Tahukah Anda, Tahukah Anda? WKICU Admin Tahukah Anda, Tahukah Anda? WKICU Admin

Tahukah Anda – Seri Liturgi

Sumber: Presentasi ‘Pembekalan Liturgi’ oleh Romo Evodius, OSC

1. Pusat atau bagian yang paling penting pada saat Perayaan Ekaristi adalah:

a. Ambo

b. Altar

c. Sakramen Mahakudus dalam Tabernakel

d. Salib besar dengan corpus

e. Kursi Imam

f. Salib Pancang

2. Ritus Pembuka dalam Misa dimulai di:

a. Ambo

b. Altar

c. Depan Salib besar dengan corpus

d. Depan Kursi Imam

e. Depan Salib Pancang

f. Depan Sakristi

Jawaban:

1. b.

2. d.

Read More
Artikel & Renungan WKICU Admin Artikel & Renungan WKICU Admin

Why We Keep Doing the Wrong Thing and How to Stop

by Jennie Xue, MTh, a bilingual author and editor at SchoolOfBetterLife.com

Original Text:

We often do certain things repeatedly, following a pattern or multiple patterns, despite understanding that they aren’t good for us. In Psychology, such unhealthy patterns are known as “addictions. ” In Christianity, such addictions can lead to sinful acts if they aren’t already.

Addiction Defined

According to Psychology Today, addiction is characterized by the use of substances or engagement in behaviors for their rewarding effects, which provides a compelling incentive to repeat the activity despite detrimental consequences. Addictive behaviors intensely involve brain reward-and-reinforcement pathways, involving neurotransmitters like dopamine. They lead to changes in the prefrontal cortex, affecting attention and executive functions. These brain changes are reversible after discontinuing the substance use or behavior.

An addiction can be anything physical and emotional. Some examples of addictions include overeating (food addiction), drinking alcohol, prescription drugs, smoking, pornography, sex, gambling, shopping, social media, and others. Also, there are less apparent addictions due to more emotional and psychological, such as habitual lying, playing the victim for gain, narcissism, and any other behaviors that might seem like a choice rather than compulsion. The common thread among all types of addiction is the uncontrollable urge or compulsiveness.

According to the Bible, such as stated in Proverbs 3:5-6, addiction is an issue both spiritual and theological because we place something else above God. Proverbs 3:5–6, “Trust in the LORD with all your heart, and do not lean on your own understanding. In all your ways acknowledge him, and he will make straight your paths.” Spiritually, addictive behaviors are considered a response to emotional or mental trials. Thus, resolution of these issues is sought through a relationship with The Lord.

Theologically, as fallen beings, humans are understood to flourish only when they align with God’s will, as outlined in various Bible verses, such as Ephesians 2:1-6 and John 15:1-16. Addiction, in this view, is seen as a form of dependency disorder where people turn to substances or behaviors instead of God​.

Available Help

Once you acknowledge that you have an addiction, ask for help. Ideally, you seek psychological and spiritual assistance besides your family support. Find a good psychotherapist, and as a Catholic, participate in Reconciliation and Eucharist sacraments to strengthen your faith. Find a pastoral program that caters to this purpose. Read the Bible, reflect on the verses, and internalize God’s words. Stay committed to church and community activities, and develop healthy spiritual habits, such as praying the Rosary daily. More importantly, prioritize spiritual advancement that suits your preferences and learning style. Watching spiritual training videos is helpful, so dedicate a few hours per day to staying informed and educated about the tools available to help you reflect and discern instead of binge-watching Netflix. There are video libraries, such as RightNow Media (https://www.rightnowmedia.org/), that provide ongoing faith enrichments and YouTube channels that offer deep reflective practices, such as Ascension Presents with Father Mike Schmitz (https://media.ascensionpress.com/).

Stopping Addiction

Considering Christianity sees “addiction”; as a dependency disorder in which God isn’t at the center, we should refocus on The Lord in our lives. The good thing is that our brain is plastic, which is known as neuroplasticity. According to Dr. Dan Siegel, a clinical professor of psychiatry at UCLA, “Where attention goes, neural firing flows and neural connection grows. Patterns you thought were fixed are things that, with mental effort, can indeed be changed.” This statement is in alignment with the Bible. What we fixate on will become a part of who we are. In other words, when we focus on God, we’re refreshing our destiny in His image. God has given us the power to interrupt what we’re fixating upon. Like Paul says in Philippians 1:3-4, “I thank my God in all my remembrance of you, always in every prayer of mine for you all making my prayer with joy.” However, due to various forms and levels of addictions, professional psychotherapy, and medical assistance are likely needed. If you have self-diagnosed repeated negative patterns, which are “addiction”; to a lesser degree, such as impatience, easy anger, and other early-stage addictions, refocusing on God can be started with these steps:

1. Be humble enough to recognize Jesus Christ is the center of our life.

2. Stop the other voices in your head; be present for Him.

3. Let Him bless you with whatever you need.

It requires effort to refocus on God after years of acting out negative patterns, yet it must be done, so we are spiritually and emotionally healthy. Commit yourself to finding Christ again and gradually remove those negative patterns.

God bless us all abundantly.

=====================================================================================

Terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia

Mengapa Kita Terus Melakukan Hal yang Salah dan Bagaimana Cara Menghentikannya?

oleh Jennie Xue, MTh, penulis dan editor bilingual di SchoolOfBetterLife.com

Kita sering melakukan hal-hal tertentu berulang kali, mengikuti suatu pola atau beberapa pola, meskipun kita memahami bahwa hal-hal tersebut tidak baik bagi kita. Dalam Psikologi, pola tidak sehat seperti itu dikenal dengan istilah “kecanduan. ” Dalam agama Kristen, kecanduan seperti itu dapat mengarah pada tindakan berdosa jika hal ini belum dilakukan.

Definisi Kecanduan

Menurut Psychology Today, kecanduan ditandai dengan penggunaan zat atau keterlibatan dalam perilaku untuk mendapatkan efek yang menguntungkan, yang memberikan insentif yang kuat untuk mengulangi aktivitas tersebut meskipun ada konsekuensi yang merugikan. Perilaku adiktif sangat melibatkan jalur penghargaan dan penguatan otak, yang melibatkan neurotransmiter seperti dopamin. Mereka menyebabkan perubahan pada korteks prefrontal, mempengaruhi perhatian dan fungsi eksekutif. Perubahan otak ini bersifat reversibel setelah penghentian penggunaan atau perilaku narkoba.

Kecanduan bisa berupa apa saja yang bersifat fisik dan emosional. Beberapa contoh kecanduan antara lain makan berlebihan (kecanduan makanan), minum alkohol, obat resep, merokok, pornografi, seks, perjudian, belanja, media sosial, dan lain-lain. Selain itu, ada juga kecanduan yang tidak terlalu terlihat karena alasan yang lebih emosional dan psikologis, seperti kebiasaan berbohong, mempermainkan korban demi keuntungan, narsisme, dan perilaku lain apa pun yang mungkin tampak seperti pilihan daripada paksaan. Benang merah di antara semua jenis kecanduan adalah dorongan yang tidak terkendali atau sifat kompulsif.

Menurut Alkitab, seperti yang dinyatakan dalam Amsal 3:5-6, kecanduan adalah masalah spiritual dan teologis karena kita menempatkan sesuatu yang lain di atas Tuhan. Amsal 3:5–6, “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan jangan bersandar pada pengertianmu sendiri. Akui Dia dalam segala caramu, maka Dia akan meluruskan jalanmu.” Secara spiritual, perilaku adiktif dianggap sebagai respons terhadap cobaan emosional atau mental. Oleh karena itu, penyelesaian permasalahan ini dicari melalui hubungan dengan Tuhan.

Secara teologis, sebagai makhluk yang telah jatuh, manusia dipahami berkembang hanya jika mereka sejalan dengan kehendak Tuhan, sebagaimana diuraikan dalam berbagai ayat Alkitab, seperti Efesus 2:1-6 dan Yohanes 15:1-16. Kecanduan, dalam pandangan ini, dipandang sebagai suatu bentuk gangguan ketergantungan di mana orang beralih ke zat atau perilaku daripada Tuhan.

Bantuan yang Tersedia

Setelah Anda menyadari bahwa Anda memiliki kecanduan, mintalah bantuan. Idealnya, Anda mencari bantuan psikologis dan spiritual selain dukungan keluarga Anda. Temukan psikoterapis yang baik, dan sebagai seorang Katolik, berpartisipasilah dalam Sakramen Rekonsiliasi dan Ekaristi untuk memperkuat iman Anda. Temukan program pastoral yang memenuhi tujuan ini. Bacalah Alkitab, renungkan ayat-ayatnya, dan internalisasikan firman Tuhan. Tetap berkomitmen pada aktivitas gereja dan komunitas, dan kembangkan kebiasaan spiritual yang sehat, seperti berdoa Rosario setiap hari. Lebih penting lagi, prioritaskan kemajuan spiritual yang sesuai dengan preferensi dan gaya belajar Anda. Menonton video pelatihan spiritual sangat membantu, jadi luangkan waktu beberapa jam per hari untuk tetap mendapat informasi dan terdidik tentang alat yang tersedia untuk membantu Anda berefleksi dan membedakan daripada menonton Netflix secara berlebihan. Ada perpustakaan video, seperti RightNow Media (https://www.rightnowmedia.org/), yang menyediakan pengayaan iman berkelanjutan dan saluran YouTube yang menawarkan praktik reflektif mendalam, seperti Ascension Presents with Father Mike Schmitz (https://media.ascensionpress.com/).

Menghentikan Kecanduan

Mengingat agama Kristen memandang “kecanduan”; sebagai gangguan ketergantungan yang tidak berpusat pada Tuhan, kita harus kembali fokus pada Tuhan dalam hidup kita. Hal baiknya adalah otak kita bersifat plastik, yang dikenal sebagai neuroplastisitas. Menurut Dr. Dan Siegel, seorang profesor klinis psikiatri di UCLA, “Di mana perhatian diarahkan, aliran saraf dan koneksi saraf tumbuh. Pola yang Anda pikir telah diperbaiki adalah hal-hal yang, dengan usaha mental, memang dapat diubah.” Pernyataan ini selaras dengan Alkitab. Apa yang kita fokuskan akan menjadi bagian dari diri kita. Dengan kata lain, ketika kita berfokus pada Tuhan, kita menyegarkan takdir kita menurut gambar-Nya. Tuhan telah memberi kita kekuatan untuk menghentikan apa yang sedang kita fokuskan. Seperti yang Paulus katakan dalam Filipi 1:3-4, “Aku mengucap syukur kepada Allahku karena aku selalu mengingat kamu, dan selalu dalam setiap doaku karena kamu sekalian, menjadikan doaku dengan sukacita.” Namun, karena berbagai bentuk dan tingkat kecanduan, psikoterapi profesional, dan bantuan medis kemungkinan besar diperlukan. Jika Anda mendiagnosis diri sendiri dengan pola negatif berulang, yaitu “kecanduan”; Pada tingkat yang lebih rendah, seperti rasa tidak sabar, mudah marah, dan kecanduan tahap awal lainnya, memfokuskan kembali kepada Tuhan dapat dimulai dengan langkah-langkah berikut:

1. Bersikaplah cukup rendah hati untuk mengakui bahwa Yesus Kristus adalah pusat kehidupan kita.

2. Hentikan suara-suara lain di kepala Anda; hadir untuk-Nya.

3. Biarkan Dia memberkati Anda dengan apa pun yang Anda butuhkan.

Memang perlu upaya untuk kembali fokus pada Tuhan setelah bertahun-tahun melakukan pola-pola negatif, namun tetap harus dilakukan agar kita sehat secara rohani dan emosi. Berkomitmenlah pada diri Anda untuk menemukan Kristus kembali dan secara bertahap hilangkan pola-pola negatif tersebut.

Tuhan memberkati kita semua dengan berlimpah.

Read More
Kesaksian Redaksi E-Bulletin Kesaksian Redaksi E-Bulletin

“Something Happens When You Surrender to Jesus” - part 2 of 4

Apalagi boks-boks ini terbuat dari metal yang begitu kuat, terbuat begitu rapi dan seolah tidak ada sambungannya. Tidak ada kekuatan dari jiwa-jiwa di dalamnya yang bisa membuat mereka keluar dari dalamnya, selain kekuatan yang datang dari luar boks ini.

Diketik tanggal April 21, 2015
“Something Happens When You Surrender to Jesus”

Saya merasa dituntun, berjalan bersebelahan dengan seseorang. Sebetulnya bukan sekedar berjalan, karena saya merasa berpindah tempat tetapi terasa ringan seolah melayang. Saya dituntun oleh seseorang di sebelah kiri saya yang seolah menyuruh saya menyaksikan. Saya melihat di sebelah kanan .... suatu tempat yang gelap dan luas, yang tidak bisa terlihat batasnya. Gelap, namun masih ada cahaya dari pantulan awan-awan yang bergerak tinggi di atasnya. Seketika terlihat bayangan banyak tangan seolah menjangkau ke atas, melambai ke atas, jiwa-jiwa yang tidak berpakaian, kurus, kotor penuh peluh dan luka. Saat bersamaan terdengar raungan-raungan yang menyayat hati...suara kesedihan dan pemberontakan, penyesalan, amarah, dan ketidakpuasan..menjerit-jerit riuh rendah antara kedengaran keras dan lemah. Wanita dan lelaki bercampur di situ, mereka tidak berperang satu melawan yang lain tetapi semuanya menyuarakan kesedihan, ketidakpuasan, dan pemberontakan. Tiap kali kulit mereka bersentuhan, mereka merasakan seperti terbakar dan kesakitan. Mereka semua ingin keluar dari tempat itu tetapi mereka mengetahui bahwa mereka akan lama berada di tempat itu. Dalam keputusasaan, yang mereka bisa lakukan adalah menjerit dan meneriakkan semuanya: kesedihan dan penyesalan yang mendalam, protes dan ketidak damaian. Mereka tidak bisa diam karena seolah tempat mereka berpijak adalah sesuatu yang panas, mereka tidak bisa berpijak dengan diam. Saya bisa menggambarkannya seperti cacing yang menggeliat geliat di tanah yang kering dan kepanasan. 

Lebih dekat dengan saya, atau kami, adalah sebuah tempat yang agak gelap juga tetapi lebih terang daripada tempat yang tadi saya gambarkan. Karena posisi saya (atau kami) seolah melayang setinggi kira-kira lebih dari 10 meter....saya bisa melihat kedua tempat ini sekaligus. Tidak ada batas yang terlihat jelas memisahkan antara kedua tempat ini, tetapi ada seperti sebuah jurang panjang, dalam, dan gelap yang memisahkan keduanya.

Di tempat (area) ini ada serentetan wadah, mungkin ada 5, 6, atau 7... saya tidak memperhatikan jumlahnya. Wadah-wadah ini seperti sebuah boks kuat yang terbuat dari logam, seukuran rumah atau gedung yang besar, semuanya berisi sesuatu. Ketika saya cukup dekat dengan boks yang kedua atau ketiga,...barulah saya menyadari bahwa boks boks ini jauh lebih besar daripada yang terlihat dari jarak pertama saya melihatnya. Boks-boks ini bersebelahan, dari kanan ke kiri terletak secara diagonal, terpisahkan namun semuanya berhubungan dengan semacam terowongan yang menghubungkan antara boks yang pertama dan kedua, kedua ke ketiga, dan seterusnya. Terowongan atau lubang ini terletak di bagian sisi atas boks, tingginya sekitar seperlima bagian di bawah batas atas dindingnya. Diameter terowongan ini tidak besar, tetapi cukup kuat untuk menjadi penghubung antara boks satu dan yang lainnya. Letaknya di tengah-tengah, tidak di kiri atau di kanan sisi dinding boks. Material terisi dalam terowongan ini, berisikan material dari dua boks yang bersebelahan, bercampur sekitar di tengah-tengah terowongan antara bok satu dan bok yang berikutnya. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, semua 'boks' ini berisi material yang hampir penuh.

Ketika saya "terbawa” lebih dekat, posisiku di antara boks kedua dan ketiga, terlihat olehku seseorang yang terangkat (atau mengangkat) kedua tangannya. Dia seperti seorang laki-laki, tetapi dia tidak terangkat oleh kehendak atau kekuatannya sendiri, melainkan oleh sebuah kekuatan yang lain. Dia terangkat dari boks nomor 3, yang setelah saya lihat, berisi sesuatu yang panas, cairan yang sepertinya hampir mendidih panasnya. Warnanya kecoklatan dan kehitaman, bergerak oleh sesuatu yang membuatnya panas. Jiwa ini seolah berteriak, namun tidak ada suara yang terdengar. 

Yang saya dapat rasakan adalah bahwa dia merasa bersyukur. Dia merasa senang karena meninggalkan suatu tempat yang penuh penderitaan dan hukuman menuju tempat lain yang – dia tahu – akan ada penghukuman dan penantian juga, tetapi akan lebih 'tidak menyakitkan' dari boks yang berisi minyak itu. Tubuh jiwa ini tidak berpakaian, warna kulitnya kecoklatan dan terlihat telah mengalami banyak pemurnian dan penantian yang panjang. Saat kedua kakinya meninggalkan permukaan minyak, kedua tangannya bersilang di dada. 

(Pada saat yang bersamaan saya menjadi mengerti bahwa terowongan-terowongan itu adalah jalan yang hendak dilalui oleh jiwa-jiwa untuk beralih dari satu boks ke boks yang berikutnya. Akan tetapi ada jiwa-jiwa yang bisa saja tidak melalui suatu terowongan, akan tetapi jiwanya langsung terangkat dari satu boks menuju ke boks yang berikutnya. Akan tetapi tidak ada satu jiwapun yang bisa terangkat dan tidak melewati terowongan, untuk lebih dari satu kali. Itu belum pernah terjadi). 

Saya menoleh agak ke kanan dan melihat sesuatu yang berasap muncul dari permukaannya. Saya bertanya kepada malaikat yang dari tadi menemani saya. Saat ini saya menjadi tahu bahwa dia adalah malaikat. Saya bertanya apa isi boks itu...dia menjawab. Saya tidak melihat malaikat ini karena posisinya agak di belakang kiri saya, jadi saya tidak melihat dia berbicara. Tetapi kudengar dia berkata, isinya adalah lumpur panas. Seketika aku melihat dari permukaan lumpur ini muncul bebatuan kecil juga, mendidih seperti lahar namun warnanya kecoklatan agak kehijauan dan kebiruan. Berasap, kental, panas, dan baunya seperti belerang dan bercampur dupa yang menyesakkan dada. Tidak ada yang bisa keluar dari material-material dalam boks ini, selain karena materialnya tidak memberikan ruang gerak yang bebas, juga karena sangat pekat. Apalagi boks-boks ini terbuat dari metal yang begitu kuat, terbuat begitu rapi dan seolah tidak ada sambungannya. Tidak ada kekuatan dari jiwa-jiwa di dalamnya yang bisa membuat mereka keluar dari dalamnya, selain kekuatan yang datang dari luar boks ini. Seketika aku mengerti bahwa jiwa yang tadi kulihat melayang dan terangkat dari minyak yang panas, telah terbantu oleh sebuah kekuatan dari luar, dari doa orang-orang yang dipanjatkan kepadanya, berdoa untuknya.
Saya bertanya kepada malaikat itu, berapa lama penghukuman di boks yang kedua ini, dan aku diberi pengertian antara 51 dan 84 tahun, menurut kalender manusia. Aku bertanya berapa lama jiwa-jiwa akan berada dalam boks yang berisi minyak itu. Jawabnya paling sedikit sekitar 3 tahun menurut kalender manusia, tetapi tidak ada batas paling lamanya. 

Alam Purgatory (sketsa tangan, sperti yang ditampakkan kepadaku)

Alam Purgatory (sketsa tangan, sperti yang ditampakkan kepadaku)

Aku menoleh agak ke kiri, sebelah kiri boks yang berisi minyak itu. Ada beberapa boks lagi tetapi pandanganku tertuju lebih jauh sehingga melewati boks yang terakhir, yang sepertinya berisi material yang lebih ringan, seperti debu-debu panas dan awan panas luncuran dari gunung berapi. Awan dan debu-debu ini berputar-putar di dalam boks itu, tidak ada jiwa yang bisa menghindar dari betapa panas dan sakitnya terjangan bebatuan seukuran kepalan tangan yang beterbangan berputar-putar di dalamnya, berlawanan arah jarum jam. Tetapi jiwa-jiwa di tempat ini bisa bernapas lebih baik atau lebih mudah bila dibandingkan dengan boks yang di sebelah kanannya. Still, mereka tidak bisa bernapas sepenuhnya seperti orang yang hendak menarik napas panjang, karena udara dan debu itu akan menyakitkan dan menyesakkan dada mereka. 

Tempat itu yang jelas lebih terang daripada boks yang kedua dan ketiga. Terangnya tidak dari lampu atau matahari, tetapi dari sesuatu yang tidak bersumber. Setelah boks yang terakhir itu, yakni boks yang berisi udara dan debu panas yang berputar-putar, adalah sebuah tempat menyerupai lingkaran. Tanah, tetapi tanah itu sendiri terlihat terang namun tidak bercahaya. 

Jadi boks-boks yang terletak bersebelahan itu letaknya di atas tanah dan melayang dan bagian bawahnya setinggi kira-kira3 atau 4 meter dari permukaan tanah. Di bawah boks-boks yang kedua, ketiga, keempat dan kelima,..tidak terlihat tanah karena gelap dan tidak ada cahaya. Barulah di bawah sekitar boks yang terakhir, tanah terlihat remang-remang karena sudah ada cahaya. Cahaya yang terbagi dan sama, yang diterima oleh tanah yang agak terang itu. 

Tanah itu seukuran lingkaran besar,..tetapi tidak terlalu luas, mungkin bisa memuat sekitaran seratus orang. Ada beberapa sosok di situ. Dua orang berdiri berhadapan dengan posisi saya, berpakaian putih dan tangan mereka bersila di dada. Satu lagi orang di sebelah kanan mereka, yaitu di sebelah agak ke kiri dari pandangan saya, berpakaian putih juga. Mereka berdiri di luar lingkaran, menanti jiwa-jiwa yang akan datang, satu per satu. Jiwa-jiwa ini sepertinya melayang, meloncat dari boks yang terakhir, tetapi loncatan mereka tidak oleh karena kekuatan mereka sendiri. Mereka melayang turun...dan seolah mendarat di lingkaran di tanah itu. Saya melihat satu jiwa tiba di tempat itu, turun di tanah berlingkaran itu. Ia tidak berkata-kata tetapi saya bisa merasakan bahwa dia senang dan tubuhnya terasa ringan. Saya menjadi tahu bahwa tubuh laki-laki yang tadi saya lihat keluar dari boks minyak, itu lebih berat daripada jiwa yang keluar dari boks yang terakhir ini. Tubuhnya berwarna putih dan tidak lagi gelap, dan ketika tubuhnya mendarat di tanah sebuah jubah sudah disiapkan kepadanya. Sepertinya kedua malaikat yang menunggu itu adalah mengawasi tempat itu, dan memastikan bahwa semuanya berlangsung seperti apa yang kepada mereka telah diberitahukan atau diperintahkan. Mereka seolah tahu dan mengamini siapa saja jiwa yang akan tiba di tempat itu, tetapi mereka tidak memegang buku atau daftar. Mereka menunggu dan melihat dengan hati yang damai. 

Tempat ini terang, tetapi tidak bercahaya. Jadi apa yang ada di situ semuanya berwarna putih. Jubah para malaikat dan jubah orang yang tiba di situ berwarna putih tetapi saya masih bisa membedakan putihnya dengan putih tanah. Putih tanah itu tidak bercahaya, tetapi jiwa-jiwa yang memakai jubah itu seolah hidup, ada sesuatu yang hidup di balik jubah itu, dan karena saya (melayang) mendekati kedua malaikat itu, saya bisa melihat warna merah di dada mereka, ada segumpal darah segar dari jantung yang terlihat berdetak. 

Hell, Purgatory and light-ways to Heaven (sketsa tangan, sperti yang ditampakkan kepadaku)

Hell, Purgatory and light-ways to Heaven (sketsa tangan, sperti yang ditampakkan kepadaku)

Saat itulah saya melihat ke atas... dari manakah asal semua terang ini. Saya mendongakkan kepala ke atas...sekitar di atas lingkaran di atas tanah itu. Saya melihat langit yang terbuka oleh sinar yang terang. Sinar-sinar itu lurus tertuju ke tanah itu, menyebar ke seluruh permukaan tanah dan membuatnya terang. Sinar itu lurus dan terang, awan-awan yang bergerak di sekelilingnya tidak bisa menghalangi terang sinar itu, karena sinar itu harus tetap ada. 

Saya bertanya di manakah Sorga?

