Tahukah Anda
“seseorang dibenarkan karena perbuatannya dan bukan hanya karena
imannya”
The biblical teaching that ‘a man is justified by his works and not by faith alone” appears in which New Testament epistle ?:
a. 1 Peter
b. Hebrews
c. Jude
d. James
e. 2 Timothy
Answer: d. James
(James 2:24) “See a person is justified by works and not by faith alone …….. (James 2:26) For as the body without a spirit is dead, so also faith without work is dead”
Source / Sumber: Inquizition by Patrick Madrid
Ajaran alkitab yang bunyinya “seseorang dibenarkan karena perbuatannya dan bukan hanya karena
imannya” tertulis dalam surat Perjanjian Baru yang mana ? :
A. Petrus Pertama
B. Ibrani
C. Yudas
D. Yakobus
E. Timotius Kedua
Jawaban: D. Yakobus
(Yakobus 2:24) “Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman……(Yakobus 2:26) Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati”
Why Bad Things Happen to Good People?
Mengapa Hal Buruk Terjadi pada Orang Baik?
Oleh Jennie Xue, MTh
(Seorang penulis dwibahasa dan pengajar yang berbasis di NorCal.
Karya-karyanya dapat ditemukan di jenniexue.com )
Seberapa sering kita mendengar pertanyaan ini, "Mengapa dia menderita? Dia adalah orang yang baik." Pernyataan berikutnya yang mungkin menyusul adalah, "Yah, dia pasti punya banyak dosa, dan itu adalah karmanya untuk menderita."
Sahabat, jangan terlalu cepat menilai dan mengambil kesimpulan. Memang, keingintahuan kita sebagai orang Kristen untuk bertanya mengapa hal buruk terjadi pada orang baik dan apakah itu akibat langsung dari tindakan kita.
Pertanyaan seperti itu begitu populer sehingga para teolog dan filsuf telah mempelajarinya selama berabad-abad dalam suatu disiplin yang disebut teodisi. Istilah ini berasal dari kata Yunani "theos", yang berarti Tuhan, dan "tanggul", yang berarti keadilan.
Teodisi adalah pembelaan atas kebaikan dan kemahakuasaan Tuhan dalam menghadapi kejahatan.
Ini adalah studi yang mencoba mendamaikan keberadaan Tuhan yang penuh kasih dan mahakuasa dengan realitas kejahatan dan penderitaan di dunia.
Tuhan menciptakan kita untuk dilengkapi dengan kehendak bebas, yaitu kemampuan untuk memutuskan dan memilih tindakan kita secara mandiri. Ini adalah pengalaman manusia yang mendasar, menggarisbawahi tanggung jawab moral kita. Terkadang, kehendak bebas menimbulkan masalah, tetapi apakah itu membuat kita menderita karena dihukum oleh Tuhan?
Dengan kata lain, apakah pilihan dan tindakan yang buruk selalu mengakibatkan penderitaan yang luar biasa? Berbicara secara manusiawi, tindakan apa pun, terlepas dari moralitasnya, kemungkinan besar akan menghasilkan sesuatu.
Namun, bukan berarti mereka yang menderita penyakit mematikan, seperti kanker, adalah individu jahat yang pantas mendapatkan rasa sakit tersebut. Dengan "logika karma", semakin kejam orang tersebut, semakin banyak penderitaan yang akan dialaminya.
Bagaimana dengan orang suci yang menderita penyakit seumur hidup yang parah? Atau mereka yang mengalami langsung betapa sakitnya stigmata?
Orang suci dipilih individu dengan pesan suci untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Mereka tidak jahat, pasti. Oleh karena itu, ini adalah contoh kuat yang membuktikan bahwa "logika karma" tidak berlaku dalam kekristenan.
"Karma" adalah konsep yang banyak ditemukan dalam agama-agama Timur seperti Hindu dan Budha. Itu berputar di sekitar prinsip sebab dan akibat, menunjukkan bahwa tindakan masa lalu kita memengaruhi keadaan kita saat ini dan bahwa tindakan kita saat ini akan menentukan nasib masa depan kita.
Misalnya, kitab Ayub dalam Alkitab menantang gagasan retributif tentang keadilan ini. Ayub adalah orang saleh yang menghadapi penderitaan yang mendalam—bukan sebagai akibat dari tindakannya, tetapi sebagai bagian dari rencana ilahi di luar pemahamannya (Ayub 1:1).
Keyakinan inti Kristen adalah kebajikan anugerah, yang menekankan perkenan Tuhan bagi kita yang tidak pantas. Anugerah berarti bahwa, terlepas dari dosa manusia, Allah menawarkan kasih dan keselamatan. Dengan kata lain, bahkan jika Anda telah melakukan dosa berat dan memohon pengampunan, Tuhan akan mengampuni Anda dengan Rahmat-Nya.
Konsep ini sangat berbeda dari karma, di mana setiap hasil haruslah diraih dan diperoleh. Anugerah diungkapkan dengan indahnya dalam Efesus 2:8-9: “Sebab oleh kasih karunia kamu diselamatkan, oleh iman—dan ini bukan hasil usahamu, itu pemberian Allah—bukan karena perbuatan, sehingga tidak ada orang yang memegahkan diri. ."
Ingat, kita selalu dikasihi dan diselamatkan oleh Tuhan kita, terlepas dari beban dosa kita. Namun, adalah hak istimewa dan tanggung jawab kita sebagai orang Kristen untuk menjunjung nilai kasih dan pengampunan.
Selalu bersikap baik dan tidak menyakiti orang lain meskipun kapasitas kita tidak baik dan berbahaya. Bukan hanya karena Tuhan meminta kita untuk menjadi baik, tetapi juga karena kita diciptakan menurut gambar-Nya & srupa denganNya. Kita pada dasarnya adalah makhluk yang baik.
Nama lain Yesus Kristus adalah Emmanuel, atau "Tuhan beserta Kita". Dia datang ke dunia ini, jadi kita tidak pernah sendirian dengan rasa sakit kita. Dia selalu ada di sini untuk membawanya bersama kita dan untuk kita. Akhirnya, Dia mengangkat kita di atas dengan sukacita dan harapan yang besar.
Oleh karena itu, saat kita sedang menderita, berusahalah untuk tetap tenang dan jalani dengan sukacita, harapan, dan doa. Kami tidak sedang "dihukum"; sebaliknya, kita sedang mengalami jaminan Tuhan akan penebusan terakhir-Nya dengan dibimbing dan dilindungi dengan penuh kasih dalam pencobaan kita.
Fokusnya bukan pada sistem sebab dan akibat yang mekanis, tetapi pada kekuatan transformatif anugerah Allah di tengah pencobaan hidup. Semoga kita semua menjadi orang Kristen yang lebih baik dengan memperdalam iman kita dan memahami arti dari penderitaan kita.
____________________________________________________________
Why Bad Things Happen to Good People?
By Jennie Xue, MTh
(She is a bilingual author and educator based in NorCal.
Her works can be found at jenniexue.com )
How often do we hear this question, "Why is he or she suffering? He/she is a good person." The next statement that might follow is, "Well, he/she must have a lot of sins, and it's his/her karma to suffer."
Friends, don't be too quick to judge and make a conclusion. Indeed, it's our curiosity as Christians to ask why bad things happen to good people and whether it's a direct consequence of our actions.
Such a question is so popular that theologians and philosophers have studied it for centuries in a discipline called theodicy. The term originates from the Greek words "theos," meaning God, and "dike," which signifies justice.
Theodicy is a defense of God's goodness and omnipotence in the face of evil. It's the study that attempts to reconcile the existence of a loving, omnipotent God with the reality of evil and suffering in the world.
God created us to be equipped with free will, which is the ability to decide and choose our actions independently. It's a fundamental human experience, underscoring our moral responsibility. Sometimes, free will cause troubles, but does it make us suffer by being punished by God?
In other words, do bad choices and actions always result in extreme suffering? Humanly speaking, any action, regardless of its morality, is likely to result in something.
However, it doesn't mean those suffering from terminal illnesses, like cancer are evil individuals deserving of such pain. With "karma logic," the more vicious the person, the more suffering he or she will experience.
How about saints who suffered from severe lifelong illnesses? Or those who experienced first-hand how painful a stigmata was?
Saints were chosen individuals with holy messages to deliver to all humankind. They were not evil, for sure. Therefore, it's a strong example that proves "karma logic" isn't valid in Christianity.
"Karma" is a concept predominantly found in Eastern religions like Hinduism and Buddhism. It revolves around the principle of cause and effect, suggesting that our past actions influence our present circumstances and that our current actions will determine our future fate.
For instance, the book of Job in the Bible challenges this retributive notion of justice. Job was a righteous man who faced profound suffering—not as a consequence of his actions, but as part of a divine plan beyond his comprehension (Job 1:1).
A core Christian belief is the virtue of grace, which emphasizes God's unmerited favor. Grace means that, despite human sinfulness, God offers love and salvation. In other words, even if you've committed a mortal sin and asked for absolution, God will forgive you with His Grace.
This concept is profoundly different from karma, where every outcome is earned. Grace is captured beautifully in Ephesians 2:8-9: "For it is by grace you have been saved, through faith—and this is not from yourselves, it is the gift of God—not by works, so that no one can boast."
Remember, we're always loved and saved by Our Lord, despite the weight of our sins. However, it's our privilege and responsibility as Christians to uphold the virtues of love and forgiveness.
Always be kind and do not harm others despite our capacity to be unkind and harmful. Not only because God asks us to be good, but also because we're made in His image and likeness. We're inherently good creatures.
Jesus Christ's other name is Emmanuel, or "God with Us." He comes to this world, so we're never alone with our pain. He is always here to carry it with us and for us. Eventually, He is to raise us above with great joy and hope.
Therefore, when we're suffering, do your best to keep calm and carry on with joy, hope, and prayers. We're not being "punished"; instead, we're experiencing God's reassurance of His ultimate redemption by being lovingly guided and protected in our trials.
