Kenaikan Yesus ke Sorga (Ascension of the Lord)
Dan ketika Ia sedang memberkati mereka, Ia berpisah dari mereka dan terangkat ke sorga. Mereka sujud menyembah kepada-Nya, lalu mereka pulang ke Yerusalem dengan sangat bersukacita.
Kenaikan Yesus ke Sorga (Ascension of the Lord)
Kenaikan Yesus Kristus (Ascension of The Lord) adalah peristiwa yang terjadi 40 hari setelah Kebangkitan Yesus, di mana disaksikan oleh murid-murid-Nya, Yesus Kristus terangkat naik ke langit dan kemudian hilang dari pandangan setelah tertutup awan, seperti yang dicatat dalam Alkitab Perjanjian Baru.
Dalam kitab Kisah Para Rasul, para murid Yesus digambarkan belum memahami benar arti seluruh peristiwa yang mereka alami. Banyak dari mereka yang masih berharap bahwa Yesus akan memulihkan kerajaan Daud yang runtuh sejak dikalahkan oleh Kerajaan Babel. Tetapi Yesus mempunyai misi lain yang bukan dari dunia. Ia berpesan kepada murid-muridnya: "... kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." Dan sesudah meninggalkan pesan itu, Yesus terangkat ke sorga, sambil disaksikan oleh murid-muridnya. Peristiwa itu membuat mereka tercengang. Namun dua malaikat Tuhan menampakkan diri dan mengingatkan mereka akan pesan yang telah diberikan Yesus kepada mereka.
Latar Belakang
Selama 40 hari setelah kebangkitan-Nya pada hari Minggu (yaitu 3 hari sesudah kematian-Nya di atas kayu salib), Yesus menunjukkan diri-Nya kepada para murid, dan dengan banyak tanda Ia membuktikan, bahwa Ia hidup.
Yesus berulang-ulang menampakkan diri dan berbicara kepada mereka tentang Kerajaan Allah.
Peristiwa Kenaikan
Injil Markus, Injil Lukas dan Kitab Kisah Para Rasul mencatat peristiwa kenaikan ini secara eksplisit.
Markus mencatat bahwa sesudah Tuhan Yesus menyampaikan pesan-pesan terakhir kepada murid-murid-Nya, terangkatlah Ia ke sorga, lalu duduk di sebelah kanan Allah. (Markus 16:19). Kata kerja "terangkat" sama dengan yang digunakan dalam Kisah Para Rasul 1:2.
Lukas mencatat: Yesus membawa mereka ke luar kota Yerusalem sampai dekat Betania. Di situ Ia mengangkat tangan-Nya dan memberkati mereka. Dan ketika Ia sedang memberkati mereka, Ia berpisah dari mereka dan terangkat ke sorga. Mereka sujud menyembah kepada-Nya, lalu mereka pulang ke Yerusalem dengan sangat bersukacita. (Lukas 24:50-52)
Kisah Para Rasul mencatat: Sesudah Yesus mengatakan kata-kata terakhirnya, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka. Ketika mereka sedang menatap ke langit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih dekat mereka, dan berkata kepada mereka: "Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga." (Kisah Para Rasul 1:9-11)
Lokasi Kenaikan
Chapel of Ascension / "Kapel Kenaikan", Yerusalem
Di luar kota Yerusalem, dekat Betania, di bukit yang disebut Bukit Zaitun, yang hanya "seperjalanan Sabat" jauhnya dari Yerusalem. "Seperjalanan Sabat" itu berjarak kira-kira 2000 langkah atau sekitar 1,5 km (1 mil).
Jelas kenaikan ini bukan di dalam kota Betania, yang terletak di sebelah timur Bukit Zaitun, kira-kira 3 kilometer (2 mil) di timur Yerusalem.
Gereja "Church of the Holy Ascension" pernah didirikan di Bukit Zaitun, sebelum direbut oleh Saladin tahun 1187 dan diubah menjadi masjid "Kapel Kenaikan" (Chapel of Ascension) sampai sekarang. Menurut tradisi, ini adalah tempat kenaikan Yesus.
Kelanjutan bagi murid-murid Yesus
Ascension Rock
Diiyakini sebagai batu pijakan Yesus ketika naik ke sorga.
Injil Markus mencatat secara garis besar bahwa sesudah itu pergilah murid-murid Yesus memberitakan Injil ke segala penjuru, dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya.
Injil Lukas mencatat bahwa segera setelah pulang ke Yerusalem dengan sukacita, para murid senantiasa berada di dalam Bait Allah dan memuliakan Allah. Catatan kecil ini menjadi penghubung ke Kisah Para Rasul yang juga ditulis oleh Lukas.
Kisah Para Rasul mencatat bahwa rasul-rasul itu kembali ke Yerusalem dari bukit yang disebut Bukit Zaitun, yang hanya seperjalanan Sabat jauhnya dari Yerusalem. Setelah menunggu 10 hari di Yerusalem, para murid mengalami pencurahan Roh Kudus pada hari raya Shavuot atau Pentakosta, dan kemudian mereka mulai memberitakan Injil ke seluruh dunia. Jadi pada akhirnya sama dengan catatan dalam Injil Markus.
Mengapa Yesus naik ke Surga?
Kenaikan Yesus ke Surga (Ascension) adalah naiknya Yesus ke Surga dengan kekuatan-Nya sendiri di hadapan para muridnya, empat puluh hari setelah kebangkitan-Nya. Hal ini diceritakan di Mk 16:19, Lk 24:51, dan Kis 1.
Ada dua alasan mengapa Yesus naik ke Surga:
1. Untuk mengirimkan Roh Kudus yang dijanjikan-Nya. Di dalam Yoh 16:7 dikatakan “Namun benar yang Kukatakan ini kepadamu: Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu.” Pertanyaannya, mengapa Yesus harus naik ke Surga terlebih dahulu sebelum mengirimkan Roh Kudus?
1). Kalau kita mau melihat keseluruhan Alkitab, maka kita juga melihat Perjanjian Lama dalam terang Perjanjian Baru.
Dalam studi “typology“, kita melihat sesuatu yang ada di dalam Perjanjian Lama dan kemudian dikaitkan dengan
Perjanjian Baru untuk mendapatkan gambaran lebih lengkap. Dalam hal ini ada kaitan antara Musa dan Yesus.
Yesus disebut Musa yang Baru
2). Sebelum Musa mendapatkan Sepuluh Perintah Allah (decalogue), Musa harus naik terlebih dahulu ke gunung Sinai, dan tinggal bersama dengan Allah selama empat puluh hari. (Lih. Kel 34). Dan oleh karena itu, Yesus, Musa yang Baru, naik – bukan ke gunung yang bersifat fisik, namun naik ke Surga. Rasul Paulus mengatakan “Ia yang telah turun, Ia juga yang telah naik jauh lebih tinggi dari pada semua langit, untuk memenuhkan segala sesuatu.“(Ef 4:10). Dan pada waktu Dia telah duduk di sisi kanan Allah Bapa, maka Dia dapat menuliskan hukum Allah di dalam hati manusia, bukan di dalam dua loh batu seperti di dalam Perjanjian Lama. Penulisan hukum Allah ini dimanifestasikan dengan turunnya Roh Kudus kepada para rasul dan kemudian kepada umat Allah, sehingga Tubuh Kristus (Gereja) dapat dibangun.
2. Untuk membawa jiwa-jiwa yang berada di limbo of the just atau bosom of Abraham atau tempat penantian, ke Surga. Rasul Paulus mengatakan bahwa “8 Itulah sebabnya kata nas: “Tatkala Ia naik ke tempat tinggi, Ia membawa tawanan-tawanan; Ia memberikan pemberian-pemberian kepada manusia.” 9 Bukankah “Ia telah naik” berarti, bahwa Ia juga telah turun ke bagian bumi yang paling bawah? 10 Ia yang telah turun, Ia juga yang telah naik jauh lebih tinggi dari pada semua langit, untuk memenuhkan segala sesuatu. 11 Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, 12 untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, 13 sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus,” (Ef 4:8-13)
1) Dari ayat-ayat tersebut di atas, maka sebenarnya cukup jelas bahwa ketika Yesus naik ke tempat tinggi (Surga), maka Yesus membawa jiwa-jiwa yang berada di bosom of Abraham dengan cara Yesus turun sendiri ke tempat penantian selama tiga hari (dari wafat sampai kebangkitan).
2) “Pemenuhan segala sesuatu” yang disebutkan di ayat 10 adalah pemenuhan dari janji Yesus, yaitu untuk mengutus Roh Kudus, Roh Penghibur (Yoh 14:26, 15:26, dan 16:7) yang akan memenuhkan segala sesuatu, yang memperlengkapi umat Allah dalam membangun Tubuh Kristus, yaitu Gereja. Rasul Paulus menegaskan bahwa Roh Kudus inilah yang akan memberikan kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. Jadi dapat dikatakan bahwa Roh Kudus membantu umat Allah untuk menjadi mirip seperti Kristus.
Hari Raya Kenaikan Yesus Kristus
Hari raya Kenaikan Yesus Kristus atau Kenaikan Isa Almasih (Mikraj Isa Almasih) adalah nama hari raya umat Kristen untuk memperingati kenaikan Yesus ke sorga. Perayaan ini selalu jatuh pada hari Kamis, 40 hari setelah hari raya Paskah, 10 hari sebelum hari raya Pentakosta.
Tahun ini, Hari Kenaikan Yesus ke Sorga dirayakan pada tanggal 13 Mei 2021.
artikel disunting dari katolisitas.org
Hanafi Daud - Pewarta Tangguh Yang Penuh Kasih
Selamat jalan Om Hanafi……doakan kami dari rumah Allah untuk kami yang masih mengembara di dunia ini.