Hell, Purgatory, and light-ways to heaven (ilustrasi artis)

Hell, Purgatory, and light-ways to heaven (ilustrasi artis)

 



 
Read More
Kesaksian Redaksi E-Bulletin Kesaksian Redaksi E-Bulletin

Something Happens When You Surrender to Jesus - part 1 of 4

Something will truly happen when we surrender ourselves, totally, to Jesus.
Dengan membagikan tulisan ini, semoga ada banyak pribadi yang mengerti dan disadarkan bahwa hidup ini sungguh singkat dan sangatlah berharga. Dan bahwa Neraka, Purgatori, dan Sorga itu sungguh nyata. Tidak seorangpun yang layak masuk neraka. Jangan ada satupun lagi.

Pengantar.
Pada tanggal 17 April 2015 sore, ada Healing Mass yang dibimbing oleh para suster Putri Karmel, diadakan di gereja Mater Dolorosa, South San Francisco. Namun sejak sekitar 2 minggu sebelumnya, saya sudah berencana dalam healing mass itu akan memohon agar Tuhan berkenan menjawab pertanyaan-pertanyaan penting yang sedang mengganjal dalam hati saya. Dan apapun jawaban dari Tuhan, saya berjanji akan turut dan menyerahkan diri seutuhnya.
Malam ketiga setelah healing mass, atau tanggal 19 April sekitar tengah malam, Tuhan menjawab doa saya lewat mimpi. Seperti bukan mimpi, karena dalam tidur itu semuanya terasa begitu nyata, saya seperti di antara sadar dan tidak.
Begitu terbangun, saya langsung menuliskan (di kertas) poin-poin penting mimpi itu, karena saya tidak ingin ada yang terlupakan. Kemudian, semuanya saya ketikkan dalam 4 bagian, sesuai tanggal ketikannya yaitu tanggal 20, 21, 23 dan 26 April 2015.

surrender.jpg

Pengalaman rohani ini sangat istimewa buat saya, karena saya yakin adalah jawaban dan tanggapan Tuhan akan doa dan sikap penyerahan diri kepadaNya. Maka tulisan ini saya beri judul “Something Happens When You Surrender to Jesus”. Something will truly happen when we surrender ourselves, totally, to Him.
Dengan membagikan tulisan ini, semoga ada banyak pribadi yang mengerti dan disadarkan bahwa hidup ini sungguh singkat dan sangatlah berharga. Kita harus selalu mau bertobat dan berjuang sekuat tenaga agar hidup seturut ajaran, kehendak dan perintah Kristus. Bahwa neraka, purgatori, dan Sorga itu sungguh nyata. Tidak seorangpun yang layak masuk neraka. Jangan ada satupun lagi.

===


Diketik tanggal April 20, 2015
“Something Happens When You Surrender to Jesus”

Dalam waktu itu aku begitu saja menjadi mengerti dan yakin bahwa aku boleh bertanya apa saja kepada Yesus dan aku akan mengetahui jawabannya. Fine, pikirku. Aku akan bertanya tentang hal-hal yang begitu ingin kumengerti selama ini. Aku bertanya apakah kedua orangtuaku akan hidup lama? Sampai berapakah umur mereka? Aku seketika mengetahui jawabannya, meskipun sepertinya tidak ada yang menjawabku.

Aku bertanya tentang beberapa orang yang sangat aku sayangi. Seketika aku juga mengetahui jawabnya.
Aku bertanya apakah di masa depan aku akan hidup senang? Apakah aku akan berkecukupan dalam keuangan? Jawaban yang kudengar sungguh tidak terduga: 'Itu bukan urusanmu untuk worry”. Samar-samar kudengar lagi, “Apa dan bagaimana rezekimu di masa depan, Aku yang mengatur”.

Aku bertanya juga mengapa kami Kau ajarkan untuk memberi pipi kanan padahal pipi kiri kami ditampar? Bahkan Kau katakan bahwa kami harus bersyukur? Sebelum pertanyaanku dijawab, seketika itu juga aku seolah diminta melihat kembali, supaya ingat pada semua keadaan di neraka dan purgatory. Betapa sengsaranya mereka….padahal semua penderitaan itu akan dapat dielakkan hanya dengan ibaratnya merelakan satu lagi pipi kita ditampar. Sungguh tidak berartinya pengorbanan itu ternyata, bila dibandingkan dengan ancaman hukumannya yang sungguh panjang - bila kita tidak merelakan satu lagi pipi kita ditampar. Betapa secuil siksaan fisik itu sungguh tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan manfaat dan konsekuensi yang mengikutinya. Bersyukur, bersyukurlah bila semua itu terjadi padamu. Karena engkau memiliki kesempatan untuk menguatkan dirimu, menjauhkan kamu dari siksaan api yang sudah menanti bagi orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri.

Aku juga bertanya mengapa banyak orang sakit. Jawabannya, ada banyak kesakitan itu, dan berbagai masalahnya yang terjadi, adalah supaya orang itu mengerti, percaya, dan mau bertobat dengan mengingat bahwa “Akulah Tuhan mereka, Akulah yang dapat menyembuhkan mereka. Agar mereka dekat kepadaKu dan jangan lagi berada jauh dari Ku”

Demikian sekejapnya aku mengerti jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, bahkan sebelum pertanyaan sungguh selesai kuucapkan. Perasaan damai merebak, antara sadar dan tidak, aku tahu bahwa aku sedang tersenyum. 

Semua itu terjadi, setelah sebelumnya aku seolah dibolehkan melihat dan mendengar penderitaan di suatu tempat. Tempat yang gelap, yang kutahu, adalah neraka dan purgatory. Apa yang tadi kulihat dan kudengar di dua tempat yang seolah berdekatan itu ?.

Read More
Tahukah Anda?, Tahukah Anda WKICU Admin Tahukah Anda?, Tahukah Anda WKICU Admin

“Rutinitas Misa - Mengapa Kita Melakukan Rutinitas yang Sama?”

Pernahkah kita bertanya-tanya mengapa umat Katolik di seluruh dunia melakukan rutinitas yang sama di setiap misa? Adakah juga yang tahu alasan atau tujuan dari rutinitas misa?

Nara Sumber: Romo Sam Nasada, OFM

Pernahkah kita bertanya-tanya mengapa umat Katolik di seluruh dunia melakukan rutinitas yang sama di setiap misa? Adakah juga yang tahu alasan atau tujuan dari rutinitas misa?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijelaskan secara sangat detail oleh Romo Sam Nasada, OFM pada acara OMK WKICU retreat yang bertema “Embracing the Eucharist.” Acara tersebut diadakan pada tanggal 15-17 September 2023 di Santa Teresita Youth Conference Center di Three Rivers, CA. 

Romo Sam menjelaskan setiap elemen di dalam tiga misa selama retreat dengan menggunakan visi dari National Eucharistic Revival: “To inspire a movement of Catholics across the United States who are healed, converted, formed, and unified by an encounter with Jesus in the Eucharist - and who are then sent out on mission for the life of the world.”

Pertama-tama, Romo Sam menjelaskan arti dari kata Misa, yaitu ritual yang umat Katolik rayakan sebagai tanggapan terhadap perintah Yesus yang kita lakukan untuk mengenangNya. Salah satu cara untuk menggambarkan misa adalah dengan mengingat hari Kamis Putih, Jumat Agung, dan Minggu Paskah atau Pekan Suci. Pekan suci adalah perayaan hidup dan pengorbanan Yesus Kristus untuk umat manusia. Karena itu, misa adalah kesempatan kita sebagai umat Katolik untuk menyembah dan bersyukur atas anugerah keselamatan kita di dalam Yesus Kristus.

Romo Sam juga menjelaskan bahwa di dalam Ekaristi, dunia ciptaan menemukan keagunganNya yang terbesar, dan kepenuhan sudah diwujudkan. Ia adalah pusat kehidupan alam semesta, pusat yang berkelimpahan cinta dan kehidupan yang tiada habisnya. Ekaristi juga menyatukan langit dan bumi, merangkul dan meresapi seluruh ciptaan. Maka dari itu, Ekaristi merupakan tindakan kasih kosmik karena dimanapun dirayakan, baik di altar sederhana di sebuah kampung atau di dalam gereja yang megah, Ekaristi selalu dirayakan di altar dunia. 

Setelah kita mengerti arti Misa dan makna kata Ekaristi, marilah sekarang kita mencari tahu setiap elemen dan tujuannya sebagai berikut:

Elemen yang pertama - Pertemuan atau Upacara Perkenalan Misa 

Tujuan: menyatukan kita menjadi satu tubuh, siap mendengarkan dan memecahkan roti bersama, karena Tuhan sendiri yang memanggil semua umat ke perayaan Ekaristi untuk hadir untuk menanggapi undanganNya.

Mengapa kita berlutut atau membungkuk pada saat memasuki gereja dan bangku gereja? Karena kita berlutut di hadapan kehadiran Kristus di tabernakel sebelum memasuki bangku gereja yang di adaptasi dari zaman abad pertengahan Eropa pada saat rakyat berlutut di hadapan raja dan orang yang berpangkat. Bagaimana kalau tabernakelnya tidak terletak di tempat kudus? Kita sepantasnya mengungkapkan rasa hormat terhadap altar, bahkan ada kebiasaan yang lebih kuno lagi yaitu membungkuk di depanNya sebelum memasuki bangku gereja.

Prosesi masuk misa bersama beberapa petugas liturgi - prosesi ini adalah tanda ziarah: kita datang, berjalan dari kehidupan biasa kita menuju tempat suci. Romo Sam juga menjelaskan kalau prosesi tidak dimulai pada saat lagu pembukaan dimainkan, melainkan dimulai pada saat kita bersiap-siap di rumah untuk menuju ke gereja. 

Mengapa umat berdiri dan bernyanyi di awal misa? Berdiri adalah postur tradisional umat Kristiani saat berdoa yang mengungkapkan perhatian kita terhadap Firman Tuhan dan kesiapan kita untuk melaksanakannya. Kemudian, kita mulai dengan bernyanyi bersama untuk menyatukan pikiran dan suara kita dalam satu kata, ritme, dan melodi yang sama.

Tanda salib - untuk mengingatkan kita akan jati diri Kristiani yang telah kita tandai, tanda sebagai anak Tuhan dan murid Kristus.

Romo mencium altar - tanda penghormatan terhadap altar Kristus sebagai tempat pengorbanan misa, jenazah, dan darah Kristus yang disemayamkan.

Pengingatan akan Trinitas - Romo: “Rahmat Yesus Kristus, kasih Allah Bapa dan persekutuan Roh Kudus menyertaimu.” “Tuhan bersamamu.” Umat: “Dan bersama RohMu” (kutipan dari Laudato Si, paragraph 256). Kutipan kata-kata ini adalah inspirasi dari cara Santo Paulus menyapa orang-orang Kristen mula-mula dalam surat-suratnya. Bukan sekedar sapaan, tapi juga doa memohon rahmat, kasih sayang, dan persekutuan Tuhan kepada lawan bicara, tidak hanya di permukaan tetapi jauh di lubuk hati.

Ritus Pertobatan - kita diajak untuk mengingat dosa-dosa kita dan memohon kepada Tuhan untuk mengampuni dosa-dosa kita, sehingga kita bisa bersih dan siap bertemu Tuhan. 

Gloria - menyatukan suara dan hati kita dengan para wali dan malaikat di surga, agar langit dan bumi bertemu dan bersama-sama memuji Tuhan.

Di akhir misa bagian pertama, Romo mengajak umat untuk menyatukan pikiran dalam doa dengan undangan berdoa. Selalu ada jeda di saat ini untuk memberi setiap umat waktu mempertimbangkan niat doa, untuk mengatakan apa yang secara khusus ingin didoakan di dalam misa. Pada saat Romo mengatakan, “Marilah berdoa/Let us pray” dari doa Kolekta/Collect artinya adalah Romo mengoleksi semua intensi doa umat di satu doa dan mempersembahkannya kepada Tuhan. 

Kata “Amin” yang umat sebutkan diambil dari kata Ibrani yang berarti “So be it (biarlah).”

Elemen yang kedua - Liturgi Sabda 

Di dalam liturgi, kehadiran Yesus berada di dalam Kurban Misa: roti dan anggur dan pribadi pelayan, dalam sakramen-sakramen, dalam Sabda Tuhan, dan dalam gereja yang memohon dan bermazmur (kutipan dari Dokumen Konsili Vatikan II tentang liturgi Sacrosanctum Concilium).

Pada misa di hari Minggu, ada tiga bacaan (empat dengan Mazmur Tanggapan) yang diambil dari Kitab Suci. Bacaan-bacaan ini adalah cerita umat Tuhan. Praktik yang bagus adalah membaca semua bacaan ini di rumah sebelum datang ke gereja dan membagikan refleksinya kepada keluarga, teman dan lainnya, dan berpeganglah pada satu kata atau satu pesan yang paling menyentuh hati dan bawalah itu saat datang ke misa.

Bacaan pertama biasanya diambil dari kitab Perjanjian Lama. Tujuan dari bacaan pertama adalah untuk mengingat kembali asal mula perjanjian yang Allah buat dengan nenek moyang kita dalam iman. Bacaan pertama juga bisa diambil dari Kisah Para Rasul (biasanya pada masa Paskah) atau Kitab Wahyu. Bacaan pertama seringkali berhubungan dengan bacaan Injil dan akan memberikan latar belakang dan wawasan mengenai makna dari apa yang Yesus akan lakukan dalam Injil. 

Mazmur Tanggapan - sebuah lagu dari himne yang diilhami Tuhan, diambil dari kitab Mazmur.  

Bacaan kedua biasanya diambil dari Surat-Surat Paulus atau Surat-Surat apostolik lainnya kepada umat Ibrani, Surat Petrus dan Yohanes. Sedangkan bacaan Injil diambil dari salah satu empat Injil: kitab Matius, Markus, Lukas, atau Yohanes. 

Pada saat mendengarkan setiap bacaan, bukalah hati anda masing-masing untuk kata atau pesan yang menyentuh dengan cara yang istimewa. Ketika menanggapi syukur kepada Tuhan atau pujian kepada Tuhan Yesus Kristus setelah bacaan, anda sedang mengucap syukur atau memuji Tuhan walaupun anda tidak mengerti. Mengucapkan syukur terutama ditujukan kepada Tuhan sebagai pengakuan bahwa Tuhan hadir dan berbicara kepada anda melalui proklamasi Kitab Suci.

Mengapa kita berdiri pada saat Injil dibacakan? Dikarenakan kehadiran Kristus yang unik dalam pewartaan Injil, sudah lama menjadi kebiasaan untuk berdiri dengan penuh hormat dan hormat ketika mendengar kata-kata itu. Dan juga karena kita percaya bahwa Kristus hadir dalam FirmanNya karena Dia sendirilah yang berbicara ketika Kitab Suci dibacakan di gereja.

Salah satu peserta retreat bertanya, “Adakah alasannya mengapa struktur bacaan-bacaan berurut seperti yang dipraktikkan?” Romo Sam menjawab, “tidak ada alasan yang tertentu melainkan tradisi gereja Katolik.”

Homili adalah lebih dari sekedar khotbah atau ceramah tentang bagaimana kita harus hidup atau apa yang harus kita percayai. Homili adalah suatu tindakan ibadah yang berakar pada teks misa dan Kitab Suci, khususnya bacaan-bacaan yang baru saja diwartakan. Romo mengambil firman itu dan membawanya ke dalam situasi kehidupan kita saat ini. Janganlah berpikir, “Itu homili yang bagus,” melainkan, “Tuhan berbicara kepadaku hari ini.” Homili tidak dimaksudkan sebagai hiburan, ceramah, atau nasihat agama tetapi dimaksudkan untuk membuka dialog antara Tuhan dan anda untuk membangkitkan kerinduan akan Tuhan di dalam hati anda.

Syahadat Iman Nicea atau Syahadat Iman Para Rasul - pembacaan syahadat merupakan serangkaian kebenaran inti yang kita yakini sebagai umat Katolik dan pernyataan iman kita terhadap sabda yang telah kita dengar yang diproklamirkan dalam Kitab Suci dan homili. Syahadat Iman juga menghubungkan Liturgi Sabda dan Ekaristi sebagai jemaah yang mengenang kembali misteri iman yang akan kembali diwartakan dalam Doa Syukur Agung.

Doa Umat - tradisi yang lain di gereja Katolik adalah doa umat. Ini juga persembahanmu, persembahan doa dan niat. Ada empat kategori doa umat: gereja, bangsa dan pemimpinnya, orang-orang yang berkebutuhan khusus, dan kebutuhan lokal paroki kita.

Elemen yang ketiga - Liturgi Ekaristi

Persiapan altar - umat Kristen zaman dahulu masing-masing membawa roti dan anggur dari rumah mereka ke gereja untuk digunakan dalam misa dan untuk diberikan kepada pendeta dan orang miskin. Pada jaman sekarang, pikirkan tentang apa yang ingin anda persembahkan kepada Tuhan. 

Romo Sam juga memakai analogi persiapan makan-makan pada acara Thanksgiving dan lainnya, untuk menghubungkan dengan kehidupan kita sehari-hari: 1) atur meja, 2) ucapkan rahmat, 3) bagikan makanan. Pada misa, tindakan ritual tersebut adalah 1) persembahan atau persiapan altar dan persembahan, 2) doa Syukur Agung, dan 3) upacara komuni. 

Persembahan - Persembahan untuk paroki dan orang miskin diberikan dengan sumbangan uang. Sekeranjang berisi uang yang dikumpulkan itu kemudian dibawa kepada Romo untuk diberkati. Romo juga menerima roti dan anggur yang dibawakan oleh anggota jemaah, melambangkan bahwa mereka dipersembahkan oleh umat. 

Ada yang bertanya, “Adakah syarat untuk jumlah sumbangan uang sewaktu misa?” Jawab Romo, “Tidak ada persyaratan. Semua tergantung dari kesadaran diri sendiri berapa jumlah uang yang layak dipersembahkan kepada Tuhan.”

Ada beberapa doa persiapan persembahan yang umat biasanya tidak dengar pada saat Romo mempersiapkan altar untuk Sakramen Ekaristi. Doa-doa ini berakar pada doa yang diucapkan Yesus sendiri pada perjamuan terakhir, doa Yahudi sebelum makan Paskah, memberkati dan bersyukur kepada Tuhan atas makanan dan minuman yang akan dikonsumsi. Berikut ini adalah doa-doa persiapan persembahan yang sesuai dengan Tata Perayaan Ekaristi (TPE):

Dengan semangkuk penuh hosti, “Terberkatilah Engkau, Tuhan Allah semesta alam, sebab dari kemurahan-Mu, kami menerima roti, yang kami persembahkan kepadaMu, hasil bumi dan usaha manusia yang bagi kami akan menjadi roti kehidupan.”

Dengan piala berisi anggur, “Terpujilah Engkau, Tuhan Allah semesta alam, sebab dari kemurahanMu, kami menerima anggur, yang kami persembahkan kepada-Mu, hasil pokok anggur dan usaha manusia, yang bagi kami akan menjadi minuman rohani.”

Romo Sam menambahkan bahwa kita juga mempraktikkan doa-doa ini pada saat kita berdoa sebelum makan yang berbunyi, “Bless us O Lord and these thy gifts…”

Menuangkan air ke dalam anggur - Alasan pertama adalah tradisi supaya anggurnya tidak terlalu kuat. Alasan kedua lebih bersifat teologis: air adalah simbol Kristus yang mencurahkan diriNya dan membagikan keilahianNya kepada kita dengan mengambil kemanusiaan kita.

Pencucian tangan - pada perjamuan Paskah, pemimpin perjamuan itu akan mencuci tangannya. Ini bukan sekadar membasuh kuman, tapi juga persiapan, penyucian jiwa, untuk mempersembahkan kurban suci misa.

Doa Syukur Agung - kita berseru kepada Tuhan untuk mengingat semua perbuatan penyelamatan yang luar biasa dalam sejarah kita dan untuk mengingat peristiwa sentral dalam sejarah kita, Yesus Kristus, dan khususnya peringatan yang Dia tinggalkan untuk kita pada malam sebelum Dia meninggal serta mengingat sengsara, kematian, dan kebangkitanNya. Setelah dengan rasa syukur mengingat semua tindakan penyelamatan luar biasa yang telah dilakukan Tuhan bagi kita di masa lalu, kita memohon kepada Tuhan untuk melanjutkan perbuatan Kristus di masa sekarang. 

Ketika Romo berkata “Marilah kita mengarahkan hati kepada Tuhan,” itu merupakan pengingatan bahwa dalam misa kita mempersatukan diri kita dengan Kristus sebagai kurban. Kita ingat bahwa Tuhan tidak menginginkan kurban bakaran kita, melainkan hati kita yang menyesal dan rendah hati. Pada saat umat berseru, “Sudah kami arahkan,” itu adalah tanda bahwa umat siap untuk mempersiapkan hati kepada Tuhan. Pada saat umat berkata, “Sudah layak dan sepantasnya,” ini merupakan sebuah doa untuk mengingat betapa indahnya Tuhan kepada kita.

Ketika jemaat bernyanyi “Kudus…Kudus…” semua menyanyikannya bersama para malaikat dan persekutuan orang-orang kudus. Dengan nyanyian pujian ini, kita mempersiapkan diri untuk masuk ke dalam bagian misa yang paling suci.

Epiklesis - panggilan kepada Roh Kudus untuk mengubah pemberian roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus. Hal ini terjadi ketika Romo mengulurkan tangan di atas roti dan anggur dan membuat tanda salib. Dengan kata-kata ini, kita juga diingatkan bahwa kita pun diambil, diberkati, dihancurkan, dan dibagikan untuk kehidupan dunia. 

Sedangkan pada saat Romo berseru “Ini tubuhku dan Ini darahku” - ini adalah kata-kata institusi Ekaristi bukan Epiklesis.

Misteri Iman - proklamasi misteri iman adalah untuk mengingat perbuatan keselamatan yang luar biasa Tuhan kita: sengsara, wafat, dan kebangkitan Kristus.

Doksologi - doa kemuliaan kepada Tuhan dalam nama Kristus yang berbunyi, "Dengan Pengataran Dia, dan dalam Dia, bagi-Mu, Allah Bapa yang Mahakuasa, dalam persekutuan dengan Roh Kudus, segala hormat dan kemuliaan, sepanjang segala masa. Amin.” Amin kita terhadap doa ini menyatakan persetujuan dan partisipasi kita dalam seluruh Doa Syukur Agung, atas konsekrasi diri kita sebagai kurban, dipersatukan dengan Kristus yang disebut sebagai Amin yang agung. Ceritanya adalah orang-orang Kristen mula-mulanya mengucapkan Amin ini dengan suara lantang, dengan segenap tenaga mereka, sehingga tembok-tembok gereja akan berguncang - seperti konser Taylor Swift, canda Romo Sam. 

Bapa Kami - Mengapa Romo mengatakan “We DARE to say/Kami Berani berdoa” sebelum doa Bapa Kami? Ini untuk mengingatkan kita ketika Yesus menyebut dirinya Anak Allah dan para pemimpin Yahudi saat itu menuduhnya melakukan penistaan ​​agama. Sudahkah kita menyadari jati diri kita sebagai anak Tuhan? Dengan kita berdoa Bapa Kami, kita juga mempersiapkan diri untuk makan dan minum di Perjamuan Tuhan dengan kata-kata yang diajarkan oleh Yesus: "Berilah kami rezeki pada hari ini dan ampunilah kesalahan kami seperti kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami."

Tanda Perdamaian - Pada momen tanda perdamaian ini, kita mengakui bahwa meskipun kekerasan dan kekacauan terus berlanjut di luar, kita semua diberikan kedamaian di hati. Komuni adalah tanda dan sumber rekonsiliasi dan persatuan kita dengan Tuhan dan satu sama lain, kita membuat isyarat persatuan dan pengampunan dengan orang-orang di sekitar kita dan menawarkan mereka tanda perdamaian.

Pemecahan Roti - kita ingat lagi perkataan Yesus, “Inilah tubuhKu yang dipecah untukmu.” Selama ini, kita biasanya menyanyikan Anak Domba Allah. Di dalam perjamuan Paskah Yahudi, selalu ada daging yang telah disembelih. Darah Anak Domba akan digunakan untuk menandai pintu, sama seperti Musa diperintahkan untuk melakukannya agar para malaikat Tuhan dapat melewati pintu-pintu bangsa Israel agar terhindar dari kematian. Karena inilah, kita berdoa kepada Yesus, Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia agar mengasihani kami dan memberi kami kedamaian. 

Komuni - Ketika Anda datang untuk komuni, ingatlah bahwa Anda menerima Ekaristi, bukan mengambilnya. Ketika kita menjawab dengan Amin, itu adalah sebuah penegasan bahwa kita percaya bahwa itu benar-benar Tubuh Kristus.

