untuk biaya pulang ke kampung mereka, atau mungkin saja karena pelarangan untuk kembali ke daerah asal oleh pemerintah daerah terkait dengan pencegahan penyebaran wabah. Dalam permenungan, saya melihat pentingnya mengetuk hati orang-orang yang masih bisa bertahan dalam kesesakan masa ini untuk menolong mereka yang paling menderita, dalam hal ini adalah mahasiswa-mahasiswi perantauan. Tentunya mengetuk pintu hati orang-orang yang bermurah hati bukan hanya satu-satunya cara. Langkah berikutnya adalah menciptakan sebuah cara untuk bertahan dalam lingkungan yang mendesak. Ini tentunya harus memperhatikan konteks di mana mahasiswa-mahasiswi berada dan sumber daya yang dimiliki. Ini yang harus dilakukan untuk menjawab situasi ini yang diperkirakan akan mencapai sampai beberapa bulan kemudian di Indonesia. Langkah terakhir ini lebih menantang karena itu berarti ada usaha untuk memanfaat peluang di tengah kesulitan global ini dalam konteks lokal. Sebuah usaha untuk membentuk mekanisme di mana kita berjalan bersama dengan mereka yang paling membutuhkan dan terdampak dalam masa ini.
Para Sahabat,
Refleksi kecil saya ini dikuatkan dengan sabda Yesus, “Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu (Yoh. 14:12).” Saya percaya bahwa apa yang ditanamkan Tuhan dalam batin kita, bila didengarkan dan dilaksanakan, sungguh menghasilkan buah berlimpah. Saya butuh doa-doa Anda sekalian dan saya juga mengingat Anda sekalian dalam doa saya. Tuhan memberkati dan melindungi kita semua.
Sedia Payung Sebelum Hujan
Apakah ‘Social Distancing’ Keharusan atau Kebiasaan?
Kata-kata ini sangat bermakna…
untuk menjalani ‘Social Distancing’ karena epidemi virus Corona.
Sebenarnya sejak pindah ke San Francisco Bay Area, saya sudah lebih mengenal cara menjaga kesehatan diri alias mandiri.
Makan vitamin dan jangan sentuh barang bukan milik sendiri tanpa pakai tisu dan perlunya sering cuci tangan. Kalau bisa, buka pintu didorong dengan kaki. Menjaga jarak dari orang batuk pilek karena flu atau alergi.
Keluarga di Indonesia anggap kebiasaan baru itu berlebihan, tapi setelah dipikir lagi, apalagi setelah ada epidemi, menjadi keharusan.
Lebih baik mencegah daripada kena penyakit dari orang baru yang ketemu di jalan. Biaya pengobatan mahal dan sulit bertemu dokter setiap saat. Untung bisa bertanya ‘Mbah Google’ setiap ada gejala penyakit jadi tahu harus minum obat atau vitamin apa supaya tidak tambah menderita dan tentu disertai doa mohon pengampunan dan penyembuhan dari Yang Kuasa.
Seharusnya lebih siap menghadapi kondisi epidemi, tapi ternyata kadar takut tertular makin menghantui sampai tidak berani belanja kebutuhan hidup sehari-hari. Takut akan kematian kalau sampai sesak nafas, lupa kalau hidup kita di dunia memang ada batas. Tapi sebagai seorang Kristiani, masih ada harapan kehidupan abadi di hadirat-Nya. Setelah melewati penghakiman apa kita masuk neraka atau surga.
Apakah kita sudah bersiap diri memaknai dan mengisi kehidupan untuk lebih berarti sebelum kita tinggalkan? Apakah kita sudah mempersiapkan masa depan? Apakah masih ada ‘Seven Deadly Sins” yang tersisa dalam diri kita? Hawa nafsu/ lust, Kerakusan/ gluttony, Ketamakan/ greed, Kemalasan/ sloth, Kemarahan/ wrath, Iri hati/ envy dan Kesombongan/ pride.
Apakah kita sudah ada ‘Seven Heavenly Virtues’ untuk melawan godaan dosa?
Kesucian/ Chastity, Kesederhanaan/ Temperance, Kasih/ Charity, Ketekunan/ Diligence, Kesabaran/ Patience. Kebaikan Hati/ Kindness dan Kerendahan Hati / Humility.
Jika jatuh dalam dosa, apa kita sudah memohon ampun kepada Tuhan? Apakah kita terus mau belajar dan mengampuni kesalahan orang lain serta percaya rencana dan kehendak Tuhan dalam kehidupan ini? Sudahkah kita menjadi orang yang bersyukur dan tabah dalam menghadapi segala rintangan?
Sore ini terdengar suara petir dari awan gelap disertai kencangnya angin tanda akan derasnya hujan turun.
Apakah kita sudah sedia payung sebelum hujan…?
LL - 5/6/2020
Trust Jesus In Difficult Times
Percayalah Badai Pasti Berlalu
Dear Friends,
I invite you to consider Matthew 8:23-27.
Christ models for us peace and calm during a tumultuous storm. He called his disciples to trust him and have faith in difficult times. He did not abandon them; instead, trust in Christ transformed the circumstances for the disciples.
In the past month, the depth and challenge of a worldwide pandemic have become very evident to all of us in the human community. As a community of faith, I invite you to act responsibly by following the advice and practices of our medical professionals.
Also, we can help those who are suffering in any way we can through prayer and practice, faith in an all-good, forgiving, and loving God. Although it’s too early in this pandemic to fully understand current and future realities, we must all make changes to how we conduct our activities, and to help one another mitigate the impact of this pandemic.
Most importantly, all of you remain in my daily prayers. We can and will get through this together. Peace and all good,
Br. Henri Djojo, OFM