The focus is not on a mechanical system of cause and effect but on the transformative power of God's grace amidst life's trials. May we all become better Christians by deepening our faith and understanding the meaning of our sufferings.
Tithing and Financial Management for Catholics
Apakah kita wajib memberi perpuluhan? Jika ya, berapa banyak? Juga, selain perpuluhan, apa tanggung jawab keuangan kita yang lain sebagai orang katolik?
By Jennie Xue (Master of Theology Candidate)
A multidisciplinary, bilingual author and columnist based in NorCal
One of our non-Catholic Christian brothers and sisters’ religious practices is tithing, which refers to giving 10 per cent of one’s income to the Church. It’s an honorable thing to do, but how about Catholics? Are we obliged to tithe? If yes, how much? Also, other than tithing, what are our other financial responsibilities as Catholics?
First things first, let’s clarify. Catholics aren’t obliged to give away 10 per cent of our income. It was practiced in ancient Israel under the Law of Moses. It can be found in the Old Testament Malachi 3:1 “Bring the whole tithe into the storehouse, that there may be food in my house. Test me in this” says the Lord Almighty, “and see if I will not throw open the floodgates of heaven and pour out so much blessing that there will not be room enough to store it”.
Today, under the Catechism of the Catholic Church (CCC2043), the fifth precept, “You shall help to provide for the needs of the Church” practicing Catholics are obliged to assist with the needs of the Church based on their ability.
The Biblical sources of the above precept are 1 Corinthians 16:2 and 2 Corinthians 9: 6-8.
1 Corinthians 16:2: “On the first day of the week [Sunday], each of you should set aside whatever he can afford.”
2 Corinthians 9:6-8: “Whoever sows sparingly will also reap sparingly, and whoever sows generously will also reap generously. 7 Each of you should give what you have decided in your heart to give, not reluctantly or under compulsion, for God loves a cheerful giver. 8 And God is able to bless you abundantly, so that in all things at all times, having all that you need, you will abound in every good work.”
Now, what are the other financial responsibilities God urges us to do? Let’s review these OT and NT verses and grasp what He asks us to do.
Old Testament sources:
Proverbs 3:9-10
“Honor the Lord with your wealth, with the fruits of all your crops; then your barns will be filled to overflowing, and your vats will brim over with new wine.”
Applied interpretation: Always honor God; He will not forsake you financially.
Proverbs 22:7
“The rich rule over the poor, and the borrower is slave to the lender.”
Applied interpretation: Always strive to be debt free, so you aren’t being enslaved by the lender.
Ecclesiastes 5:10
“Whoever loves money never has enough; whoever loves wealth is never satisfied with their income. This, too is meaningless.”
Applied interpretation: Be grateful for what you have at hand and don’t work simply to earn more and more money. There are many things more important than money.
New Testament sources:
Matthew 6:24
“No one can serve two masters. Either you will hate the one and love the other, or you will be devoted to the one and despise the other. You cannot serve both God and money.”
Applied interpretation: Money is neutral and shouldn’t be regarded as the “ultimate source” of everything in your life. Choose between devoting yourself to God or money. We hope you’d choose the former.
2 Corinthians 9:6-7
“Remember this: Whoever sows sparingly will also reap sparingly, and whoever sows generously will also reap generously. Each of you should give what you have decided in your heart to give, not reluctantly or under compulsion, for God loves a cheerful giver.”
Applied interpretation: What you give away joyfully would return to you in multiply. This also applies to charitable donations.
1 Timothy 6:10
“For the love of money is a root of all kinds of evil. Some people, eager for money, have wandered from the faith and pierced themselves with many griefs.”
Applied interpretation: Money isn’t evil. It’s the love of money that’s evil and the root of all kinds of evil that appear later on.
To sum up, Catholics aren’t obliged to give away 10 per cent of their money to the Church but are advised to give joyfully. You can also donate other things other than money, such as time, energy, skills, information, and other resources.
And remember, money itself is neutral; it is the greed (love of money) that’s evil. So if one your goals is being financially independent, go for it. No need to be ashamed, as long as you continue giving in any of the aforementioned forms, the Lord will continue to bless you.
Have a fruitful life, everyone. Thank you for reading.
Perpuluhan dan Pengelolaan Keuangan bagi Umat Katolik
Oleh Jennie Xue (Calon Magister Teologi)
Seorang penulis dan kolumnis multidisiplin, dwibahasa yang tinggal di NorCal
Salah satu praktek keagamaan yang dijalankan oleh umat Kristen non-katolik adalah perpuluhan, yang mengacu pada memberi 10 persen dari pendapatan seseorang untuk Gereja. Itu adalah hal yang mulia untuk dilakukan, tapi bagaimana dengan umat Katolik? Apakah kita wajib memberi perpuluhan? Jika ya, berapa banyak? Juga, selain perpuluhan, apa tanggung jawab keuangan kita yang lain sebagai orang katolik?
Mulai dari yang pertama, mari kita perjelas. Umat Katolik tidak diwajibkan untuk memberikan 10 persen dari penghasilan. Praktek itu dijalankan di Israel kuno di bawah Hukum Musa, seperti tertulis dalam Perjanjian Lama Maleakhi 3:10, “Bawalah seluruh persepuluhan ke dalam gudang, supaya ada makanan di rumahku. Cobailah aku dalam hal ini” kata Tuhan Yang Mahakuasa, “dan lihat apakah Aku tidak akan membuka pintu air surga dan mencurahkan begitu banyak berkat sehingga tidak akan cukup ruang untuk menyimpannya.”
Di masa sekarang, mengacu kepada Katekismus Gereja Katolik (KGK 2043), ayat ke lima, “Kamu akan membantu untuk memenuhi kebutuhan Gereja,” Umat Katolik yang taat wajib membantu kebutuhan Gereja berdasarkan kemampuannya.
Sumber Alkitab dari ajaran di atas adalah 1 Korintus 16:2 dan 2 Korintus 9:6-8.
1 Korintus 16:2: “Pada hari pertama minggu itu [Minggu], hendaklah kamu masing-masing menyisihkan dia mampu.”
2 Korintus 9:6-8: “Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur dengan murah hati juga akan menuai dengan murah hati. 7 Anda masing-masing harus memberikan apa yang telah Anda putuskan dalam diri Anda hati untuk memberi, tidak dengan enggan atau karena paksaan, karena Tuhan mengasihi pemberi yang ceria. 8 Dan Tuhan sanggup untuk memberkati Anda dengan berlimpah, sehingga dalam segala hal setiap saat, memiliki semua yang Anda butuhkan, Anda akan berkelimpahan dalam setiap perbuatan baik.”
Sekarang, apakah tanggung jawab keuangan lainnya yang Tuhan minta untuk kita lakukan? Mari tinjau ayat Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ini dan pahami apa yang Tuhan minta kita lakukan.
Sumber Perjanjian Lama:
Amsal 3:9-10
“Hormatilah Tuhan dengan kekayaanmu, dengan hasil dari semua tanamanmu; maka lumbungmu akan terisi penuh meluap, dan tong Anda akan penuh dengan anggur baru.”
Interpretasi terapan: Selalu hormati Tuhan; Dia tidak akan meninggalkan Anda secara finansial.
Amsal 22:7
”Orang kaya menguasai orang miskin, dan peminjam menjadi budak pemberi pinjaman.”
Interpretasi terapan: Selalu berusaha untuk bebas hutang, sehingga Anda tidak diperbudak oleh pemberi pinjaman.
Pengkhotbah 5:10
”Siapa pun yang mencintai uang tidak akan pernah merasa cukup; siapa pun yang mencintai kekayaan tidak pernah puas dengan mereka penghasilan. Ini juga tidak ada artinya.”
Interpretasi terapan: Bersyukurlah atas apa yang Anda miliki dan jangan bekerja hanya untuk mendapatkan lebih banyak dan lebih banyak uang. Ada banyak hal yang lebih penting daripada uang.
Sumber Perjanjian Baru:
Matius 6:24
“Tidak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Entah Anda akan membenci yang satu dan mencintai yang lain, atau Anda akan begitu setia pada yang satu dan membenci yang lain. Anda tidak dapat melayani Tuhan dan uang sekaligus.”
Interpretasi terapan: Uang itu netral dan tidak boleh dianggap sebagai “sumber utama” dari segala sesuatu dalam hidup Anda. Pilih antara mengabdikan diri kepada Tuhan atau uang. Semoga anda akan memilih yang pertama.
2 Korintus 9:6-7
”Ingatlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak juga akan menuai dengan murah hati. Anda masing-masing harus memberikan apa yang telah Anda putuskan dalam hati untuk diberikan, bukan dengan enggan atau terpaksa, karena Tuhan mencintai pemberi yang ceria.”
Interpretasi terapan: Apa yang Anda berikan dengan senang hati akan kembali kepada Anda berlipat ganda. Ini juga berlaku untuk sumbangan amal.
1 Timotius 6:10
”Karena cinta akan uang adalah akar dari segala kejahatan. Beberapa orang, karena haus akan uang, telah mengembara dari iman dan menyiksa dirinya dengan banyak kesedihan.”
Interpretasi terapan: Uang tidak jahat. Cinta akan uang itulah yang jahat dan akar dari segala macam kejahatan yang muncul di kemudian hari. Singkatnya, umat Katolik tidak diwajibkan untuk memberikan 10 persen dari uang mereka kepada Gereja tetapi disarankan untuk memberi dengan sukacita. Anda juga dapat menyumbangkan hal-hal lain selain uang, seperti waktu, tenaga, keterampilan, informasi, dan sumber daya lainnya. Dan ingat, uang itu sendiri netral; keserakahan (cinta uang) itulah yang jahat. Jadi jika salah satu milikmu tujuan menjadi mandiri secara finansial, lakukanlah. Tidak perlu malu, selama Anda melanjutkan memberi dalam salah satu bentuk yang disebutkan di atas, Tuhan akan terus memberkati Anda.