Doa setelah menerima komuni - Kini kita meluangkan waktu untuk berdoa dalam hati dalam hati, mengucap syukur, dan memuji Tuhan serta memohon semua yang dijanjikan sakramen ini. Salah satu cara untuk berdoa pada saat ini adalah dengan membayangkan diri Anda seperti Maria pada saat dia mengandung Yesus dan pergi mengunjungi sepupunya, Elisabet. Ketika Elisabet melihat Maria, bayi dalam kandungannya melonjak kegirangan. Pada saat itulah Maria menyanyikan lagu Magnificat, "Jiwaku mewartakan kebesaran Tuhan, hatiku bersukacita karena Allah penyelamatku, karena Ia telah memandang baik hambaNya yang hina ini." Kita bisa menyatukan doa kita dengan Maria, memuji Tuhan atas perbuatan besarNya kepada kita.

Ritus Penutup/Pengutusan - ini adalah misi dengan atau untuk diutus. Sama seperti ketika Maria mengunjungi Elisabet dan menyampaikan kabar baik kepadanya, kita pun kini harus membawa Yesus dan mewartakan kabar baik agar dunia dapat melompat kegirangan. Sama seperti Yesus menugaskan murid-muridnya untuk keluar dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus, kita menundukkan kepala untuk menerima berkat dan penugasan.

Romo atau diakon kemudian membubarkan misa dengan mengatakan, “Pergilah dengan damai, memuliakan Tuhan dengan hidupmu.” Romo ingin melihat kita memuliakan Tuhan sepanjang waktu dan dalam segala aspek kehidupan kita, tidak hanya ketika kita berdoa atau membaca Alkitab atau berbicara tentang agama, tetapi juga ketika kita mencuci piring, mengerjakan pekerjaan rumah, dan sebagainya. St Irenaeus berkata, “kemuliaan Tuhan adalah pribadi manusia yang hidup seutuhnya.”

Ketika kita berseru “Syukur kepada Allah” di akhir misa, kita membawa Kristus ke dunia, kita membawa harapan di mana ada keputus asaan, kita membawa terang di mana ada kegelapan, kita membawa kegembiraan di mana ada kesedihan. 

Apakah hal ini tampak menakutkan dan mustahil? Memang benar, namun keseluruhannya dirancang untuk membantu kita menyadari bahwa kita tidak sendirian. Kita melakukannya bersama Yesus, yang berjanji untuk menyertai kita dan gereja sampai akhir zaman. Kita telah menerima tubuhNya, maka kita kini menjelma menjadi tubuh mistikNya agar kita dapat hidup kekal dan dunia juga dapat hidup.

Semoga dengan penjelasan-penjelasan ini, kita semua umat Katolik khususnya di WKICU, bisa lebih mengerti dan menghargai setiap rutinitas yang kita jalani pada saat menghadiri misa. Amin!

Salam kasih Kristus!

**Disclaimers: semua materi dirangkum dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan izin dari Romo Sam. Kredit kepada Ingrid untuk kontribusi slides misa yang telah membantu penulisan artikel ini.

Read More
Artikel & Renungan WKICU Admin Artikel & Renungan WKICU Admin

How to Defeat Your Own Demon?

Now, how do we defeat our own “inner demon?”

First and foremost, rely on His strength - God’ strength.

by Jennie Xue, MTh; a bilingual author jenniexue.com.

Orgininal Text:

We all have demons inside. Some are fierce, others are tame. Some are active, others are dormant.

What kind is your demon? What is it? Why did God allow it to reside inside us? Should we defeat it? Why and how? Whatever your inner demon is, we all have it inside us. Sometimes we’re aware of it, sometimes we aren’t, but it’s always there due to being human beings.

Our “inner demon” is our weakness (or weaknesses, in plural). It can be anything, including but not limited to a negative trait (addiction, anxiety), a negative feeling (fear, anger, complacency), and others. Whatever our inner demon is, we must acknowledge it, first and foremost, so we can learn and grow from it.

A renowned Stanford psychologist, Carol Dweck, posited acknowledging our failures and mistakes is critical to learn from them. In her words, Dweck said that those with a growth mindset believe that their abilities and intelligence can be developed with dedication, effort, and perseverance.

They embrace challenges, seeing them as opportunities to learn and grow. Failures and mistakes do not deter them.

Dweck’s theory is in alignment with the Bible. We can find it in Romans 5:3-4, “Not only so, but we also glory in our sufferings, because we know that suffering produces perseverance; perseverance, character; and character, hope.”

Now, why does the Utmost Merciful God allow “demons”; to reside inside us? My simple is: for learning purposes so we can grow in faith.

1. Spiritual growth and character development

With sufferings, mistakes, and failures, we recognize our limitations and vulnerabilities, from which we can learn to grow closer and rely on Him more deeply. Romans 5:3-5, “Not only so, but we also glory in our sufferings, because we know that suffering produces perseverance; perseverance, character; and character, hope. And hope does not put us to shame because God’s love has been poured out into our hearts through the Holy Spirit, who has been given to us.”

2. Greater life purpose

Sometimes, our “inner demon” plays a role in a larger divine narrative that humans might not immediately understand. Genesis 50:20 (Joseph speaks to his brothers who sold him into slavery), “You intended to harm me, but God intended it for good to accomplish what is now being done, the saving of many lives.”

3. Testing of our faith

By experiencing sufferings that may have affected how we manage our “inner demons” they can help test our faith in Him. 1 Peter 1:6-7, “In all this you greatly rejoice, though now for a little while you may have had to suffer grief in all kinds of trials. These have come so that the proven genuineness of your faith of greater worth than gold, which perishes even though refined by fire—may result in praise, glory, and honor when Jesus Christ is revealed.”

4. Inspiring others through our experiences

Negativities experienced make us feel uneasy and cause us to despair. However, such unpleasant events happen so that God’s works might be displayed for others to share and be inspired. John 9:1-3 (About a man born blind), “As he went along, he saw a man blind from birth. His disciples asked him, ‘Rabbi, who sinned, this man or his parents, that he was born blind?’ ‘Neither this man nor his parents sinned’ said Jesus,’ but this happened so that the works of God might be displayed in him.”

Now, how do we defeat our own “inner demon?”

First and foremost, rely on His strength. Why? Because humans are weak. If we think we’ve been relying on ourselves, we’re wrong. Ever since we were created, He has been with us. With God’s help, He can help us overcome opposing challenges. Read this verse, Philippians 4:13, “I can do all things through Christ who strengthens me.”

Second, replace our negative thoughts with positive ones by immersing in God’s words and imagery. Let’s visit Romans 12:2, “Do not conform to the pattern of this world, but be transformed by the renewing of your mind.”

Third, be aware of our negative traits and weaknesses. Be proactive in recognizing them early before they emerge under any triggering element. Peter said it well in 1 Peter 5:8, “Be alert and of sober mind. Your enemy, the devil, prowls around like a roaring lion looking for someone to devour.”

At last, humans are weak. By acknowledging this, we know we’re destined to grow and follow His footsteps. It may take a lot of effort to learn from adverse events and our own “inner demons.” But by continuing our learning process, may our faith be strengthened and renewed.

==================================================================================

(Terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia)

Bagaimana Cara Mengalahkan Iblis Dalam Diri Anda Sendiri?

oleh Jennie Xue, MTh; seorang penulis bilingual jenniexue.com.

Iblis macam apa kamu? Apa itu? Mengapa Tuhan mengijinkannya tinggal di dalam diri kita? Haruskah kita mengalahkannya? Kenapa dan bagaimana? Apa pun iblis dalam diri Anda, kita semua memilikinya di dalam diri kita. Terkadang kita menyadarinya, terkadang tidak, tapi hal itu selalu ada karena hakikat kita sebagai manusia.

“Iblis batin” kita adalah kelemahan kita (atau kelemahan-kelemahan kita). Bisa apa saja, termasuk namun tidak terbatas pada sifat negatif (kecanduan, kecemasan), perasaan negatif (takut, marah, berpuas diri), dan lain-lain. Apa pun sifat jahat yang ada dalam diri kita, pertama-tama kita harus mengakuinya, sehingga kita dapat belajar dan bertumbuh darinya.

Psikolog Stanford terkenal, Carol Dweck, menyatakan bahwa mengakui kegagalan dan kesalahan kita sangat penting untuk kemudian dipelajari. Dalam sambutannya, Dweck mengatakan bahwa mereka yang memiliki pola pikir berkembang mindset percaya bahwa kemampuan dan kecerdasannya dapat dikembangkan dengan dedikasi, usaha, dan ketekunan.

Mereka menerima tantangan, melihatnya sebagai peluang untuk belajar dan berkembang. Kegagalan dan kesalahan tidak menghalangi mereka.

Teori Dweck sejalan dengan Alkitab. Kita dapat menemukannya dalam Roma 5:3-4, “Bukan hanya itu saja, tetapi kita juga bermegah dalam penderitaan kita, karena kita tahu bahwa penderitaan itu menghasilkan ketekunan; ketekunan, karakter; dan karakter, harapan.”

Sekarang, mengapa Tuhan Yang Maha Pengasih mengizinkan “para iblis” untuk tinggal di dalam diri kita? Sederhananya saya: untuk tujuan pembelajaran agar kita bisa bertumbuh dalam iman.

1. Pertumbuhan rohani dan pengembangan karakter

Dengan penderitaan, kesalahan, dan kegagalan, kita menyadari keterbatasan dan kerentanan kita, yang darinya kita dapat belajar untuk bertumbuh lebih dekat dan semakin mengandalkan Dia. Roma 5:3-5, “Bukan hanya itu saja, kami juga bermegah dalam penderitaan kami, sebab kami tahu, bahwa penderitaan itu menghasilkan ketekunan; ketekunan, karakter; dan karakter, harapan. Dan harapan tidak membuat kita malu karena kasih Tuhan telah dicurahkan ke dalam hati kita melalui Roh Kudus yang telah diberikan kepada kita.”

2. Tujuan hidup yang lebih besar

Terkadang, “iblis dalam diri” kita berperan dalam narasi ilahi yang lebih besar yang mungkin tidak langsung dipahami manusia. Kejadian 50:20 (Yusuf berbicara kepada saudara-saudaranya yang menjual dia sebagai budak), “Engkau bermaksud mencelakakan aku, tetapi Allah bermaksud kebaikan untuk mencapai apa yang sekarang sedang dilakukan, menyelamatkan banyak nyawa.”

3. Menguji iman kita

Dengan mengalami penderitaan yang mungkin memengaruhi cara kita mengelola “iblis” dalam diri kita, hal itu dapat membantu menguji iman kita kepada-Nya. 1 Petrus 1:6-7, “Dalam segala hal ini kamu sangat bergembira, walaupun untuk sementara waktu kamu mungkin harus menderita dukacita dalam segala macam pencobaan. Hal ini terjadi agar keaslian iman Anda yang telah terbukti, yang nilainya lebih besar daripada emas, yang akan binasa meskipun dimurnikan oleh api—dapat menghasilkan pujian, kemuliaan, dan kehormatan ketika Yesus Kristus dinyatakan.”

4. Menginspirasi orang lain melalui pengalaman kita

Hal-hal negatif yang dialami membuat kita merasa tidak nyaman dan membuat kita putus asa. Akan tetapi, peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan tersebut terjadi agar karya-karya Tuhan dapat ditampilkan agar orang lain dapat berbagi dan mendapatkan inspirasi. Yohanes 9:1-3 (Tentang seorang yang buta sejak lahirnya), “Dalam perjalanan, ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Murid-murid-Nya bertanya kepadanya, ‘Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?’ ‘Orang ini maupun orang tuanya tidak berbuat dosa,’ kata Yesus,’ tetapi hal ini terjadi agar karya-karya Allah dapat terlihat dalam dia."

Sekarang, bagaimana kita mengalahkan “iblis batin” kita sendiri?

Pertama dan terpenting, andalkan kekuatan-Nya. Mengapa? Karena manusia itu lemah. Jika kita mengira selama ini kita mengandalkan diri kita sendiri, kita salah. Sejak kita diciptakan, Dia telah bersama kita. Dengan pertolongan Tuhan, Dia dapat membantu kita mengatasi tantangan-tantangan yang berlawanan. Bacalah ayat ini, Filipi 4:13, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.”

Kedua, gantikan pikiran negatif kita dengan pikiran positif dengan menyelami firman dan gambaran Tuhan. Mari kita kunjungi Roma 12:2, “Janganlah kamu mengikuti teladan dunia ini, tetapi hendaklah kamu diubahkan oleh pembaharuan budimu.”

Ketiga, waspadai sifat dan kelemahan negatif kita. Bersikaplah proaktif dalam mengenalinya sejak dini sebelum muncul di bawah elemen pemicu apa pun. Petrus mengatakannya dengan baik dalam 1 Petrus 5:8, “Waspadalah dan berpikiran sadar. Musuhmu, iblis, berkeliaran seperti singa yang mengaum mencari seseorang untuk dimakan.”

Pada akhirnya, manusia itu lemah. Dengan mengakui hal ini, kita tahu bahwa kita ditakdirkan untuk bertumbuh dan mengikuti jejak-Nya. Mungkin diperlukan banyak upaya untuk belajar dari kejadian buruk dan “iblis” dalam diri kita sendiri. Namun dengan terus melanjutkan proses pembelajaran, semoga keimanan kita dikuatkan dan diperbaharui.

Read More
Tahukah Anda?, Tahukah Anda WKICU Admin Tahukah Anda?, Tahukah Anda WKICU Admin

Tahukah Anda: Bulan Oktober = Bulan Maria

Original Text:

Question: Did Mary experience bodily death?

Answer:

Yes, it is the common teaching in the ordinary Magisterium of the Church and in its liturgical worship that Our Lady underwent bodily death. This is the unanimous teaching of all the Fathers of the Church in the context of their teaching on her Assumption. The fact that the Venerable Pius XII did not define that Our Lady died when he defined her bodily Assumption has been taken by many to mean that she did not die; but in the very bull of definition itself he brings forth the teaching of the Fathers that she died, was resurrected, and then assumed into heaven.

St. Thomas Aquinas held that Our Lady died as did everyone else. Bl. Duns Scotus did not deny that she died, but in his theology his followers found a rationale for holding that she did not. This is a theological opinion that is licit to hold but that is not the opinion expressed in the ordinary teaching of the popes and the Fathers and Doctors. Rather, the doctrine that Our Lady is everywhere seen as sharing in her Son’s lot indicates that she would have chosen to die (she did not have to die, since she was sinless) in order to conform herself to him who chose to die for the salvation of the world. This is by far the better attested and traditional teaching.

Source/Sumber: Catholic Answer

https://www.catholic.com/qa/did-mary-die

Indonesian Translation:

Pertanyaan: Apakah Bunda Maria mengalami kematian?

Jawaban:

Menurut ajaran Magisterium Gereja dan dalam ibadat liturgi bahwa Bunda Maria menjalani kematian jasmani. Ajaran ini disepakati oleh seluruh Bapa Gereja dalam konteks ajaran Bunda Maria di angkat ke Surga. Yang Mulia Pius XII tidak mendefinisikan Bunda Maria meninggal ketika ia mendefinisikan Pengangkatan tubuhnya, menjadikan banyak orang beranggapan Bunda Maria tidak mengalami kematian; namun dalam definisi itu sendiri, beliau menekankan ajaran para Bapa Gereja bahwa Bunda Maria mengalami kematian, dibangkitkan, dan kemudian diangkat ke surga.

Santo Thomas Aquinas berpendapat bahwa Bunda Maria mengalami kematian, sama halnya dengan kita semua. Beato Duns Scotus tidak menyangkal bahwa Bunda Maria juga mengalami kematian, namun dengan ajaran teologinya, membuat para pengikutnya berpendapat bahwa Bunda Maria tidak mengalami kematian. Pendapat teologis ini bisa diterima, tetapi bukan ajaran umum para Paus, Pimpinan Geraja dan Doktor Gereja. Sebaliknya, doktrin bahwa Bunda Maria ikut ambil bagian dalam sengsara Putranya menunjukkan bahwa ia memilih untuk mati (dia tidak harus mati, karena dia tidak berdosa) agar bisa bersama dengan Putranya yang memilih mati demi keselamatan umat manusia. Ini adalah pengajaran yang lebih baik dan tradisional.

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Finding Our Calling

Finding Our Calling

Jennie Xue
Bilingual author based in NorCal and Jakarta
(Original text in English)

How often do you ask yourself, “What’s my true calling in life?” Or “Is this my actual calling”
Despite our life chapters, such questions sometimes cause ripples in our minds. However, it’s hard to find the answer.

As an illustration, I’ve worn many hats in multiple jobs in Indonesia and the United States. Which one is my true calling?

First, let’s clarify what “calling” means and how it differs from “vocation”

Life calling refers to something profound, an inner driver of our actions and thought processes. It’s broad and has a holistic meaning. Of course, a “life calling” can be a profession, like a doctor or a teacher. However, it’s also a lifelong quest to either heal (for a doctor) or teach (for a teacher).

A “vocation” comes from the Latin word “vocation” which means “a call” or “summons”. This refers to primarily skilled or trained professionals, including in religious contexts, such as priests, reverends, or nuns.

The primary difference between a “calling” and a “vocation” is probably the job title after a certification training program. For a “calling”, you don’t have a specific title or training; if you love teaching, you can teach various topics to your community without becoming a certified teacher. You do need certifications to teach at primary and secondary schools, however.

Second, we often confuse passion as a “calling” or a “vocation”. Yes, passion is an essential fundamental for a calling. For instance, those passionate about sharing information and motivating others might be inclined to teach. The author, for example, has a strong inclination to share information and motivate others to be their best selves. This explains why she loves to write informative articles and how-to books.

Combining sharing and motivating with writing, she becomes a writer of various subjects, including business, social issues, health and longevity, and philosophy. However, she’s not a teacher or a lecturer, yet teaching is still her passion.

A passion fuels a calling, which may or may not turn into a vocation. When all three of them align, you’ll likely be living a joyful and meaningful life.

Third, once we’ve found our true “calling”, what should we do? Ideally, we follow and nourish it to grow and be meaningful to our and others’ lives.

If circumstances allow, discover how to turn a “calling” into a “vocation”. A passion is a gift from God, and appreciating it enough to turn it into a calling would be a blessing for all.

Remember these verses and discern upon them whenever you’re in doubt about your true calling and whether you should pursue it into a vocation.

Jeremiah 29:11 - “For I know the plans I have for you,” declares the Lord, “plans to prosper you and not to harm you, plans to give you hope and a future.”

Proverbs 16:9 - “In their hearts humans plan their course, but the Lord establishes their steps.”

Romans 8:28 - “And we know that in all things God works for the good of those who love him, who have been called according to his purpose.”

At last, may your passion lead you to a meaningful calling that can be metamorphosized into a vocation. For life. Amen.



Menemukan Panggilan Hidup

Jennie Xue
Penulis bilingual berbasis di NorCal dan Jakarta
(Terjemahan bebas ke dalam Bahasa Indonesia)

Seberapa sering Anda bertanya pada diri sendiri, “Apa sebenarnya panggilan hidup saya?” Atau “Apakah ini panggilan hidup saya yang sebenarnya?”

Meskipun ada banyak babak dalam kehidupan hidup yang kita jalani, tetap saja pertanyaan-pertanyaan seperti itu terkadang menimbulkan riak-riak di pikiran kita. Namun, sulit bagi kita untuk menemukan jawabannya.

Sebagai gambaran, saya sudah banyak bekerja di berbagai pekerjaan di Indonesia dan Amerika. Pekerjaan yang satu manakah panggilan sejatiku?

Pertama, mari kita perjelas apa yang dimaksud dengan “panggilan hidup” dan apa bedanya dengan “pekerjaan.”

Panggilan hidup mengacu pada sesuatu yang mendalam, motivasi batiniah dari tindakan dan proses berpikir kita. Itu luas dan mempunyai makna holistik. Tentu saja, sebuah “panggilan hidup” bisa juga berupa profesi seseorang, seperti dokter atau guru. Namun, bisa juga lewat profesi itu terkandung pula pencarian seumur hidup untuk menyembuhkan (untuk dokter) atau mengajar (untuk seorang guru).

Sebuah “pekerjaan” berasal dari kata Latin “vocation”, yang artinya “sebuah panggilan”. Ini merujuk terutama kepada para profesional yang terampil atau terlatih, termasuk dalam konteks keagamaan, seperti pendeta, pendeta, atau biarawati.

Perbedaan utama antara “panggilan hidup” dan “pekerjaan” mungkin adalah jabatan setelah menjalani program pelatihan sertifikasi. Untuk “panggilan hidup”, anda tidak harus memiliki gelar atau pelatihan khusus; jika Anda suka mengajar, Anda bisa mengajar berbagai macam topik ke komunitas Anda tanpa menjadi guru bersertifikat. Memang anda kemudian harus memiliki sertifikasi untuk bisa mengajar di sekolah dasar dan menengah.

Kedua, kita sering rancu dalam mengartikan minat/kegemaran sebagai sebuah “panggilan hidup” ataukah sebuah “pekerjaan”. Ya, minat dan kegemaran itu adalah dasar yang penting bagi sebuah panggilan hidup. Misalnya, mereka yang semangat berbagi informasi dan memotivasi sedangkan orang lain mungkin cenderung memilih untuk mengajar.
Sedangkan bagi seorang penulis, misalnya, mempunyai kecenderungan yang kuat untuk berbagi informasi dan memotivasi orang lain untuk menjadi pribadi mereka yang terbaik. Ini menjelaskan mengapa dia suka menulis artikel informatif dan buku petunjuk.

Dengan menggabungkan kesukaan berbagi dan kesukaan memotivasi dengan kesukaan menulis, ia menjadi penulis berbagai mata pelajaran, termasuk bisnis, masalah sosial, kesehatan dan umur panjang, dan filsafat. Namun, dia bukan seorang guru atau dosen, namun mengajar masih tetap menjadi kegemarannya.

Kegemaran memicu suatu panggilan hidup, yang mungkin saja terwujud menjadi pekerjaan atau tidak. Ketika ketiganya selaras (yakni kegemaran, panggilan hidup, dan pekerjaan), kemungkinan besar seseorang akan menjalani kehidupan yang menyenangkan dan bermakna.

Ketiga, setelah kita menemukan “panggilan hidup” apa yang harus kita lakukan? Idealnya, kita mengikuti dan memeliharanya tumbuh dan menjadi berarti bagi diri kita sendiri dan hidup orang lain.
Jika keadaan memungkinkan, temukanlah cara mengubah “panggilan hidup” menjadi “pekerjaan". Kegemaran adalah anugerah dari Ya Tuhan, dan dengan mengubahnya setidaknya menjadi sebuah panggilan hidup pun akan membuatnya menjadi berkah bagi semua.

Ingatlah ayat-ayat ini dan pahami ayat-ayat tersebut setiap kali anda ragu akan panggilan sejati Anda dan apakah Anda harus mengejarnya menjadi sebuah pekerjaan.

Yeremia 29:11 - “Sebab Aku tahu rencana-Ku untukmu,' demikianlah firman Tuhan, 'rencana untuk mensejahterakanmu dan tidak bermaksud menyakitimu, berencana memberimu harapan dan masa depan.”

Amsal 16:9 - “Dalam hatinya manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan langkahnya.”

Roma 8:28 - “Dan kita tahu, bahwa dalam segala sesuatu Allah turut bekerja untuk kebaikan orang-orang yang mengasihi Dia, yang telah dipanggil sesuai dengan tujuannya.”

Pada akhirnya, semoga hasrat Anda membawa Anda pada panggilan bermakna yang dapat bermetamorfosis menjadi sebuah pekerjaan. Untuk kehidupan. Amin












Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Pemilik Penginapan - Dan Perang Batinnya

“Bertahun-tahun saya bertanya-tanya apakah panggilan hidupku adalah memang untuk memiliki dan menjalankan bisnis penginapan ini. Ternyata untuk mempersembahkannya hari demi hari bagi karya kasih Allah adalah jawabannya. Itulah panggilan hidupku yang sejati “

Sudah lebih dari lima puluh tahun aku menjalankan usaha rumah penginapan ini. Rumah penginapan ini adalah warisan dari kedua orangtuaku, dan letaknya ada di antara dua kota; yaitu ibukota Y yang besar dan ramai di sebelah barat dan kota kecil J di sebelah timur. Jarak keduanya sekitar 3 jam perjalanan berjalan kaki. Tidak seperti penginapan-penginapan besar lain di kota Y, penginapan milikku ini amatlah sederhana dan tergolong berskala kecil saja, namun sangat asri dan selalu terjaga kebersihannya. Aku ingin tamu-tamuku merasa betah tinggal di sini, dan aku senang setiap kali mendengar ada tamu yang memuji atau merasa puas dengan pelayanan yang mereka terima selama menginap di sini.