Ditulis oleh Agem Rahardjo
Tanah Amerika sudah tak asing lagi bagi Hanafi Daud sejak tahun 1981, tahun saat beliau mulai mempercayakan pendidikan kedua anak lelakinya, Andika dan Nafira di San Francisco State University (SFSU). Keberadaan kedua buah hatinya yang bersekolah inilah yang membuat Hanafi Daud, yang akrab dengan panggilan Om Hanafi sering berkunjung sebelum akhirnya pada tahun 1993 beliau dan istrinya, Bertha Wulandari memutuskan untuk benar-benar hijrah dan menetap di San Francisco, Bay Area.
Lahir dengan nama asli Liem Swan Han pada tanggal 14 Desember 1933 di Cirebon, Jawa Barat. Masa itu Belanda masih menguasai Indonesia, dan tentu saja beliau juga merasakan masa remaja peralihan penjajah dari bangsa Belanda ke bangsa Jepang di tahun 1942-1945. Hanafi Daud adalah saksi sejarah Perang Dunia ke dua (WWII) dan saksi sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Beliau memiliki sejarahnya sendiri di masa itu. Dengan semangat tinggi, kecintaan dan keyakinan luar biasa hidupnya terisi dengan bakti dan perjuangan gigih membantu tanah air melalui gerakan “bawah tanah” bersama teman-teman pewarta. Bermodalkan pena dan mesin ketik beliau menyemangati rakyat dan pejuang kemerdekaan dengan tulisan serta berita melalui koran dan pemberitaan yang dibentuk bersama teman seperjuangan….dan inilah yang mengawali karirnya sebagai wartawan Indonesia hingga hijrahnya ke Amerika.
Saya termasuk salah satu orang yang beruntung telah mengenal Om Hanafi Daud. Pertemuan pertama yang membuat saya merasa benar-benar mengenal Om Hanafi terjadi ketika menghadiri pertemuan sebuah kelompok kecil yang semua anggotanya para orang-orang tua (senior), Persatuan Senior Indonesia (PSI). Saya memang sebelumnya telah mengenal beliau di setiap misa minggu ke tiga, Union City. Pembawaannya kalem, pandangannya tajam dan wajahnya selalu terlihat serius. Sungguh kaku bagi orang seperti saya yang memang tidak pernah serius. Tetapi, di acara itu Om Hanafi yang saya kenal menjadi sosok lain. Pembawaanya yang kalem seketika berubah menjadi periang dan sangat bersahabat, penuh canda dan tawa. Pandangannya yang tajam menyelidik berubah menjadi tatapan teduh penuh perhatian, dan keseriusannya tenggelam bersama celetukan canda dan lelucon yang keluar dari mulutnya…….membuat saya tertawa terbahak-bahak.
Dalam pertemuan itu beliau memandu acara dengan saling berbagi pengetahuan mengenai segala sesuatu, termasuk kisah sejarah Indonesia. Dari pemaparannya itu saya mendapat banyak sekali pengetahuan sejarah yang tidak pernah saya dapat dari pelajaran sekolah. Di acara itu beliau bersama Pak Rawi (almarhum), salah satu pendiri yang saat itu juga merangkap ketua PSI tampil bergantian. Kedua orang itu bagi saya adalah pelopor yang memberi “nilai dan jiwa” ke dalam perkumpulan para senior itu. Saya seperti mendapat pencerahan ketika mendengarkan sejarah yang sebenarnya dari sang pelaku sejarah itu sendiri. Mendengarkan cerita dan kisah yang lengkap dengan data, photo dan bukti-bukti asli mengenai apa yang terjadi dan bagaimana sepak terjang beliau pada masa itu menimbulkan kedekatan tersendiri bagi saya, seperti menghubungi kisah-kisah sejarah sesungguhnya yang sering ayah saya ceritakan. Ayah saya lahir tahun 1929 di Surabaya dan memutuskan bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di usianya yang sangat muda (10 tahun), dan lama setelah itu TKR diubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mendapat pelajaran sejarah perjuangan kemerdekaan dari ayah saya seolah mendapat lentera pengusir kegelapan dan kesesatan sejarah yang saya dapat dari sekolah melalui buku pelajaran Sejarah Nasional Indonesia keluaran Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Seperti juga kisah sejarah yang diceritakan Om Hanafi saat itu. Kisah sejarah dan perjuangan mereka memiliki ruangnya sendiri, amat nyata dan menuju pada satu pintu keluar yang mengarah ke tujuan yang sama. Perjuangan yang berawal dari rasa cinta kepada tanah air dan semangat merebut kemerdekaan mengusir penjajah.
Sejak pertemuan itu saya merasa sangat dekat dengan Om Hanafi. Beliau selalu menyapa saya dengan ramah dan sesekali melontarkan canda khasnya ketika bertemu. Dari para sesepuh WKICU saya mendengar kabar bahwa Om Hanafi ini pendukung yang setia. Pernah menjadi ketua WKICU yang ke-empat untuk periode 2001-2003 dan beliau selalu terlibat dalam mengasuh, membesarkan dan memberi arahan setelah itu. Banyak pemikirannya yang melengkapi landasan dasar dan panduan pembentukan aturan bagi Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) WKICU. Kemampuan dan pengalamannya sebagai wartawan disalurkan lewat pembuatan bulletin, menjadi photographer dadakan, juga sekaligus pengumpul arsip dan peristiwa penting perjalanan WKICU. Begitu rapih dan teliti…..tak heran ketika WKICU merayakan perayaan 25 tahun berdirinya, Om Hanafi adalah satu-satunya orang yang tepat untuk merangkai perjalanan itu menjadi sebuah buku. Tanpa kerja keras, kemampuan dan kesetiaan Om Hanafi, sejarah perjalanan komunitas kita tidak akan terbukukan dengan baik.
Kecintaannya pada dunia kewartawanan dan tulis-menulis telah berakar. Tak heran jika beliau mampu menyelesaikan buku memoar yang ditulis dalam bahasa Inggris setebal 132 halaman, Hanafi Daud, My Mosaic: Indonesia 1933-1993 and USA 1993-today……. Sebuah buku perjalanan hidup lengkap yang ditulis dengan kesadaran dan rasa syukur akan berkat rahmat Tuhan dalam hidupnya yang membentuk kematangan pribadi dan ke-taatannya sebagai seorang Katolik yang ingat akan asal-usulnya.
“I feel lucky to live in Indonesia for some sixty years. It had given me a wealth of life experiences. I feel lucky to have been a part of the Indonesian Revolution and experienced the fervor of a nation fighting to free itself from Dutch colonization. I feel lucky to live in a transition period in the history of human life, moving from an older era before WWII to fast growing technology era that is changing the world and the way we live in.”
Tahun 2020 di bulan Mei, Om Hanafi mengundang saya bergabung lewat Aneka Ria, group whatsapp yang dibentuk olehnya. Saya adalah anggota termuda di sana dan saya sangat senang Om Hanafi mengundang bergabung dan membolehkan saya untuk nimbrung bercanda bersama. Obrolan kelompok itu dipenuhi kiriman video, saling mengirim kartu bergambar dengan ucapan selamat pagi atau malam yang indah…tak ketinggalan satu yang saya tunggu-tunggu dan selalu menghibur hari-hari saya, yaitu cerita-cerita humor segar yang beliau kirim. Group ini amat unik dan berbeda dari group lain yang saya miliki.
Rabu jam 8 pagi, tanggal 21 April 2021 handphone saya berdenyut tanda sebuah pesan masuk. Saya melihat Om Hanafi Daud mengirim berita ke dalam group. Saya melirik sepintas sebelum melihat isi pesan itu. Pesan pagi itu bukan berisi photo dan bukan humor segar yang biasa beliau kirimkan……di pesan itu tertulis, “This is Nafira, Bertha and Hanafi’s Daud son. Dad just passed away about a couple hours ago….”
Isi kepala saya yang dipenuhi oleh rencana-rencana untuk hari itu lenyap seketika. Suasana tiba-tiba menjadi sunyi dan kosong. Tertegun membaca berulang-ulang pesan itu sebelum akhirnya membalas dan meminta jawaban yang meyakinkan atas berita itu. Beliau meninggal dan kembali ke rumah Allah Bapa di surga dengan tenang dalam tidurnya, begitu keterangan lanjutan yang saya dapat. Masih tidak percaya, kabar duka itu pun segera saya teruskan kepada umat lain dengan iringan doa yang tak putus, dan di setiap kirimannya juga saya sertakan permohonan agar penerima pesan berdoa bersama mengiringi kepergian Om Hanafi yang kita semua cintai.
Bagi saya, Om Hanafi Daud adalah seorang sahabat, seorang guru, seorang panutan dan seperti juga ayah saya, Om Hanafi adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia yang berjasa. Beliau juga telah berbuat banyak untuk komunitas kita WKICU selama keberadaannya di Bay Area. Dan bagi kami team ebulletin, beliau adalah pengawas, penasihat dan pendukung tulisan yang sangat baik…..
Selamat jalan Om Hanafi……doakan kami dari rumah Allah untuk kami yang masih mengembara di dunia ini.
In Memoriam
Hanafi Daud
December 14, 1933 – April 21, 2021
KONTEMPLASI TENTANG KEBANGKITAN (Lukas 24)
Dengan pengalaman pertobatan pribadi dan pengampunan dosa, mereka menerima anugerah baru: mengenal kehidupan baru Yesus dalam kepenuhan keabadian Bapa.