Memiliki kehidupan yang berbuah, semua orang. Terima kasih telah membaca.
Five Reasons That Jesus Speaking Literally About His Real Flesh And Blood
Hosti Kudus adalah sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Kristus. Kata Yesus: "Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman”.
Five reasons that Jesus speaking literally about his real flesh and blood:
1. The discourse takes place just after the famous miracle of the multiplications of the loaves. Jesus turned five loaves and a couple of fish into a seemingly inexhaustible food supply: enough to feed thousands of people and still 12 baskets of leftovers. This miracle prefigures the inexhaustible gift of Christ’s own flesh and blood.
2. Jesus claims the superiority of his bread over the manna given to the Israelites. “I am the bread of life. Your fathers ate the manna in the wilderness, and they died. This is the bread which comes down from Heaven that a man eats of it and does not die (John 6: 48 - 50).
3. Everyone who heard Jesus understood him to be speaking literally of his body and blood. ”How can this man give us his flesh to eat?”. “This is a hard saying; who can listen to it?”.
Many of Jesus' disciples - who were with him for many years - quit following Jesus, never even asking Jesus to explain himself. They understood perfectly that Jesus meant precisely what he said.
4. Jesus repeats six times in six verses (verses 53 - 58) ”Truly, truly, I say to you, unless you eat the flesh of the son of man and drink his blood, you have no life in you”.
“For my flesh is food indeed and my blood is drink indeed”.
5. Many of Jesus’ own disciples can’t accept the literalness of his teaching and leave him. Notice that Jesus did not call them back and explain that he is only speaking figuratively.
Jesus didn't call the unbelieving disciples back and offered to explain for an obvious reason: they understood exactly what he meant. They just couldn’t accept it. Even the twelve apostles were shaken. But Jesus doesn’t compromise a bit. Instead, he challenges His own hand picked Apostles: “will you also go away?. In faith Peter answers: “Lord, to whom shall we go ?. You have the words of eternal life”.
Lima Dasar Bahwa Yesus Berbicara Secara Harafiah Tentang Tubuh Dan DarahNya:
1. Khotbah terjadi tepat setelah keajaiban penggandaan roti. Yesus mengubah lima roti dan beberapa ikan menjadi persediaan makanan yang tampaknya tidak pernah habis: cukup untuk memberi makan ribuan orang dan masih tersisa 12 keranjang makanan. Mukjizat ini menggambarkan pemberian darah dan daging Kristus sendiri yang tidak ada habisnya.
2. Yesus mengklaim keunggulan/keutamaan rotiNya atas manna yang diberikan kepada orang Israel. “Aku adalah roti hidup. Nenek moyangmu telah makan manna di padang gurun dan mereka telah mati. Akulah roti hidup yang turun dari Surga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya (Yohanes 6: 48 - 50).
3. Setiap orang yang mendengar Yesus mengerti bahwa Yesus berbicara secara harafiah tentang tubuh dan darahNya. "Bagaimana orang ini bisa memberi kita dagingnya untuk dimakan?". “Ini adalah perkataan yang sulit; siapa yang bisa mendengarkannya?”.
Banyak murid Yesus - yang telah bersamanya selama bertahun-tahun - kemudian berhenti mengikuti Yesus, bahkan tidak pernah meminta Yesus untuk menjelaskan Dirinya sendiri. Mereka memahami sepenuhnya bahwa bahwa Yesus benar-benar bersungguh-sungguh dengan apa yang Dia katakan.
4. Yesus mengulangi enam kali dalam enam ayat (Yoh 6: 53 - 58) "Sungguh, sungguh, Aku berkata kepadamu, kecuali kamu makan daging Anak Manusia dan minum darahNya, kamu tidak memiliki kehidupan di dalam kamu". "Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman”.
5. Banyak dari murid Yesus sendiri tidak dapat menerima ajaranNya secara literal dan meninggalkanNya.
Perhatikan bahwa Yesus tidak memanggil mereka kembali dan menjelaskan bahwa Dia hanya berbicara kiasan. Yesus tidak memanggil kembali murid-murid yang tidak percaya dan menawarkan untuk menjelaskan, karena alasan yang sudah jelas: mereka mengerti persis apa yang Dia maksud. Mereka tidak bisa menerimanya.
Bahkan kedua belas rasul terguncang. Tetapi Yesus tidak berkompromi sedikit pun. Sebaliknya, Dia menantang para Rasul yang dipilihNya sendiri dari awal mula: “Apakah kamu akan pergi juga ?.” Dengan beriman Petrus menjawab: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi?. Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal”.
Tahukah Anda?
Apakah Misa Merah / Red Mass itu ?
A “Red Mass” is a special Mass celebrated for:
a. Courts, judges, and lawyers
b. Doctors
c. Patients
d. Prisoners
e. Monks
Answer: a. Courts, judges, and lawyers
Catholic Lawyer Guilds throughout the world, in conjunction with their bishops, sponsor a Red Mass annually in order to invoke divine guidance and strength during the coming term of the Court. It is celebrated in honor of the Holy Spirit as the source of wisdom, understanding, counsel, and fortitude, gifts that shine forth preeminently in the dispensing of justice in the courtroom as well as in the individual lawyer’s office. It also offers prayers for all men and women in the legal profession, judiciary, and public life, asking that they be blessed with wisdom and understanding. These special Masses began in Paris, 1245, and the first on States-side was in New York City on October 6, 1928. The Basilica of the national Shrine of the Immaculate Conception in D.C. has attendees at their Red Masses from Congress, the Supreme Court, and even presidents.
Source / Sumber: Inquizition by Patrick Madrid
“Misa Merah” adalah Misa khusus yang dirayakan untuk:
A. Pengadilan, hakim, dan pengacara
B. Dokter
C. Pasien
D. Tahanan
E. Biksu
Jawaban: A. Pengadilan, hakim, dan pengacara
Persekutuan Pengacara Katolik di seluruh dunia, bekerja sama dengan keuskupannya, mengadakan ‘Misa Merah’ setiap tahun untuk mendapatkan bimbingan dan kekuatan Allah saat memulai periode baru penugasan di Mahkamah Agung. Misa dirayakan untuk menghormati Roh Kudus sebagai sumber kebijaksanaan, pengertian, nasihat, dan keteguhan, sebagai karunia utama untuk membuahkan keadilan di ruang sidang dan di kantor para pengacara. Misa ini mendoakan para pekerja di bidang hukum, pengadilan, dan umat pada umumnya, agar mereka diberkati dengan karunia kebijaksanaan dan pengertian. Dalam sejarah, misa ini pertama kali di adakan di Paris, tahun 1245. Sedangkan di Amerika Serikat, pertama kali di persembahkan di New York City pada tanggal 6 Oktober 1928. Misa Merah di Basilika Nasional Maria Dikandung Tanpa Noda di D.C. Amerika Serikat, biasa dihadiri oleh para anggota Kongres, Mahkamah Agung, dan bahkan oleh beberapa presiden.
Tahukah Anda?
Itu menandakan bagaimana Kristus, khususnya dalam Ekaristi Kudus, adalah perwujudan “roti” dari surga
In Hebrew, the word ‘Betlehem’ means:
a. City of David
b. Home of Shepherds
c. Star of Wonder
d. House of Bread
e. Prince of Peace
Dalam bahasa Ibrani, kata Betlehem berarti:
A. Kota Daud
B. Rumah para Gembala
C. Bintang Keajaiban
D. Rumah Roti
E. Raja Damai
Answer:
D. The significance of the name of the little town where Jesus was born cannot be underestimated. The house of bread’ motif is one of the fulfilments of prophecy concerning the coming Mesiah: “But you, O Betlehem Ephrathah, who are little to be among the clans of Judah, from you shall come forth for me one who is to be ruler in Israel, whose origin is form of old, from ancient days” (Micah 5:1). It also signifies how Christ, particularly in the Holy Eucharist, is the fulfillment of the miraculous bread from heaven, the manna in the desert (Exodus 16) with which God fed the Israelites for a time as the wandered. Jesus said, “For the bread of God is that which comes down from heaven and gives life to the world” and “I am the bread of life; he who comes to me shall not hunger, and he who believes in meshall never thirst” (John 6:33, 35).
Jawaban:
D. Nama kota kecil tempat Yesus dilahirkan, sama sekali bukanlah hal yang ‘kecil’. Konsep rumah roti & adalah salah satu penggenapan nubuat tentang Mesias yang akan datang: “Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak dahulu kala” (Mikha 5:1). Itu menandakan bagaimana Kristus, khususnya dalam Ekaristi Kudus, adalah perwujudan “roti” dari surga, juga dengan manna di padang pasir (Keluaran 16) dimana Tuhan memberi makan orang Israel saat mereka mengembara. Yesus berkata, “Karena roti yang dari Allah adalah roti yang turun dari surga dan memberi hidup kepada dunia” dan “Akulah roti hidup; barang siapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi,dan barang siapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi” (Yohanes 6:33, 35).
Source / Sumber: Inquizition by Patrick Madrid.
Time Management for Catholics
“Our decisions must begin by acknowledging that our lives belong to God. ……..……..
We must maintain a clear sense of our mission on earth: to love God and to love our neighbor. Everything flows from this.”
by Jennie M. Xue
Time is precious and considered a “commodity”. Whether at work or home, obligations and distractions can make us feel overwhelmed and, frequently, distance us from what matters. Claiming ourselves “busy” is, in fact, a popular excuse.
The concept of “time” itself is much more than that. Time isn’t merely “ours”; it’s God’s.
Using this paradigm, in Catholicism, the essence of time revolves around the idea of “the right time”, or kairos in Greek. In the New Testament, the ultimate kairos is Salvation. On the contrary, the chronological time (human time) we’re accustomed to is called chronos.