Tadi sore ada seorang tamu datang ke penginapanku, ia katanya sedang dalam perjalanan dari kota Y hendak ke kota J. Dia datang menggiring seekor keledai yang di atasnya terbaring seorang laki-laki yang kondisinya sangat lemah, tubuhnya penuh balutan luka dan pakaiannya kotor berdebu. Katanya, orang yang ditolongnya itu telah dianiaya para dirampok dan hartanya dirampas.

Herannya ketika semua keberatan ini hendak kuutarakan kepadanya, dia berkata akan membayar semua biaya yang akan aku keluarkan, seolah mengerti apa yang menjadi keberatanku.

Setelah sekitar dua jam sejak ia tiba, tamu itu pamit lagi hendak meneruskan perjalannya. Katanya ia akan kembali beberapa hari kemudian setelah urusannya selesai di kota J. Setelah membayar sewa kamar untuk satu malam, ia juga memberiku sejumlah uang sekitar sewa dua malam, katanya tolong tamu luka yang dibawanya itu agar diberi makan dan dirawat sampai sembuh.

Tentu saja saya heran dan spontan agak keberatan akan permintaannya. Ini kan sebuah rumah penginapan, bukan rumah sakit, jadi tidak ada perawat di sini. Aku sendiri tidak bisa merawat orang sakit atau menyuapinya. Ini hanyalah sebuah penginapan kecil, dan saya ini adalah seorang pengusaha, businessman, bukan seorang baby sitter atau perawat.
Saya juga keberatan kalau ’hanya’ dititipi deposit sejumlah uang sewa untuk dua hari. Bagaimana kalau orang sakit itu perlu biaya ekstra untuk perawatannya?.
Semua pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiran saya. Herannya ketika semua keberatan ini hendak kuutarakan kepadanya, dia berkata akan membayar semua biaya yang akan aku keluarkan, seolah mengerti apa yang menjadi keberatanku.

“Wait a minute”, pikirku. Semua biaya yang akan aku keluarkan untuk merawat orang yang terluka di kamar itu?. Betulkah?. Bagaimana ia tahu aku akan jujur tentang berapa besar biaya yang terjadi?. Bukankah bisa saja nanti … misalkan saya meminta uang ganti jauh lebih besar daripada biaya yang sesungguhnya aku keluarkan ?. Mengapa tamuku ini begitu saja telah lebih dahulu percaya padaku ?. Dan bukan itu saja,..terlepas dari bagaimana ia menyuruh atau meminta tolong aku merawat orang sakit itu, mengapa ia memilih penginapan ini dan aku, bukan tempat lain seperti klinik atau rumah sakit ?.

Dan “wait a minute“ lagi,.. Mengapa pula aku harus mempercayai semua omongan dan janjinya? Bukankah ia hanya seorang tamu penginapan biasa? Aku tidak mengenalnya, ia bukan kenalan, bukan teman dan juga bukan saudara. Bagaimana kalau ternyata ia tidak kembali seperti janjinya? Bahkan sekalipun ia kembali,.. Bagaimana kalau ia ingkar dan tidak mau (atau tidak mampu) mengganti semua biaya perawatan seperti yang ia janjikan?.

Pembaca tentu merasakan semua kebimbangan yang aku rasakan. Pikiran orang bisnis tidak akan mau mudah tertipu. Terus terang saja selama lima puluh tahun aku mengelola usaha penginapan ini, di saat ini yakni saat aku sudah mulai mempertimbangkan untuk berhenti bekerja dan pensiun, baru kali ini aku begitu bingung bagaimana harus menghadapi seorang tamu dengan permintaan khusus seperti ini. Ia memang menyuruh, tetapi suruhannya tidak seperti sebuah paksaan, lebih terdengar seperti sebuah permintaan dan ajakan.

Baru kali ini aku merasa harus melakukan sesuatu di luar keinginan, zona nyaman, profesi dan pekerjaan yang sudah aku jalani bertahun-tahun, yakni harus merawat orang sakit di penginapanku sendiri, sesuatu yang tidak pernah aku lakukan atau bayangkan sekalipun.

Keputusan apa yang harus saya ambil, jawaban apa yang harus saya berikan kepada tamu saya? Keputusan dan komitmen saya untuk menjawab “ya” padanya ternyata menjadi keputusan terpenting sepanjang perjalanan hidup saya – dan seluruh pengalaman saya memiliki dan mengelola penginapanku. Semua hal sepertinya menggiring saya ke hari dan peristiwa yang sangat penting ini. Semua tergantung dari bagaimana aku menjawab permintaan tamuku ini. Saya mengundang Anda untuk membaca keseluruhan cerita saya seperti yang ditulis Lukas dalam pasal 10 ayat 30 sampai 37.


Renungan
Masalah sebenarnya bukanlah apakah kita bisa melakukannya atau tidak. Namun apakah kita mempunyai keyakinan untuk melakukannya atau tidak.

Tuhan mengutus orang-orang tertentu yang kita jumpai dalam hidup kita, setiap hari, baik mereka yang spesial maupun yang belum pernah kita kenal sebelumnya, yang bisa datang di waktu yang tidak terduga.
Cerminkan jiwa dan raga kita sebagai penginapan, dan masing-masing kita sesungguhnya adalah penjaga penginapan kita sendiri. Akankah kita bersedia menerima orang lain tanpa syarat di bawah naungan kita?. Akankah tamu Anda merasakan cinta dan perhatian selama mereka menginap dan berinteraksi dengan anda?. Jika demikian, seperti saya yang telah menggunakan segala daya upaya saya untuk menafkahi orang yang terluka - apakah Anda juga akan melakukan hal yang sama?.

Teman-teman, ini adalah pertarungan seumur hidup kita sehari-hari dan saya harap Anda memenangkannya setiap saat. Biarkan cinta dan iman menang setiap hari, atas kekhawatiran kita, atas kesombongan kita, atas ketidakpercayaan kita. Percayalah kepada Tuhan kita yang tidak pernah gagal untuk membalas apa yang anda dan saya harus “habiskan” untuk menyebarkan cinta dalam hidup ini. Percayalah kepada-Nya yang berjanji akan membayar kembali setiap sen biaya yang kita keluarkan untuk mencintai tamu kita sehari-hari.

Masing-masing dari kita adalah pemilik penginapan, karena tubuh dan jiwa kita adalah bait Allah yang adalah Kasih. Jadi ketika cinta diminta dari kita, janganlah kita gagal atau menolak untuk memberikannya.

”Demikian pula hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatan baikmu dan memuji Bapamu di surga.”

“Dan sesungguhnya Aku menyertai kamu senantiasa, sampai akhir zaman.”

(ditulis oleh AT, member of team e-bulletin WKICU)

===========================================
(Diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Inggris):
The Innkeeper - And The Battle of His Heart

“For years I wondered if my life's calling was indeed to own this inn. It turns out that to dedicate it day by day to God's work of love is the answer. That is my true calling in life"


I have been running this inn business for more than fifty years. This guest house was inherited from my parents, and is located between two cities; namely the large and bustling capital Y to the west and the small city J to the east. The distance between the two is about 3 hours on foot. Unlike other large inns in city Y, this inn is very simple and relatively small scale, but very beautiful and I always kept it clean. I want my guests to feel at home here, and I am happy every time I hear guests praise or be satisfied with the service they received while staying here.

This afternoon a guest came to my inn, said he was on his way from city Y to city J.
But he came with a donkey on which lay a man who was very weak, his body was covered in wounds and his clothes were dusty and dirty. The guest said that the person he helped had been beaten, robbed and his property confiscated.

After about two hours since he arrived, the guest told me that he was leaving due to continue his journey. He said he would come back a few days later after his business was finished in city J. After paying the room rent for one night, he also gave an amount of money around two nights' rent, and asked me to help the injured guest he brought with him to be fed and cared for until he recovered.

Surprisingly, when I was about to express all these objections to him, he said he would pay all the costs I would incur, as if he understood what my objections were.

Of course I was surprised and immediately objected to his request. This is a guest house, not a hospital, so there are no nurses here. I myself cannot care for sick people or feed them. This is just a small inn, and I am an entrepreneur, a businessman, not a baby sitter or nurse.
I also objected to 'only' being entrusted with two night’s worth of rent deposit. What if the sick person needs extra costs for treatment? All these questions were racing through my mind. Surprisingly, when I was about to express all these objections to him, he said he would pay all the costs I would incur, as if he understood what my objections were.

“Wait a minute, I thought. All the expenses I will incur to treat the injured person in that room? Did I just hear it right?. How does he know I will be honest about how much it cost? What if... only if.. I later charge him way more than the actual cost I incur,.. will he be willing to pay full of it too? Why does this very guest just trust me?
Not only that,...apart from him ordering or (more precisely) asking for my help in looking after the injured person, why did he choose this inn and me, instead of all other places, clinic or hospital?

And "wait a minute" again... Why should I believe all his words and promises? Wasn't he just an ordinary inn guest? I don't know him, he's not an old friend, he's not a relative and not even an acquaintance. What if it turns out he doesn't come back as promised? Even if he comes back,... What if he denies all the promises doesn't want (or can't) reimburse all the treatment costs as promised?

Readers certainly feel all the worries that I feel. As a business man, I refused to be easily deceived. Frankly, during the fifty years that I have managed this accommodation business, and just when I was starting to consider quitting my business and retiring, this is the first time I am so confused about how to deal with a guest with a special request like this. He did order, but his order was not like coercion, it is more like a request and invitation.

This is the first time I feel like I have to do something outside my desires, comfort zone, vocation and job that I have done for so many years, namely caring for sick people in my own accommodation, is quite something I have never done or even imagined.

What decision should I take, what answer should I give to my guest? My decision and commitment to answer "yes" to him turned out to be the most important decision of all my life journey - and all my experiences of owning and managing my inn. All those things seemed to lead me to this very important day. The purpose of it all depends on how to answer to this quest’s request. I invite you to read my whole story as written by Luke in chapter 10 verses 30 to 37.


Reflection
The real problem is not whether we can do it or not. But whether we have faith in doing it, or not.
God sends certain people we meet in our lives, everyday, whether they are specials or those we have never known before, who can come at unexpected times.
Reflect our body and soul as the inn, and each of us is indeed an inn keeper. Will we be willing to unconditionally accept others under our roof ?. Will your guests be experiencing love and care during their stay and interaction with us?. If so, like I who has spent everything in my power to provide for the injured man - will you also?.
Friends, this is our lifetime daily battle and I hope you win it every time. Let love and faith win everyday, over our worries, over our pride, our disbelief. Trust in our Lord who never fails to repay what you and I will have to “spend” to spread love. Have faith in Him who promised to pay back every single dime of expense we incur in loving our everyday guests.
Each of us is an innkeeper, for our body and soul is the temple of God who is Love. So when love is asked out of us, let us not fail or refuse to deliver.
”In the same way, let your light shine before men, that they may see your good deeds and praise your Father in heaven.”
”And surely I am with you always, to the very end of the age."

(written by AT, member of WKICU e-bulletin team)

Read More
Artikel & Renungan WKICU Admin Artikel & Renungan WKICU Admin

"How to Forgive the Unforgivable?"

Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?

By Jennie Xue, MTh
Jennie Xue is a bilingual author based in NorCal.
(Original text, in English)

Being forgiving is one of the most important traits of being a Christian. The word "forgive" itself appears 127 times throughout the Bible.

The concept is simple. We must forgive whoever did us wrong and for whatever reason. Whenever. No exception. Easy, right?

C.S. Lewis once said, "Forgiveness is a beautiful idea --until you have something to forgive."

Christ taught us to forgive seventy times seven times; whenever someone slaps us, we should give our other cheek. In other words, we must have a big heart to forgive others.

Luke 17:3-4 states, "So watch yourselves. If your brother or sister sins against you, rebuke them, and if they repent, forgive them. Even if they sin against you seven times in a day and seven times come back to you saying 'I repent,' you must forgive them."

What does "forgiving" mean?

Forgiveness is an act of pardoning, from which love would triumph over anger and vengeance. The Greek word "forgiveness" literally means "to let go."

As an act, forgiveness only requires us to act, not to wait for a feeling or a good mood to emerge before we forgive. Forgiveness isn't a feeling.

What does "forgiving" not mean?

Forgiving doesn't mean agreeing with the sin being pardoned. It's also not about forgetting. You can still remember the wrongdoing to learn from the past but still forgive the person.

Forgiving isn't reconciliation, either. Reconciliation requires repentance, while forgiveness doesn't. Jesus forgave those who wronged Him despite the fact they haven't repented and might never. 

Who should we forgive? Should we only forgive others? How about forgiving ourselves?

Frequently, we can easily forgive others but can't even fathom to forgive ourselves. After all, we're our own worst critic. However, God asks us to trust Him that He knows everything, and if He can love us, why don't we love ourselves enough to forgive (ourselves)?

1 John 3:20 states, "If our hearts  condemn us, we know that God is greater than our hearts, and He knows everything."

Is there a limit to being forgiving? Only seventy times seven?

There is no limit to being forgiving, as God has no limit in forgiving us, in both the quantity and the quality of our sins. As we're created in God's image, we can forgive as much and as deeply as God has always forgiven us.

What about the "unforgivable" sins? Should we forgive them?

The term "unforgivable" is relative and subjective. One person's "unforgivable" wrongdoing might not be that impactful in others and vice versa.

 

In the case of suicide, which has been considered "a grave or mortal sin," we shouldn't be quick to judge that people who commit them are likely sent to hell.

According to the Catechism of the Catholic Church (CCC 2282-2283):

"Grave psychological disturbances, anguish, or grave fear of hardship, suffering, or torture can diminish the responsibility of the one committing suicide... We should not despair of the eternal salvation of persons who have taken their own lives. By ways known to Him alone, God can provide the opportunity for salutary repentance. The Church prays for persons who have taken their own lives."

While the act itself is considered gravely wrong, the Church acknowledges that factors like mental illness or severe emotional stress might lessen a person's moral culpability. Only God truly knows the state of a person's soul and their capacity for moral reasoning at the time of their death.

To conclude this discussion, let's answer this final question.

Why does God ask us to forgive?

1. To Reflect God's Mercy: The Bible often depicts God as merciful and forgiving. When we forgive others, we reflect God's nature and the mercy He shows us. "Be kind and compassionate to one another, forgiving each other, just as in Christ God forgave you." (Ephesians 4:32)

2. For Healing: Holding onto anger, resentment, or hurt can harm our spiritual, emotional, and physical health. Forgiveness allows us to let go of these negative emotions and promotes healing and peace.

3. To Maintain Relationships: Forgiveness is crucial for maintaining and restoring relationships. Jesus emphasized the importance of reconciliation with others (Matthew 5:23-24).

4. As a Prerequisite for Receiving Forgiveness: In the Lord's Prayer, Jesus teaches us to ask God to forgive our debts, as we also have forgiven our debtors (Matthew 6:12). Jesus further explains, "For if you forgive other people when they sin against you, your heavenly Father will also forgive you. But if you do not forgive others their sins, your Father will not forgive your sins." (Matthew 6:14-15).

5. To Promote Love: Forgiveness is an expression of love, the greatest commandment in Christianity. It helps to maintain unity and harmony within the Christian community and beyond.

6. To Break the Cycle of Retribution: Unforgiveness can lead to a cycle of revenge and retaliation. Forgiveness helps break this cycle and promotes peace and understanding.

May we continue to forgive others and ourselves as Christ has always and will continue to forgive all of us unconditionally. Remember to repent after asking for forgiveness to turn something negative into positivity.


Bagaimana Memaafkan Yang Tidak Dapat Dimaafkan

Oleh Jennie Xue, MTh
Jennie Xue adalah penulis bilingual yang tinggal di NorCal.
(Terjemahan dalam Bahasa Indonesia)

Menjadi seorang pemaaf adalah salah satu sifat paling penting dari menjadi seorang Kristen. Kata “memaafkan’ itu sendiri muncul 127 kali di seluruh Alkitab.
Prinsipnya sederhana saja. Kita harus memaafkan siapa pun yang melakukan kesalahan pada kita dan apa pun alasannya. Kapan pun. Tanpa pengecualian. Mudah, bukan?

C.S. Lewis pernah berkata, “Memaafkan adalah ide yang indah -- sampai Anda memiliki sesuatu untuk dimaafkan.”

Kristus mengajarkan kita untuk mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali; setiap kali seseorang menampar kita, kita harus memberi pipi kita yang lain juga. Dengan kata lain, kita harus mempunyai hati yang besar untuk memaafkan orang lain.

Lukas 17:3-4 menyatakan, “Maka jagalah dirimu. Jika saudaramu berbuat dosa terhadap kamu, tegorlah mereka, dan jika mereka bertobat, ampunilah mereka. Sekalipun mereka berbuat dosa terhadapmu tujuh kali dalam sehari tujuh kali kembali kepadamu sambil berkata 'Aku bertobat,' kamu harus memaafkan mereka.”

Apa artinya “Memaafkan” ?
Pengampunan adalah tindakan memaafkan, yang darinya cinta akan menang atas kemarahan dan balas dendam. Kata dari bahasa Yunani “pengampunan” secara harafiah berarti “melepaskan”.
Sebagai sebuah tindakan, memaafkan hanya menuntut kita untuk bertindak, bukan menunggu munculnya perasaan atau suasana hati yang baik sebelum kita memaafkan. Memaafkan bukanlah sebuah perasaan.

Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?

Apa yang bukan berarti “memaafkan” ?
Memaafkan bukan berarti setuju dengan dosan yang kita ampuni. Juga bukan berarti melupakannya. Anda masih bisa mengingat kesalahannya untuk belajar dari masa lalu namun tetap memaafkan orang tersebut.
Memaafkan juga bukan rekonsiliasi. Rekonsiliasi membutuhkan pertobatan, sedangkan pengampunan tidak. Yesus mengampuni mereka yang berbuat salah kepada-Nya meskipun faktanya mereka belum bertobat dan mungkin tidak akan pernah bertobat.

Siapa yang harus kita maafkan? Haruskah kita memaafkan orang lain saja? Bagaimana kalau memaafkan diri kita sendiri?

Seringkali kita mudah memaafkan orang lain, namun kita tidak bisa memaafkan diri sendiri. Bagaimanapun juga, istilahnya kita memang kritikus terburuk kita sendiri. Namun, Tuhan meminta kita untuk percaya kepada-Nya bahwa Dia mengetahui segalanya, dan bila Dia bisa mengasihi kita, mengapa kita tidak mengasihi diri kita sendiri agar bisa memaafkan (diri kita sendiri)?.

1 Yohanes 3:20 menyatakan, ‘Jika hati kita menyalahkan kita, kita tahu, bahwa Allah lebih besar dari hati kita, dan Dia mengetahui segalanya.”

Apakah ada batasan untuk memaafkan? Apakah hanya tujuh puluh kali tujuh?
Tidak ada batasan untuk memaafkan, sebagaimana Tuhan tidak memiliki batasan dalam mengampuni kita, baik dalam jumlah maupun besarnya dosa kita. Karena kita diciptakan menurut gambar Allah, kita bisa mengampuni sebanyak dan sedalam Allah yang selalu mengampuni kita.

Bagaimana dengan “dosa-dosa yang dapat dimaafkan? Apakah perlu maafkan juga ?
Istilah ‘tidak dapat dimaafkan” bersifat relatif dan subyektif. Kelakuan seseorang yang “tak termaafkan” mungkin melakukan kesalahan tidak terlalu berdampak pada orang lain dan sebaliknya.

Dalam kasus bunuh diri, yang dianggap sebagai “dosa berat atau dosa maut” kita tidak boleh terburu-buru menilai bahwa orang yang melakukannya kemungkinan besar akan dikirim ke neraka.

Menurut Katekismus Gereja Katolik (KGK 2282-2283):
”Gangguan psikologis yang parah, kesedihan, atau ketakutan yang besar akan kesulitan, penderitaan, atau penyiksaan dapat menurunkan kadar tanggung jawab orang yang melakukan bunuh diri... Kita tidak boleh berputus asa akan keselamatan kekal orang-orang yang telah bunuh diri. Hanya melalui cara yang diketahui-Nya saja, Tuhan dapat memberikan kesempatan untuk pertobatan yang bermanfaat. Gereja berdoa bagi orang-orang yang telah mengambil hidup mereka sendiri.”

Meskipun tindakan itu sendiri dianggap salah besar, Gereja mengakui bahwa ada faktor-faktor seperti mental penyakit atau tekanan emosional yang parah dapat mengurangi kesalahan moral seseorang. Hanya Tuhan yang benar-benar tahu keadaan jiwa seseorang dan kapasitas penalaran moral pada saat kematiannya.


Untuk mengakhiri diskusi ini, mari kita jawab pertanyaan terakhir ini.

Mengapa Tuhan meminta kita untuk mengampuni?

1. Mencerminkan Kemurahan Tuhan: Alkitab sering kali menggambarkan Tuhan sebagai sosok yang penuh belas kasihan dan pemaaf. ketika kita memaafkan orang lain, kita mencerminkan sifat Tuhan dan belas kasihan yang Dia tunjukkan kepada kita. “Bersikaplah baik dan penuh kasih sayang kepada satu sama lain, saling mengampuni, sama seperti Allah telah mengampuni kamu dalam Kristus.” (Efesus 4:32)

2. Untuk Penyembuhan : Menahan amarah, dendam, atau sakit hati dapat merugikan spiritual, emosional, dan kesehatan fisik. Pengampunan memungkinkan kita melepaskan emosi negatif ini dan mendorong penyembuhan dan kedamaian.

3. Untuk Menjaga Hubungan: Pengampunan sangat penting untuk menjaga dan memulihkan hubungan. Yesus menekankan pentingnya rekonsiliasi dengan orang lain (Matius 5:23-24).

4. Sebagai Prasyarat Menerima Pengampunan: Dalam Doa Bapa Kami, Yesus mengajarkan kita untuk meminta Tuhan mengampuni hutang kita, sama seperti kita juga telah mengampuni orang yang berhutang (Matius 6:12). Yesus lebih lanjut menjelaskan, “Sebab jika kamu mengampuni orang lain ketika mereka berdosa terhadap kamu, maka Bapamu yang di sorga juga akan mengampuni kamu. Tetapi jika kamu tidak mengampuni dosa orang lain, maka Bapamu tidak akan mengampuni dosamu.” (Matius 6:14-15).

5. Untuk Meningkatkan Kasih: Pengampunan adalah ekspresi kasih, perintah terbesar dalam diri kita Kekristenan. Ini membantu menjaga kesatuan dan keharmonisan dalam komunitas Kristen dan sekitarnya.

6. Untuk Memutuskan Siklus Pembalasan: Sikap tidak memaafkan dapat mengarah pada siklus balas dendam dan pembalasan. Pengampunan membantu memutus siklus ini dan mendorong perdamaian dan pengertian.

Semoga kita terus mengampuni orang lain dan diri kita sendiri sebagaimana Kristus selalu dan akan terus mengampuni semua orang tanpa syarat. Ingatlah untuk bertobat setelah meminta maaf untuk membalikkan sesuatu yang negatif menjadi positif.

Read More
Kesaksian WKICU Admin Kesaksian WKICU Admin

“I give, I take Away, & I replace”

Hebrews 13:5
Let your life be free from love of money but be content with what you have, for he has said, “I will never forsake you nor abandon you”.

By Anonymous – this testimony is written to obey what Jesus asks in Mark 5:19

Original Text:

“Go home to your family and announce to them all that the Lord in his pity has done for you”

“Happy belated birthday Laksita (not a real name)”

“Thank you Citra (not my real name). How have you been?

Then we chatted about many things. I don’t remember when the last time I talked to her, it’s more than a year for sure. Then she asked me,“ How is your work?”

“I love my job, it’s given by God. I was called for this position 3 times. First when a recruiter contacted me about this opening position. I passed the interview process, but the recruiter told me that the hiring manager is not ready to hire a full time employee. This department was just built; the hiring manager realized she needed a contractor/part time employee. I was working full-time at that time. About 6 months later, the same recruiter called me again, told me that the hiring manager is now ready to hire a full time employee. The weekend that I was supposed to accept the job offer, an incident happened to my mother. I dare not to take a risk of working for a new company. So I told the hiring manager what has happened. The next 6 months, the same recruiter called me that the position was still open. Then I realized, I was called 3 times for this same position, for the same hiring manager, and for the same company. A soft whisper told me it is not a coincidence, it must be from God. By this time, my mom has fully recovered. Long story short, I accepted and signed the job offer”

That was my conversation with my good longtime friend, Laksita on Monday July 31, 2023. I called her to wish her a blessed belated birthday. We used to work in the same company about 25 years ago. Because of our faith, our friendship grew beyond work related stuffs.

Laksita also shared God’s miracle at her work place. Recently the department she works at had to cut 11 people and only 1 person will stay. Laksita was that one person. She also shared God’s many blessings to her family. The conversation was full of sharing about God’s graces. When discussing about family stuffs, Laksita suggested me to pray the novena to St Anne. Good timing, I said to myself, I will start the novena tomorrow, Aug 1, so it’s easy to remember its nine days.