Hartono Budi SJ (Melayani WKICU 1994-2000)
“Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam” (Lukas 24:29).
Dengan kalimat ini, Kleopas dan sahabatnya meminta Yesus untuk sejenak lagi menyertai mereka. Yesus setuju dan duduk makan bersama mereka. Rupanya mereka membawa bekal cukup saat meninggalkan Yerusalem, tempat terakhir mereka berkumpul dengan Yesus. Bisa jadi setelah perjamuan malam terakhir, beberapa murid perempuan memberikan beberapa roti yang masih utuh tidak tersentuh karena perhatian mereka terpusat pada pesan terakhir guru mereka: “Inilah TubuhKu yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Lukas 22:19).
Sore itu di suatu tempat perhentian di kampung Emmaus, Yesus mengulanginya. Ketika itu terbukalahmata mereka dan merekapun mengenal Dia. Kleopas dan sahabatnya meninggalkan Yerusalem menuju Emmaus diliputi duka bercampur kekecewaan mendalam. Mereka menaruh pengharapan besar kepada Yesus.
Mereka sudah menyaksikan kehebatan Yesus yang nyata dalam kata dan tindakannya. Aman sudah mengikuti Yesus dan memilih jalannya, juga jika mesti meninggalkan segalanya. Namun semua hancur berantakan di bawah salib. Dapat dilihatnya tangan dan kaki Yesus yang dipaku dan lambungnya yang ditikam. Bagaimana mungkin? Mereka mengalami sendiri bahwa Yesus penuh kuasa, selayaknya seorang utusan Allah yang Mahakuasa dan mereka bahkan bisa ikut merasakan kedekatan relasi Yesus dengan Allah seperti seorang anak dengan orangtuanya yang sungguh menerima dan mengasihi. Di atas salib, Yesus masih dihujat: Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diriMu dan kami? (Lukas 23:39).
Sesudah menjawab sedikit, Yesus berkata: “Ya Bapa, ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu” (Lukas 23:46), dan ia wafat. Habis sudah segalanya. Segala harapan menjadi hampa, tidak berdaya, tinggal kenangan kosong.
Sore itu saat duduk makan, dihadapan mereka Yesus mengambil roti dan mengucap berkat seperti yang dilakukannya pada perjamuan terakhir. Kleopas dan sahabatnya rupanya mulai merasakan sesuatu. Hati dan pikirannya menjadi terang kembali. Mungkin sinar bulan juga jatuh tepat di meja mereka. Saat itu Yesus menyambung doanya dengan pemecahan roti. Saat Yesus memberikan cuilan roti kepada mereka rupanya mereka bisa melihat tangan Yesus seperti yang terakhir mereka lihat. Dengan bulat hati mereka mengenalinya kembali. “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati” (Lukas 24:5). Mereka pernah menganggap kesaksian para murid perempuan Yesus sebagai omong kosong. Itu pula yang dikatakannya kepada Yesus sementara mereka berjalan bersamanya menuju Emmaus. Yesus saat itu juga menjawab sedikit: Betapa lambannya hatimu. Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemulianNya? Ingatan mereka menjadi terang lagi. Karena pengalaman pribadi itu, Kleopas dan sahabatnya diubah menjadi saksi kebangkitan seperti para murid perempuan itu.
Kendati di Emmaus Yesus tidak lama menampakkan diri. Yesus menampakkan diri lagi kepada mereka dan para murid lain, kali ini dengan lebih dahulu memberi salam: “Damai sejahtera bagi kamu” (Lukas 24:36). Kleopas dan murid-murid lain masih juga terkejut dan takut, dikatakan seperti melihat hantu, dengan kata lain, masih tidak mengenalnya dengan jelas. Yesus memperlihatkan tangan dan kakinya,seperti yang terakhir mereka lihat di kayu salib.
Para murid tetap diliputi perasaan terkejut dan takut yang menghalangi mereka untuk percaya betul. Memang saat itu Yesus sudah hidup dalam keabadian Allah. Namun demikian, Yesus yang bangkit tetap ingin dikenal dekat oleh para muridnya, maka dengan penuh kesabaran Yesus mengundang mereka dalam perjamuan baru: “Adakah padamu makanan di sini?” Kali ini Yesuslah yang mendahului makan didepan mata mereka. Dengan demikian Kleopas dan para murid lain bisa melihat kembali gurunya saat makan bersama mereka, juga saat perjamuan terakhir yang sedemikian istimewa itu.
Lalu Yesus membuka pikiran mereka sehingga mereka mengerti Kitab Suci (Lukas 24:45) dan menambahkan: Dalam namaNya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem. Kleopas dan para murid Yesus sejak itu menjadi saksi kebangkitan dalam sukacita (Lukas 24:52). Mereka sudah menerima anugerah boleh mengenal Yesus dalam kehidupan mereka dan diikutsertakan dalam pelayanan Yesus di Galilea dan Yerusalem. Dengan pengalaman pertobatan pribadi dan pengampunan dosa, mereka menerima anugerah baru: mengenal kehidupan baru Yesus dalam kepenuhan keabadian Bapa.
Catatan untuk doa kita. Santo Ignatius Loyola mengingatkan bahwa dalam kontemplasi: melihat pribadi-pribadi itu, mendengarkan apa yang mereka katakan, mengamat-amati apa yang mereka kerjakan…lalu melakukan refleksi atas diriku sendiri dan mengambil buah dari itu (Latihan Rohani 194).
Mengenal Lebih Dekat St Bernadette dari Lourdes
Santa Bernadette dari Lourdes, c. 1858
Perawan, Bakti Religius
Terlahir : Bernadette Soubirous
Lahir
7 January 1844, Lourdes, Hautes-Pyrénées, Prancis
Meninggal
16 April 1879 (usia 35), Nevers, Nièvre, Prancis
Beatifikasi
14 June 1925, Rome, oleh Pope Pius XI
Kanonisasi
8 December 1933, Rome, oleh Paus Pius XI
Hari Raya / Pesta:
16 April
Patron
Berbagai Penyakit, Lourdes, Prancis, para gembala dan penggembala, melawan kemiskinan, orang-orang diejek karena iman mereka.
Bernadette Soubirous (7 Januari 1844 - 16 April 1879), (juga dikenal sebagai Santa Bernadette dari Lourdes, putri sulung Lourdes) terkenal karena mengalami penampakan dari seorang "wanita muda" yang meminta sebuah kapel untuk dibangun di dekat gua di Massabielle. Penampakan tersebut dikatakan telah terjadi antara 11 Februari dan 16 Juli 1858, dan wanita yang muncul di hadapannya mengidentifikasi dirinya sebagai "Dikandung Tanpa Noda".
Setelah penyelidikan kanonik, laporan Soubirous akhirnya dinyatakan "dapat dipercaya" pada tanggal 18 Februari 1862, dan penampakan Maria dikenal sebagai Our Lady of Lourdes. Sejak kematiannya, tubuh Soubirous tampaknya tetap tidak rusak secara internal. Kuil Maria di Lourdes kemudian menjadi situs ziarah utama, menarik lebih dari lima juta peziarah dari semua denominasi setiap tahun.
Pada 8 Desember 1933, Paus Pius XI, memproklamasikan Soubirous sebagai santa Gereja Katolik. Hari pestanya, yang awalnya ditetapkan 18 Februari (hari Maria berjanji untuk membuatnya bahagia, bukan dalam kehidupan ini, tetapi di masa depan) - sekarang dirayakan di sebagian besar tempat pada tanggal kematiannya, 16 April.
Tahap awal hidupnya
Marie Bernarde Soubirous adalah putri dari François Soubirous (1807–1871), seorang tukang giling, dan Louise (née Casteròt; 1825–1866), seorang binatu. Dia adalah anak tertua dari sembilan bersaudara — Bernadette, Jean (lahir dan meninggal tahun 1845), Toinette (1846–1892), Jean-Marie (1848–1851), Jean-Marie (1851–1919), Justin (1855–1865), Pierre (1859–1931), Jean (lahir dan meninggal tahun 1864), dan bayi bernama Louise yang meninggal segera setelah kelahirannya (1866).
Soubirous lahir pada 7 Januari 1844 dan dibaptis di gereja paroki setempat, St. Pierre's, pada 9 Januari, pada hari ulang tahun pernikahan orang tuanya. Ibu baptisnya adalah Bernarde Casterot, saudara perempuan ibunya, seorang janda cukup kaya yang memiliki kedai minuman. Masa-masa sulit menimpa Prancis dan keluarga itu hidup dalam kemiskinan ekstrem. Soubirous adalah anak yang sakit-sakitan dan mungkin karena ini tingginya hanya 1,4 m (4 ft. 7in.). Dia terjangkit kolera saat masih balita dan menderita asma parah selama sisa hidupnya. Soubirous menghadiri sekolah hari yang dipimpin oleh para Suster Cinta Kasih dan Instruksi Kristen dari Nevers. Berlawanan dengan kepercayaan yang dipopulerkan oleh film-film Hollywood, Soubirous sangat sedikit belajar bahasa Prancis, hanya belajar bahasa Prancis di sekolah setelah usia 13 tahun. Pada saat itu dia hanya dapat membaca dan menulis sangat sedikit karena dia sering sakit. Dia berbicara dalam bahasa Occitan, yang digunakan oleh penduduk lokal di wilayah Pyrenees pada waktu itu dan sampai tingkat yang tersisa sekarang (yang mirip dengan bahasa Catalan yang digunakan di Spanyol timur).