About kairos, Ecclesian 3:1-8 wrote it well: For everything, there is a season, and a time for every matter under heaven:
A time to be born, and a time to die;
A time to plant, and a time to pluck up what is planted;
A time to kill, and a time to heal;
A time to break down, and a time to build up;
A time to weep, and a time to laugh;
A time to mourn, and a time to dance;
A time to throw away stones, and a time to gather stones together;
A time to embrace, and a time to refrain from embracing;
A time to seek, and a time to lose;
A time to keep, and a time to throw away;
A time to tear, and a time to sew;
A time to keep silence, and a time to speak;
A time to love, and a time to hate;
A time for war, and a time for peace.
God’s time is never linear and is more about values than anything else. Thus, we must discern and weigh the value of each moment, which is reflected in each decision that results in thoughts, words, and deeds.
Cited from Marshall J. Cook in Time Management: A Catholic Approach, “Our decisions must begin by acknowledging that our lives belong to God. Prayer must guide them. And they must be rooted in an honest appraisal of our lives and a sincere desire to love and serve God. We must maintain a clear sense of our mission on earth: to love God and to love our neighbor. Everything flows from this.”
We can use these four tools for managing time as Catholics: self-awareness, organization, prayerful reflection, and purposeful action.
Self-awareness is essential because it takes us a step back to assess how we manage our time. For this, we need to distinguish what is necessary and what isn’t.
Stephen Covey once stressed the importance of value-based time management, which can be categorized into essential and urgent. In the Old Testament, prophet Micah states that an activity is deemed important; when we actively contribute to our mission to do justice, love kindness, and walk humbly with God.
Next, the organization is crucial because it helps us keep track of what needs to be done when it needs to be done, and how long it will take. By having a plan, we can prioritize tasks based on their importance and time sensitivity. Remember, what’s “important”, according to lay experts like Covey, is different from God’s definition.
Prayerful reflection gives us time to slow down and reflect on our faith and values. This helps us reflect on whether an act or a decision is valuable for ourselves, fellow humans, and, most importantly, God. And whether it deepens our faith.
Finally, Catholics should be aware of purposeful action. It simply means taking proactive steps towards achieving our goals instead of merely responding to tasks as they come up or waiting for something to happen.
May our time management as Catholics grow each day. Amen.
———————————————
Manajemen Waktu bagi Umat Katolik
Waktu sangat berharga dan dianggap sebagai "komoditas". Baik di tempat kerja atau di rumah, kewajiban dan gangguan dapat membuat kita merasa kewalahan dan, seringkali, menjauhkan kita dari hal-hal yang penting. Mengklaim diri kita "sibuk", sudah menjadi alasan yang populer.
Konsep “waktu” itu sendiri sesungguhnya lebih dari itu. Waktu bukan hanya “milik kita”; itu milik Tuhan.
Dengan menggunakan paradigma ini, dalam agama Katolik, esensi waktu berkisar pada gagasan “waktu yang tepat”, atau kairos dalam bahasa Yunani. Dalam Perjanjian Baru, kairos tertinggi adalah Keselamatan. Sebaliknya, waktu kronologis (waktu manusia) yang biasa kita kenal disebut kronos.
Tentang kairos, Pengkhotbah 3:1-8 menuliskannya dengan baik: Untuk segala sesuatu, ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya:
Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal;
Ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam;
Ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan;
Ada waktu untuk meruntuhkan, ada waktu untuk membangun;
Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa;
Ada waktu untuk meratap, ada waktu untuk menari;
Ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu;
Ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;
Ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk kehilangan;
Ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang;
Ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit;
Ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara;
Ada waktu untuk mencintai, ada waktu untuk membenci;
Ada waktu untuk perang, dan ada waktu untuk damai.
Waktu Tuhan tidak pernah linier dan lebih tentang nilai daripada apa pun. Oleh karena itu, kita harus mencermati dan menimbang nilai setiap momen, yang tercermin dalam setiap keputusan yang menghasilkan pikiran, perkataan, dan perbuatan.
Dikutip dari Marshall J. Cook dalam Time Management: A Catholic Approach, “Keputusan kita harus dimulai dengan mengakui bahwa hidup kita adalah milik Tuhan. Doa harus membimbing mereka. Dan itu harus berakar pada penilaian yang jujur atas hidup kita dan keinginan yang tulus untuk mengasihi dan melayani Tuhan. Kita harus mempertahankan pengertian yang jelas tentang misi kita di bumi: untuk mengasihi Allah dan mengasihi sesama kita. Semuanya mengalir dari ini.”
Kita dapat menggunakan empat alat ini untuk mengatur waktu sebagai umat Katolik: kesadaran diri, organisasi, refleksi doa, dan tindakan yang bertujuan.
Kesadaran diri sangat penting karena kita perlu mundur selangkah untuk menilai bagaimana kita mengatur waktu kita. Untuk itu, kita perlu membedakan mana yang perlu dan mana yang tidak.
Stephen Covey pernah menekankan pentingnya manajemen waktu berbasis nilai, yang dapat dikategorikan menjadi esensial dan mendesak. Dalam Perjanjian Lama, nabi Mikha menyatakan bahwa suatu kegiatan dianggap penting; ketika kita secara aktif berkontribusi pada misi kita untuk melakukan keadilan, mencintai kebaikan, dan berjalan dengan rendah hati bersama Tuhan.
Selanjutnya, pengorganisasian sangat penting karena membantu kita melacak apa yang perlu dilakukan, kapan perlu dilakukan, dan berapa lama waktu yang diperlukan. Dengan memiliki rencana, kita dapat memprioritaskan tugas berdasarkan kepentingan dan sensitivitas waktu. Ingat, apa yang “penting”, menurut pakar awam seperti Covey, berbeda dengan definisi Tuhan.
Refleksi penuh doa memberi kita waktu untuk memperlambat dan merenungkan iman dan nilai-nilai kita. Ini membantu kita merenungkan apakah suatu tindakan atau keputusan berharga bagi diri kita sendiri, sesama manusia, dan yang terpenting, Tuhan. Dan apakah itu memperdalam iman kita.
Akhirnya, umat Katolik harus menyadari tindakan yang bertujuan. Ini berarti mengambil langkah proaktif untuk mencapai tujuan kita alih-alih hanya menanggapi tugas yang muncul atau menunggu sesuatu terjadi.
Semoga manajemen waktu kita sebagai orang Katolik berkembang setiap hari. Amin.
Imlek, Tradisi Gereja dan Streisand Effect
S. Hendrianto, SJ
Tahun Baru Imlek ini mengingatkan saya bahwa saya sudah lebih dua tahun menetap di Roma. Ketika saya tiba di Roma di awal tahun 2021, saya harus menjalani karantina selama 14 hari dan Tahun Baru Imlek 2021 tiba pas saya sedang berada dalam masa karantina. Ketika itu beberapa orang umat Warga Katolik IndonesiaCalifornia Utara (WKICU) mengirim pesan dan mengucapkan Selamat Tahun Baru Imlek. Saya jawab Terima Kasih, akan tetapi saya tidak merayakan Imlek; yang pertama bagaimana mau merayakan Imlek dalam karantina dan yang kedua suasana dunia yang masih tidak menentu karena coronavirus juga tidak memungkinkan untuk perayaan Imlek.
Ketika itu ada seorang umat yang mengatakan bahwa Imlek harus tetap dirayakan karena itu bagian dari tradisi sama seperti Gereja Katolik yang memegang teguh tradisi. Saya jawab, analogi antara tradisi Tahun Baru Imlek dengan tradisi di Gereja Katolik itu tidak tepat.
Pertama, tradisi dalam Gereja Katolik basisnya adalah Kitab Suci, sementara Tahun Baru Imlek tidak berbasiskan Kitab Suci. Kedua, tradisi dalam Gereja Katolik digunakan oleh Tuhan untuk berkomunikasi dengan umat manusia, sementara Tuhan tidak berkomunikasi melalui Tahun Baru Imlek. Ketiga, tradisi dalam Gereja Katolik bertujuan untuk membimbing manusia menuju kekudusan, sementara Tahun Baru Imlek tidak ada urusan dengan kekudusan. Terakhir, faktanya ada sejumlah tradisi dalam Gereja Katolik yang juga sudah hilang atau dihapuskan, misalnya misa dalam Bahasa Latin yang lebih dikenal dengan Misa Tridentina atau Tridentine Mass sudah ditinggalkan. Jadi dengan kata lain Gereja Katolik juga tidak sepenuhnya memegang tradisi.
Sebagai catatan Misa Trienditina sudah di tidak pakai lagi sejak Konsili Vatikan II dan diganti dengan misa yang kita kenal sekarang yaitu Misa Novus Ordo (Tata Cara Misa Baru) atau yang juga dikenal dengan nama Misa Paulus VI (dari nama Bapa Suci Paus Paulus VI). Akan tetapi pada tanggal 7 Juli 2007, Paus Benediktus XVI mengeluarkan Motu Proprio Summorum Pontificum (sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh Sri Paus dalam Hukum Kanonik) yang menetapkan bahwa tata cara misa yang diterbitkan oleh Paul Paulus VI adalah bentuk umum - Forma ordinaria, sedangkan Misa Tridentina adalah bentuk luar biasa – Forma Extra Ordinaria. Paus Benedictus XVI juga memberikan kebebasan yang lebih besar untuk menggunakan liturgi Tridentina, dengan menyatakan bahwa semua imam boleh secara bebas merayakan misa Tridentina secara pribadi, tanpa harus meminta izin dari pihak manapun.
Di tahun Kelinci ini saya tiba – tiba teringat lagi dengan analogi antara tradisi Tahun Baru Imlek dan tradisi Latin Mass di Gereja Katolik.
Pada tanggal 16 Juli 2021, Paus Fransiskus mengeluarkan Motu Proprio Tradiones Custodes yang membatasi perayaan misa Tridentina kecuali dengan izin Uskup setempat. Pada tanggal 4 Desember 2021, Vatican juga menegaskan bahwa Sakramen – Sakramen lainnyadalam liturgi Tridentina juga dibatasi. Perkembangan di Gereja Katolik ini membuat saya merenungkan pengalaman saya dengan Tahun Baru Imlek, karena menurut saya kedua hal itu ada kaitannya secara tidak langsung.