Tuesday morning, Aug 1, I had a one-on-one meeting with my manager. I felt like a bomb dropped on my head; I got laid off! I was so quiet in that meeting; I don’t know what to say; the Human Resource person who joined the meeting later explained about the termination paper work and its details. I didn’t remember most of it. My mind was thinking about 1000 different things. As soon as the meeting ended, I contacted my ex-coworkers in LinkedIn, asking them if they have an opening for my position in their company.

I shared the news to my friends in one message group whose members are Hasti, Amir and Melati (not real names). Hasti and I have similar characters. In one of her messages, she told me that Amir often says this to her:

“You worry about too many things. If you trust God, you shouldn’t worry at all”.

That statement stays with me and I often repeat it in my heart.

At 3 pm I prayed the Divine Mercy chaplet. After praying, I shared the news to my ‘little God sister’, also to my childhood neighbor who was still looking for a job.

Then I decided to go to the daily mass at 5pm that day. I felt like a walking zombie. After the mass, the priest continued to lead the faithful with the litany of St. Anthony (of Padua). I stayed and prayed until the litany is over, then I stayed a bit longer for a short Adoration.

I came back home, then things started to settle in my head. In the silence, the yesterday conversation with Laksita came back and suddenly I heard a soft voice:

“I gave you the job, I took it away, I will restore it”

Job 1:21 Naked I came forth from my mother’s womb, and naked shall I go back there. The LORD gave and the LORD has taken away; blessed be the name of the LORD!

Job 42:10 The LORD also restored the prosperity of Job, after he had prayed for his friends; the LORD even gave to Job twice as much as he had before.

I also realized, the litany prayed at the church was the litany to St Anthony, a saint who finds what was lost. I just lost my job! Is it a coincidence? Though I believe it is not, yet many questions are lingering in my head. I struggle with my fears! Where is my Trust to Jesus? Where is my Faith? What a temptation!

Hasti said to me: “We often think that we have faith until we are in the situation where we don’t want to be.” She is right!

Isaiah 41:10 Do not fear: I am with you; do not be anxious: I am your God. I will strengthen you, I will help you, I will uphold you with my victorious right hand.

It was about 10.50pm I was ready to go to bed. Still, searching for a hope, so I glanced at my phone quickly. I saw a new LinkedIn message from my ex-manager, said that a person we know was looking for a person with my skill. I logged in to my computer, followed up the message. In less than 10 minutes the hiring person sent me a message, we communicated, and the person told me to expect their HR team to contact me.

The Lord has started His great plan. My part is to participate in His grace. Realizing my weaknesses, doubt and fear, I need to fight them with prayers and the word of God (to increase my Faith and strengthen my Trust in Jesus through His promises).

From this day on, all I remember is a daily battle to keep trusting the Lord. He is so merciful. With constant prayers and daily reading, He is directing me what to do, each day. In short:

Day 2nd (after the lay-off announcement); my normal inclination is to contact many faithful friends for their prayers. I started messaging the news and Laksita was the first one; She was really shocked and trying her best to help me and connect me to her professional network. I was about to text the next person when suddenly I heard the soft voice: Do you trust Me? Trust in Me alone! I stop texting my friend!

Psalm 62:6-7 My soul, be at rest in God alone, from whom comes my hope. God alone is my rock and my salvation, my fortress; I shall not fall.

Though I didn’t share my situation with my aunt, who is so devout and close to the Lord, she sent me this message: “You are too anxious with many things, you need to let it go, if you trust God you can’t be worried at the same time.” Is it a coincidence? Knowing her all this time, I found her ‘senses’ were always correct.

Day 3rd Responding to my message, Melati asked me the following: “Citra, pray the novena to St. Joseph”. So I did. I heard the soft voice: “God will not be outdone in generosity” which later I know it’s a known statement by St Ignatius of Loyola.

Proverbs 11:25 Whoever confers benefits will be amply enriched, and whoever refreshes others will be refreshed.

Day 5th ; I went to the First Saturday mass. I met a long-time friend at the church. He called himself ‘a man of prayer.’ I know it was a divine meeting. He asked me about my work life, therefore I shared about my situation. After spending time chatting with him, I was at peace. God’s grace is poured through my friend’s prayers.

Day 6th ; I met a ‘new’ friend at a local coffee shop. Because of the topic of our conversation, I shared my situation with him. Again, God is pouring His grace through this ‘new’ friend’ prayers.

Day 7th ; I woke up singing a song verse “Holy, Holy, Holy is His name” in my head. I don’t know the song lyrics and the title of the song though I know the melody. This song verse kept singing in my head for about a week. After searching it over the net, I know the title and background of the song. It is “Holy is His Name” by John Michael Talbot. It’s based on the Canticle of Mary in Luke 1:46-55.

Day 9th ; The last day of my novena prayer to St Anne. I went for a daily mass at the church whose “St Anne” is the patron saint.

Day 11th ; The last day of my novena prayers to St Joseph. Again I went for a daily mass at the church whose “St Joseph” is the patron saint.

Day 14th ; I had my last interview with the company God had provided. It was a total of seven people who interviewed me.

Day 22 nd ; It’s the Memorial of the Queenship of the Blessed Virgin Mary. At around 7.30pm, I received the formal job offer. Bless the Lord my soul! Bless His Holy Name!

Psalm 103:1-2 Bless the LORD, my soul; all my being, bless his holy name! Bless the LORD, my soul; and do not forget all his gifts…

It was an amazing 22 days spiritual journey. I went thru ups and downs in fighting my weak flesh, constantly. It kept trying to bring me down and to separate me from the Lord. Mother Mary has been accompanying and protecting me. Through trials, comes the joy. The Lord blessed me with other miracles that I can’t write all of them here.

James 1:2-4 Consider it all joy, my brothers, when you encounter various trials, for you know that the testing of your faith produces perseverance. And let perseverance be perfect, so that you may be perfect and complete, lacking in nothing.

I want to thank my beloved mother, Mother Superior in the church I volunteer at, Laksita, Hasti, Melati, Amir, my ‘little God sister’, my childhood neighbor, ‘a man of prayer”, and my ‘new’ friend I met at the coffee shop. Also to all my friends at and outside work, who have been praying for me and my family, whom knowing my situation first hand or second. If you didn’t hear it from me, it is not I don’t want to share the news with you; in fact it is on the contrary. However, this time God is teaching me to trust in Him alone. Be sure that all of your prayers have been strengthening and helping me in this spiritual journey.

Deuteronomy 31:6 Be strong and steadfast; have no fear or dread of them, for it is the LORD, your God, who marches with you; he will never fail you nor forsake you”

Above all, I thank God, my Lord, who has been teaching me to walk in His way. Not by my strength but His. For my long journey ahead, I pray that I will continue to walk in His way till I reach the finish line.

Hebrews 13:5 Let your life be free from love of money but be content with what you have, for he has said, “I will never forsake you nor abandon you”.

A new prayer I learned in this journey which strengthens me:

“Unity Prayer” by Father Jim Blount, an exorcist, who is devoted to a ministry of healing and deliverance.

“My adorable Jesus

May our feet journey together

May our hands gather in unity

May our hearts beat in unison

May our souls be in harmony

May our thoughts be as one

May our ears listen to the silence together

May our glances profoundly penetrate each other

May our lips pray together to gain mercy from the Eternal Father”

Other prayers:

Novena prayers: St Anne, St Joseph, and Forgiveness from St Josemaria Escriva.

Daily prayers: Act of Contrition, Rosary, Divine Mercy, Sacred Heart of Jesus, Mother of Perpetual Help,

St Joseph, St Michael and Guardian Angel.

Translation:

“Aku Memberi, Aku Mengambil Kembali, & Aku Menggantinya”

Oleh Anonymous – kesaksian ini ditulis untuk melakukan apa yang Yesus minta dalam Markus 5:19

Pulanglah ke rumahmu, kepada orang-orang sekampungmu, dan beritahukanlah kepada mereka segala sesuatu yang telah diperbuat oleh Tuhan atasmu dan bagaimana Ia telah mengasihani engkau!

“Selamat ulang tahun Laksita (bukan nama sebenarnya)”
“ Terima kasih Citra (bukan namaku yg sebenarnya ). Bagaimana kabarmu?

Lalu kami berbincang tentang banyak hal. Saya tidak ingat kapan terakhir kali saya berbincang dengannya, yang pasti sudah lebih dari setahun. Lalu dia bertanya padaku, “Bagaimana dengan pekerjaan kamu?”

“Aku suka pekerjaanku, itu anugerah Tuhan. Aku dipanggil untuk posisi ini sampai 3 kali. Pertama, perekrut menghubungiku tentang lowongan ini. Singkatnya, aku lulus proses wawancara, namun perekrut memberi tahuku bahwa sang manajer belum siap mempekerjakan karyawan penuh waktu. Departemen ini baru saja dibangun; sang manajer berpikir sebaiknya dia memperkerjakan seorang kontraktor/karyawan paruh waktu. Sekitar 6 bulan kemudian, perekrut yang sama meneleponku dan memberi tahu bahwa sang manajer sekarang siap untuk memperkerjakan karyawan penuh waktu. Akhir pekan dimana aku seharusnya menerima tawaran itu, sebuah kejadian menimpa ibuku. Aku tidak berani mengambil risiko bekerja di perusahaan baru saat ibuku membutuhkanku. Aku beri tahu sang manajer apa yang terjadi. 6 bulan berikutnya, perekrut yang sama memberi tahuku bahwa lowongan ini belum terisi. Aku menyadari, ini adalah ke 3 kali nya aku dipanggil untuk posisi yang sama, untuk manajer yang sama, dan untuk perusahaan yang sama. Bisikan lembut memberitahuku bahwa ini bukanlah kebetulan, tapi dari Tuhan adanya. Saat ini, ibuku sudah pulih. Singkat cerita, ku terima dan tandatangani tawaran pekerjaan itu”

Begitulah percakapanku dengan sahabat lamaku, Laksita pada hari Senin 31 July 2023. Aku menelponnya karena sehari sebelumnya adalah hari ulang tahunnya. Kami bekerja di perusahaan yang sama sekitar 25 tahun yang lalu. Kesamaan keyakinan yang sama membuat persahabatan kami tumbuh tidak hanya dalam hal pekerjaan.

Giliran Laksita menceritakan anugerah Tuhan di kantor nya. Belum lama ini, bagian di mana Laksita bekerja harus mem PHK kan 11 orang dan hanya 1 orang dipertahankan. Ternyata Laksita lah yang terpilih. Ia juga berbagi cerita berkat-berkat Tuhan dalam keluarganya.
Percakapan kami penuh dengan membagi cerita tentang rahmat Tuhan. Berbicara tentang urusan keluarga, Laksita menyarankanku untuk berdoa novena kepada St Anne. Waktu yang tepat, kataku dalam hati, aku akan mulai doa novena ini besok, 1 Agustus, agar mudah mengingat sembilan harinya.

Selasa pagi, 1 Agustus, Aku ada ‘meeting’ dengan manajerku. Seperti sebuah bom jatuh di kepalaku, aku di-PHK! Aku hanya terdiam dalam ‘meeting’ itu, tidak tahu harus berkata apa; bagian Sumber Daya Manusia yang bergabung di rapat menjelaskan semua dokumen dan detil PHK. Sebagian besar penjelasannya tidak melekat di kepalaku. Aku pusing dengan 1000 macam hal. Setelah ‘meeting’ berakhir, aku kontak bekas kolegaku di LinkedIn, menanyakan jika ada lowongan di perusahaan mereka bekerja. Aku beri tahu teman-teman ku yang ada di dalam satu grup SMS, Hasti, Amir dan Melati (bukan nama sebenarnya). Aku dan Hasti mempunyai sifat yang mirip. Salah satu pesannya, dia berbagi apa yang Amir sering katakan:

“Kita sering khawatir dalam banyak hal. Jika kita percaya pada Tuhan, harusnya tidak perlu khawatir”.

Kata-kata itu terngiang dalam pikiranku dan aku sering mengulangi nya dalam hatiku.

Pada jam 3 sore aku berdoa Koronka Kerahiman Ilahi. Usai berdoa, aku memberitahu situasiku kepada ‘adik dalam Tuhan’, dan kepada tetangga masa kecilku yang juga masih mencari pekerjaan.

Hari itu aku hadiri misa harian jam 5 sore. Hatiku sangat gundah. Setelah misa, romo melanjutkan dengan doa litani St. Antonius (dari Padua). Aku ikut berdoa sampai selesai, setelah itu aku tetap duduk dalam gereja untuk Adorasi.

Kembali ke rumah, kejadian hari ini mulai dicerna kepalaku. Disaat hening, percakapan dengan Laksita muncul dan tiba-tiba aku mendengar suara lembut:

“Aku memberimu pekerjaan itu. Aku mengambilnya kembali, Aku akan menggantiya”

Ayub 1:21 Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!

Ayub 42:10 Lalu TUHAN memulihkan keadaan Ayub, setelah ia meminta doa untuk sahabat-sahabatnya, dan TUHAN memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu.

Kemudian aku sadar, di gereja aku berdoa kepada Santo Antonius, santo yang membantu menemukan apa yang hilang. Aku kehilangan pekerjaanku! Apakah ini kebetulan? Walau aku percaya ini bukan kebetulan, namun banyak kecemasan berputar di kepalaku. Aku takut! Di mana kepercayaanku pada Yesus? Dimana kekuatan Imanku? Godaan yang luar biasa!

Kata Hasti: “Tanpa kita sadari kita sering berpikir bahwa kita punya iman yang kuat sampai saat kita ada di situasi yang tidak kita inginkan” Ucapan yang bijak!

Yesaya 41:10 janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.

Sekitar jam 10.50 malam, aku bersiap untuk tidur. Masih berharap, aku melirik ponselku dengan cepat. Aku tangkap ada pesan di LinkedIn dari mantan manajerku, katanya seseorang yang kita kenal (di masa lalu) buka lowongan untuk posisiku. Segara aku kembali ke komputerku, mencari tahu hal itu. Dalam waktu kurang dari 10 menit, aku terima pesan dari orang ini, kami berkomunikasi dan mengakhirinya dengan pesan bahwa tim ‘HR’ mereka akan menghubungi Aku.

Tuhan telah mulai rencana besar-Nya. Kewajibanku adalah berpartisipasi dalam kasih karuniaNya. Sadar akan kelemahanku, aku melawannya dengan doa dan firman Tuhan (untuk menguatkan Iman dan kepercayaanku kepada Tuhan Yesus melalui janji-janji-Nya).

Sejak hari ini, setiap hari adalah perjuangan untuk tetap percaya kepadaNya . Tuhan adalah kasih. Dengan banyak berdoa dan mengenal firman Nya, Dia mengarahkanku apa yang harus aku lakukan setiap hari. Pendeknya:

Hari ke-2 (setelah pengumuman PHK); Aku cenderung ingin hubungi teman-teman yang suportif sebanyak mungkin, karena aku perlu dukungan doanya. Aku mulai mengirim berita dan Laksita adalah yang pertama aku hubungi; dia sangat terkejut, berusaha sebisanya membantuku melalui jaringan profesionalnya. Aku siap untuk SMS ke teman berikutnya, tiba-tiba aku dengar suara lembut itu: Apakah kamu percaya padaku? Percayalah pada-Ku saja! Aku tersentak dan berhenti mengirim SMS.

Mazmur 62:6-7 Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah. Pada Allah ada keselamatanku dan kemuliaanku; gunung batu kekuatanku, tempat perlindunganku ialah Allah.

Aku tidak beritakan situasiku kepada bibiku, seorang yang sangat saleh dan dekat dengan Tuhan, tapi dia mengirimiku pesan ini: “Kamu cemas dengan banyak hal, kamu harus lepaskan jika kamu percaya kepada Tuhan, dan tidak perlu khawatir”. Apakah ini kebetulan? Selama aku mengenalnya, apa yang dia ‘lihat’ adalah benar adanya.

Hari ke-3

Melati membalas beritaku seperti ini: “Citra, doakan novena St Yosef”.

Aku ikuti pesannya. Aku mendengar suara lembut: “Kemurahan hati manusia tidak akan pernah melampaui kemurahan hati Tuhan” (terjemahan bebas) yang ternyata adalah kata-kata dari St Ignatius dari Loyola.

Amsal 11:25 Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum.

Hari ke-5; Aku ikut misa Sabtu Pertama. Aku bertemu dengan seorang teman lama di gereja. Dia menyebut dirinya &’pria pendoa’. Aku percaya pertemuan ini diatur oleh Tuhan. Dia bertanya tentang pekerjaanku, aku ceritakan tentang situasiku. Setelah menghabiskan waktu ngobrol dengannya, aku merasakan ada kedamaian. Tuhan melimpahkan kasihNya melalui doa temanku.

Hari ke-6; Aku jumpa dengan teman ‘baru’ di kedai kopi lokal. Karena topik pembicaraan kami yang menyangkut situasiku, aku berbagi berita kepadanya. Sekali lagi, Tuhan yang murah hati melimpahkan kasihNya melalui doa temanku ini.

Hari ke 7; Aku terbangun sambil menyanyikan bait lagu “Holy, Holy, Holy is His Name” di kepalaku. Aku tidak tahu lirik dan judul lagunya. Bait lagu ini tetap bernyanyi di kepalaku selama sekitar seminggu. Dari internet aku mendapat judul dan keterangan tentang lagu ini; “Holy is His Name” ciptaan John Michael Talbot. Lagu ini diciptakan berdasarkan Kidung Maria dalam Lukas 1:46-55.

Hari ke-9; Hari terakhir doa novena kepada St Anne. Aku mengunjungi misa harian di gereja yang santa pelindungnya adalah St Anne.

Hari ke-11; Hari terakhir doa novena kepada St Yosef. Juga aku kunjungi misa harian di gereja yang santo pelindungnya adalah St. Yosef.

Hari ke-14; Wawancara terakhir dengan perusahaan yang Tuhan telah sediakan. Jumlah pewawancara adalah tujuh orang.

Hari ke-22; Adalah hari Peringatan Santa Perawan Maria, Ratu yang Terberkati. Sekitar jam 7.30 malam, aku menerima tawaran pekerjaan. Pujilah Tuhan, hai jiwaku! Pujilah Nama-Nya yang Kudus!

Mazmur 103:1-2 Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku! Pujilah TUHAN, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya!

Betapa 22 hari perjalan spiritual yang luar biasa. Banyak pasang surut dalam melawan kelemahanku, godaan untuk menjatuhkanku, dan godaan untuk memisahkanku dari Tuhan. Bunda Maria selalu menemani dan melindungiku. Setelah cobaan, datanglah kebahagiaan. Tuhan berikan aku berkat dengan rahmat – rahmat lainnya yang tidak dapat aku tulis semuanya di sini.

Yakobus 1:2-4 Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.

Aku mengucapkan terima kasih kepada ibuku tercinta, Ibu Suster Kepala di gereja dimana aku menjadi relawan, Laksita, Hasti, Melati, Amir, &’adik kecil’, tetangga masa kecil, & ‘pria pendoa’, teman ‘baru’ yang bertemu di kedai kopi. Juga kepada semua sahabatku baik sahabat dari dan diluar kantor yang mendoakan aku dan keluargaku, dari manapun kalian tahu keadaanku. Kepada sahabat yang tidak mendengar hal ini dari aku, bukanlah aku tidak ingin berbagi dengan kalian, justru sebaliknya. Kali ini Tuhan sedang mengajariku untuk bertumpu hanya kepada-Nya. Doa kalian semua telah menguatkan iman dan kepercayaanku.

Ulangan 31:6 Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka, sebab TUHAN, Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau; Ia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.

Di atas semuanya, aku bersyukur kepada Tuhan, Allahku yang telah membimbingku di jalan-Nya. Bukan dengan cara mengandalkan kekuatanku tapi dengan kekuatan-Nya lah!. Perjalanan ini masih panjang dan aku berdoa agar aku kuat berjalan bersama-Nya hingga mencapai garis akhir.

Ibrani 13:5 Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau”.

Doa baru yang aku pelajari yang menguatkanku:

“Unity Prayer” by Father Jim Blount, an exorcist, who is devoted to a ministry of healing and deliverance.

“My adorable Jesus
May our feet journey together
May our hands gather in unity
May our hearts beat in unison
May our souls be in harmony
May our thoughts be as one
May our ears listen to the silence together
May our glances profoundly penetrate each other
May our lips pray together to gain mercy from the Eternal Father”

Doa-doa lainnya:

Novena prayers: St Anne, St Jospeh, and Forgiveness from St Josemaria Escriva.
Daily prayers: Act of Contrition, Rosary, Divine Mercy, Sacred Heart of Jesus, Mother of Perpetual Help, St. Joseph, St Michael and Guardian Angel.

Read More
Tahukah Anda?, Tahukah Anda Redaksi E-Bulletin Tahukah Anda?, Tahukah Anda Redaksi E-Bulletin

The Gifts Of The Holy Spirit

Tahukah Anda ..
How many are the gifts of the Holy Spirit ?

1 Corinthians 12:4-6 “There are different kinds of spiritual gifts but the same Spirit; there are different forms of service but the same Lord; there are different workings but the same God who produces all of them in everyone”

According to Catholic Tradition, how many are the gifts of the Holy Spirit that were to descend upon us at the Sacrament of Confirmation?

a. Three
b. The number is different from one another, depending how focus we are during the Sacrament of Confirmation.
c. Seven
d. Ten
e. Are there such a thing?

Answer: C

The seven gifts of the Holy Spirit are, according to Catholic Tradition, wisdom, understanding, counsel, fortitude, knowledge, piety, and fear of God. The standard interpretation has been the one that St.Thomas Aquinas worked out in the thirteenth century in his Summa Theologiae:

Wisdom is both the knowledge of and judgment about “divine things” and the ability to judge and direct human affairs according to divine truth (I/I.1.6; I/II.69.3; II/II.8.6; II/II.45.1–5).

Understanding is penetrating insight into the very heart of things, especially those higher truths that are necessary for our eternal salvation—in effect, the ability to “see” God (I/I.12.5; I/II.69.2; II/II.8.1–3).

Counsel allows a man to be directed by God in matters necessary for his salvation (II/II.52.1).

Fortitude denotes a firmness of mind in doing good and in avoiding evil, particularly when it is difficult or dangerous to do so, and the confidence to overcome all obstacles, even deadly ones, by virtue of the assurance of everlasting life (I/II.61.3; II/II.123.2; II/II.139.1).

Knowledge is the ability to judge correctly about matters of faith and right action, so as to never wander from the straight path of justice (II/II.9.3).

Piety is, principally, revering God with filial affection, paying worship and duty to God, paying due duty to all men on account of their relationship to God, and honoring the saints and not contradicting Scripture. The Latin word ‘pietas’ denotes the reverence that we give to our father and to our country; since God is the Father of all, the worship of God is also called piety (I/II.68.4; II/II.121.1).

Fear of God is, in this context, “filial” or chaste fear whereby we revere God and avoid separating ourselves from him—as opposed to “servile” fear, whereby we fear punishment (I/II.67.4; II/II.19.9).

These are heroic character traits that Jesus Christ alone possesses in their plenitude but that he freely shares with the members of his mystical body (i.e., his Church). These traits are infused into every Christian as a permanent endowment at his baptism, nurtured by the practice of the seven virtues, and sealed in the sacrament of confirmation. They are also known as the sanctifying gifts of the Spirit, because they serve the purpose of rendering their recipients docile to the promptings of the Holy Spirit in their lives, helping them to grow in holiness and making them fit for heaven.

These gifts, according to Aquinas, are “habits,” “instincts,” or “dispositions” provided by God as supernatural helps to man in the process of his “perfection.” They enable man to transcend the limitations of human reason and human nature and participate in the very life of God, as Christ promised (John 14:23). Aquinas insisted that they are necessary for man’s salvation, which he cannot achieve on his own. They serve to “perfect” the four cardinal or moral virtues (prudence, justice, fortitude, and temperance) and the three theological virtues (faith, hope, and charity). The virtue of charity is the key that unlocks the potential power of the seven gifts, which can (and will) lie dormant in the soul after baptism unless so acted upon.

Because “grace builds upon nature” (ST I/I.2.3), the seven gifts work synergistically with the seven virtues and also with the twelve fruits of the Spirit and the eight beatitudes. The emergence of the gifts is fostered by the practice of the virtues, which in turn are perfected by the exercise of the gifts. The proper exercise of the gifts, in turn, produces the fruits of the Spirit in the life of the Christian: love, joy, peace, patience, kindness, goodness, generosity, faithfulness, gentleness, modesty, self-control, and chastity (Gal. 5:22–23). The goal of this cooperation among virtues, gifts, and fruits is the attainment of the eight-fold state of beatitude described by Christ in the Sermon on the Mount (Matt. 5:3–10).