Pada saat kejadian di gua, status keuangan dan sosial keluarga Soubirous telah menurun ke titik di mana mereka tinggal di ruang bawah tanah satu kamar, yang sebelumnya digunakan sebagai penjara, yang disebut le cachot, "penjara bawah tanah", tempat mereka berada. ditampung secara gratis oleh sepupu ibunya, André Sajoux.
Pada 11 Februari 1858, Soubirous, yang saat itu berusia 14 tahun, sedang keluar untuk mengumpulkan kayu bakar bersama saudara perempuannya Toinette dan seorang teman di dekat gua Massabielle (Tuta de Massavielha) ketika dia mengalami penglihatan pertamanya. Sementara gadis-gadis lain menyeberangi sungai kecil di depan gua dan terus berjalan, Soubirous tetap di belakang, mencari tempat untuk menyeberang agar stokingnya tidak basah. Dia akhirnya duduk untuk melepas sepatunya untuk menyeberangi air dan menurunkan stockingnya ketika dia mendengar suara angin kencang, tetapi tidak ada yang bergerak. Namun, sekuntum mawar liar di ceruk alami di dalam gua benar-benar bergerak. Dari ceruk, atau lebih tepatnya ceruk gelap di belakangnya, "muncullah cahaya yang menyilaukan, dan sosok putih". Ini adalah yang pertama dari 18 penglihatan dari apa yang dia sebut sebagai aquero (diucapkan [aˈk (e) ɾɔ], Gascon Occitan) untuk "itu". Dalam kesaksian selanjutnya, dia menyebutnya "wanita muda kecil" (uo petito damizelo). Kakak perempuannya dan temannya menyatakan bahwa mereka tidak melihat apa-apa.
Pada tanggal 14 Februari, setelah Misa Minggu, Soubirous, bersama saudara perempuannya Marie dan beberapa gadis lainnya, kembali ke gua. Soubirous segera berlutut, mengatakan dia melihat penampakan itu lagi dan jatuh ke trans. Ketika salah satu gadis melemparkan air suci ke ceruk dan yang lain melemparkan batu dari atas yang pecah di tanah, penampakan itu menghilang. Pada kunjungan berikutnya, 18 Februari, Soubirous mengatakan bahwa "penglihatan" memintanya untuk kembali ke gua setiap hari selama dua minggu.
Periode penglihatan yang hampir setiap hari ini kemudian dikenal sebagai la Quinzaine sacrée, "dua minggu suci". Awalnya, orang tua Soubirous, terutama ibunya, merasa malu dan berusaha melarangnya pergi. Penampakan yang seharusnya tidak mengidentifikasi dirinya sampai penglihatan ketujuh belas. Meskipun penduduk kota yang percaya bahwa dia mengatakan yang sebenarnya mengira dia melihat Perawan Maria, Soubirous tidak pernah mengklaimnya sebagai Maria, secara konsisten menggunakan kata aquero. Dia menggambarkan wanita itu mengenakan kerudung putih, ikat pinggang biru dan dengan mawar kuning di setiap kakinya - cocok dengan "deskripsi patung Perawan di gereja desa".
Kisah Soubirous menimbulkan sensasi dengan penduduk kota, yang terbagi dalam pendapat mereka tentang apakah dia mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Beberapa percaya dia memiliki penyakit mental dan menuntut dia ditempatkan di rumah sakit jiwa.
Isi lain dari penglihatan yang dilaporkan Soubirous sederhana dan terfokus pada perlunya doa dan penebusan dosa. Pada tanggal 25 Februari dia menjelaskan bahwa penglihatan itu menyuruhnya "untuk meminum air dari mata air itu, untuk membasuhnya dan memakan ramuan yang tumbuh di sana," sebagai tindakan penebusan dosa. Yang mengejutkan semua orang, keesokan harinya gua tidak lagi berlumpur tetapi air jernih mengalir. Pada tanggal 2 Maret, pada tanggal tiga belas dari dugaan penampakan, Soubirous memberi tahu keluarganya bahwa wanita itu berkata bahwa "sebuah kapel harus dibangun dan prosesi dibentuk".
Penglihatan ke-16 Soubirous yang diklaim, yang dia nyatakan berlangsung selama lebih dari satu jam, adalah pada 25 Maret. Menurut keterangannya, selama kunjungan itu, dia kembali menanyakan nama wanita itu tetapi wanita itu hanya balas tersenyum. Dia mengulangi pertanyaan itu tiga kali lagi dan akhirnya mendengar wanita itu berkata, dalam Gascon Occitan, "Aku adalah Pembuahan Tak Bernoda" (Qué soï era immaculado councepcioũ, transkripsi fonetik dari konsepsi immaculada era Que soi).
Beberapa orang yang mewawancarai Soubirous setelah wahyu penglihatannya menganggapnya berpikiran sederhana. Namun, meskipun diwawancarai secara ketat oleh pejabat Gereja Katolik dan pemerintah Prancis, dia tetap konsisten pada ceritanya.
Setelah penyelidikan, otoritas Gereja Katolik mengkonfirmasi keaslian penampakan tersebut pada tahun 1862. Dalam 150 tahun sejak Soubirous menggali musim semi, 69 obat telah diverifikasi oleh Biro Medis Lourdes sebagai "tidak dapat dijelaskan" - setelah apa yang diklaim Gereja Katolik sebagai "pemeriksaan ilmiah dan medis yang sangat ketat" yang gagal menemukan penjelasan yang lain. Komisi Lourdes yang memeriksa Bernadette setelah penglihatan melakukan analisis intensif pada air dan menemukan bahwa, meskipun memiliki kandungan mineral yang tinggi, tidak ada yang luar biasa yang dapat menjelaskan pengobatan yang dikaitkan dengannya. Bernadette berkata bahwa iman dan doalah yang menyembuhkan orang sakit: "Seseorang harus memiliki iman dan berdoa; air tidak akan memiliki kebajikan tanpa iman".
Permintaan Soubirous kepada pendeta setempat untuk membangun kapel di lokasi penglihatannya akhirnya memunculkan sejumlah kapel dan gereja di Lourdes. The Sanctuary of Our Lady of Lourdes sekarang menjadi salah satu situs ziarah Katolik utama di dunia. Salah satu gereja yang dibangun di situs tersebut, Basilika St. Pius X, dapat menampung 25.000 orang dan didedikasikan oleh calon Paus Yohanes XXIII ketika ia menjadi Paus Nuncio di Prancis. Hampir 5 juta peziarah dari seluruh dunia mengunjungi Lourdes (populasi sekitar 15.000) setiap tahun untuk berdoa dan minum air ajaib, percaya bahwa mereka memperoleh kesembuhan tubuh dan roh dari Tuhan.
Tanpa memperdulikan perhatian yang dia terima, Bernadette pergi ke rumah sakit sekolah yang dikelola oleh Sisters of Charity of Nevers tempat dia belajar membaca dan menulis. Meskipun dia mempertimbangkan untuk bergabung dengan Karmelit, kesehatannya yang menghalangi dia untuk memasuki salah satu perintah kontemplatif yang ketat. Pada tanggal 29 Juli 1866, bersama 42 calon lainnya, ia mengambil kebiasaan religius sebagai seorang postulan dan bergabung dengan Suster-suster Charity di rumah induk mereka di Nevers. Nyonya Para Muridnya adalah Suster Marie Therese Vauzou. Ibu Superior pada saat itu mengurus nama Marie-Bernarde untuk menghormati ibu baptisnya yang bernama "Bernarde". Seperti yang diamati Patricia A. McEachern, "Bernadette berbakti kepada Saint Bernard, santo pelindungnya; dia menyalin teks yang berkaitan dengannya di buku catatan dan secarik kertas. Pengalaman menjadi 'Suster Marie-Bernard' menandai titik balik bagi Bernadette dia karena menyadari lebih dari sebelumnya bahwa rahmat besar yang dia terima dari Ratu Surga membawa serta tanggung jawab yang besar. "
Soubirous menghabiskan sisa hidupnya yang singkat di rumah induk, bekerja sebagai asisten di rumah sakit dan kemudian sebagai sakristan, membuat sulaman yang indah untuk kain altar dan jubah. Orang-orang sezamannya mengagumi kerendahan hati dan semangat pengorbanannya. Suatu hari, ketika ditanya tentang penampakan itu, dia menjawab:
Perawan menggunakan saya sebagai sapu untuk menghilangkan debu. Setelah pekerjaan selesai, sapu di depan pintu lagi.
Soubirous telah mengikuti perkembangan Lourdes sebagai tempat ziarah saat dia masih tinggal di Lourdes tetapi tidak hadir untuk konsekrasi Basilika Maria Dikandung Tanpa Noda di sana pada tahun 1876.
Sayangnya, serangan kolera di masa kecil meninggalkan Bernadette dengan asma kronis yang parah, dan akhirnya dia terjangkit TBC paru-paru dan tulang". Selama beberapa bulan sebelum kematiannya, dia tidak dapat minum obat. bagian aktif dalam kehidupan biara. Dia akhirnya meninggal karena penyakit jangka panjangnya pada usia 35 pada tanggal 16 April 1879 (Rabu setelah Paskah), saat berdoa rosario suci. Di ranjang kematiannya, saat dia menderita sakit parah dan sesuai dengan petunjuk Perawan Maria tentang "Penance, Tobat, Tobat," Bernadette menyatakan bahwa "semua ini baik untuk Surga!" Kata-kata terakhirnya adalah, "Santa Maria, Bunda Allah, doakan aku, orang berdosa yang malang, orang berdosa yang malang". Tubuh Soubirous dimakamkan di Biara Saint Gildard.
Penggalian
Relic Santa Bernadette dan batu dari Grotto of Lourdes, tempat penampakan Bunda Maria dari Lourdes dikatakan telah muncul.