Ketika saya masih kecil, saya terbiasa merayakan hari raya Imlek di kampung. Sedikit catatan bahwa mayoritas orang Tionghoa di kampung saya adalah orang Hakka, jadi mereka tidak menyebut Imlek tapi Kongian, dalam Bahasa Hakka. Sebagai anak kecil tentu saya tidak mengerti makna Imlek, kecuali makan makanan enak, menerima angpau atau pun bertamu ke rumah tetangga dan keluarga. Karena keluarga saya dari keluarga menengah ke bawah, tentu saja banyak hal – hal yang tertentu yang tidak sanggup kita nikmati dalam hari- hari biasa. Maka cuma pas hari raya Imlek saja kita bisa makan raisin atau cashew nuts, yang bagi saya ketika itu adalah barang mewah. Saya bersekolah di SD Katolik tapi sekolah meliburkan para murid selama beberapa hari pada Tahun Baru Imlek. Ingatan saya akan Tahun Baru Imlek yang membekas adalah ketika saya sudah duduk di bangku SMA. Ketika itu pemerintah daerah melarang Sekolah saya yangKatolik untuk meliburkan para siswa pada Tahun Baru Imlek. Ditambah lagi kabarnya ketika itu Kanwil Depdikbud main ancam mengancam kalau sampai sekolah meliburkan siswa pas Tahun Baru Imlek maka status Sekolah saya sebagai sekolah swasta yang disamakan (dengan sekolah Negeri) bisa terancam diturunkan. Para siswa yang mayoritas keturunan Tionghoa pun ribut besar; Ketua OSIS menyerukan bolos massal pas Tahun Baru Imlek. Tapi ada juga seorang Ketua Kelas (dari kelas IPA – sementara saya duduk di kelas IPS) yang menentang seruan bolos massal karena dia tidak ingin status sekolah terpengaruh, sehingga cita – cita dia masuk Perguruan Tinggi Negeri bisa gagal. Saya sendiri ketika itu berpikir bahwa kedua orang tersebut salah besar, karena masalah nya bukan pada status sekolah atau keharusan merayakan Tahun Baru Imlek. Tapi masalah utamanya adalah Depdikbud sebagai perpanjangan tangan Orde Baru yang semena – mena melarang Tahun Baru Imlek. Tentu saja kebijakan tersebut bagian dari politik diskriminasi terhadap orang Tionghoa yang dilancarkan olehOrde Baru sejak awal berdirinya. Jadi kalau benar – benar mau melawan, ya lawan lah pemerintah Orde Baru, bukan melawa sekolah. Sementara saya juga tidak setuju kepada sang Ketua Kelas (dari kelas sebelah) yang mau manut dan tunduk saja pada pemerintah.
Ketika saya pindah ke Yogya dan mulai duduk di bangku Perguruan Tinggi di Universitas Gadjah Mada, kebencian saya terhadap Orde Baru sudah semakin membatu. Jadi menurut saya yang penting adalah Orde Baru dan Soeharto harus dilawan, khsusunya politik rasialis dan diskriminatif dari Orde Baru. Setelah Soeharto tumbang dan Gus Dur mulai membuka keran kebebasan, sayamasih ingat ketika Gus Dur menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif, berlaku bagi mereka yang merayakannya. Ketika itu saya sudah bekerja di sebuah kantor pengacara Internasional; saya pun memutuskan untuk mengambil kesempatan libur dan merayakan Imlek, sebagai bentuk “kemenangan” simbolis atas perlawanan terhadap politik diskriminatif Orde Baru. Tapi belakangan ketika Megawati menetapkan Imleksebagai hari libur Nasional dan perayaan Imlek sudah kebablasan, saya memutuskan untuk mundur lagi. Saya pikir tidaklah pada tempatnya perayaan Imlek yang meriah dan serba wah di tengah situasi rakyat banyak yang masih morat – marit hidupnya ditengah situasi ekonomi yang belum menentu pasca reformasi.
Tahun 2004, saya meninggalkan Indonesia untuk studi lanjut dan kemudian bermukim di Seattle. Ketika di Seattle, paling saya sekedar merayakan Imlek dengan makan – makan di Chinatown bersama teman – teman dari Mudika Seattle. Tapi belakangan saya memutuskan menjadi seorang vegetarian, sementara restaurant favorit teman – teman saya adalah Kaw Kaw yang terkenal dengan babi panggangnya.Jadilah saya tidak ikut merayakan lagi Tahun Baru Imlek bersama teman – teman Mudika Seattle.
Tahun 2009, saya masuk Novisiat Serikat Yesus dan saya langsung berhadapan lagi dengan realitas bahwa Tahun Baru Imlek di “larang” kembali. Ketika itu pembesar di Novisiat “melarang” saya dan seorang teman dari Vietnam untuk merayakan Tahun Baru Imlek. Pas tahun baru Imlek, makanan yang disajikan adalah masakan Mexico.
Karena kesal atas pelarangan tersebut dan harus makan masakan Mexico pada tahun baru Imlek, pada malam hari, saya dan teman tadi menyelinap keluar untuk makan di Pecinan.
Setelah selesai Novisiat, saya pindah ke Chicago untuk melanjutkan studi filsafat dan di Chicago, saya pun memutuskan untuk “balas dendam” atas pelarangan di Novisiat. Ketika Tahun Baru Imlek tiba, saya dan sejumlah teman pun memutuskanuntuk merayakan Imlek di Chinatown Chicago dan menikmati hotpot sepuasnya.
Setelah Chicago, saya tidak ingat lagi ada pengalaman Imlek yang penuh makna dalam hidup saya. Akan tetapi melihat ke belakang, semangat saya untuk merayakan Imlek justru lebih besar dan menggebu gebu ketika Imlek dilarang, baik oleh pemerintah Orde Baru ataupun pembesar saya. Berdasarkan pengalaman itu saya pun merenungkan keputusan Paus Fransiskus untuk membatasi Misa Tridentina. Saya termenung merenungkan apakah sebagian umat Katolik justru akan diam – diam di bawah tanah terus merayakan Misa Tridentina. Tentu saja analogi saya kurang tepat, umat Katolik seharusnya tunduk dan patuh kepada Bapa Suci, bukan seperti orang –orang Tionghoa Indonesia yang tetap ngotot merayakan Imlek meski dilarang pemerintah Orde Baru.Akan tetapi saya ingat kepada Streisand effect yang merujuk kepada usaha untuk melarang, mensensor atau menghilangkan sebuah informasi yang akibatnya justru melipatgandakan keingintahuan orang terhadap informasi yang dilarang tersebut.
Streisand effect ini bermula dari kasus penyanyi Barbra Streisdand yang mencoba untuk melarang publikasi foto rumahnya di Malibu, California, terutama pada sisi yang menghadap pantai. Barbra Streisand menuntut penghapusan foto rumahnya dalam album 12.000 foto garis pantai California yang dimuat di Pctopia.com.
Tindakan ini malah membuat orang banyak semakin penasaran. Sebelum gugatan dilayangkan, foto rumah Barbra hanya diunduh oleh enam pengunjung. Setelah kasus Barbra mencuat, lebih dari 420.000 orang mengunjungi situs yang memuat foto rumahnya.
Sekali lagi mungkin analogi saya kurang tepat karena pelarangan yang dilakukan oleh Barbra Streisand itu hanyalah merupakan tindakan manusia yang ingin melindungi kepentingan pribadinya. Sementara keputusan Paus Fransiskus merupakan tindakan yang terinsipirasi oleh Roh Kudus, dan untuk kepentingan Gereja secara menyeluruh. Sehingga mungkin saja banyak orang yang setelah ini tidak peduli lagi terhadap Misa Tridentina dan tradisi tersebut akan hilang dalam satu generasi ke depan.
Meski demikian ada satu hal lagi yang membuat saya termenung. Pada masa Orde Baru, salah satu alasan Orde Baru melarang Imlek ada soal kecemburuan sosial (diantara banyak alasan politik lainnya). Satu sisi ada benarnya alasan tersebut, karena perayaan Imlek yang kebablasan bisa semakin meningkatkan kecemburan sosial. Akan tetapi solusinya adalah bukan dengan larang – melarang. Solusinya justru adalah mengatasi pesoalan ekonomi dan kemiskinan di Indonesia. Selama persoalan itu tidak diselesaikan, kecemburuan sosial tetap akan terjadi baik dengan Imlek ataupun tanpa Imlek.
S. Hendrianto, SJ
Farewell to Pope Emeritus Benedict XVI
Taken from Vatican News
“The 95-year-old Pope Emeritus Benedict XVI passed away on Saturday at 9:34 AM in his residence at the Vatican's Mater Ecclesiae Monastery.
Pope Emeritus Benedict XVI has returned to the Father’s House.
The Holy See Press Office announced that the Pope Emeritus died at 9:34 AM on Saturday morning in his residence at the Mater Ecclesiae Monastery, which the 95-year-old Pope emeritus had chosen as his residence after resigning from the Petrine ministry in 2013.
“With sorrow I inform you that the Pope Emeritus, Benedict XVI, passed away today at 9:34 AM in the Mater Ecclesiae Monastery in the Vatican. Further information will be provided as soon as possible. As of Monday morning, 2 January 2023, the body of the Pope Emeritus will be in Saint Peter's Basilica so the faithful can pay their respects."
During a briefing at the Holy See Press office, the director, Matteo Bruni, told journalists that Pope Francis will preside over the funeral of the Pope Emeritus on 5 January at 9.30 CET in St. Peter's Square. No tickets are foreseen for participation in the Mass.
Bruni also said the Pope Emeritus on Wednesday 28th, in the afternoon, received the Sacrament of Anointing of the Sick in the Mater Ecclesiae monastery at the end of Holy Mass.