Source/Sumber: Catholic Answer

https://www.catholic.com/magazine/print-edition/the-seven-gifts-of-the-holy-spirit


(Indonesian translation)

Karunia Roh Kudus

1 Korintus 12:4-6 “Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang”

Menurut Tradisi Katolik, ada berapa karunia Roh Kudus yang kita terima saat Sakramen Krisma?

A. Tiga
B. Jumlahnya berbeda-beda satu sama lain, tergantung seberapa fokus kita saat Sakramen Krisma.
C. Tujuh
D. Sepuluh
E. Apakah benar ada hal seperti itu?

Jawaban: C

Tujuh karunia Roh Kudus, menurut Tradisi Katolik, adalah Kebijaksanaan, Pengertian, Nasihat, Ketabahan Hati, Pengetahuan, Kesalehan, dan Takut akan Tuhan. Interpretasi standar ini adalah yang dibuat oleh St. Thomas Aquinas pada abad ketiga belas dalam Summa Theologiae-nya:

Kebijaksanaan adalah pengetahuan dan penilaian tentang “hal-hal ilahi” dan kemampuan untuk menilai dan mengarahkan urusan manusia berdasarkan kebenaran ilahi (I/I.1.6; I/II.69.3; II/II.8.6;II/II.45.1 –5).

Pengertian adalah kemampuan untuk menembus wawasan ke hal yang paling dalam, terutama hal kebenaran yang diperlukan untuk keselamatan jiwa kita—efektifnya, kemampuan untuk “melihat” Tuhan (I/I.12.5; I/II.69.2; II/II. 8.1–3).

Nasihat memungkinkan seseorang untuk diarahkan oleh Tuhan dalam hal yang diperlukan untuk keselamatan jiwanya (II/II.52.1).

Ketabahan hati berarti keteguhan dalam berbuat baik dan menjauhi kejahatan, terutama ketika seseorang sulit atau membahayakan untuk berbuat baik, disertai keyakinan dan kemampuan untuk mengatasi segala rintangan, termasuk rintangan yang dapat mengambil jiwa seseorang, dengan tujuan kehidupan abadi II/II. 61.3; II/II.123.2; II/II.139.1).

Pengetahuan adalah kemampuan menilai secara benar dalam hal iman dan kebenaran, agar tidak menyimpang dari keadilan (II/II.9.3).

Kesalehan pada prinsipnya adalah menghormati Tuhan dalam kasih sayang anak terhadap Bapak, setia melakukan ibadah dan kewajiban kepada Tuhan, memberikan kewajiban kepada semua orang berdasarkan hubungan manusia dan Tuhan, dan menghormati orang-orang kudus dan tidak bertentangan dengan Kitab Suci. Kata Latin ‘pietas’ menunjukkan rasa hormat yang kita berikan kepada ayah dan negara kita; karena Tuhan adalah Bapak segala bangsa, maka melakukan ibadah kepada Tuhan adalah kesalehan (I/II.68.4; II/II.121.1).

Takut akan Tuhan, dalam konteks ini, adalah rasa untuk “berbakti” atau rasa takut yang membuat kita menghormati Tuhan dan tidak memisahkan diri dari-Nya—berbeda dengan rasa takut karena hukuman (I/II.67.4; II/II.19.9 ).

Karunia-karunia ini, menurut Santo Aquinas, adalah “kebiasaan”, “naluri”, atau “watak” yang diciptakan Tuhan sebagai bantuan supernatural untuk manusia dalam proses “kesempurnaannya”. Hal-hal tersebut memampukan manusia untuk melampaui keterbatasan akal budi dan kodrat manusia serta berpartisipasi dalam kehidupan Allah, seperti yang dijanjikan Kristus (Yohanes 14:23). Santo Aquinas menegaskan bahwa hal-hal tersebut diperlukan untuk keselamatan manusia, yang tidak dapat dicapainya sendiri. Karunia ini berfungsi untuk “menyempurnakan” empat kebajikan pokok atau kardinal (kebijaksanaan, keadilan, keberanian, dan penguasaan diri) dan tiga kebajikan teologis (iman, harapan, dan kasih). Kasih adalah kunci yang membuka potensi kekuatan tujuh karunia, artinya menjadikan tujuh karunia pasif setelah Sakramen Baptis kecuali ada kasih.

Karena “kasih karunia terbentuk secara natural” (ST I/I.2.3), ketujuh karunia itu bekerja secara sinergis dengan tujuh kebajikan, juga dengan dua belas buah-buah Roh Kudus dan delapan Ucapan Bahagia. Munculnya karunia-karunia tersebut dipupuk oleh praktik kebajikan, disempurnakan dengan penerapan karunia tersebut. Penggunaan karunia yang benar, akan menghasilkan buah-buah Roh Kudus dalam kehidupan: kasih, sukacita, kedamaian, kesabaran, kemurahan, kebaikan, murah hati, kesetiaan, kelembutan, kesopanan, pengendalian diri, dan kesucian ( Gal.5:22–23). Tujuan dari kerja sama antara kebajikan, karunia, dan dua bleas buah ini adalah untuk mencapai delapan ucapan kebahagiaan yang dijelaskan oleh Kristus dalam Khotbah di atas Bukit (Mat. 5:3-10).

Read More
Artikel & Renungan WKICU Admin Artikel & Renungan WKICU Admin

“As a Catholic, Should I or Shouldn't I be Rich?”

Mat 6:24
No one can serve two masters. Either you will hate the one and love the other, or you will be devoted to the one and despise the other. You cannot serve both God and money.

By Jennie Xue, MTh, a bilingual author based in Northern California.

Does God want us to be rich? Sometimes we receive conflicting messages, and it confuses us. Then we’re reminded of our beloved Christ. Whenever we remember Him, we calmly say, “Jesus was born poor and died poor, so I must follow His footsteps.”

Soon after, we feel relieved that God will provide whatever it is.
We’re supposed to be grateful for what we have now, just like Jesus did. We smile and nod, agreeing. After all, there is a Bible verse, 1 Timothy 6:10, “For the love of money is the root of all evil.”

Interestingly, whenever we go to the bookstore and watch on TV or Youtube, Joel Olsteen is everywhere. He has published many books about how to live your best life and that (financial) prosperity will follow. According to Olsteen and many other reverends, God’s blessings also come in financial riches, and we must strive for them. Is that so?

Now, let’s look at the Amish and the Mennonites in the eastern part of the United States. They’re the opposite of what Olsteen believes. They live such a modest lifestyle that most don’t have electricity, computers, phones, modern transportation like cars or buses, and modern clothing. They live in traditional modesty that most consider “quite extreme.”

Now, what about us Catholics? Where do we stand in terms of monetary riches? Don’t we all believe in the same God and the same Savior? And in the idea that God came into the world in flesh and blood so that He could save us all from our sins? Matthew 6:24 states, “No one can serve two masters. Either you will have the one and love the other, or you will be devoted to the one and despise the other. You cannot serve both God and money.” The context of this verse was Jesus’ teachings on the Sermon on the Mount. He addressed this issue to the predominantly Jewish audience and discussed other sins, like adultery and murder. Through His teachings in Matthew 6:24, Jesus reminded us that money could profoundly impact our physical and spiritual selves. Also, Matthew 6:19-21 states, “Do not store up for yourselves treasures on earth, where moths and vermin destroy, and where thieves break in and steal.”

At the same token, He also provided for our needs in abundance, as stated in Matthew 14:20, “They all ate and were satisfied, and the disciples picked up twelve basketfuls of broken pieces that were left over.” He would never leave us hungry and unkept. The overarching concept of work and material well-being in Christianity is neutral, which means it’s not holy or evil. We must work based on our calling, talents, interests, passions, or simply because we have responsibilities to fulfill. And work makes us more grateful for the physical and spiritual benefits resulting. God doesn’t merely bless us with material or financial wealth, for “wealth” comes in many forms. Monetary riches are simply one of them, and how much money we have doesn’t indicate how blessed we are.

Essential teachings about monetary riches for Christians:

1. Money isn’t evil. It’s greed that’s evil.

2. Wealth comes in many forms, not only money.

3. Being financially prosperous doesn’t indicate how blessed one is.

4. Both work and money are neutral. We can give positive or negative meanings depending on our intentions.

5. We’re stewards of physical and spiritual things, including money. Use them to empower people to be closer to God with faith and sincerity.

In conclusion, as a Catholic, it’s fine to be financially independent so that you don’t burden anyone, can provide for your family, and can donate to various helpful causes without compromising yourself. May we all be fruitful and blessed in many ways.

===================

“Sebagai seorang Katolik, apakah saya harus kaya atau tidak?”

Oleh Jennie Xue, MTh, penulis dwibahasa yang tinggal di California Utara.

Apakah Tuhan ingin kita hidup kaya? Terkadang kita menerima pesan-pesan yang bertentangan, dan itu amat membingungkan. Kemudian kita diingatkan akan Kristus kita yang terkasih. Setiap kali kita mengingat-Nya, kita dengan tenang berkata, “Yesus lahir dalam keadaan miskin dan mati dalam keadaan miskin, jadi saya harus mengikuti jejak-Nya.”

Namun segera setelah itu, kita merasa lega bahwa Tuhan akan menyediakan apa pun itu. Kita seharusnya bersyukur atas apa yang kita miliki sekarang, seperti yang Yesus lakukan. Kita tersenyum dan mengangguk, setuju. Lagi pula, ada ayat Alkitab, 1 Timotius 6:10, “Karena akar segala kejahatan adalah cinta uang.”

Menariknya, setiap kali kita pergi ke toko buku dan menonton di TV atau Youtube, Joel Olsteen sering ada di mana-mana. Dia telah menerbitkan banyak buku tentang bagaimana menjalani hidup terbaik anda dan kemakmuran (finansial) akan mengikuti. Menurut Olsteen dan banyak pendeta lainnya, berkah Tuhan juga datang dalam kekayaan finansial, dan kita harus berjuang untuk itu. Apakah sesungguhnya memang begitu?

Coba kita lihat kehidupan suku Amish dan Mennonit di bagian timur Amerika Serikat. Mereka justru adalah kebalikan dari apa yang diyakini Olsteen. Mereka hidup dengan gaya hidup sederhana yang kebanyakan tidak memiliki listrik, komputer, telepon, transportasi modern seperti mobil atau bus, dan pakaian modern. Mereka hidup dalam kesopanan tradisional yang oleh kebanyakan orang dianggap “sangat ekstrim”.

Sekarang, bagaimana dengan kita umat Katolik? Di manakah posisi kita dalam hal kekayaan moneter? Bukankah kita semua percaya pada Tuhan yang sama dan Juruselamat yang sama? Dan dalam gagasan bahwa Tuhan datang ke dunia dalam daging dan darah sehingga Dia dapat menyelamatkan kita semua dari dosa kita? Matius 6:24 menyatakan, “Tidak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Entah Anda akan memiliki yang satu dan mencintai yang lain, atau Anda akan berbakti pada yang satu dan membenci yang lain. Anda tidak dapat melayani Tuhan dan uang sekaligus.” Konteks ayat ini adalah ajaran Yesus tentang khotbah di bukit. Dia membahas masalah ini kepada para pendengar yang didominasi orang Yahudi dan membahas dosa-dosa lain, seperti perzinahan dan pembunuhan. Melalui ajaran-Nya dalam Matius 6:24, Yesus mengingatkan kita bahwa uang dapat sangat memengaruhi fisik dan spiritual kita. Juga, dalam Matius 6:19-21 dikatakan, “Janganlah menimbun bagimu harta di bumi, di mana ngengat dan rayap merusak, dan di mana pencuri membongkar dan mencurinya.”

Pada saat yang sama, Yesus juga memenuhi kebutuhan kita dengan kelimpahan, seperti yang dinyatakan dalam Matius 14:20, “Mereka semua makan sampai kenyang, dan murid-murid mengumpulkan dua belas keranjang penuh potongan-potongan yang tersisa.” Dia tidak akan pernah meninggalkan kita lapar dan tidak terawat. Konsep menyeluruh tentang pekerjaan dan kesejahteraan materi dalam agama Kristen adalah netral, yang artinya tidak suci atau jahat. Kita harus bekerja berdasarkan panggilan, bakat, minat, hasrat, atau hanya karena kita memiliki tanggung jawab untuk dipenuhi. Dan bekerja membuat kita lebih bersyukur atas manfaat jasmani dan rohani yang dihasilkan. Tuhan tidak hanya memberkati kita dengan kekayaan materi atau keuangan, karena “kekayaan” datang dalam berbagai bentuk. Kekayaan moneter hanyalah salah satunya, dan berapa banyak uang yang kita miliki tidak menunjukkan betapa diberkatinya kita.

Ajaran penting tentang kekayaan moneter bagi orang Kristen:

1. Uang tidak jahat. Keserakahanlah yang jahat.

2. Kekayaan datang dalam berbagai bentuk, bukan hanya uang.

3. Menjadi makmur secara finansial tidak menunjukkan betapa diberkatinya seseorang.

4. Baik pekerjaan maupun uang adalah netral. Kita bisa memberi makna positif atau negatif tergantung pada niat kita.

5. Kita mengurus hal-hal jasmani dan rohani, termasuk uang. Gunakan mereka untuk memberdayakan orang agar lebih dekat dengan Tuhan dengan iman dan ketulusan.

Kesimpulannya, sebagai seorang Katolik, tidak apa-apa untuk mandiri secara finansial sehingga Anda tidak membebani siapa pun, dapat menafkahi keluarga Anda, dan dapat menyumbang untuk berbagai tujuan yang bermanfaat tanpa mengorbankan diri Anda sendiri. Semoga kita semua berbuah dan diberkati dalam banyak hal.

Read More
Tahukah Anda?, Tahukah Anda Redaksi E-Bulletin Tahukah Anda?, Tahukah Anda Redaksi E-Bulletin

Arti “Anak Allah” Seperti Tertulis Dalam Injil

You hear and read, and you may write this many times, but what does the biblical title “Son of God” mean as it was said of Jesus in the Gospels?

a. of similar substance with the Father

b. I am He

c. the glory of God is upon me

d. He is the literal Son of God

e. God is my father figure


Answer: D
As Jesus declared, “I and the Father are one” (John 10:30) and “Have I been with you so long, and yet you do not know me, Philip? He who has seen me has seen the Father; how can you say, ‘Show us the Father’ ?” (John 14:9). Even though, out of humility, Our Lord spoke of Himself as the “Son of Man”, His followers (see Simon Peter, Matthew 16:16) and even enemies (sarcastically, in the case of Caiaphas Mark 14:61) referred to Him as the “Son of God” (see also Psalm 2:7). “That the Father, not the Son, had revealed Christ’s identity as the Son of God shows how profound was the significance of Peter’s words even if Peter himself had not yet fully sounded their depth. By this revelation the Father had singled out Peter as the natural foundation for His Son’s society and Our Lord, as ever, follows His Father’s lead.


Faith in divinity of Chris must henceforth be a criterion of the true society of Christ” (A Catholic Commentary on Holy Scripture, Dom Bernard Orchard, ed., Thomas Nelson and Sons, London, 1952, p.858, 881).

Source/Sumber: Inquizition - by Patrick Madrid

================================

Anda telah mendengar dan membaca, dan Anda mungkin telah menulis ini berkali-kali, tetapi apa arti “Anak Allah” seperti yang dikatakan tentang Yesus dalam Injil?

Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa (Yohanes 14:9).

A. substansi yang serupa dengan Bapa

B. saya adalah Dia

C. kemuliaan Tuhan ada padaku

D. Dia adalah Anak Allah secara harfiah

e. Tuhan adalah sosok ayahku

Jawaban: D

Seperti yang Yesus nyatakan, “Aku dan Bapa adalah satu” (Yohanes 10:30) dan “Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: ‘Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami’ ?” (Yohanes 14:9).

Karena kerendahan hatiNya, Tuhan Yesus berbicara tentang diri-Nya sendiri sebagai “Anak Manusia”, tetapi para pengikut-Nya (lihat Simon Petrus, Matius 16:16) dan bahkan kelompok yang ‘memusuhi’ Nya (secara sinis, dalam kasus Kayafas Markus 14:61) mengacu pada Dia sebagai “Anak Allah” (lihat juga Mazmur 2:7). “Bahwa Bapa, bukan Putra, yang telah mengungkapkan identitas Kristus sebagai Putra Allah menunjukkan betapa dalamnya makna kata-kata Petrus bahkan saat Petrus sendiri belum sepenuhnya menyadari kedalaman makna tersebut. Melalui pewahyuan ini Allah Bapa telah memilih Petrus sebagai pondasi umat Putra-Nya, Tuhan Yesus, yang mengikuti kepemimpinan Allah Bapa-Nya.

Keyakinan akan keilahian Kristus harus menjadi kriteria umat Kristus sejati” (A Catholic commentary on Holy Scripture, Dom Bernard Orchard, ed., Thomas Nelson and Sons, London, 1952, p. 858, 881).

Source/Sumber: Inquizition - by Patrick Madrid

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Catholics Explain And Defend Mary

Sebagai orang Katolik, bagaimana kita menjelaskan & membela devosi kita kepada bunda Tuhan kita ?.

Mother Mary participates in the salvation works of Christ Her Son, and cooperates with Him to protect His Church until the end of time. The Catholic Church specifically dedicates the months of May and October as Marian Months. Why do we pray to Our Lady? As Catholics, we can explain & defend Our Lady to anyone (especially to those questions that come from non-Catholic Christians).

Question 1: “You Catholics worship Mary. You treat her like a 4th person in the Trinity.”
Answer:
Catholics worship God alone. We do not mistake a creature - even God's greatest creature - for the creator. We honor Mary. Why ? Because of the gifts God has given her. By making her His mother, God honored Mary more than we ever could. Scripture calls Mary “blessed” and promises that all generations will do likewise (Luke 1: 42,48). We honor Mary because Jesus honored her (perfectly obeying the 4th commandment) and we are called to imitate Christ.

Question 2: “You Catholics kneel and pray before the statues of Mary. You're worshipping idols.”
Answer:
Do you honestly believe the Catholics can’t tell the difference between the God of the universe and painted plaster ?. Protestants often kneel holding a cross or a bible. Are they worshipping mere wood or printed paper ? . No, they will tell you these are reminders of Jesus and His saving deeds. Likewise, images of God's victorious saints remind us of Jesus and His saving deeds. No good Catholic thinks he is worshiping Mary by kneeling before her image in prayer.

Question 3: “Statues of Mary violate God‘s commandment not to make graven images (Exodus 20:4-5).
Answer:
In exodus 20: 4-5 God prohibits the making of images for the purpose of worshiping them. But He does not prohibit making images altogether. In Exodus 25:18-19, God commands Moses to make statues of Cherubim. In Numbers 21:8, God tells Moses to make a bronze serpent. The Jews used many carved images in their temple, including angels, oxen, lions, palm trees, and flowers
(1 Kings 6 and 7). You probably have pictures in your wallet of your family and loved ones. These are man-made images. Are you worshipping them when you use these images to recall the people they represent? No. This same principle applies to the veneration of statues. Catholics use statues and other images merely to recall the holy people they represent.




============================

Bunda Maria turut mengambil bagian dalam karya keselamatan Kristus Putera-Nya, dan bekerjasama dengan-Nya untuk melindungi Gereja-Nya sampai akhir jaman. Gereja Katolik secara khusus mendedikasikan bulan Mei dan Oktober sebagai Bulan Maria. Mengapa kita berdoa kepada Bunda Maria? Sebagai orang katolik, kita bisa menjelaskan & membela Bunda Maria kepada siapa saja (terutama atas pertanyaan-pertanyaan yang datang dari orang-orang Kristen non-Katolik).
Pertanyaan 1: “Kalian umat Katolik menyembah Maria. Kalian memperlakukannya seperti orang ke-4 dalam Trinitas.”
Jawaban:
Orang Katolik hanya menyembah Tuhan. Kami tidak memandang sebuah ciptaan Tuhan sebagai sebagai Sang Pencipta itu sendiri - walaupun itu sebuah ciptaan yang paling hebat sekalipun.
Kami menghormati Maria. Mengapa ? Oleh karena semua karunia yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Dengan menjadikannya ibu-Nya, Tuhan menghormati Maria lebih dari yang bisa kita lakukan. Kitab Suci menyebut Maria "Yang Diberkati" dan berjanji bahwa semua generasi akan melakukan hal yang sama (Lukas 1: 42,48). Kami menghormati Maria karena Yesus menghormatinya (ini mematuhi isi perintah Allah ke-4 dengan sempurna) dan kami dipanggil untuk meniru teladan Kristus.

Pertanyaan 2: “Kalian umat Katolik berlutut dan berdoa di depan patung Maria. Kamu menyembah berhala.”
Jawaban:
Apakah Anda benar-benar percaya umat Katolik tidak dapat membedakan antara Tuhan alam semesta dan plester yang dicat?. Orang Protestan sering berlutut sambil memegang salib atau Alkitab. Apakah mereka hanya menyembah kayu atau kertas cetakan? . Tidak, mereka akan memberi tahu Anda bahwa ini adalah pengingat akan Yesus dan perbuatan penyelamatan-Nya. Demikian pula, gambaran orang-orang kudus Allah yang jaya mengingatkan kita akan Yesus dan karya penyelamatan-Nya. Tidak ada orang Katolik yang berpikir bahwa dia sedang menyembah Maria dengan berlutut di depan gambarnya dalam doa.

Pertanyaan 3: “Patung Maria melanggar perintah Tuhan untuk tidak membuat patung pahatan (Keluaran 20: 4-5).
Jawaban:
Dalam Keluaran 20: 4-5 Allah melarang pembuatan patung untuk tujuan pemujaan. Tapi Allah tidak melarang membuat gambar sama sekali. Dalam Keluaran 25:18-19, Tuhan memerintahkan Musa untuk membuat patung kerub. Dalam Bilangan 21:8, Tuhan menyuruh Musa membuat ular perunggu.
Orang Yahudi menggunakan banyak patung ukiran di kuil mereka, termasuk malaikat, lembu, singa, pohon palem, dan bunga (1 Raja-raja 6 dan 7). Anda mungkin memiliki foto keluarga dan orang yang Anda cintai di dompet Anda. Ini adalah gambar buatan manusia. Apakah Anda menyembah gambar-gambar ini ketika Anda menggunakannya untuk mengingat mereka yang mereka wakili? Tidak. Prinsip yang sama berlaku untuk keberadaan patung dalam hidup doa orang Katolik. Umat ​​Katolik menggunakan patung dan gambar lain hanya untuk mengingat orang suci yang mereka wakili.



Source: San Juan Catholic Seminars - Beginning Apologetics book 6

Read More
Artikel & Renungan WKICU Admin Artikel & Renungan WKICU Admin

Is This God's Voice or Mine?

Is This God’s Voice or Mine?

Written by Jennie Xue, MTh, bilingual author based in NorCal

How often do you ask yourself, “Is this God’s voice or my own thoughts?". If you’re like me, probably quite often, especially whenever we need to make crucial decisions. First and foremost, let’s rephrase the question. It is better to ask, “How do we understand God in this?”; instead of affirming, “Is this God’s voice?”

Jeremiah 23:35–36 (NIV): “This is what each of you keeps saying to your friends and other Israelites: “What is the Lord’s answer?”; or “What has the Lord spoken?”; But you must not mention “a message from the Lord; again, because each one’s word becomes their own message. So you distort the words of the living God, the Lord Almighty, our God.” We shouldn’t be quick to judge a decision or an action as something that God asked us to do because we heard His voice. Why? Because if we actually did hear His voice, most likely, it was in our own mind where our thoughts also resided.

Inside our heads is an entanglement between His and ours, where the line can be quite blurry. However, there is a fine one, which is something that helps us listen to His voice. And we can hear His voice in our minds through prayers or other people, such as parish priests, friends, relatives, and strangers. Most of the time, His voice isn’t audible. However, you could listen to an audible voice like Samuel did (1 Samuel 3:1-10) and Gideon (Judges 6:17-22, 36-40).

Thus, how can we distinguish His voice amidst the noise in our heads?

First, God doesn’t contradict Himself. Any idea that comes from God always aligns with the Scripture. Thus, if you think the “voice”; asks you to do something against His teachings, you know it’s not from Him. In Psalm 89:34, God said, “Do you think I’d withdraw my holy promise or take back words already spoken?”; He will never ask you to do sinful or even hurting things to yourself or others. There is always a peaceful way to solve any issue.

Second, God doesn’t confuse us; He gives peace. Read this verse: 1 Corinthians 14:33 (NIV): “For God is not a God of confusion but of peace as in all the congregations of the Lord’s people. “God’s voice may not necessarily affirm our preferences, but it will give us deep peace.