Uskup Gauthey dari Nevers dan Gereja Katolik menggali jenazah Soubirous pada tanggal 22 September 1909, di hadapan perwakilan yang ditunjuk oleh para postulator penyebabnya, dua dokter dan seorang suster dari komunitas tersebut. Mereka mengklaim bahwa meskipun salib di tangannya dan rosario telah teroksidasi, tubuhnya tampak tidak rusak - diawetkan dari pembusukan. Ini dikutip sebagai salah satu keajaiban untuk mendukung kanonisasinya. Mereka memandikan dan menyatukan kembali tubuhnya sebelum dimakamkan di peti mati ganda yang baru.
Gereja menggali jenazah untuk kedua kalinya pada 3 April 1919. Seorang dokter yang memeriksa jenazah mencatat, "Tubuh itu praktis menjadi mumi, ditutupi dengan bercak jamur dan lapisan garam yang cukup menonjol, yang tampaknya adalah garam kalsium. Kulit telah menghilang di beberapa tempat, tetapi masih ada di sebagian besar bagian tubuh. "
Peninggalan seluruh tubuh dari Bernadette Soubirous. Foto diambil pada penggalian terakhir (18 April 1925). Orang suci yang meninggal 46 tahun sebelum foto ini diambil; wajah dan tangan ditutupi dengan lapisan lilin.
Pada tahun 1925, gereja menggali jenazah untuk ketiga kalinya. Mereka mengambil relik, yang dikirim ke Roma. Sebuah cetakan wajah yang tepat dibentuk sehingga firma Pierre Imans di Paris dapat membuat masker lilin berdasarkan cetakan tersebut dan pada beberapa foto asli untuk ditempatkan di tubuhnya. Ini adalah praktik umum untuk peninggalan di Prancis karena dikhawatirkan semburat kehitaman pada wajah dan mata serta hidung yang cekung akan dipandang sebagai korupsi oleh publik. Jejak tangan juga diambil untuk presentasi jenazah dan pembuatan cetakan lilin. Jenazahnya kemudian ditempatkan dalam relik emas dan kristal di Kapel Saint Bernadette di rumah induk di Nevers.
sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Bernadette_Soubirous
Mujijat di Lourdes
Apakah hatiku percaya oleh penampakan bunda Maria dan mujizat di Lourdes?
Apakah hatiku percaya oleh penampakan bunda Maria dan mujizat di Lourdes?
‘Our Lady of Lourdes’ adalah salah satu panggilan bunda Maria yang paling populer dan dihormati di Gereja Katolik dan di seluruh dunia. Pada 11 Februari 1858, seorang gadis muda petani Prancis bernama Bernadette sedang mengumpulkan kayu bakar bersama saudara perempuannya dan seorang teman di dekat tempat pembuangan sampah di kota Lourdes tempat mereka tinggal. Tiba-tiba, Bernadette melihat seorang wanita anggun muncul dengan rosario emas. Bernadette diundang untuk mulai berdoa Rosario bersama wanita itu, tanpa mengetahui siapa dia. Wanita itu meminta Bernadette untuk kembali ke Gua, dan setelah beberapa saat, dia mengungkapkan dirinya sebagai "Dikandung Tanpa Noda", yang merupakan sebutan yang asing bagi Bernadette karena kurangnya pendidikan. Hanya mereka yang belajar teologi yang dapat memahami arti kata ini, yang dapat menafsirkan bahwa wanita ini adalah Maria, Bunda Allah.
Mengikuti instruksi Bunda Maria, Bernadette menggali tanah, di mana Bunda Maria memberitahukan bahwa mata air penyembuhan akan ditemukan. Tak lama kemudian, para peziarah melakukan perjalanan untuk menemukan kebenaran klaim ini, dan banyak yang disembuhkan dari berbagai penyakit fisik. Saat ini, Lourdes adalah salah satu situs ziarah paling populer untuk mencari kesembuhan.
Apakah hati anda yang terdalam, percaya dengan penampakan dan mukjizat di tempat ini?
Berikut adalah 10 kisah mukjizat yang disetujui dan didokumentasikan oleh Gereja. Mari kita simak, semoga mukjizat-mukjizat ini menginspirasi dan menguatkan iman kita untuk tumbuh lebih dekat dengan Tuhan.
Catherine Latapie
Keajaiban pertama yang didokumentasikan di Lourdes terjadi pada tahun 1858 ketika Catherine Latapie tiba-tiba merasakan dorongan untuk melakukan perjalanan ke Lourdes untuk mencari kesembuhan. Dua tahun sebelumnya, dia jatuh dari pohon dan tangan kanannya terluka parah. Kecelakaan itu menyebabkan dua jarinya lumpuh total. Latapie bertemu Bernadette di gua dan dengan sangat sederhana mencuci tangannya di mata air kecil yang telah terbentuk. Seketika, kelumpuhan jari-jarinya hilang, dan dia bisa menggerakkannya seperti sebelum kecelakaan itu terjadi.
Louis Bouriette
Mukjizat yang paling sering dikutip terkait Lourdes terjadi pada Louis Bouriette, seorang pria berusia 55 tahun pada tahun 1858. Mata kanannya menjadi buta akibat ledakan ranjau (yang menewaskan saudaranya, yang berada di sisinya), Bouriette mengklaim bahwa dia segera pergi berdoa kepada "Our Lady of the Grotto" segera setelah Bernadette menggaruk tanah di tempat pembuangan. Dia mencuci mata kanannya berulang kali dan berdoa kepada Bunda Maria dengan sungguh-sungguh untuk kesembuhan. Setelah mandi, penglihatannya pulih sepenuhnya, dan pada tahun 1862 penyembuhannya diakui "berkarakter supernatural".
Blaisette Cazenave
Obat lain yang terkait dengan pemulihan penglihatan dikaitkan dengan Blaisette Cazenave, seorang wanita yang menderita konjungtivitis kronis dan infeksi yang membuat kelopak matanya bersisik dan sakit. Kondisinya diberi label tidak dapat disembuhkan ketika dia, pada usia 51, menggunakan air di Lourdes sebagai lotion di matanya. Segera, sisik jatuh dari kelopak matanya, dan penglihatannya benar-benar pulih. Bahkan rasa sakit dan peradangan yang dideritanya hilang seluruhnya.
Henri Busquet
Benar-benar testimoni yang inspiratif dari Henri Busquet baru berusia 16 tahun pada saat penyembuhannya. Menderita selama lebih dari setahun dengan demam yang dikaitkan dengan timbulnya tuberkulosis, Busquet juga menderita abses (bisul) di leher yang menjalar ke dada kanan, yang akhirnya ditusuk oleh dokternya, tetapi kondisinya semakin memburuk. Dia memohon kepada orang tuanya untuk melakukan perjalanan ke Lourdes, tetapi mereka menolak untuk membawanya. Dengan keyakinannya, dia berpaling kepada seorang tetangga dan meminta air penyembuhan dari Lourdes untuk diberikan kepadanya. Setelah dikembalikan kepadanya dengan botol berisi air suci, keluarga Busquet berkumpul untuk berdoa bersama saat balutannya diaplikasikan, yang direndam dalam air Lourdes. Setelah tidur malam itu, dia terbangun dan menemukan bahwa bisulnya telah mengering dan infeksinya telah hilang! Keajaiban diakui pada tahun 1862.
Justin Bouhort
Justin baru berusia 2 tahun ketika dia disembuhkan di Lourdes. Sejak lahir, ia dianggap sebagai "anak yang tidak berkembang," tidak bisa ditolong menurut standar medis. Sesaat sebelum orang tuanya membawanya ke Lourdes, Justin mengidap TBC dan hampir meninggal karenanya. Menggendong Justin kecil dalam pelukan, ibunya berjalan ke Grotto setengah putus asa, mengetahui bahwa dia dapat ditangkap pada saat itu, karena pada tahun 1858 ada periode waktu di mana masyarakat dilarang mengunjungi Grotto. Meski begitu, dan terlepas dari jeritan orang-orang yang lewat, dia berdoa di dekat batu dan kemudian memandikan Justin di lubang yang baru digali oleh para buruh. Saat dia berjalan pulang, menggendong tubuh Justin yang lemas, dia menyadari bahwa Justin masih bernapas dan kemudian tidur nyenyak sepanjang malam. Justin pulih sepenuhnya dan bahkan hidup untuk menghadiri kanonisasi St. Bernadette pada tahun 1933.
Serge Perren
Pada usia 35, Serge Perren didiagnosis dengan kondisi neurologis aneh yang memengaruhi penglihatannya dan terkadang membuatnya tidak sadarkan diri. Setelah dirawat di rumah sakit saraf pada tahun 1964, ia terus mengalami kemunduran hingga kebutaan total dan episode pingsan yang berulang. Prognosisnya suram. Dengan dorongan imannya, Perren melakukan ziarah ke Lourdes pada tahun 1969, tetapi dia kembali tanpa kemajuan dalam penyembuhan apa pun. Karena putus asa, dia melanjutkan pengobatan, tetapi dianggap tidak ada harapan menurut standar medis. Namun, setelah desakan istrinya, dia kembali ke Lourdes pada tahun 1970 hanya untuk menenangkannya. Setelah menerima Sakramen Orang Sakit, dia langsung merasakan sensasi fisik di tubuhnya dan bisa melihat, walau belum sepenuhnya. Mujizat terjadi secara bertahan dan mencapai kepulihan total. Tak lama kemudian, biro medis Lourdes mengakui penyembuhan ini.