Pope Emeritus Benedict XVI’s remains will rest at the Mater Ecclesiae monastery until the morning of Monday, 2 January; official visits or public prayers are not foreseen.
From 9am on the same day, Benedict’s body will lie in state in St. Peter’s Basilica so the faithful can pay their final respects.”
Direct source: https://www.vaticannews.va/en/vatican-city/news/2022-12/pope-emeritus-benedict-xvi-dies-aged-95.html
Am I praying, O Lord ?
Mother Teresa said, “God speaks in the silence of the heart. Listening is the beginning of prayer. Listen in silence because if your heart is full of other things, you cannot hear the voice of God.”
A girl chatted with a lady seated next to her in a faith-formation program. The lady confided that
she prayed everyday but did not feel close to God. Her morning prayer was the rosary, a devotion to our
Lady, and daily petitions; she prayed Divine Mercy at 3 pm and another set of rosary and devotion to a
saint before she slept. She regularly attended talks to deepen her faith too. Despite all these, she felt
distant from God. The girl was intrigued: “It seems that you spend a lot of time talking to God and
listening about God. When do you listen to God?” The lady looked confused: “What do you mean? I
spend a few hours praying every day, don’t I?”
The encounter reminded the girl of a recent lunch with a childhood friend who was troubled that
she could not pray anymore. The friend said “I used to pray Our Father and Hail Mary every day, but
this is becoming dry. I find it easier to talk to Jesus, making up imaginary conversations with Him. I could
be driving or buying groceries, and I’d speak to Him; or I’d be quiet and imagine Him sitting next to me.
When I have a problem, I would tell Him, “I can’t solve this; it’s beyond me. You help take care of it, ok?”
Then I’d go to sleep. Interestingly, when I wake up, the problem doesn’t seem as bad.”
These two encounters were captivating: the first lady was certain she was praying, while the
second lady was convinced she was not. Both were unsure if they truly communed with God, who is
silent and invisible, when indeed both are praying. What, then, is prayer? Alas, there is no simple
answer. If we ask ten people, we will likely receive ten distinct replies because we are trying to describe
an experience often inexpressible with words.
The saints are an excellent case in point: “Prayer is the raising of one’s mind and heart to God” (St.
John Damascene); “Prayer is a surge of the heart; it is a simple look turned towards heaven” (St. Therese
of Lisieux); “Prayer is the encounter of God’s thirst with ours” (St. Augustine). There is simply no fixed
definition. Despite the different expressions, the saints all spoke of an intimate bond that comes from a
profound encounter: they experienced God, and they knew Jesus intimately. But they didn’t get there
overnight. Nobody does.
For the saints and many Christians to pray is to invite the living Christ into their lives. Our
relationship with Jesus is a journey we must walk in person, with the Gospel as our guide. Praying with
the Gospel teaches us to see with His eyes, hear with His ears, and feel with His heart. Just like in
courtship or friendship, we can’t borrow someone else’s experience. Listening to another person’s
testimony or preaching may be uplifting, but it will remain as head knowledge until we personally
encounter Jesus. Just like any relationship, our awareness of Him slowly grows.
Without praying with the Gospel, our understanding of who God is only comes from our sheer
imagination. Without recognizing who Jesus truly is, everything else – the rosary, the devotion, the
imaginary heart-to-heart conversation – is incomplete. One can’t imagine and describe the sweetness of
honey unless they have tasted it.
Indeed, to pray is to allow God’s sweetness to touch us. Prayer does not change God’s mind; it
changes us. Prayer allows us to be transformed by Christ. Our prayer life slowly shapes who we are: as a
tree is known by its fruit, so are we by our prayer life. As we grow in our relationship with Jesus, our
relationship with ourselves and others deepens. Simply put, one can’t be touched and loved by God and
remain the same person.
Prayer is a two-way conversation, even though we tend to be more proficient in vocalizing and
petitioning. In Advent, as we prepare our heart to receive Christ, let us remind ourselves that to pray is
also to have a quiet heart to hear. Mother Teresa said, “God speaks in the silence of the heart. Listening
is the beginning of prayer. Listen in silence because if your heart is full of other things, you cannot hear
the voice of God.”
Are we listening to the Voice within?)
The Voice Within
If there is one thing we can be sure of, it is God’s immense desire to be with us and to be known
by us. He reaches out and always reveals Himself to us. However, the thought of an invisible God
speaking to us can be unimaginable and unfathomable. And herein lies the question: Does God really
communicate with us? And if so, how?
The stories in the Scripture and of the lives of the saints reveal that God speaks to humans
throughout the history of humanity – some directly. For our sake, however, it is wise to assume that we
are not one of the select few, as it is equally sensible to believe that God is generous and creative in
connecting with us individually: His communication with us is as personalized as our unique fingerprints.
He meets us where we are, in ways which we can understand.
Many Christians attest to God speaking to them through praying with the Scripture, God’s
personal love letter for each of us. The Scripture points us and brings us closer to God. Through the
Scripture, God the mother comforts Her troubled child, God the lover courts His beloved, God the
faithful friend offers unceasing compassion and companionship.
Many also affirm that moments of God are beyond the dedicated prayer time. The experience of
God unfolds in our daily life – the splendor and turmoil of nature and creation, the voice of God spoken
by a friend or a stranger, in the gentle breeze and the buzzing of a busy street; as a thought, an insight,
or a tug in our heart; in joyous moments, heart-wrenching tragedies, and mundane chores. St. Ignatius
calls this awareness of God as finding God in all things. That is God speaking to us every day.
Finding God in our daily life is something which we can discover and acquire, for which St.
Gregory Palamas offered a wise counsel: “To think about God a thousand times, without experiencing
God, is to know nothing.” We can only know God by experiencing and recognizing His presence in our
life.
Recognizing God’s presence does not happen overnight: it is growth. Our life history is filled with
stories and memories of God, and yet our busyness often prevents us from feeling and sensing God. He
has been whispering, “I was there with you when….,” “I was here when….,” and “I am here with you
now”; we did not hear Him.
With the gift of hindsight, when we remember our first experience of God, the second, the third,
and the fourth, we begin to find the fingers of God touching us throughout our lives, even in our most
painful moments. The more we are aware and attentive to these memories, the more we are attuned to
God’s presence in our life. By revisiting, reliving, and savoring His companionship with our senses, mind,
and heart, we slowly learn to acquire the taste of God.
Another year is coming to an end. As we just celebrate the Lord’s incarnation in our midst, let us
welcome Him into our life, inviting the Lord to remind us that He has always been present, loving us and
guiding us. Let us call out to Him: “Speak, Lord, your servant is listening,” as we listen with our heart,
and we listen in silence.
Thanksgiving Wish
Lord, we give thanks for Your infinite love, Your promises that never fail, and Your plans that are always the best for your people.
Beautiful Souls
Orang biasa dan tidak sempurna, laki-laki dan perempuan yang disempurnakan oleh Tuhan. Mereka hanya memiliki satu tujuan dalam hidup – menjadi satu dengan Tuhan.
Jiwa-Jiwa yang indah
Hari Raya Semua Orang Kudus adalah hari suci yang khusyuk bagi Gereja Katolik. Ini adalah suatu hari peringatan di mana umat beriman merayakan persekutuan kita dengan orang-orang kudus. Kita dipanggil untuk mengingat dan menghormati saudara-saudari kita di dalam Kristus, saksi-saksi agung Kristus, yang telah pergi sebelum kita dan berada di surga bersama Tuhan. Tapi pernahkah kita berhenti sejenak dan merenungkan siapakah jiwa-jiwa yang indah ini ?. Atau mengapa kita merayakan hidup mereka? Dan bagaimana kita, insan fana ini, bisa menjadi salah satu di antara mereka?
Bila kita perhatikan, tidak ada yang lebih beragam dari semua lapisan kehidupan, melebihi keragaman latar belakang orang-orang kudus. Pria dan wanita. Tokoh-tokoh Alkitab dan tokoh-tokoh kontemporer. Kaya dan miskin. Bangsawan dan orang buangan. Tua dan muda. Yang kuat dan yang lemah. Cerdas dan buta huruf. Berbudaya dan orang biasa. Karismatik dan lemah lembut. Orang Kristen sejati dan orang yang terlambat bertobat. Yang dikanonisasi oleh Gereja dan banyak lagi orang-orang kudus yang tidak dikenal dan tidak dikenal yang telah berjalan di bumi. Setiap seseorang bertemu dengan Tuhan secara pribadi; masing-masing menawarkan kepada kita wawasan yang berbeda tentang bagaimana mencintai Yesus, bahwa ada banyak cara untuk mengasihi Yesus. Santo Yosef, hamba Tuhan yang rendah hati, yang taat pada perintah Tuhan tanpa pertanyaan untuk melindungi Keluarga Kudus. Santo Fransiskus Assisi, menanggapi panggilan “Francis, Fransiskus, pergi dan perbaiki rumah-Ku yang runtuh,” meninggalkan segalanya untuk mengikuti ajaran Yesus Kristus dan untuk berjalan di jejak-Nya. Santo Ignatius dari Loyola, yang Latihan Pencernaan Spiritualnya telah membawa banyak orang setia dalam menemukan Tuhan. Santa Theresia dari Lisieux, dengan kepolosan dan kesederhanaannya bagai seorang anak kecil, mengungkapkan cintanya untuk Tuhan dengan caranya yang kecil. Bunda Teresa dari Calcutta, yang melihat dan mencintai Yesus dalam setiap orang yang dia layani, terutama yang tertindas dan terbuang.
