Romo Stefanus Hendrianto, SJ

Aktivis pro-demokrasi Indonesia yang menjadi seorang imam Jesuit.

RomoHendri.jpg

Romo Stefanus Hendrianto pernah berada di antara kelompok mahasiswa yang terlibat dalam gerakan pro-demokrasi di Indonesia pada tahun 1998 yang akhirnya menjatuhkan rezim otoriter Suharto setelah 32 tahun memerintah dengan tangan besi.  

Dia adalah seorang mahasiswa hukum Universitas Gajah Mada di Yogyakarta yang bergabung dengan gerakan mahasiswa dalam protes anti-Suharto. Hendrianto saat itu bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik, salah satu kelompok oposisi utama rezim Suharto.  Tak lama setelah jatuhnya Suharto, yang menandai awal era reformasi, Hendrianto memilih untuk mengasingkan diri dari aktivisme dan melanjutkan studi hukumnya di luar negeri.  

Sebuah keputusan yang akan membawanya ke cara hidup yang sama sekali berbeda - kehidupan seorang imam.  Dia menggambarkan perubahan dalam cara hidupnya sebagai "sebuah misteri" dan sepenuhnya tidak direncanakan.

"Ketika saya masih kecil dan tinggal di Indonesia, niat saya sama sekali bukan untuk menjadi seorang imam," katanya kepada ucanews.com

Setelah tumbangnya Suharto, Hendrianto memilih untuk mengejar gelar master dalam bidang hukum di Universitas Utrecht di Belanda, sementara rekan-rekan aktivisnya tetap memilih untuk menempuh jalur politik.  Setelah mendapatkan gelar, ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai peneliti hukum untuk Kantor Dana Moneter Internasional di Jakarta.  

Sekembalinya ke Indonesia, Hendrianto tetap merasakan ada yang kosong dalam kehidupan dan dia mencoba mencari jawaban atas makna kehidupan dengan memutuskan untuk melanjutkan program doktor di University of Washington Law School di Seattle.  Di sana, katanya, perjalanan hidupnya berubah, terutama setelah interaksinya dengan Mudika Seattle. 

"Mereka banyak membantu saya dalam perjalanan iman saya dan akhirnya menuntun saya ke imamat," katanya.  

Hendrianto mengatakan bahwa benih panggilan imamat tumbuh lebih kuat ketika dia menjadi aktif di UW Newman Center yang dikelola oleh para Romo Dominikan. Akan tetapi Dominikan hanya menanam benih panggilan dan Yesuit yang memetik hasilnya. Suatu hari, UW Newman Center mengadakan acara diskusi tentang iman Katolik dan filsafat politik, dibawakan oleh Imam Jesuit Fr. Robert Spitzer, yang waktu itu adalah presiden Universitas Gonzaga. Diskusi tersebut memiliki pengaruh yang sangat dalam bagi panggilan Hendrianto. 

"Pada waktu itu, saya pikir, jika saya ingin menjadi seorang imam, harus seperti Fr. Spitzer," katanya.  

Namun, itu bukan pertemuan pertamanya dengan para Jesuit.  Selama di Indonesia, ia sering menghabiskan waktu di paroki-paroki yang dilayani oleh para Jesuit.  

"Ketika saya masih belajar di Universitas Gajah Mada, saya selalu menghadiri Misa Mingguan di kapel Universitas Sanatha Dharma, yang dilayani oleh para Imam Jesuit," kenangnya di ucanews.com.  Setelah pindah ke Jakarta, ia menghadiri Misa di Gereja Kathedral Perawan Maria diangkat ke Surga, yang juga dilayani oleh para Imam Jesuit.  

Pada tahun 2009, setelah menyelesaikan gelar doktornya, ia memasuki novisiat Jesuit di Amerika Serikat. Setelah mengucapkan Kaul Pertama pada tahun 2011, ia belajar filsafat di Universitas Loyola, Chicago. Setelah pendidikan filsafat dia menjalani Tahun Orientasi Kerasulan dengan mengajar ilmu hukum dan ilmu politik di Universitas Santa Clara yang dikelola Jesuit di California. Setelah menyelesaikan Tahun Orientasi Kerasulan dia menghabiskan waktu selama satu tahun untuk melakukan penulisan dan penelitian di Institut Kellogg untuk Studi Internasional di Universitas Notre Dame.  Pada tahun 2016 dia mulai menempuh pendidikan teologi di Boston College, di mana ia  meraih dua gelar Master dalam bidang Keilahian (Master of Divinity) dan Teologi (Master of Theology).

Romo Hendrianto ditahbiskan pada tanggal 8 Juni, 2019 bersama empat Jesuit lainnya di Gereja Our Lady of La Vang di Portland, Oregon. Uskup Agung Portland, Alexander Sample, memimpin Misa Imamat. Romo Hendrianto ditahbiskan sebagai Imam Yesuit dari Provinsi Serikat Yesus Amerika bagian Barat (Jesuits West), yang meliputi negara-negara pantai Barat Amerika Serikat ditambah Alaska dan Hawaii.  

Mengingat kembali saat menjadi aktivis mahasiswa, Hendrianto mengatakan itu adalah bagian dari proses sebagai seorang pemuda, yang “idealis dan naif.” Sebagai seorang pemuda, ia merasakan panggilan untuk mengubah dunia dengan bergabung pada gerakan politik mahasiswa, tetapi gagal menunjukan kepada pencarian spiritualnya.  

"Hati saya dipenuhi dengan hasrat balas dendam, kemarahan dan kepahitan," katanya.  "Semua hal ini membuat hidup saya kosong. Pada prinsipnya, jiwa saya seperti berada di ladang yang kering, tandus dan tanpa air."  

Dia mengatakan meskipun dia menjadi seorang Jesuit terlambat dalam hidupnya daripada kebanyakan anak – anak muda lainnya, dia telah menemukan bahwa spiritualitas Ignasian menjawab apa yang selama ini dia cari. Dia bahkan menemukan kesamaan antara dirinya dengan St. Ignatius dari Loyola.  

"Jika Anda melihat pengalaman hidup Santo Ignatius dari Loyola, ia juga memutuskan terlambat untuk menjadi seorang imam dan kemudian mendirikan Serikat Yesus."  

"Santo Ignatius harus kembali ke sekolah dan belajar bahasa Latin bersama dengan orang yang lebih muda. Saya juga kurang lebih sama dan belajar filsafat dengan mahasiswa generasi milenial," jelasnya.  

Meski demikian dia berkata "Saya bangga karena itu berarti saya berjalan di jalan yang sama dengan Santo Ignatius."  

{Tulisan di terjemahkan dan disadur dari essay yang dipublikasi UCANews dengan judul Indonesian prodemocracy activist becomes a Jesuit priest, pada tanggal 1 Agustus 2019}

 
Previous
Previous

Pemeran Utama

Next
Next

Dr. Hok Kan Lim