Third, God doesn’t fuel our resentment but asks us to focus on Him. Whenever you hear a “voice” that fuels your hatred, confusion, or anger, it’s not His. God doesn’t fuel negativity but instead invites us to focus on Him through more profound prayers, reading the Bible, attending masses, or other positively peaceful and God-bound activities.

Fourth, God focuses on the heart of the issue. God doesn’t fixate on the same problem as we do. Instead, He helps us face hardships with our hearts in Him. This said the rumination in your mind isn’t His voice, so let it go.

Fifth, God may not directly answer your question. Whatever answer you’re looking for may not be directly answered, but He will guide you toward something or someone that may provide it. Psalm 119:105 says, “Your word is a lamp to my feet and a light to my path.” ; And be patient because it takes time for the answer to materialize.

Sixth, God doesn’t speak about others. He invites us to understand our hearts, not others. He wants us to focus on living our lives with faith in Him. Thus, if the “voice” in your head speaks about others, especially in negative tones, it’s certainly not God’s.

At last, may we all face the world with optimism and faith in Him. Christ always guides us in our confusion and uncertainty. For this, no uncharted territory is too scary for us to face. God be with us all.

=====

Apakah Ini Suara Tuhan ataukah Suaraku?

Ditulis oleh Jennie Xue, MTh, penulis dwibahasa yang tinggal di NorCal

Seberapa sering Anda bertanya pada diri sendiri, “Apakah ini suara Tuhan atau pikiran saya sendiri?". Jika Anda seperti saya, mungkin cukup sering, terutama di saat kita perlu membuat keputusan penting. Pertama dan yang terpenting, mari kita ulangi pertanyaannya. lebih baik kita bertanya, “Bagaimana kita memahami Tuhan dalam hal ini?”, daripada menegaskan, “Apakah ini sungguh suara Tuhan?”

Yeremia 23:35–36 (NIV): “Inilah yang selalu Anda katakan kepada teman Anda dan orang Israel lainnya: “Apa jawaban Tuhan?”; atau “Apa yang telah Tuhan katakan?”; Tetapi Anda tidak boleh menyebutkan “pesan dari Tuhan; lagi, karena kata-kata masing-masing menjadi pesan mereka sendiri. Jadi Anda memutarbalikkan firman Allah yang hidup, Tuhan Yang Mahakuasa, Allah kami.” Kita tidak boleh terburu-buru menilai suatu keputusan atau tindakan sebagai sesuatu yang Tuhan minta kita lakukan karena kita mendengar suara-Nya. Mengapa? Karena jika kita benar-benar mendengar suara-Nya, kemungkinan besar, itu ada di dalam pikiran kita sendiri di mana pikiran kita juga berada.

Di dalam kepala kita ada keterikatan antara Dia dan kita, di mana garisnya bisa sangat kabur. Namun, ada yang bagus, yaitu sesuatu yang membantu kita mendengarkan suara-Nya. Dan kita dapat mendengar suara-Nya dalam pikiran kita melalui doa atau orang lain, seperti pastor paroki, teman, kerabat, dan orang asing. Sebagian besar waktu, suaraNya tidak terdengar. Namun, Anda dapat mendengarkan suara yang terdengar seperti Samuel (1 Samuel 3:1-10) dan Gideon (Hakim 6:17-22, 36-40).

Lantas, bagaimana kita bisa membedakan suara-Nya di tengah kebisingan di kepala kita?

Pertama, Tuhan tidak bertentangan dengan diri-Nya sendiri. Setiap ide yang berasal dari Tuhan selalu sejalan dengan Kitab Suci. Jadi, jika Anda memikirkan "suara"; meminta Anda untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran-Nya, Anda tahu itu bukan dari-Nya. Dalam Mazmur 89:34, Tuhan berkata, “Apakah menurutmu Aku akan menarik janji suci-Ku atau menarik kembali kata-kata yang sudah diucapkan?”; Dia tidak akan pernah meminta Anda untuk berbuat dosa atau bahkan menyakiti diri sendiri atau orang lain. Selalu ada cara damai untuk menyelesaikan masalah apa pun.

Kedua, Tuhan tidak membingungkan kita; Dia memberi kedamaian. Bacalah ayat ini: 1 Korintus 14:33 (NIV): “Sebab Allah bukanlah Allah kekacauan, melainkan Allah damai sejahtera seperti dalam semua jemaat umat Tuhan. “Suara Tuhan mungkin belum tentu menegaskan preferensi kita, tetapi itu akan memberi kita kedamaian yang mendalam.

Ketiga, Tuhan tidak mengobarkan kebencian kita tetapi meminta kita untuk fokus pada-Nya.
Setiap kali Anda mendengar “suara” yang mengobarkan kebencian, kebingungan, atau kemarahan Anda, itu bukanlah suara-Nya. Tuhan tidak menyulut kenegatifan tetapi malah mengundang kita untuk fokus kepada-Nya melalui doa yang lebih mendalam, membaca Alkitab, menghadiri misa, atau aktivitas positif damai dan terikat Tuhan lainnya.

Keempat, Tuhan berfokus pada inti masalah. Tuhan tidak terpaku pada masalah yang sama seperti kita. Sebaliknya, Dia membantu kita menghadapi kesulitan dengan hati kita di dalam Dia.
Ini mengatakan bahwa perenungan dalam pikiran Anda bukanlah suara-Nya, jadi biarkan saja.

Kelima, Tuhan mungkin tidak langsung menjawab pertanyaan Anda. Jawaban apa pun yang Anda cari mungkin tidak langsung dijawab, tetapi Dia akan membimbing Anda menuju sesuatu atau seseorang yang mungkin menyediakannya. Mazmur 119:105 mengatakan, “Firmanmu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” ; Dan bersabarlah karena butuh waktu untuk jawaban terwujud.

Keenam, Tuhan tidak berbicara tentang orang lain. Dia mengajak kita untuk memahami hati kita, bukan orang lain. Dia ingin kita fokus menjalani hidup kita dengan iman kepada-Nya. Jadi, jika “suara” di kepala Anda berbicara tentang orang lain, terutama dengan nada negatif, itu pasti bukan suara Tuhan.

Akhirnya, semoga kita semua menghadapi dunia dengan optimisme dan iman kepada-Nya. Kristus selalu membimbing kita dalam kebingungan dan ketidakpastian kita. Untuk ini, tidak ada wilayah yang belum dipetakan yang terlalu menakutkan untuk kita hadapi. Tuhan menyertai kita semua.

Read More
Apa dan Siapa WKICU Admin Apa dan Siapa WKICU Admin

Jambore 2023

Ditulis oleh Cynthia (Thia)

TubuhKu untuk Hidup Dunia (Ekaristi)” adalah tema Jambore KKI USA – Canada yang telah diselenggarakan di Houston, Texas tepatnya di Torrey Pines Conference Center (TPCC) pada tanggal 27-29 Mei 2023. Di lokasi inilah 16 KKI dari seluruh Amerika berkumpul. Gak tanggung-tanggung, ajang pertemuan itu mampu menghadirkan 340 peserta, belum ditambah 23 imam, 6 orang suster, dan 2 calon suster. Dalam acara Jambore itu WKICU bisa sedikit ikut senang dan berbangga telah ambil bagian. KKI Houston dan tetangganya, KKI Austin memang paling mendominasi jumlah peserta dalam ajang itu. Meski kita hanya mampu mengumpulkan limabelas orang perwakilan, tetapi yah paling tidak cukup menggenapi kelengkapan peserta Jambore.

Bendera semua KKI yang hadir

Romo-romo dengan putra/i altar

Persiapan matang menjelang keikutsertaan Jambore 2023 sudah dirancang oleh pengurus WKICU sejak undangan dilayangkan oleh KKI Houston. Agar menarik minat dan partisipasi umat untuk hadir dalam acara itu, pengurus WKICU merancang program subsidi, dan tentu saja untuk menutupi biaya itu penggalangan dana melalui fund raising penjualan makanan adalah salah satu cara cepat, cermat dan effektif yang biasa kita lakukan. Team fund raising yang dikepalai oleh Susanti Kho alias Mei-Mei – dibantu Cynthia (Thia), Marcella dan Agem – bergerak cepat mengumpulkan vendor makanan, merancang flyer, meng-kalkulasi harga serta memasarkannya kepada umat.

Satu bulan sebelum berangkat ke Houston, 15 peserta dari WKICU yang akan berangkat sudah siap dengan berkoordinasi melalui WAG (WhatsApp Group) untuk latihan koor. Kita mendapat jatah dari panitia acara untuk menyanyikan lagu penutup untuk misa hari ke-dua (dari tiga hari rangkaian pelaksanaannya). Persiapan latihan yang meski terasa sulit dalam mengumpulkan peserta, akhirnya terlaksana juga. Latihan dadakan di rumah Agem satu minggu sebelum keberangkatan terasa masih sangat kurang. Untungnya setelah sampai Houston, di hari ke-dua, kami dibantu oleh pemain piano KKI Houston, Widianto (Anto) untuk latihan sekali lagi sebelum misa Pantekosta dimulai. Anto dengan semangat dan senang hati membantu group WKICU untuk latihan di menit terakhir sehingga kami semua bisa bernyanyi dengan baik. Setelah misa selesai, WKICU mendapat banyak masukan yang cukup baik terutama karena lagu nya, Anggur Baru adalah lagu yang bisa membuat orang ikut bergoyang.

Peserta WKICU

Peserta WKICU

Panitia Jambore Houston, Windra Sugiaman (ketua KKI Houston) dan sang suami Frankie Sugiaman yang bertindak selaku ketua Jambore telah merencanakan acara besar ini dengan pasukan mereka yang sangat kompak dan penuh semangat.

Ada tiga kelompok yang dibagi oleh panitia dalam program acara; bincang-bincang dengan romo/suster, peserta dewasa dan OMK (remaja-anak kuliah), juga program untuk anak-anak. Para Panitia Jambore mendapat bimbingan dari Chaplain KKI Houston, Romo John Taosan–Archdiocese Of Houston Galveston. Beberapa acara yang disiapkan oleh panitia adalah acara perkenalan KKI, talks, talent show, dan games. Romo Tarsius Puling, SVD menjadi MC (Master Ceremony) yang jempolan. Dengan lelucon dan gayanya yang kocak dan santai beliau mampu menarik perhatian seluruh peserta.

Acara Jambore selama 3 hari itu menekankan kutipan kitab Yohanes 6:51 yang berbunyi “Akulah roti yang telah turun dari sorga. Jikalau seseorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.”

Penekanan kutipan itu mengajak para peserta untuk merenungkan hubungan intim mereka dengan Kristus, yang mengasihi kita tanpa syarat, dan untuk menegaskan kembali keyakinan kita akan kehadiran nyata-Nya di setiap Ekaristi. Hal itu dicapai melalui berbagai kegiatan antara lain tiga ceramah, tiga misa, adorasi dan doa/refleksi subuh. Salah satu pesan yang disampaikan oleh Romo Albertus Joni, SCJ adalah “Jangan takut, percaya saja”.

Sementara, di group OMK, beberapa romo dan Suster Skolastika Wea, SSpS mendiskusikan tentang “kekurangan panggilan agama.” Pembicaraan mengenai kurangnya orang yang masuk dunia agama sangatlah penting karena berkaitan dengan tema utama Jambore yaitu Ekaristi, karena kalau imam/romo berkurang, maka akan berkurang pula umat-umat yang menerima Sakramen Ekaristi.

Acara-acara yang lain seperti permainan, temu kenal romo/suster, talent show, perkenalan KKI, dan adorasi/pengakuan dosa juga sangat berkesan karena dalam kesempatan itu semua peserta dari semua KKI yang hadir bisa berkenalan satu dengan yang lain. Saat itu kita merasa sangat akrab, banyak orang bisa saling kenal, berbincang, bertawa ria, dan saling menguatkan iman bersama-sama dengan bimbingan para Romo dan suster.

Acara itu juga menjadi semakin meriah dengan tampilan pembuka acara lewat tarian daerah dengan pakaian adatnya yang sangat penuh corak warna-warni dan menarik. Seluruh dekorasi ajang itu juga sangat Indonesia. Mengingatkan slogan yang pernah didengungkan oleh Romo Soegija Pranata, SJ; “100 persen Katolik, 100 persen Indonesia.”

Penari Tor-Tor

Penari Lenggang Nyai

Pada misa hari terakhir, Jambore kita kedatangan tamu kehormatan. Uskup Italo hadir dan memberikan sambutan dengan didampingi oleh dua diakon dan 23 Romo. Uskup Italo sempat berpesan kepada semua Romo Indonesia supaya iman mereka tetap kuat terutama yang bertugas di Amerika Serikat sehubungan dengan banyaknya pengaruh-pengaruh buruk. Kepada umat yang hadir, beliau sangat senang melihat rasa kebersamaan dan ikatan keluarga Katolik Indonesia - Canada melalui Jambore.

Romo-romo bersama diakon dan Uskup Italo

Foto group peserta Jambore 2023

Ketua KKI Houston, Windra Sugiaman menjelaskan secara singkat bahwa persiapan akomodasi sudah dari tiga setengah tahun sebelumnya tetapi dikarenakan pandemic rencana mereka mundur terus walaupun tempat sudah di booking dari jauh hari dan deposit sudah dibayar.

“Rencana semula kita akan mengadakan Jambore ini tahun 2021,” terang Windra

“Persiapan konsumsi dan acara di mulai enam bulan sebelumnya, sekitar dari Januari 2023. Latihan menyanyi koor dan menari secara tetap dan teratur sekitar tiga bulan sebelumnya. Sedangkan mencari pembicara, kami cari setahun sebelumnya. Di antara kami (panitia Jambore), banyak juga yang mendapat tugas double, namun semua itu kami kerjakan dengan senang hati dan penuh semangat. Peranan para romo dan seluruh ketua KKI sangat penting untuk terus menerus memberikan dorongan dan semangat kepada kami selaku panitia acara. Komunitas kami di sini tidak banyak….,” jelas Windra

“Kami dibantu oleh Romo John yang berperan besar mengurus surat-surat undangan kepada para romo lain untuk hadir di Jambore, sekaligus mengurus surat suitability ke keuskupan. Tetapi tidak semua romo yang diundang bisa hadir karena perlu waktu untuk urusan visa, ijin pimpinan dan lain-lainnya. Di tambah pula karena kami mengundang pembicara dari Indonesia, mungkin kalau dari US akan lebih mudah. Target kami waktu masa persiapan adalah untuk sekitar 300 orang dan kami juga berminat untuk mengundang seluruh mudika (generasi KKI yang seterusnya) di acara Jambore tahun ini. Tidak disangka, banyak yang berminat sehingga melewati target kami sampai 340 padahal masih termasuk masa pandemi. Semua  acara berjalan sesuai dengan yang telah direncanakan,” papar Windra dengan nada puas dan penuh syukur.

Berikut beberapa kesan dari peserta WKICU yang hadir dalam Jambore itu:

-“Menyenangkan, berjejaring dan dapat berdiskusi dengan orang-orang dari KKI lain.” - Gio

- “Kesan keseluruhan bagus. Saya sendiri, sebagai peserta yang baru pertama kali ikut Jambore merasa senang bisa bertemu dan menjalin ikatan dengan sesama Katolik Indonesia lainnya dari bagian lain Amerika Serikat. Pasti saya akan merekomendasikannya kepada orang lain untuk ikut acara Jambore berikut.”- Budi

-“Itu bagus secara keseluruhan! Penataan kamarnya bagus dalam artian banyak OMK jadi kami bisa bonding. Tapi banyak OMK yang tidak tinggal bersama kami yang ditinggalkan yang agak menyedihkan (mis: Diandra tinggal sendiri) dan agak terburu-buru di akhir. Harusnya menyisakan slot waktu untuk sekadar mengisi waktu luang dengan OMK/Romo lainnya karena baru kenalnya kemaren soalnya. Juga, berpasangan dengan Romo dan rotasi adalah cara yang baik untuk mengenal sebagian besar para Romo dan suster yang hadir. Johanes (OMK Houston) memainkan gitar dan sementara Evan (OMK LA) main piano buat acara OMK talk. Di hari pertama dimana kita harus memakai baju beda warna buat semua peserta KKI beda itu keren karena membuat anda melihat betapa berbedanya KKI dari area berbeda bersatu. Itu benar-benar menunjukkan seberapa besar komunitas katolik dan bahwa anda tidak sendirian dalam iman anda. Dalam hal OMK khususnya, melihat OMK lain dari negara bagian lain sangat mengagumkan. Peluang bagus untuk terhubung dan membuat cara kreatif yang keren untuk berkolaborasi.” - Jenifer

-“Saya selalu menikmati dan bersenang-senang di Jambore. Itu memungkinkan saya untuk bertemu orang baru dari berbagai KKI di seluruh AS. Juga, itu memungkinkan saya untuk menerima berkah karena bisa bertemu begitu banyak Romo dan suster di satu tempat. Pasti akan pergi ke yang berikutnya. Semoga lebih banyak orang dari WKICU yang datang juga. Pujian besar untuk KKI Houston atas kerja keras dan kesuksesan Jambore tahun ini dan karena sangat akomodatif dan ramah terutama kepada para tetua dengan menyediakan transportasi di sekitar fasilitas. Hanya sayang kalau sebagian dari peserta WKICU dan KKI lain nya serta beberapa Romo dan suster harus terburu-buru naik bis untuk ke airport pada akhir terakhir setelah misa dengan Uskup Italo jadi tidak bisa meyaksikan acara tari penutup dan acara pementasan angklung” – Cynthia (Thia)

Pak Ade, ketua KKI Seattle menerima patung “Good Shepherd” dari Ibu Windra, ketua KKI Houston sebagai host Jambore 2025

Secara keseluruhan acara Jambore 2023 ini sangatlah sukses. Banyak sekali hal-hal baru dan positif yang didapatkan para peserta.

Pelaksanaan Jambore KKI USA - Canada 2023 telah berlangsung dangan sukses dan meriah, saatnya kini menyongsong Jambore berikutnya tahun 2025. Semoga dari setiap pelaksanaan Jambore yang telah terselenggara akan menghasilkan pembelajaran dan pengalaman bagi kita semua untuk mempersiapkan ajang perhelatan besar Komunitas Katolik Indonesia ini menjadi lebih baik dan semakin berkembang. Membangun ikatan persaudaraan di antara umat beriman adalah panggilan tugas kita. Seperti Allah sendiri berfirman dalam Matius 18:20 _

“Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.”

Mari rangkai dan kuatkan jalinan ikatan iman kita dengan semangat pelayanan tanpa lelah. Mempersiapkan segalanya bagi terlaksananya pertemuan akbar seperti Jambore ini adalah juga melaksanakan kehendak Allah.

Pesan kami bagi saudara seiman di Seattle, jangan khawatir dan ragu…..DIA akan beserta kalian dalam setiap langkah dan rencana persiapan. Mempersiapkan kehadiran Allah di tengah-tengah kita janganlah dijadikan sebuah beban. Bersuka citalah, karena Dia akan hadir bersama kalian mulai dari awal hingga akhir. Semua jalan dan pintu akan terbuka. Dengan penyertaan-Nya dalam setiap langkah dan rencana, hambatan dan rintangan malah akan menjadikan iman kita semakin kuat.

Sampai jumpa di Seattle di tahun 2025 yang akan datang! Selamat bekerja, KKI Seattle.

Tuhan menyertai kalian dan kita semua! 

Read More
Tahukah Anda?, Tahukah Anda Redaksi E-Bulletin Tahukah Anda?, Tahukah Anda Redaksi E-Bulletin

Tertianship

What is Tertianship?

a. Another name of Noah’s ark giant ship

b. The third US battleship in the second world war

c. The last stage of Jesuit Formation

d. The third book of Torah

e. The unpublished third letter of St Peter

Answer: c. The last stage of Jesuit Formation

The formation of a Jesuit is a journey that can last more than fifteen years and encompasses five key stages:

1. The Novitiate: ~ 2 years, learn about community, ministry, the Society of Jesus and Ignatian spirituality, and make a 30-day retreat. After those first two years, these men pronounce vows of poverty, chastity and obedience.

2. First Studies: ~ 3 years, studying philosophy and theology, while serving in community.

3. Regency: ~ 3 years, active ministry, like an internship.

4. Theology Studies: ~ 3 years, a final step towards priestly ordination. After receiving the Sacrament of Holy Orders, a Jesuit is sent on his first assignment as a priest.

St. Ignatius of Loyola

5. Tertianship: Jesuit formation doesn’t stop after ordination. A Jesuit usually begin Tertianship three to five years after ordination. It is intended to be a time of renewal. A Jesuit revisits the foundational documents and history of the Society of Jesus. As he did as a novice, a Jesuit in tertianship once again makes the Spiritual Exercises of St. Ignatius Loyola. Known as the Long Retreat, the tertian prays in silence for 30 days. Tertianship is typically a nine-month program that includes spiritual training and apostolic ministry. After the tertianship, the Jesuit is called to pronounce a fourth and final vows to serve the Pope, the Church and the Society of Jesus.

Father Stefanus Hendrianto, SJ., is an Indonesian-born Jesuit priest and a member of the USA West Province of the Society of Jesus (Jesuit West). After his ordination in June 2019, Father Hendri was assigned by the Jesuit West to serve WKICU. Having served WKICU for over a year, Father Hendri received a new teaching assignment at the Gregorian University in Rome. After more than two years working in Rome, Father Hendri will start his Tertianship in Portland, Oregon, in October 2023, and the program will finish at the end of May 2024. Father Hendri is currently staying at Santa Clara University.

Source / Sumber: Jesuit Conference of Canada and the United States. https://beajesuit.org/jesuit-formation/


Apakah itu Tersiat?

A. Nama lain dari kapal raksasa bahtera Nuh

B. Kapal perang AS ketiga dalam perang dunia kedua

C. Tahap terakhir Formasi Jesuit

D. Kitab Taurat ketiga

e. Surat ketiga St Peter yang tidak diterbitkan

Jawaban: c. Tahap terakhir Formasi Jesuit

Pembentukan seorang Jesuit adalah sebuah perjalanan yang dapat berlangsung lebih dari lima belas tahun dan mencakup lima tahap kunci:

1. Novisiat: ~ 2 tahun, belajar tentang komunitas, pelayanan, Serikat Yesus dan spiritualitas Ignasian, dan melakukan retret 30 hari. Setelah dua tahun pertama itu, orang-orang ini mengucapkan kaul kemiskinan, kesucian, dan ketaatan.

2. Studi Pertama/Filsafat: ~ 3 tahun, belajar filsafat dan teologi, sambil mengabdi di komunitas

3. Tahun Orientasi Kerasulan: ~ 3 tahun, aktif dalam ‘panggilan’ melalui kerja nyata

St. Claude La Colombière - Santo Pelindung Para Tertian

4. Studi Teologi: ~ 3 tahun, langkah terakhir menuju penahbisan imam. Setelah menerima Sakramen Tahbisan, seorang Jesuit diutus untuk tugas pertamanya sebagai imam.

Romo Stefanus Hendrianto, SJ

5. Program Tersiat: pembinaan Jesuit tidak berhenti setelah penahbisan. Seorang Jesuit biasanya memulai program Tersiat tiga sampai lima tahun setelah pentahbisan. Program ini dimaksudkan sebagai masa pembaharuan.
Seorang Jesuit meninjau kembali pedoman dasar dan sejarah Serikat Yesus. Seperti yang dilakukannya sebagai novis, dalam masa Tersiat, seorang Jesuit juga menjalani Latihan Rohani St. Ignatius Loyola yang dikenal sebagai Retret Panjang, berdoa dalam keheningan selama 30 hari. Tersiat biasanya merupakan program sembilan bulan yang mencakup latihan rohani dan pelayanan kerasulan.
Setelah program Tersiat, Jesuit dipanggil untuk mengucapkan kaul keempat dan terakhir untuk melayani Paus, Gereja dan Serikat Yesus.

Romo Stefanus Hendrianto, SJ adalah Romo Yesuit kelahiran Indonesia dan merupakan anggota Provinsi Serikat Yesus Amerika Serikat bagian barat (Jesuit West). Setelah ditahbiskan sebagai Imam pada bulan Juni 2019, Romo Hendri ditugaskan oleh Jesuit West untuk melayani WKICU. Setelah melayani WKICU lebih dari satu tahun, Romo Hendri mendapat penugasan baru untuk mengajar di Universitas Gregoriana di Roma. Setelah bertugas selama lebih dari dua tahun di Roma, beliau akan memulai program Tersiat nya di Portland, Oregon bulan Oktober 2023, dan program itu akan berakhir pada akhir bulan Mei 2024. Romo Hendri saat ini tinggal di kampus Universitas Santa Clara.