Keragaman mencerminkan volume. Bahwa setiap orang bisa menjadi suci, atau setidaknya, bertujuan untuk menjadi suci. Terlepas dari keragaman latar belakang, orang-orang kudus tampaknya memiliki satu kesamaan. Orang suci mencintai Tuhan dengan segenap hati, jiwa, pikiran, dan kekuatannya, dan mencintai orang lain seperti Tuhan mencintai. Satu pribadi yang mengambil identitas Kristus. Seseorang yang memahami bahwa kekudusan adalah tidak mungkin jika tanpa kasih karunia Tuhan dan tanpa penyerahan diri sepenuhnya dan ketaatan total kepada-Nya. Sama seperti kita, orang-orang kudus memiliki pergumulan, kesalahan, kekurangan, dosa, dan konflik batin mereka. Orang biasa dan tidak sempurna, laki-laki dan perempuan yang disempurnakan oleh Tuhan. Mereka hanya memiliki satu tujuan dalam hidup – menjadi satu dengan Tuhan.
Ketika kita merayakan orang-orang kudus, kita diingatkan bahwa hidup mereka terfokus pada salib: menempatkan Yesus di pusat kehidupan, menjadi satu dengan Tuhan melalui doa - salib vertikal, dan mencintai dan merawat saudara dan saudari kita - salib horizontal. Mereka adalah model untuk kita tiru - karena mereka adalah murid dan pengikut terbesar Yesus.
Di bulan November, kita diingatkan akan identitas kita sebagai satu Tubuh Mistik Kristus. Gereja di bumi bersatu dalam doa dengan gereja di surga. Semua jiwa yang penuh kasih ini mengelilingi kita, menyemangati kita, mendoakan kita, bersyafaat untuk kita, menunggu kita di akhir garis finish. Mereka di surga, dan kita para peziarah di bumi. Bersatu dalam doa, menyembah Tuhan sebagai keluarga dalam Ekaristi. Kita adalah satu dalam Tubuh Kristus. Kita adalah Tubuh Kristus. Tidakkah itu sangat menghibur untuk mengetahui bahwa kita tidak pernah sendirian dalam perjalanan kita?
RS
Kutipan:
St Agustinus: “Perbedaan antara Injil yang ditulis dan kehidupan para Orang Suci adalah sama dengan perbedaan antara musik yang ditulis di halaman dan musik yang dimainkan dengan keras.”
Translated from the original text : “Beautiful Souls”
All Saints’ Day is a solemn holy day of the Catholic Church. It is one of the greatest commemorations, when the faithful celebrate our communion with the saints. We are called to remember and honor our brothers and sisters in Christ, the great witnesses of Christ, who have gone before us and are in heaven with God. But have we ever paused and reflected on who these beautiful souls are? Or why do we celebrate their lives? And how do we, mortal beings, become one?
When we think of the saints, we can’t find more diverse backgrounds from all walks of life. Men and women. Biblical personages and contemporary figures. Wealthy and poor. Aristocrats and outcasts. Old and young. Strong and weak. Intellect and illiterate. Cultured and commoner. Charismatic and meek. Cradle Christians and late converts. The ones canonized by the Church and many more unknown and anonymous saints who have walked the earth. Each one encounters God in a personal way; each offers us a different insight on how to love Jesus, that there are many ways to love Jesus. Saint Joseph, the humble servant of God, who obeys God’s commandments without questions to protect the Holy Family. Saint Francis Assisi, responding to the call “Francis, Francis, go and repair My house which is falling into ruins,” drops everything to follow the teachings of Jesus Christ and to walk in His footsteps. Saint Ignatius of Loyola, whose Spiritual Discernment Exercises have led countless faithful in finding God. Saint Therese of Lisieux, with her innocence and child-like simplicity, expresses her love for God in her little way. Mother Teresa of Calcutta, who sees and loves Jesus in everyone she serves, especially the downtrodden and the outcasts.
The diversity speaks volume. That everyone can be holy, or at least, aim to be holy. Despite the diversity in the background, the saints seem to have one thing in common. A saint loves God with all his/her heart, soul, mind, and strength, and loves others the way God loves. A person who takes on Christ’s identity. One who understands that holiness is not possible without God’s grace and without his/her complete surrender and total obedience to Him. Just like us, the saints have their struggles, faults, flaws, sins, and inner conflicts. The imperfect and ordinary men and women made perfect by God. They have but one purpose in life – to be one with God.
When we celebrate the saints, we are reminded that their lives are focused on the cross: placing Jesus at the center of our lives, being one with God through prayers - the vertical cross, and loving and caring for our brothers and sisters - the horizontal cross. They are our models to imitate because they are the greatest disciples and followers of Jesus. In the month of November, we remember our identity as one Mystical Body of Christ. The church on earth united in prayers with the church in heaven. All these loving souls surrounding us, cheering for us, praying for us, interceding for us, waiting for us at the finished line. They in heaven, and we the pilgrims on earth. United as one in prayers, worshiping God as a family in the Eucharist. We are one in the Body of Christ. We are the Body of Christ. Isn’t it comforting to know that we are never alone in our journey?
RS
Quote:
St Augustine: “The difference between the Gospel written and the lives of the Saints is the same as the difference between music written on a page and music played out loud.”
The Elder Brother Of The Prodigal Son - part 2
“Bapa, aku telah berdosa terhadap Surga dan terhadapmu”
God, have mercy on me, a sinner
Tentu saja aku marah, tentu saja aku tidak senang.
Dia hidup seenaknya di negeri asing, dan begitu sudah habis uangnya, ia pulang ke rumah bagaikan seorang pengemis yang kelaparan. Dan bapaku menyambut anaknya yang hilang itu dengan begitu suka cita, hingga menyembelih seekor anak lembu tambun untuk pesta dengan seluruh pekerja.
Sedangkan aku selama ini sudah hidup lurus dan bekerja keras di ladang, melayani bapa dan tidak pernah sekalipun menentang perintahnya. Aku tidak pernah berpesta pora atau mengenal seorangpun pelacur, aku anak sulung, maka aku pantas dihargai atas posisi, semua usaha dan dedikasiku kepada bapa selama ini. Yang jelas, aku jelas lebih baik daripada adikku itu, mengapa justru sekarang bapaku menyambutnya dengan suka cita bahkan memakaikannya jubah, memberinya sandal dan mengenakannya cincin ??. Aku jelas tidak terima semuanya ini, aku tidak akan masuk ke rumah, biarkan mereka berpesta di dalam.
Hari ini makin sore, sudah tiga jam aku di sini, masih duduk di bawah pohon ini, memandang rumah bapa dari jauh. Mereka masih berpesta, musik dan nyanyian riuh rendah masih sesekali terdengar.
Ah, perutku mulai lapar, dan tidak ada makanan atau minuman di sini. Angin pun mulai terasa dingin, dan aku tidak membawa jaket atau selimut. Aku seorang sendiri, sedangkan mereka bergembira di sana.
Sendiri, ya sendiri…
Tiba-tiba aku tersentak, menyadari kesendirian ini..
Mengapa justru aku yang sekarang sendiri ?
Tapi aku masih tak sudi untuk melangkah ke sana, ke rumah bapa.
Maka biarkan aku tetap sendiri, di sini.
Teringat dulu,...ketika aku masih kecil,..kami berdua masih kecil.
Kami sering bermain di dekat sini. Dan di bawah pohon ini, kami selalu menanggalkan sandal kami sebelum memanjatnya. Di atas pohon, kami memetik buahnya yang matang, memakannya, sembari menikmati semilir angin dan menebar pandangan sampai sejauh-jauhnya. Dari atas pohon ini, bisa terlihat rumah kami di kejauhan, sungai, dan segala sesuatu di kaki perbukitan nun jauh di sana.
Tetapi suatu hari ketika memanjat pohon ini, dia, adikku ini,..tidak banyak berkata. Pandangannya seperti sedang tertambat pada ujung-ujung gunung dan segala sesuatu yang tersimpan di baliknya, segala sesuatu yang tidak tampak. Sesekali ia tampak gelisah tetapi tidak yakin akan apa yang akan dikatakannya “Bang,..apa ya yang ada di balik gunung-gunung itu. Apakah ada ladang-ladang lain seperti ladang milik kita?. Apakah ada rumah-rumah lain dan berapa besar keluarga mereka?...bolehkah kita berkenalan dengan anak-anaknya yang mungkin cantik dan tampan?. Apakah mereka punya anggur dan apakah rasanya sama dengan anggur di rumah kita?. Bang,..aku ingin tahu..”.
Aku cuma diam. Adikku ini ternyata punya banyak pertanyaan dalam hatinya yang tidak bisa aku menjawabnya. Maka aku pun hanya membalas tatapannya tanpa bisa berkata banyak. Mana mungkin aku tau jawaban atas semua pertanyaannya itu. Aku sendiri belum pernah berjalan melampaui puncak-puncak gunung itu untuk tau apa yg ada di baliknya. Yang aku tahu hanya bekerja setiap hari sebaik-baiknya untuk bapaku, supaya ia tidak menilaiku malas dan menjadi marah kepadaku. Aku takut membuat bapaku marah.
Tetapi seperti yang sudah aku pahami, adikku ini bukan seorang yang betah di rumah, ia punya jiwa seorang petualang, dan dia pun tidak akan mudah menyerah selama pertanyaannya belum terjawab. Tiba-tiba katanya: “Bang,..aku ingin pergi melihat dunia di luar sana. Aku tau bapa pasti tidak mengijinkan, tetapi aku tetap akan tetap pergi walaupun dia tidak mengijinkan”.
Hari itu setelah kami turun dari pohon, memakai kembali sandal kami, dan hendak berjalan pulang kembali ke rumah, terasa kaki saya agak sakit dan sama sekali tidak nyaman. Ternyata sandal kami tertukar, aku sedang memakai sandal adikku.
Sandal adikku.
Kupejamkan mataku mengingat saat-saat itu, ketika aku sedang memakai sandal adikku. Segala ketidaknyamanannya, segala kesempitan dan kasar permukaannya, segala kesusahanku untuk melangkahkan kaki.
Coba sekarang aku membayangkan sedang memakai sandal adikku lagi. Membayangkan bagaimana aku berada di posisi dia.. “Be in his shoes”.