Vittorio Micheli
Vittorio Micheli adalah seorang prajurit di Korps Alpine dan menghabiskan banyak waktu di rumah sakit militer setelah dinyatakan menderita sarkoma yang tidak dapat diobati dan tidak dapat dioperasi di pinggul kirinya. Dokter dan ahli bedah mencoba secara medis yang ada selama tahun 1962, tetapi tidak berhasil. Setelah setahun penuh di rumah sakit, pinggul Micheli benar-benar memburuk. Meski begitu, ia memilih berziarah ke Lourdes bersama keuskupannya pada tahun 1963. Setelah mandi di mata air dari pinggul hingga kaki dengan gips, tidak ada perubahan sesaat pada pinggul Micheli. Namun, Micheli kembali ke rumah sakit militer setelah ziarah berakhir, di mana pada saat itu berbagai rontgen dan tes dengan jelas menunjukkan perbaikan fisik di pinggulnya! Dan medis mengklim ini adalah rekonstruksi pinggul yang luar biasa. Sebagai ucapan syukur, Micheli kembali ke Lourdes setiap tahun sejak 1963.
Jean-Pierre Bely
Dinyatakan cacat total pada usia 51, Jean-Pierre Bely melakukan ziarah ke Lourdes pada tahun 1987. Jean-Pierre lumpuh oleh ‘multiple sclerosis’ dan tidak ada kemajuan medis sejak 1972. Tanpa putus asa, dengan iman yang teguh pada Bunda Maria saat melakukan ziarah dan kemudian dikonfirmasi oleh kesembuhan ajaibnya. Banyak orang yang menemaninya ke Lourdes percaya dia akan meninggal sebelum menyelesaikan ziarahnya. Dia menerima Sakramen Orang Sakit ketika sampai di Lourdes. Dan bisa segera berjalan dan sejak itu dinyatakan sembuh total.
Anna Santaniello
Setelah mengunjungi Lourdes pada tahun 1952, Anna Santaniello melaporkan kesembuhan total dari penyakit fatal yang dideritanya sejak masa kanak-kanak, rematik jantung. Penyakit tersebut telah merenggut nyawa dua saudara kandungnya, sehingga prognosisnya sangat mengerikan. Pada saat berziarah ke Lourdes, Santaniello berusia 42 tahun. Pada tahun 1964, Gereja menyatakan kesembuhannya sebagai "penyembuhan luar biasa", dan secara resmi ditambahkan ke daftar mukjizat Lourdes pada tahun 2004.
Serge Francois
Ini adalah salh satu mukjizat di Lourdes baru-baru ini yang diakui Gereja, terjadi ketika Serge Francois, pada usia 56 tahun, berziarah ke Lourdes untuk penyembuhan. Kaki kirinya hampir tidak bisa bergerak sama sekali setelah dua operasi. Seperti kebanyakan peziarah, Francois membasuh wajahnya dan meminum air dari mata air di Lourdes pada bulan April 2002, di mana penyembuhan di kakinya mulai terjadi. Setelah sembuh total pada tahun 2003, Francois mendekati dewan medis di Lourdes untuk menyelidiki klaimnya, yang disetujui pada tahun 2011 oleh Uskup Emmanuel Delmas dari Angers, Prancis.
Message from Pope Francis
The One who “humbled himself and became obedient unto death, even death on a cross” - Phil 2:8
Dear Brothers and Sisters,
Jesus revealed to his disciples the deepest meaning of his mission when he told them of his passion, death and resurrection, in fulfilment of the Father’s will. He then called the disciples to share in this mission for the salvation of the world.
In our Lenten journey towards Easter, let us remember the One who “humbled himself and became obedient unto death, even death on a cross” (Phil 2:8).
During this season of conversion, let us renew our faith, draw from the “living water” of hope, and receive with open hearts the love of God, who makes us brothers and sisters in Christ.
At the Easter vigil, we will renew our baptismal promises and experience rebirth as new men and women by the working of the Holy Spirit.
This Lenten journey, like the entire pilgrimage of the Christian life, is even now illumined by the light of the resurrection, which inspires the thoughts, attitudes and decisions of the followers of Christ.
Fasting, prayer and almsgiving, as preached by Jesus (cf. Mt 6:1-18), enable and express our conversion. The path of poverty and self-denial (fasting), concern and loving care for the poor (almsgiving), and childlike dialogue with the Father (prayer) make it possible for us to live lives of sincere faith, living hope and effective charity.
Rome, Saint John Lateran, 11 November 2020, the Memorial of Saint Martin of Tours
Bekerja dan Bekerja
“Berkatku selalu cukup untuk semua orang yang percaya dan berserah kepadaku”
Teringat ketika masa menjelang remaja,..dalam beberapa kesempatan saya ingin mengajak teman-teman saya bermain, tetapi mereka tidak bisa. Umumnya karena mereka harus membantu pekerjaan orang tua mereka. Jadi saya terpaksa harus bermain sendiri, sambil berpikir,.. mengapa dalam hidup ini orang harus terpaksa bekerja.
Ketika masa SMP dan SMA,.. sebaliknya saya yang tidak pernah punya waktu bermain dengan teman-teman saya. Itu karena di luar jam sekolah, setiap hari saya harus membantu pekerjaan orang tua. Saya senang membantu pekerjaan orang tua saya, tetapi setelah beberapa kali terpaksa tidak bisa ikut acara bersama teman-teman, saya kembali menjadi sering bertanya dan protes dalam hati, mengapa waktu harus dihabiskan untuk bekerja. Tentu, saat itu saya sudah mulai mengerti bekerja itu untuk menghasilkan income, dan tanpa income maka tidak akan punya uang untuk membeli makanan dan berbagai keperluan hidup keluarga.
Tetapi tetap saja saya bertanya kepada Tuhan, mengapa orang harus bekerja. Atau lebih tepatnya, mengapa pekerjaan menjadi bagian yang begitu menyita waktu dalam kehidupan seseorang.
Saya melihat pagi-pagi orang sudah terburu-buru ke pasar, membuka toko mereka. Mereka juga makan siang di sana, di tempat yang sempit bahkan sambil melayani calon pembeli. Mereka baru kembali ke rumah ketika hari sudah sore menjelang malam. Saya tahu mereka tidak pernah mengeluh, tetapi... tidak adakah yang lebih penting dari income dan pekerjaan dalam hidup ini ?. Apakah tujuan hidup yang terutama dalam hidup ini adalah bekerja ?. Apakah benar, seperti itu yang Tuhan mau ?.
Sekarang setelah dewasa, saya juga menjadi mengerti ada begitu banyak orang yang tidak bahagia dengan pekerjaanya, tetapi tetap bertahan melakukannya karena memang tidak punya pilihan lain.
Yang lebih parah lagi, ada begitu banyak orang yang kehilangan pekerjaan di saat kebutuhan hidup begitu memaksa. Juga tak terhitung banyaknya anak muda yang tidak pernah berkesempatan memiliki sebuah pekerjaan tetap padahal mereka sangat ingin sekali mulai bekerja. Padahal mereka sudah harus bekerja.
Tuhan,.. bagaimana saya harus memandang pekerjaanku di hadapanMu?.
Lembut kudengar ..
Tuhan ingin manusia bersyukur atas pekerjaan yang dijalaninya, atas peran sosial ekonominya masing-masing di dalam keluarga dan masyarakat. Dengan menyadari bahwa semua pekerjaan dan usaha adalah berkat yang datang dari Tuhan, maka selayaknyalah kita membawa pekerjaan dan semua usaha kita itu sebagai bentuk doa dan persembahan kepada Tuhan. Maka ada syukur di dalamnya, ada kedamaian. Rasa syukur dan kedamaian dalam bekerja itu, membuat kita bekerja dengan sepenuh hati. Pekerjaan yang dijalani dengan sepenuh hati sungguh mendatangkan kebahagiaan.
Tetapi Tuhan, ......?! tanyaku lagi
Saya sudah rajin bekerja,.. tetapi income saya tidak pernah cukup, uang saya jauh dari cukup. Saya belum bisa hidup aman dan terbebas dari beban finansial. Engkau juga tahu, ada begitu banyak orang yang ingin saya bantu. Mereka yang ingin bekerja tetapi tidak punya pekerjaan, mereka yang tidak punya rumah untuk berteduh, mereka yang kelaparan dan sakit. Mereka yang mau bekerja apa saja sampai-sampai tidak tahu lagi apa tujuan hidup mereka selain untuk bekerja. Tuhan, mengapa orang harus bekerja baru bisa hidup ?.
Lembut kudengar..
“Berkatku selalu cukup untuk semua orang yang percaya dan berserah kepadaku”
Buanglah angan-angan bahwa kamu patut dan berhak atas hidup yang problem-free. Sebagian darimu masih selalu mengharap mujijat agar semua kesulitan hidup dapat teratasi. Ini adalah harapan yang salah !. Seperti yang kukatakan kepada murid-muridKu, dalam dunia kamu akan mengalami masalah dan kesulitan. Tautkan harapanmu bukan untuk memecahkan permasalahan hidup di dunia, tetapi terlebih kepada janji kehidupan kekal di Sorga. Daripada mencari kesempurnaan dalam dunia yang fana ini, curahkanlah segenap hati dan kekuatanmu dalam pencarian akan daku: Yang Sempurna.
Adalah mungkin bagimu untuk menikmati berkatKu dan memuliakan Aku di tengah keadaan-keadaan yang sulit. Sesungguhnyalah, lewat orang beriman yang percaya kepadaku, sinarku akan memancar terang di tengah-tengah kegelapan. Percaya yang seperti itu sungguh supernatural: buah-buah Roh Kudus yang bekerja dan bersemayam di hati. Saat semuanya tampak tidak beres dan salah, tetaplah percayalah kepadaku. Tidaklah Aku lebih tertarik kepada keadaan yang baik-baik saja, melainkan kepada sikap hati dan tanggapan benar atas apapun yang datang dalam hidupmu.
