Dr. Hok Kan Lim

Dokter penggagas komunitas WKICU

Hokkan.jpg

Mengenal Dr.Hok Kan Lim layaknya mengenal tokoh-tokoh besar lainnya. Seorang peneliti Indonesia dengan visi besar dan iman Katolik yang kuat

Sosok sederhana dan murah senyum ini adalah seorang dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Lahir di Banjarmasin, 23 November, 1934 dan besar di Samarinda, Kalimantan. Menamatkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Bandung, dan kemudian hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi, Universitas Indonesia. Hok Kan muda berhasil meraih Master of Science dan mengajar sebagai asisten dosen di fakultas kedokteran Universitas Indonesia. 

Sebagai orang muda yang berpendidikan tinggi, Dr. Hok Kan Lim memiliki idealisme yang sangat kuat. Beliau sangat tertarik dengan bidang penelitian dan tidak berniat menjadi seorang dokter praktek seperti kebanyakan teman-teman se-profesinya, “Waktu itu profesi seorang dokter sangat menjanjikan dan dapat menghasilkan banyak uang. Sebagian besar teman-teman saya hidup makmur. Tetapi saya tidak tertarik dengan itu. Saya ingin menjadi seorang peneliti, khususnya penelitian bidang parasitology,” jelasnya.  

Tahun 1961 Dr. Hok Kan Lim memutuskan untuk menikah dengan gadis pujaan bernama Grace Khouw. Tiga tahun kemudian (1963) beliau pindah ke Bandung karena mendapat pekerjaan menjadi dosen fakultas kedokteran di Universitas Padjadjaran, Bandung. Selama mengajar dan bergabung dalam project-project penelitian mengenai parasitology, hasrat untuk menjadi seorang peneliti kian memuncak tak terbendung. “Menjadi seorang peneliti di Indonesia saat itu sangat sulit. Kita harus memiliki uang yang banyak atau paling tidak ada orang yang mau mensponsori. Pemerintah Indonesia belum berpikir ke situ. Peluang lebih banyak terbuka di Eropa atau Amerika. Mereka lebih membutuhkan banyak peneliti,” begitu penjelasannya. 

Antara hasrat, cita-cita dan kenyataan sepertinya bertolak belakang. Keadaan tidak berpihak kepada Dr. Hok Kan Lim pada saat itu sampai di tahun 1965 beliau mendengar kabar bahwa imigrasi Amerika membuka peluang kepada orang-orang non Eropa untuk tinggal dan menetap di Amerika. Keputusan dibuat dan ditandatangani oleh presiden Amerika saat itu, Lyndon B Johnson. Keputusan menetapkan 6 persyaratan utama yang salah satunya adalah memberikan kesempatan kepada para profesional. Waktu itu banyak sekali para professional dari Indonesia yang mencoba mengambil kesempatan. Engineer (insinyur), dokter, tenaga ahli medis dan juga dari berbagai profesi lainnya. Akan tetapi, keputusan imigrasi itu tidak hanya mengutamakan profesi. Ada persyaratan dan ketentuan lain yang harus dipenuhi para imigran seperti, keharusan memiliki sponsor, bukti memiliki pekerjaan di Amerika, dan berapa banyak uang yang dimiliki pada saat mengajukan visa. Para dokter biasanya sudah mendapat tawaran pekerjaan dari rumah sakit - rumah sakit lokal, dan para engineer (insinyur) banyak yang mendapat sponsor dari gereja-gereja. Sementara Dr. Hok Kan Lim yang idealis hanya memiliki ilmu dan keahlian sebagai dokter peneliti, bukan seperti kebanyakan rekan-rekannya yang memiliki banyak uang dengan menjadi dokter di rumah sakit, klinik, dan praktek di rumah.