Read More
Apa dan Siapa WKICU Admin Apa dan Siapa WKICU Admin

Hock Chuan dan Swan Oey

Seperti apa yang telah diyakini oleh tante Swan dalam kisah perjalanan hidup ini —Jalan Tuhan itu memang luar biasa—

Ditulis oleh Agem

Cuaca cerah pagi hari menemani saat melintas freeway 580 East menuju daerah San Ramon. Hangatnya sinar matahari meletupkan semangat saya berkendara menuju rumah pasangan sepuh WKICU yang akrab kita sapa Om Hock Chuan dan Tante Swan. Sudah lama team ebulletin ingin menulis kisah dan perjalanan hidup pasangan bersahaja ini. Team ebulletin yakin, apapun cerita tentang mereka selalu akan menarik dan sangat meng-inspirasi.

Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Mobil meluncur pelan memasuki daerah perumahan yang tampak hijau di kanan-kiri jalannya. Mata saya melirik layar The Global Positioning System (GPS) yang terpasang di dashboard mobil sambil sesekali memperhatikan nomor rumah tujuan.

……………..“The destination is on your right…” terdengar suara perempuan dari si-mesin pintar itu. Apa selalu suara seorang perempuan yang keluar? Entahlah

Saya angkat kaki dari pedal gas mengurangi laju kendaraan, nomor rumah tujuan sudah terlihat. Saya berhenti di depan halaman yang terlihat asri. Dari dalam mobil tampak seseorang membuka pintu rumah lebar-lebar.  Tante Swan muncul dengan wajah yang cerah penuh senyum. Di belakangnya berdiri sang suami, Om Hock Chuan dengan senyum tak kalah cerah. Dalam sekejap saya sudah turun mobil menemui mereka dan saling bertegur salam, bertanya kabar dan kemudian kami bertiga masuk ke dalam rumah menuju ruang tamu. Di situ ada sofa putih bersih dan rapih. Mata saya sempat melihat sekeliling ruangan sebelum duduk manis. Terlihat furniture, hiasan dan ornament di rumah itu tertata apik, tidak ada yang tidak sesuai pada tempatnya. Semua begitu serasi. ––“Pasti repot dan capek sekali mengurus rumah tetap rapih kayak gini,” gumam saya dalam hati.

***

Perbincangan kami di ruang tamu pagi itu terasa akrab dan hangat. Tante Swan menjadi juru bicara dalam obrolan hari itu. Beliau-lah yang lebih banyak bercerita dan memberikan penjelasan. Seperti sudah siap dengan arah wawancara, Tante Swan juga telah menyiapkan beberapa photo kenangan yang akan semakin memperkuat cerita hidup mereka. Om Hock Chuan yang duduk bersama di ruangan itu, dalam perbincangan lebih hanya meng-iya-kan dan menambahkan sedikit keterangan yang masih beliau ingat. Om sedikit kesulitan mengingat dan menangkap pertanyaan saya oleh karena di usianya yang menjelang 89 tahun itu pendengaran beliau sudah kurang mendukung. Beruntung bahwa sang istri sudah menemani beliau selama 53 tahun. Segala peristiwa dan jalan hidup sang suami adalah jalan dan cerita hidupnya juga. ––“Mereka telah menjadi satu, bukan lagi dua.”–– Matius 19:6

Dalam pertemuan itu saya melihat wajah Om Hock Chuan berbinar mengingat segala kenangan, sesekali menerawang membayangkan masa-masa ketika cerita itu terjadi. Saya duduk berdampingan dengan Om di sofa panjang. Saya melihat beliau begitu asyik mendengarkan sang istri merangkai setiap kenangan hidup mereka. Dari sofa seberang yang berhadap-hadapan – dibatasi meja kaca bening bertaplak putih pada bagian tengahnya– tampak Tante Swan sesekali memandang dan bertanya kepada sang suami untuk lebih meyakinkan cerita.

Om Hock Chuan yang duduk di sebelah saya adalah pria ramah baik hati dan murah senyum. Selain juga seorang deacon beliau adalah salah satu pentolan pendiri kelompok Katolik Indonesia California Utara (WKICU). Beliau memiliki nama lengkap Hock Chuan Oey. Lahir di Caracas, sebuah desa kecil di Jawa Barat pada 18 Februari 1934. Lulusan biochemistry sebuah perguruan tinggi negeri terkenal di Bandung, Institut Teknologi Bandung (ITB).

Hock Chuan Oey adalah anak pertama dari enam bersaudara (tiga laki-laki dan tiga saudari perempuan). Hanya beliau sendiri yang hijrah ke Amerika sementara orang tua dan kelima adiknya tetap berada di Cirebon, Jawa barat.

***

**Pertemuan yang merubah jalan hidup.

Menurut cerita, yang dijelaskan oleh sang istri dan dibenarkan oleh Hock Chuan sendiri, mereka berada di Amerika ini hanya karena kejadian biasa. Kejadian biasa yang kemudian menuntun mereka ke jalan hidup yang luar biasa.

Kisah ini dimulai dari mengantar seorang teman baik Hock Chuan ke airport untuk kembali pulang ke Utah, Amerika setelah kunjungannya ke Bandung. Dalam perjalanan itu terjadi percakapan diantara dua orang sahabat.

“Kamu enak yah bisa tinggal, berkarier dan hidup di Amerika,” tanya Hock Chuan kepada sahabatnya itu.

“Loh, kamu bisa saja ke Amerika kalau mau. Kamu seorang biochemist dan punya pengalaman di laboratorium. Kenapa nggak?” ujar sahabatnya itu.

“Kamu-kan sudah punya rumah sendiri? Kalau itu dijual, cukup untuk modal ke Amerika,” sambungnya lagi.

Dari percakapan sepanjang jalan ke bandara itu Hock Chuan muda merasa jadi sangat bersemangat dan terbangkitkan impiannya. Sebagai anak muda yang memang menyukai tantangan, pekerja keras, ulet dan punya impian besar Hock Chuan tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk mencoba saran itu. Dengan modal nekat dan tekad beberapa hari kemudian, dari desanya Caracas beliau lari ke Jakarta menuju Kedutaan Besar Amerika untuk mengajukan visa immigrasi. Berbekal ilmu biochemistry yang didapat dari ITB tempatnya kuliah serta pengalaman kerjanya di laboratorium penelitian selama beberapa tahun setelah kelulusannya – dan tentunya ditambah saran menjual rumah sebagai modal – Hock Chuan muda melangkah dengan pasti.

**Asam di gunung dan garam di laut, bersatu dalam belanga.

“Enam bulan kemudian pengajuan visa itu diterima,” terang Tante Swan membuka cerita.

Harapan terbentang luas bagi Hock Chuan muda. Kabar gembira segera menyeruak dalam keluarga, tetapi kegembiraan itu rupanya tidak dirasakan oleh seluruh keluarga. Kegembiraan itu hadir bersamaan dengan ganjalan dalam hati sang Ibu. Hock Chuan, sebagai putra pertama ini terlalu sibuk belajar dan bekerja hingga di usianya yang sudah kepala tiga (baca usia 30-an) belum juga menemukan pasangan hidup. Sang ibu pun menyarankan Hock Chuan sebaiknya menikah dahulu sebelum berangkat ke Amerika.

Swan Oey lahir pada 11 November 1948 di Surabaya, Jawa Timur dengan nama asli Swan Hoo, yang kemudian mendapat tambahan nama Oey dibelakangnya setelah menikah. Beliau lahir dan besar di pusat kota Surabaya, tepatnya di sekitar Jembatan Merah yang bersejarah itu.

Swan Hoo adalah anak bontot dari lima (5) bersaudara. Salah satu saudaranya meninggal sejak kecil dan Swan Hoo hidup dengan tiga saudara perempuan dan satu laki-laki.

“Sebetulnya saya lima bersaudara tetapi yang nomor tiga meninggal. Kakak pertama saya laki-laki tidak tinggal bersama kami sejak lahir. Waktu Ibu saya akan melahirkan anak pertama mengalami masalah, dokter memberikan pilihan sulit. Dia bilang, anaknya yang mati atau mama yang mati. Yah, tentu saja Ayah saya berharap kalau bisa dua-duanya jangan mati,” cerita Tante Swan.

Baik mama atau kakak laki-lakinya berhasil diselamatkan tetapi sebagai gantinya, dan mengikuti kepercayaan orang tionghoa umumnya, kakaknya harus diberikan kepada keluarga lain, maka jadilah sang kakak diasuh oleh nenek –mama dari Ibunya Tante Swan– dan dianggap sebagai anak.

“Kakak pertama saya memanggil mamanya dengan sebutan tante,” jelasnya sambil tertawa.

Kemudian kakaknya yang nomor dua lahir, seorang perempuan. Diceritakan Tante Swan bahwa kakak nomor duanya ini adalah kesayangan ayahnya. Lalu lahir anak ke tiga tetapi kemudian meninggal. Setelah itu lahir kakak nomor 4, laki-laki dan dia menjadi anak kesayangan sang Ibu.

“Tinggal saya yang paling bontot tidak kebagian apa-apa. Orang sering bilang bahwa anak bontot itu paling disayang. No way, no way. —Ayah saya bilang ke saya; kamu adalah satu-satunya anak yang kita tidak kasih apa-apa — Rasanya mau nangis waktu itu tetapi saya malah mengatakan; “Pah, jangan khawatir, doa restunya saja. Doa restu papa sudah cukup…,” kenang Tante Swan dengan mata berkaca-kaca.

Tante Swan berhenti sejenak ketika menceritakan kisah masa lalunya. Om Hock Chuan yang duduk disamping saya melihat wajah sang istri dengan tatapan lembut.

“Saya kenal si Om dari kakak perempuan saya yang nomor dua, Lien. Mereka satu angkatan dan kebetulan mengambil jurusan yang sama di ITB. Kalau main ke tempat kakak di Bandung, saya sering bertemu dengan si Om. Dan memang akhirnya saya tinggal di rumah kakak saya untuk membantu mengurus anaknya” lanjut Tante Swan.

“Jalan Tuhan itu memang luar biasa. Setelah pengajuan imigrasi ke kedutaan Amerika diterima, Om langsung memasukkan nama saya ke dalam permohonan visa. Waktu itu padahal kita belum menikah tetapi tanpa kesulitan dan hambatan penambahan nama saya langsung disetujui kedutaan. Maka itu saya bilang, ini memang sudah jalannya Tuhan,” terang Tante Swan penuh keyakinan.

Pasangan ini kemudian menikah di bulan Desember tahun 1970 di Surabaya dan tidak sampai satu tahun berselang mereka berangkat ke Amerika tepatnya di bulan Mei, tahun 1971.

***

**Menjalin kisah hidup di Amerika.

Bagi Hock Chuan Oey, Amerika adalah harapan masa depan keluarga yang akan mereka bina, terutama untuk pekerjaan dan karir beliau sebagai peneliti di laboratorium dan juga masa depan anak yang mereka harapkan kelak.

Mereka masuk melalui Hawaii dan mendapatkan green card dari sana, kemudian dari Hawaii mereka terbang ke Los Angeles.

“Saya gak tahu kenapa harus masuk lewat Hawaii dulu. Pokoknya port of entry kita waktu itu di Hawaii,” jelas tante Swan.

Meski sudah mengantongi green card dan masuk resmi dengan lancar tidak berarti perjuangan hidup mereka tanpa rintangan. Sesampai di Los Angeles, harapan Hock Chuan untuk bisa bersekolah di Medical Technologies kandas. Sekolah ini adalah satu-satunya harapannya karena dengan bersekolah di sana berarti Hock Chuan dapat menimba ilmu secara gratis sekaligus mendapat bayaran karena mereka juga mempekerjakan para pelajar di laboratorium milik sekolah itu.

“Saya sudah telat mendaftar waku itu, dan kalau mau masuk harus nunggu pembukaan berikutnya, tiga tahun lagi. Om bisa-nya cuma kerja di bidang itu, di laboratorium. Kita gak bisa nunggu begitu lama. Bagaimana membiayai hidup?” Om Hock Chuan dengan wajah serius menjelaskan.

Tante Swan menambahkan. “Kalau masuk sekolah itu tidak bayar, malah si om dibayar. Ada gajinya karena sekaligus kerja di rumah sakit sekolah itu.”

Tutupnya pendaftaran sekolah yang diidamkan menjadi batu hambatan pertama pupusnya harapan tinggal di California. California adalah tujuan dan tempat impian mereka untuk memulai hidup baru di Amerika, saat itu Los Angeles seperti menutup pintu bagi kedatangan mereka.

Tidak mau menunggu tiga tahun untuk apa yang ingin diraih sang suami, Swan teringat akan sang kakak perempuan nomor duanya, Lien yang mempertemukan mereka. Diceritakan pula oleh Tante Swan bahwa kakak perempuannya ini, setelah lulus kuliah kemudian menikah dengan seorang dokter yang bertugas di kepolisian dan mereka menetap di Bandung. Beliau dan suaminya ini pernah mengajukan visa ke Amerika tetapi ditolak.

“Waktu itu kalau mengajukan visa berdasarkan profesi, kakak saya dan suaminya menggunakan profesi suami sebagai dokter. Mereka ditolak karena sudah banyak dokter. Kemudian kakak saya mencoba lagi dengan menggunakan profesinya sebagai seorang biochemist, eh… akhirnya malah diterima. Mereka berdua berangkat ke Amerika dan tinggal di Texas satu tahun lebih dulu dari kita,” jelas Tante lagi.

“Kita itu gak bawa uang banyak waktu ke sini. Kalau dibandingkan kakak perempuan saya dan suaminya yang dokter, uang kita gak ada apa-apanya,” sambung Tante Swan sambil tersenyum.

Sewaktu menerima telpon dari tante Swan, sang kakak menjelaskan bahwa di Texas juga ada sekolah Medical Technologies seperti di LA. Gratis tidak dipungut bayaran akan tetapi mereka tidak mempekerjakan para pelajarnya sehingga tidak ada gaji atau bayaran bagi mereka yang bersekolah di situ. Sang kakak lantas juga berbaik hati menawarkan mereka untuk tinggal di rumahnya dan menyarankan Hock Chuan untuk melamar ke rumah sakit tempat dia dan suaminya bekerja karena di sana masih butuh biochemist. Hock Chuan pun kemudian dapat bekerja di rumah sakit itu sambil melanjutkan sekolah memperdalam ilmu yang digelutinya. Saat itu Swan Oey dengan setia menemani dan mengurus sang suami sekaligus membantu sang kakak mengurus rumah.

Selang tiga belas bulan kemudian Hock Chuan dan Swan Oey memutuskan untuk menyewa apartement dan hidup mandiri. Mereka menyewa sebuah apartment sederhana di downtown Texas. Swan mengambil kesempatan itu untuk mencari pekerjaan di sebuah perusahaan pembuat pakaian yang men-supply celana untuk JC Penney.

“Om selalu bilang kalau cari apartement itu jangan yang sewanya mahal karena kalau sewa berarti uang hilang. Kita cari yang paling murah agar ada uang yang bisa ditabung untuk beli rumah,” kata tante mengenang ucapan suaminya.

Dengan prinsip kuat dan kerja keras akhirnya mereka mampu membeli rumah di Texas tahun 1973. Rumah idaman seharga $28.000 (dua puluh delapan ribu dolar) dengan 3 kamar tidur dan 2 kamar mandi menjadi milik mereka. Di rumah itu, James Howard Oey, anak lelaki mereka lahir. Rumah dengan halaman cukup luas itu menjadi tempat nyaman dalam membesarkan dan merawat si buah hati.

“Waktu itu Om sampai harus bekerja di dua tempat loh. Kerja full time di sebuah laboratorium milik seorang dokter dan satu lagi part time di rumah sakit di tempat kakak saya bekerja. Om kerja di laboratorium itu sejak baru berdiri. Dokter pemilik usaha itu mengatakan kepada Om untuk sama-sama membangun. Istilahnya seperti kerja sama begitu,” jelas Tante Swan.

Seperti halnya kerja sama yang dilakukan dalam memulai sebuah usaha (startup business) mereka berjuang bersama sejak awal, dan Hock Chuan dijanjikan profit sharing oleh sang dokter pemilik laboratorium itu, dimana tentunya akan ada pembagian keuntungan yang jelas dan adil ketika usaha itu maju dan berkembang.

Dengan memiliki ilmu dan banyak pengalaman di laboratorium sewaktu di Indonesia bukanlah hal yang mustahil bagi beliau membuat usaha itu jadi maju dan berkembang.

“Waktu di Indonesia Om pernah punya pengalaman membangun rumah sakit di Bandung dengan para dokter, bangun rumah sakit Maranatha,” sambung Tante Swan.

Seiring waktu usaha mereka berjalan sangat baik dan berkembang pesat. Dari berkantor di gedung kecil hingga pindah ke gedung kantor lebih besar. Sampailah saat dimana Hock Chuan harus bicara kepada sang dokter pemilik laboratorium soal pembagian keuntungan yang dijanjikan.

“Mana profit sharing untuk saya,” begitu tanya Om saat itu dan dijawab dengan santai tanpa rasa berdosa oleh sang dokter pemilik laboratorium; “Well, kalau kamu gak happy kerja di sini yah kamu boleh keluar.”

Mendapat jawaban tak terduga penuh dusta itu membuat hati Hock Chuan patah, berkecamuk segudang rasa. Marah, tak percaya dan kecewa dengan jawaban dari sang partner membuat Hock Chuan terpukul. Padahal, demi membangun laboratorium itu hingga berkembang dan maju beliau sampai meninggalkan pekerjaan paruh waktu-nya di rumah sakit. Hock Chuan memusatkan harapan dan impiannya di situ. Segala usaha, tenaga, waktu dan pikiran yang beliau curahkan sepenuhnya saat itu seketika lenyap tak berbekas. Impiannya terhempas.

“Kita sih waktu itu memang benar-benar nggak ngerti soal kerja sama dengan perjanjian profit sharing. Seharusnya pakai pengacara (lawyer) dan ada surat tertulis. Kita terlalu percaya hanya dengan omongan saja,” terang Tante Swan.

Karena kejadian itu Hock Chuan mengambil keputusan bulat untuk keluar dari laboratorium dan bahkan berniat pindah ke lain kota meninggalkan segala pengalaman dan kenangan pahitnya.

Yuk, kita pindah saja. Kamu mau pindah kemana? Dallas? Houston?” ajak Om kepada sang istri.

No, saya nggak mau. Kita kembali ke California saja,” jawab sang istri dengan pasti.

Seperti apa yang telah diyakini oleh Tante Swan dalam kisah perjalanan hidup ini —Jalan Tuhan itu memang luar biasa— Mereka mengerti bahwa keputusan meninggalkan Texas dan memulai kembali ke tempat impian mereka, California bukanlah hal mudah. Rintangan dan tantangan pastinya akan banyak mereka hadapi.

“Waktu itu Om berangkat ke California sendirian dengan naik mobil. Saya menunggu di rumah (Texas) hanya dengan anak saya sampai Om mendapat pekerjaan dan apartment untuk kami tinggal,” kenang Tante Swan.

“Uang yang kita kumpulkan dari Texas tidak banyak, jadi Om harus mendapatkan pekerjaan dulu di tempatnya yang baru untuk menyewa apartment,” sambungnya.

Rencana Tuhan sungguh indah dan luar biasa. Hock Chuan akhirnya mendapat pekerjaan di Encino, Los Angeles. Entah bagaimana di sana beliau mendapat pertolongan dari seseorang yang baru dijumpainya di tempat kerja itu. Seorang bule yang baik hati telah dikirim Tuhan untuk menolong. Si bule itu menawarkan beliau untuk tinggal di rumahnya.

“Mungkin dia kasihan melihat Om waktu itu karena semua barang bawaan disumpel dalam mobil, bahkan sampai ditumpuk di atas mobil. Habis mau ditaruh dimana? kan dia belum dapat apartment,” kenang tante.

Tak sampai satu bulan menumpang, dari gaji yang didapat dari tempat kerja baru itu Hock Chuan akhirnya mampu menyewa sebuah apartment. Dan kemudian segera menyuruh sang istri beserta anaknya untuk menyusul.

“Rumah di Texas kita jual murah sekali. Kita jual rugi. Saya dan anak saya kemudian terbang ke LA menyusul Om,” jelas Tante Swan.

Selesai mengatakan itu, Tante Swan menatap wajah sang suami tercinta sambil tersenyum. Ada kehangatan yang menyeruak dari moment itu. Dari kenyataan masa lalu dan masa kini yang mereka alami, mengingatkan kesadaran dan keyakinan saya tentang sebuah renungan iman; Tuhan punya rencana terhadap hidup setiap manusia. Rencana besar itu akan indah pada akhirnya jika kita mau dengan ikhlas menyerahkan hidup ini ke dalam tanganNya, hanya pada kehendakNya.

***

** Catatan redaksi:

Kisah ini akan berlanjut lebih seru dan menarik di bagian ke dua nanti. Akan ada kisah perjuangan lainnya dimana Tuhan menuntun mereka ke Bay Area dan akhirnya terbentuk WKICU.

Di tunggu yah…!!







Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Bersepeda Bersama Yesus

Hidupku menjadi bagaikan sebuah arena balap sepeda, tetapi sepedanya adalah sepeda tandem, dan aku tahu bahwa Yesus duduk di belakang, membantu aku mengayuh pedal sepeda



Pada awalnya, aku memandang Tuhan sebagai seorang pengamat; seorang hakim yang mencatat segala kesalahanku, sebagai bahan pertimbangan apakah aku akan dimasukkan ke surga atau dicampakkan ke dalam neraka pada saat aku mati. Dia terasa jauh sekali, seperti seorang raja. Aku tahu Dia melalui gambar-gambar-Nya, tetapi aku tidak mengenal-Nya.

Ketika aku bertemu Yesus, pandanganku berubah. Hidupku menjadi bagaikan sebuah arena balap sepeda, tetapi sepedanya adalah sepeda tandem, dan aku tahu bahwa Yesus duduk di belakang, membantu aku mengayuh pedal sepeda. Aku tidak tahu sejak kapan Yesus mengajakku bertukar tempat, tetapi sejak itu hidupku jadi berubah. Saat aku pegang kendali, aku tahu jalannya. Terasa membosankan, tetapi lebih dapat diprediksi ... biasanya, hal itu tak berlangsung lama.
Tetapi, saat Yesus kembali pegang kendali, Ia tahu jalan yang panjang dan menyenangkan.
Ia membawaku mendaki gunung, juga melewati batu-batu karang yang terjal dengan kecepatan yang menegangkan. Saat-saat seperti itu, aku hanya bisa menggantungkan diriku sepenuhnya pada-Nya!

Terkadang rasanya seperti sesuatu yang 'gila', tetapi Ia berkata, "Ayo, kayuh terus pedalnya!" Aku takut, khawatir dan bertanya, "Aku mau dibawa ke mana?" Yesus tertawa dan tak menjawab, dan aku mulai belajar percaya.

Hidupku menjadi bagaikan sebuah arena balap sepeda, tetapi sepedanya adalah sepeda tandem, dan aku tahu bahwa Yesus duduk di belakang, membantu aku mengayuh pedal sepeda.

Aku melupakan kehidupan yang membosankan dan memasuki suatu petualangan baru yang mencengangkan. Dan ketika aku berkata, "Aku takut!" Yesus menurunkan kecepatan, mengayuh santai sambil menggenggam tanganku.

Ia membawaku kepada orang-orang yang menyediakan hadiah-hadiah yang aku perlukan... orang-orang itu membantu menyembuhkan aku, mereka menerimaku dan memberiku sukacita. Mereka membekaliku dengan hal-hal yang aku perlukan untuk melanjutkan perjalanan... perjalananku bersama Tuhanku.

Lalu, kami pun kembali mengayuh sepeda kami. Kemudian, Yesus berkata, "Berikan hadiah-hadiah itu kepada orang-orang yang membutuhkannya; jika tidak, hadiah-hadiah itu akan menjadi beban bagi kita." Maka, aku pun melakukannya. Aku membagi-bagikan hadiah-hadiah itu kepada orang-orang yang kami jumpai, sesuai kebutuhan mereka. Aku belajar bahwa ternyata memberi adalah sesuatu yang membahagiakan.

Pada mulanya, aku tidak ingin mempercayakan hidupku sepenuhnya kepadaNya. Aku takut Ia menjadikan hidupku berantakan; tetapi Yesus tahu rahasia mengayuh sepeda. Ia tahu bagaimana menikung di tikungan tajam, Ia tahu bagaimana melompati batu karang yang tinggi, Ia tahu bagaimana terbang untuk mempercepat melewati tempat-tempat yang menakutkan. Aku belajar untuk diam sementara terus mengayuh... menikmati pemandangan dan semilir angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahku selama perjalanan bersama Sahabatku yang setia: Yesus Kristus.

Dan ketika aku tidak tahu apa lagi yang harus aku lakukan, Yesus akan tersenyum dan berkata... "Mengayuhlah terus, Aku bersamamu."

sumber: “Thoughts For The Day” by Chuck Ebbs

Read More