Newark, Jan 2021
Love in the Time of Covid-19
Kita adalah manusia rapuh, tapi kita adalah anak-anak Allah yang mempunyai kemampuan mencintai sama seperti Yesus mencintai.
Rm. Effendi Kusuma Sunur, SJ
Siapakah dari Anda yang pernah membaca novel Gabriel García Márquez, pemenang Nobel Sastra di tahun 1982, yang berjudul “Love in the Time of Cholera”, atau, paling tidak menontonnya di film dengan judul yang sama? Singkatnya, dikisahkan dua sejoli Florentino Ariza dan Fermina Daza yang saling jatuh cinta dan mabuk kepayang sehingga dunia ini adalah milik mereka berdua. Namun apa daya, ayah sang gadis tak merestui dan mereka harus berpisah kota. Sang gadis, Fermina pada akhirnya menyadari bahwa cintanya kepada Florentino tidak realistis dan lebih memilih seorang dokter yang mempunyai reputasi tinggi, terhormat dan kaya-raya, Juvenal Urbino. Fermina tahu bahwa ia tak mencintai Juvenal, namun bujukan ayahnya membuatnya menerima orang terhormat itu sebagai suaminya. Juvenal sebagai dokter memunyai komitmen untuk memberantas kolera pada zamannya adalah orang yang terhormat dan tampak sangat disiplin. Walaupun demikian, akhirnya ia mengakui kegagalannya, yakni ia pernah melakukan perselingkuhan dalam perkawinannya. Fermina tetap melanjutkan hidupnya dengan Juvenal lengkap dengan segala jatuh-bangunnya sebuah perkawinan.
Florentino sendiri patah hati namun bersumpah untuk setia kepada Fermina. Walau dia menampakkan diri sebagai seorang “playboy” dengan menjalin relasi dengan ratusan perempuan, Florentino memutuskan untuk menyimpan Fermina di sudut hatinya yang paling dalam, yang tak mungkin diraih oleh siapapun. Ketika Juvenal meninggal, Florentino yang sudah berpisah dari Fermina sekitar lima dekade, mendekati Fermina dan memohon untuk menerimanya sebagai pasangan hidupnya. Walau sempat ragu, Fermina akhirnya menerima Florentino sebagai pasangan dan cinta sejatinya. Terpisah dalam waktu lima dekade dan ditawari begitu banyak kemungkinan serta dihantui ketidakpastian, Florentino tetap berpegang teguh pada apa yang diyakininya: Fermina adalah cinta sejatinya.
Kita yang ada di dalam masa pandemi ini juga melihat karya fiksi ini sebagai sesuatu yang dekat dengan kita. Bukan karena kita mempunyai kesamaan atau kemiripan dengan cerita Florentino atau Fermina, tetapi kita diajak untuk merenungkan cinta yang sejati sekaligus manusiawi sebagaimana yang ditunjukkan oleh Florentino dalam masa adanya penyakit yang mendesak ditangani. Sejati karena dia memelihara komitmen untuk tetap mencintai Fermina dengan segala kemuraman hidup; dan manusiawi karena segala keinginan luhurnya bercampur dengan segala hasrat kelelakiannya untuk bisa mendapatkan pasangan, walau sementara. Fermina pun tak lepas dari kemanusiaannya. Ia memilih seseorang yang tidak dicintainya demi kemapanan hidup. Dari dua sosok ini, tampak bahwa manusia, kita semua, mampu mencintai dalam berbagai tingkatan. Juga, seberapa mampunya kita mencintai dapat diukur dari cara kita bertindak dan berpikir saat ancaman dan ketidakpastian dalam hidup hadir.
Dalam tradisi kristiani, ada setidaknya 4 macam cinta, yakni eros, storge, filia dan agape. Eros adalah cinta yang sensual dan romantis, yang kalau sudah melekat, mampu membuat “tahi kambing serasa coklat.” Ini adalah jenis cinta yang sering kita lihat ketika seseorang mengalami jatuh cinta kepada lawan jenisnya. Storge adalah cinta yang kepada keluarga, sebuah kecondongan alamiah untuk mencintai mereka yang berkerabat dekat seperti orangtua kepada anak-anaknya. Filia adalah rasa cinta kepada sahabat dan kerabat dan agape adalah cinta tak bersyarat, yang memberikan diri untuk orang yang dikasihinya.
Pandemi ini juga menguji kadar dan tingkatan cinta kita. Di tengah banyak keadaan yang tak ideal: kehilangan pekerjaan, berkurangnya pendapatan, bahaya penularan, sakit dan kematian menjadi sesuatu akrab tetapi tetap menakutkan. Kolera, pes hitam, flu spanyol, atau covid adalah sebuah situasi yang mengancam serta membuat kita tak lagi merasa nyaman dan aman. Tepat di sinilah manusia seperti apa kita ditentukan kemampuan kita untuk mencintai, dan tentunya cinta yang tidak biasa-biasa saja. Bukan cinta sensual dan romantis, bukan juga hanya storge yang memang secara alamiah melekat pada kita. Tapi cinta dalam jenis filia dan tentunya cinta yang dalam pengertian agape. Yesus pernah berkata, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13). Ini adalah cinta yang filia sekaligus agape di mana cinta kepada sahabat bercampur dengan sebuah pemberian diri sampai tuntas, yakni pemberian kehidupan itu.
Kita adalah manusia rapuh, tapi kita adalah anak-anak Allah yang mempunyai kemampuan mencintai sama seperti Yesus mencintai. Pandemi, situasi yang merongrong kerapuhan kita, dan saat ini, cinta kita diuji bukan hanya dengan ancaman bahaya sakit dan kematian tetapi juga ketidakpastian akan bangkitnya ekonomi global kita yang terpuruk. Inilah saatnya cinta kita diukur, bukan oleh orang lain, tetapi oleh diri kita sendiri. Bahaya dan ketidakpastian menantang kita untuk bisa semakin mencintai sebagaimana Yesus melakukannya dalam hidupnya. Bahkan ketika bahaya kematian mendatangiNya, Yesus tidak melarikan diri tetapi menghadapinya dengan pemberian diri seutuhnya. Bahkan ketika ia merasa ditinggalkan oleh murid-murid yang sekaligus sahabat-sahabatNya, Ia tidak menjadikan kekecewaan dan ketakutanNya sebagai alasan untuk membenci mereka. Ia menjawab mereka dengan memikul salibNya sampai ke Golgota dan menyerahkan diriNya, hidupNya di sana yang merupakan lambang aib bagi sebagian besar orang. Kisah cinta manusiawi ditunjukkan oleh Yesus, dan cinta manusiawi kita bisa mencapai apa yang disebut sebagai cinta ilahi sebagaimana yang ditunjukkan oleh Yesus.
Kita akan segera merayakan Imlek, Valentine dan memasuki masa prapaskah di dalam pandemi ini. Valentine sebagai hari merayakan cinta hendaknya tidak dilihat sebagai sebuah perayaan eros, cinta romantis dan sensual belaka. Imlek juga hendaknya tidak dilihat semata perayaan cinta yang disebut storge semata. Justru di masa pandemi ini, ketika bahaya sakit dan kematian serta ketidakpastian menghantui hidup kita, ada sebuah ajakan untuk belajar mencintai melampaui masa-masa normal. Ada berkat terselubung dalam bahaya dan ketidakpastian, yakni kita semakin mengerti kemampuan mencintai kita dan belajar mencintai lebih dari sebelumnya. Kita diajak untuk mencintai lebih dari cinta romantic dan kekeluargaan, tapi juga cinta dalam persahabatan dengan semua orang dan cinta yang sanggup membuat kita mengorbankan diri demi kebaikan dan kebahagiaan yang lain.
Mungkin kita bisa menggunakan masa prapaskah sebagai masa belajar mencintai seperti Yesus. Dengan solidaritas dan berbela rasa kepada mereka yang paling kurang di antara kita, bukan hanya kurang dalam hal material tetapi juga yang immaterial. Bukan kepada orang-orang tertentu saja tetapi kepada siapapun yang paling dipinggirkan, dipojokkan, dan tidak dipedulikan. Dengan demikian, cinta kita menjadi cinta yang semakin universal, yang menembus tembok-tembok dan pembatas yang ada dalam pikiran kita. Cinta universal itu adalah cinta Yesus, dan kita mau mengikutiNya secara lebih dekat dan mencintaiNya secara lebih dalam.
Selamat merayakan Imlek, Valentine dan memasuki masa prapaskah!!
Acara Apresiasi dan Farewell Virtual untuk Romo Hendri SJ.
Acara Apresiasi dan Farewell Virtual untuk Romo Hendri SJ.
WKICU mengadakan acara Apresiasi dan Farewell Virtual untuk Romo Stefanus Hendrianto, SJ yang akan bertugas mengajar di Gregoriana Pontifical University di Roma. Untuk melihat rekaman acara tersebut, umat bisa klik video di bawah ini atau klik link ini ke WKICU YouTube Channel.
Catatan: Jika mau melihat video rekaman dari G-Drive WKICU Events: click link ini.
Kisah Petualangan Seorang Anak Dari Tanah Dayak Mengejar Impian Amerika
Hanya satu hal yang penting : hubungan kita dengan Tuhan. Semoga kalian dan keluargamu dapat menghayati keberadaan Tuhan dalam hidupmu sehari-hari.