Dengan keyakinan dan harapan besar surat pengajuan imigrasi itu tetap dikirim. Sembilan bulan lebih tidak ada kabar berita. Kembali Dr. Hok Kan Lim mengalami kebuntuan dan ketidak yakinan. Sang istri, Grace tidak mengenal lelah dan terus berusaha memperjuangkan keinginan suaminya. Grace saat itu bekerja dan membantu di kepanduan International School yang banyak kedatangan suster-suster berkebangsaan Amerika yang melakukan volunteer disana. Usaha melobi dan meminta bantuan dari para suster itu akhirnya membuahkan hasil. “Sebenarnya waktu Grace meminta bantuan sponsor dari para suster itu, tidak ada satupun yang sanggup….tetapi dari sana kemudian sebuah mukjizat datang. Beberapa lama setelah itu seorang nyonya mendatangi istri saya dan menanyakan mengenai keinginan kami untuk pindah ke Amerika. Saya bahkan tidak kenal dan tidak tahu nama nyonya itu. Dia memberikan alamat kepada istri saya dan menyuruh istri saya menghubungi seseorang yang dapat membantu,” katanya mengenang.

“Saat itu istri saya langsung memacu scooter nya ke alamat yang diberikan sang nyonya. Dan ternyata itu alamat seorang pastor berkebangsaan Amerika bernama Eugene Linch,” sambungnya. Dari father Eugene ini kemudian mereka direkomendasikan kepada seseorang yang bekerja di Kedutaan Amerika, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, dan akhirnya berhasil mendapat visa.

Mereka kemudian hijrah ke Amerika tahun 1966. Dr. Hok Kan Lim melanjutkan sekolah kedokterannya di UC Berkeley dengan meraih gelar PhD (1967-1970). Beliau kemudian lanjut mengambil gelar MD dari University Of California San Francisco (UCSF) untuk bidang Comparative Pathology. Pathology/Parasitology (1974-1976). Selama tiga belas tahun bekerja di tempatnya bersekolah, UCSF sebagai Associate Research Parasitologist (1966 - 1979), dan enam belas tahun bekerja di rumah sakit sebagai Chief, Pathology Service (1982 - 1998). 

Dr. Hok Kan Lim adalah seorang tokoh besar yang memiliki pandangan luas, nasionalisme tinggi dan sangat taat beragama. Sosoknya yang ramah dan bersahaja, profesinya sebagai dokter dan aktifnya beliau dalam setiap acara kumpul-kumpul orang Indonesia menjadikan dirinya tokoh panutan bagi masyarakat Indonesia di California, khususnya Bay area. Dalam kesempatan wawancara dengan media Kabari, sebuah media Indonesia yang terbit di Amerika, beliau sempat bercerita, “Keberadaan saya di Amerika ini bukan karena tekanan, rasa diabaikan atau diusir dari negara Indonesia. Selama lebih dari 30 tahun saya memperoleh pendidikan dan hidup nyaman di sana. Saya sangat berterima kasih kepada Indonesia untuk itu….,” ujarnya dengan lugas. “Dan sebagai seorang Katolik saya meyakini bahwa hidup ini untuk berbagi dan saling melayani demi kemuliaan Tuhan yang lebih besar,” tambahnya lagi.

Tahun 1998 sang istri, Grace Khouw terdiagnosa penyakit cancer dan meninggal pada tahun 2006. Dari perkawinannya itu Dr. Hok Kan Lim dikarunia dua orang putra dan satu orang putri. Saat ini Dr. Hok Kan Lim tinggal bersama anaknya di Castro Valley…..

Mengenal Dr. Hok Kan Lim layaknya mengenal tokoh-tokoh besar lainnya. Sosok yang selalu mau berbagi pengalaman dan dapat menerima pemikiran-pemikiran orang lain dengan arif. Perhatian dan kecintaan terhadap anak-anaknya telah dibagikan juga kepada sesama orang Indonesia. Salah satu ujud nyatanya adalah dengan mendirikan komunitas Warga Katolik Indonesia California Utara (WKICU). Ujud nyata dari sebuah visi besar seorang peneliti yang berjiwa Indonesia dan memiliki iman Katolik yang kuat. 

Dr. Hok Kan Lim pernah menuliskan dalam catatannya mengenai sejarah berdirinya WKICU yang mampu bertahan sampai saat ini.

(kontributor artikel Hanafi Daud —-Bahan diambil dari beberapa sumber)


Catatan asli Dr. Hok Kan Lim:


Indonesians started to emigrate to USA in large numbers in the early 1970’s. A new USA immigration act was signed by President Johson in 1965. This allows more non-European citizens to settle in America. The new law categorized prospective immigrants into 6 preferences. For example, the third preference is for professionals. Many engineers, doctors, dentist, pharmacist from Indonesia came over under this category. Beside eligibility, they needed to fulfill one of 3 requirements: proof of having a job in the US, or sponsorship, or much money before the visa were issued. Doctors usually came with job offers from local hospitals, engineers mostly were sponsored by a church.