Pergi meninggalkan keluarga di masa muda, pergi membawa sebagian harta bapa yang menjadi bagianku. Semangat muda dan keingintahuan yang besar akan dunia lain di ujung sana - telah membuatku berani menentang rencana bapa.
Menganggap harta adalah jaminan hidupku di negeri asing, menggunakannya tidak bijaksana bahkan habis di meja judi dan perempuan-perempuan asing. Menganggap hartaku akan kekal, dan semua orang adalah teman sejati. Menganggap dunia akan tetap baik-baik saja meskipun hidup dalam lingkaran dosa. Tidak perlu berkomunikasi dengan bapa, toh aku sudah dewasa.
Terlalu banyak untuk dikatakan,..yang jelas, semuanya adalah dosa.
Dan ketika masa paceklik tiba, kelaparan dan kemiskinan merajalela, ketika sepeserpun tidak lagi ku punya dan makanan babi pun orang tidak izinkan untuk aku makan, ketika tidak ada lagi teman, ketika yang kurasakan adalah sengsara hidup jauh dari rumah bapa……
Apa yang akan kulakukan?.
Maka aku akan berkata: "Berapa banyak pelayan sewaan ayahku yang punya makanan, dan di sini aku mati kelaparan! Aku akan berangkat dan kembali kepada ayahku dan berkata kepadanya: Ayah, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadapmu. Aku tidak layak lagi disebut anakmu; jadikan aku seperti salah satu pelayanmu" ….
Kini aku akan bangkit,... akan kutanyakan adikku itu. Akan kutanyakan apakah dia juga berkata begitu sebelum memutuskan kembali kepada bapa.
Ternyata dengan membayangkan berada di posisi dia,.. telah membuatku mengerti sedikit tentang kesesakan dan pergumulannya. Memakai sandal yang tertukar telah membuatku mengerti sesuatu. Dan di atas segalanya, adikku telah memilih yang terbaik, yakni bertobat dan berbalik kembali kepada bapa.
Akan kukatakan juga kepadanya,.. bahwa aku tidak lebih baik daripadanya.
The Elder Brother
‘.. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia"‘
The Elder Brother (Of The Prodigal Son)
Saya tidak tahu bagaimana harus memahami perbedaan antara sikap sang Anak Sulung dan sikap sang ayah – dalam kisah the Prodigal Son (Luk 15:11-32).
Karena tidak mudah untuk dipahami, mungkin bukan tanpa alasan bahwa Yesus terlebih dahulu memberikan dua perumpamaan sebelum pada puncaknya memberikan perumpamaan anak yang hilang ini; yakni perumpamaan tentang domba yang hilang dan perumpamaan tentang dirham yang hilang. Lewat dua perumpamaan itu, mungkin Yesus ingin mencontohkan kebahagiaan dan suka cita yang dirasakan sang ayah ketika anak bungsunya kembali; sama seperti kebahagiaan sang gembala yang menemukan kembali seekor dombanya yg tersesat, atau kebahagiaan seorang perempuan yang menemukan kembali dirhamnya yang hilang.
Ketika sang anak bungsu kembali ke rumah bapanya, sang bapa berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia (ayat 20) dan dengan bersuka cita berkata 'Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali' (ayat 24).
Lain halnya dengan sang anak sulung. Dia tidak serta merta senang dengan kepulangan adiknya, dan sikapnya 180 derajat berbeda dengan sikap bapanya itu. Dia menolak masuk ke rumah, dan katanya 'Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia.'
Jadilah saya bertanya-tanya. Apakah semua hal yang dikatakannya itu sungguh adalah sebab penolakannya itu?. Mari kita lihat satu per satu.
Katanya.. 'Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku'.
Sekarang. Seandainya .. sekali lagi seandainya,.. bapanya pernah memberikan seekor kambing kepadanya untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatnya.
Lantas apakah kemudian dia akan menerima adiknya itu?. Apakah sikapnya akan berbeda ?.
I do not think so. Menurut saya dia akan tetap masih menolak kepulangan adiknya meskipun bapa mereka pernah memberikannya seekor kambing untuk bersuka cita.
Jadi jika demikian halnya,.. maka argumennya itu tidak relevan. Alasan itu tidaklah tepat. Lantas apa ?
Katanya lagi.. 'Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia.' Ini poin-poin ucapannya itu:
anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa
.. bersama-sama dengan pelacur-pelacur
bapa menyembelih anak lembu tambun untuk dia
Mari kita lihat alasan itu satu per satu
1. anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa.
Seandainya adiknya pulang dengan harta yang berlimpah, lebih banyak daripada yang dulu dibawanya pergi.
Coba kita renungkan… apakah dia lantas akan menerima adiknya itu?.
Kalau ya, berarti dia (si Sulung) adalah seorang yang mata duitan, materialistis, atau memandang harta sebagai ukuran dalam menilai orang lain. Baginya, harta lebih penting daripada kasih sayang persaudaraan; dan ketika adiknya pulang dalam ketiadaan dan kemiskinan, diapun enggan menunjukkan kasih, sekalipun itu adalah adiknya satu-satunya.
Still, menurut saya dia tetap akan menolak kepulangan adiknya itu, meskipun is datang dengan lebih banyak harta. Sehingga, adiknya kehabisan harta bukanlah menjadi alasan yang sesungguhnya. Lantas apa?
2. ..bersama-sama dengan pelacur-pelacur
Entah bagaimana dia bisa tahu bahwa adiknya bersama-sama dengan pelacur-pelacur sewaktu di negeri asing, tapi anggaplah itu benar.
Pertanyaannya,.. kalau ternyata adiknya tidak hidup demikian, kalau ternyata adiknya hidup ‘benar’ selama di negeri asing. Coba kita renungkan.. apakah dia lantas akan menerima adiknya itu?.
Kalau ya, berarti dia hanya mau menerima adiknya kalau adiknya itu adalah seorang yang 'suci' dan tanpa kesalahan, tidak berkekurangan dan tidak punya kelemahan. Dia tidak memiliki simpati bagi orang yang melukai hati bapa mereka. Baginya, orang lain harus berkualitas lebih baik atau sekurang-kurangnya sama baiknya dengan dia, baru dia bisa menerima. Alih-alih saudaranya itu perlu dibantu oleh karena segala kesulitan dan kepahitan selama hidup di negeri asing, dia malah sebaliknya menolak, dihukum atau mengucilkan adiknya itu. Seolah dialah orang yang paling berhak untuk menghukum dan mengadili.
Tapi still, meskipun adiknya ternyata hidup ‘benar’ di negeri orang, Sang anak sulung akan tetap menolaknya. Jadi ini juga bukan alasan penolakan yang sesungguhnya. Lantas apa?
3. ..bapa menyembelih anak lembu tambun untuk dia
Betulkah dia marah hanya karena bapanya menyembelih seekor anak lembu tambun untuk pesta itu?.
Seandainya,.. tidak ada seekor anak lembu tambun yang disembelih, seandainya tidak ada pesta besar-besaran..
Apakah dia lantas akan mau menerima adiknya itu?.
Tidak juga. Jadi sepertinya alasan itu tidak relevan juga. Ada atau tidaknya seekor anak lembu tambun disembelih (atau kambing, atau ayam dan ternak potong lainnya) rasanya tidak berpengaruh. Sepertinya dia akan tetap menolak kepulangan adiknya itu, dan enggan masuk ke dalam rumah bapanya.
Dari pembahasan di atas, ternyata kata-kata amarah sang anak Sulung tidak mewakili alasan penolakannya atas kepulangan adiknya. Jadi,.. lantas apa sebetulnya yang menjadi dasar, alasan penolakannya atas adiknya sendiri?.
Jawabannya mungkin ada di dasar hati kita masing-masing.
Bila kita kurang bersyukur dan selalu merasa kurang,.. mungkin kita sedang bersikap seperti anak sulung.
Bila kita tidak bisa melawan amarah,.. kita tidak ubahnya sedang berlaku seperti anak sulung.
Bila kita sering diam-diam menghakimi orang lain dan merasa paling benar dan paling suci,.. kita sedang manjadi seperti anak sulung
Dan bila kita sering gagal untuk mengampuni mereka yang bersalah,.. kita pun menjadi seperti anak sulung.
Demikian juga ketika kita mengutamakan harta & posisi sosial di atas nilai-nilai kemanusiaan dan kasih, kita adalah anak sulung itu.
Memahami sikap sang anak Sulung ternyata tidak ubahnya dengan memahami kerohanian saya sendiri, memahami kelemahan, sifat-sifat duniawi, emosi, keterbatasan dan kekurangan saya. Lewat perumpamaan yang Yesus berikan ini, saya berharap bisa belajar untuk menjadi lebih bijaksana dan tidak mudah menghakimi sesama yang kurang beruntung, terutama di saat saya merasa sudah berada di pihak yang benar. Mudah-mudahan kita mau dan mampu untuk melihat segala sesuatu dalam kehidupan ini dengan kacamata sang Bapa, kacamata Kasih, yang tidak bersyarat, the unconditional love.
Newark, 09_22_22
Sang Ilahi dan CiptaanNya
Bunga Tulip yang sederhana.. sumber insiprasi
Sang Ilahi
Indah.. cantik parasmu
Terangkai indah menyatu padu
Tak terlukis mulia karyaMu
Luluhkan hati… lambungkan harapku
Terucap tanpa kata…
Melayang tinggi …
Kubuka mata hati ini
Kusadari betapa keagunganMu
Melampaui langit & bumi
Ah…seandainya Engkau di hadapanku
Kan ku rengkuh & kupegang erat
Hati & daya sepenuhnya untuk Mu
Tak kan kulepas walau sedetikpun
Ampuni hamba Mu..
Dosa sering membelengguku..
Sungguh ku tak layak dihadapan Mu
Hanya KasihMu menguatkanku…
CA 92222