My guess is that since that over 10.000 Indonesians emigrated to USA. About 75% were Christians, half of them Catholics. California was the preferred state, mostly because of the good climate and job availability around Los Angeles and San Francisco. Also settling down in California were many Indo-Belandas. When the free Indonesian Republic was established in 1945, about ¼ million Indo-Belandas were returned to Holland. Through some special agreement between Holland and USA, many of them settled in America.

The Indonesian Protestants in California started to organize early on. The Catholic Indonesians around Los Angeles established their KKIA (Keluarga Katolik Indonesia Amerika) in the 1980’s. This group expanded quickly, and at one time had over 1.000 members. Their elders encouraged the Catholic Indonesians in Northern California to organize also. But locally their was little enthousiasm. We in North California were quite comfortable with the local churches.

Sometime in mid summer 1991, I received a call from Dr. Tango, an elder of KKIA. “Would you like to have a faith renewal in your community?” A famous Capuchin priest from Medan will spend a few months in L.A., specially to encourage and renew the faith among the Indonesian Catholic community. KKIA would like to send him up North…would we be interested? I asked around. And again met with indifference and apathy, until I talked with an old friend, Oey Hock Chuan. He was very supportive. Then we gathered a few other friends, like Wisnu Wirawan, and sent out invitations.

The first mass was at St. Joanne d’Arc in San Ramon on November 16, 1991. Romo Victor Tobing OFM came, with Monsignor John Liku Ada, bishop of Ujung Pandang, and about 40 friends from KKIA. About 40 Bay Area Indonesian Catholics came. The next day local attendance had increased. During the masses and meetings, many friends from L.A. gave witness, eg the Tango family, mr. and mrs. Herkata, Sanjaya family. Henry Sanjaya came with a band of about 10 musicians. After the first mass I invited everyone to our house in Yountville (Napa area) for dinner and fellowship. After the second mass we gather in the church hall, and there persuaded someone to maintain the bond and organize the group for future regular meetings. After much efforts we manage to have Arie Go to accept the task. He established a small committee, and we planned for regular meetings.

Struggling years 1992-1997.

After a committee was formed to developed and maintained the bond among Bay area Indonesian Catholics headed by Arie Go, we encountered two immediate problems. One was to find a church that will allow us to come together and celebrate mass. And another was to find a priest sympatethic to our cause.

The first few gatherings we had were at various local churches, thanks to different members requesting their local pastors, who also celebrated mass with us. And then we managed to get commitment from the University of San Francisco to hold regular meetings al Lone Mountain church. Father Ruland took pity on us.

And the Lord sent us a guardian angel…in the disguise of Sister Felicia Sarati, CSJ. She was head of the ethnic group of the Diocese of Oakland and with encouragement of bishop John Cummins, was building a multi-diversity group. She attended several of our committee meetings and also provided us with some cash funds. With her assistance we were able to use several churches in the area for our regular meetings. We also participated with various multi-diversity activities of the diocese, like the annual Chautauquas, Diocese Jubillee, bishop Cummins birthday and other unter-group celebrations.

In 1993 bishop Cummins officially installed and blessed our leadership during mass at the Mother Seton community center in Pleasanton. Also present were the Indonesian Consul General and his staff. At that time time Oey Hock Chuan was our chairman. And fortunately we also had our first Indonesian priest, Romo Ismartono SJ. Romo Is was on sabbatical and studied at the GTU in Berkeley.

The Lord also blessed us with another priest, Romo Subroto SJ, another Jesuit who also was on sabattical at GTU. After that, three other Jesuits took up residence in Berkeley, Romo Hartono Budi, Romo Deshi Ramadhani and Romo Mutiara Andalas. They nourished our community, each for about 5 years. And all succeeded with their doctoral study and returned to Indonesia. Under their spiritual guidance WKICU expanded and flourished.

 
Previous
Previous

Romo Stefanus Hendrianto, SJ

Next
Next

Romo Mangun yang Saya “Kenal”