Kisah Petualangan Seorang Anak Dari Tanah Dayak
Mengejar Impian Amerika
oleh Hok-Kan Lim
Desember, 2020
Castro Valley, California USA
Daftar Isi :
1.Kata pengantar: Kisah Petualangan …
2.Samarinda: 1934 – 1948
3.Bandung 1: 1948 – 1954
4.Jakarta, FKUI: 1954 – 1960
5.Bandung 2, FK-UNPAD: 1963 – 1966
6.San Francisco, UCSF: 1966 – 1972
7.Kuala Lumpur 1: 1972 – 1974
8.Pacifica: 1974 – 1980
9.Kuala Lumpur 2: 1977 – 1979
10.Yountville, Veterans Home: 1982 – 1998
11.Castro Valley: 1998 - kini
12.Meneropong kembali
1. Kata pengantar: Kisah petualangan seorang anak dari Tanah Dayak mengejar impian hidup layak di benua Amerika.
Ola kawan-kawan dan keluarga. Semoga cerita singkat ini menemukan kalian semua dalam keadaan sehat walafiat. Baru-baru ini saya jatuh sakit … dapat stroke ringan. Syukurlah dengan bantuan doa-doa kalian, serta berkat kemurahan hati YME, kesehatan saya berangsur-angsur pulih kembali. Saya sudah dapat mandi sendiri, dan bergerak dalam rumah dengan bantuan tongkat atau walker. Nafsu makan juga mulai kembali, dan fungsi badan lainnya baik. Selama di rumah sakit dan rebah dalam rumah sendiri, banyak kesempatan untuk meneropong sejarah hidup saya. Tuhan membolehkan saya 86 tahun lebih. Ada beberapa pelajaran yang ingin saya bagikan kepada kalian, Yang terpenting adalah : untuk menyadari akan keberadaan Tuhan dalam hidup sehari-hari. Perkenankan saya menguraikan lebih terperinci.
2. Samarinda: 1934 - 48
80 tahun yang lalu, dalam ingatan saya, suatu hari saya rebah celentang dalam parit yang digali sekitar pinggiran sekolah... menonton beberapa pesawat tempur Dai Nippon menukik dan menghamburkan bom pada kota Samarinda. Inilah sebuah kota kecil di Kalimantan Timur. Tapi rupanya ada nilai strategis karena ada batu bara serta sumber listrik. Terdengar juga dentuman meriam di bukit sekitarnya, tanda perlawanan tentara Belanda. Tidak lama lagi pasukan darat Jepang memasuki kota. Sebagian besar penduduk kota mengungsi ke dalam hutan sekitarnya. Keluarga saya bergabung dengan beberapa keluarga lain; menyewa beberapa rumah bambu dari penduduk setempat. Kami belajar bercocok tanam dan beternak ayam dan kambing. Singkong adalah makanan utama. Pohonnya dipotong-potong sepanjang 10 cm, lalu dimasukkan dalam tanah. Tidak lama lagi akarnya dapat dimasak. Daun singkong juga enak, terutama daun mudanya. Dalam sungai di dekat perumahan banyak ikan. Anak-anak sungai mengandung air jernih. Dapat kita lihat pada dasarnya banyak udang dan ikan belut. Hampir tiap hari saya bermain dalam air: mendayung sampan, berenang, memancing, dan mandi di bawah air mancur. Malam hari rebah di lantai di atas rumput kering sambil menghitung bintang-bintang di langit. Paginya dibangunkan oleh kokokan ayam. Inilah salah satu masa terbaik bagi seorang anak kecil. Lebih-lebih lagi tidak adanya PR (Pekerjaan Rumah) dari sekolah. Setelah keamanan kembali dalam kota kami pulang kerumah masing-masing. Saya mulai lagi bermain dengan kawan-kawan sekampung: sepak bola, kasti, berenang. Saya masuk sekolah Jepang. Belajar kanji dan bernyanyi Kimigayo tiap pagi. Serta berteriak “ banzai, banzai, banzai “. Semua anak sekolah harus membantu menanam pohon jarak; bijinya menghasilkan minyak yang dapat membantu usaha perang sang saudara tua. Semua besi dan aluminum juga disita. Untunglah penjajahan Jepang tidak lama. Pasukan Sekutu tiba. Sekolah Belanda dibuka kembali. Sekarang namanya herstel school. Tiap 6 bulan naik kelas. Dan tibalah saat perpisahan.
3. Bandung 1: 1948 - 1954
Di Samarinda tidak ada sekolah menengah. Jadi saya harus ke Jawa. Ayah menyertai saya ke Balikpapan dengan kapal laut. Dari situ saya terbang sendiri ke Jakarta, kemudian ke Bandung dimana saya akan tinggal dengan sepupu saya yang baru berkeluarga. Saya tinggal di Jalan Windu, dan bersekolah naik sepeda ke Jalan Bahureksa (Christelijke Middelbare School), diteruskan Di SMAK - Jalan Dago. Masa sekolah menengah di Bandung adalah salah satu periode mengesankan bagi saya. Dunia luas terbuka. Saya belajar tentang angka-angka, bintang serta alam, sejarah manusia dan tanah di dunia. Akan bahasa dan agama. Terutama akan persahabatan dan kegembiraan masa remaja. Teman-teman sekelas sangat ramah. Kami sering kumpul-kumpul omong kosong, nonton bioskop di daerah Alun-alun, mundar-mandir di jalan Braga (Bragaderen), nongkrong di pondok sate atau lotek Kalipah-apoh dan berenang serta piknik ramai-ramai. Jangan lupa tiap beberapa bulan sekali tunggang-langgang jatuh cinta monyet. Saya lihat hampir semua film Tarzan, Zorro, Gene Autry. Nyanyian yang saya gemari adalah: White Christmas, South of the Border, Always in my Heart, Beyond the Reef. Down in the Valley. Di Daerah Alun-alun banyak kios buku. Saya sering mampir untuk menculik membaca komik. Juga ada beberapa toko buku yang menyewakan buku-buku silat dekat restoran Queen. Jadi saya sering nongkrong di Queen. Juga berkenalan dengan Winnetou dan Count of Monte Cristo dan banyak cerita koboi. Demikianlah masa sekolah menengah berlalu cepat. Tiba pula waktu perpisahan. Sebelumnya kami sekelas telah mengumpulkan kenang-kenangan dalam sebuah naskah ‘ IIB memoirs 1953 ‘ yang memuat tulisan semua kawan sekelas. Saya pindah ke Jakarta FKUI ; banyak teman ke lain kota , atau bersekolah di ITB.
4. Jakarta, FKUI : 1954-1960
Saya anak pertama keluarga kami yang bersekolah tinggi. Tidak ada tetua yang memberi petunjuk akan kehidupan mahasiswa. Maka saya terombang-ambing dalam kegaduhan hidup mahasiswa. Saya menjadi anggota PMKRI. St Bellarminus; juga giat dalam kepanduan Lo Pa Hong. Di Kongregasi Maria saya terpilih sebagai ketua, memimpin sekitar 250 kawan seiman. Dalam semua kegiatan ini saya berkenalan dengan seorang siswi fakultas psikologi. Sering bertemu pada rapat-rapat. Dia memacu scooter, sedang saya naik sepeda. Saya tawarkan untuk menjadi supirnya. Tidak tersangka saya lalu jadi supirnya seumur hidup. Sementara pelajaran di FKUI jadi terlantar. Di tahun 1957 saya dikeluarkan dari fakultas. Ini berhubung penggantian kurikulum. Biasanya kurikulum warisan Belanda adalah 7 tahun untuk menjadi dokter. Dengan petunjuk Universitas California San Francisco, kurikulum diubah menjadi 6 tahun. Tiap tahun harus naik tingkat. Tapi hanya ada tempat untuk 150 mahasiswa. Waktu itu tingkat I ada sekitar 800 siswa; jadi sekitar 650 dikeluarkan. Dan saya termasuk mayoritas Syukurlah dibuka arah pendidikan baru, untuk melatih pengajar-pengajar dalam bidang preklinik. Saya masuk jurusan parasitologi, di bawah pimpinan Prof. Lie Kian Joe, dan selesai sarjana tahun 1960. Lalu bekerja sebagai asisten di bagian parasitologi. Disinilah mulai pengalaman penyelidikan saya. Segala kesibukan dalam PMKRI dan Lo Pa Hong akhirnya membawa hasil baik : gadis idaman … Grace Khouw. Kami menikah 1962 di kapel sekolah Kanisius, jalan Menteng, dengan upacara dipimpin Romo W. Daniels, Bapak pengakuannya Grace. Kawan dari kepanduan membuat barisan kehormatan. Pesta resepsi di hotel Nirmala, dengan pemain piano ulung, Nick Mamahit serta bandnya untuk meriahkan. Kemudian kami tinggal di kampus FKUI, dalam rumah binatang yang berada di belakang kamar mayat. Gedung ini ada ceritanya sendiri. Waktu itu Prof mendapat grant dari US China Medical Board untuk mendirikan sebuah pusat penelitian parasitologi; pemerintah Indonesia membantu menyediakan gedung. Prof Lie membangun ruang kuliah dan laboratorium untuk 200 siswa; lalu fasilitas penelitian untuk asisten nya. Dibangun juga rumah binatang untuk hewan percobaan. Tapi gedung ini diubah menjadi 4 kamar dengan kamar mandi tersendiri, dapur bersama dan ruang tamu luas. Prof membolehkan asistennya tinggal di situ. Saya berdiam di situ 2 tahun; satu tahun sebelum menikah dan satu lagi bersama Grace. Ayke, anak pertama kami lahir di rumah sakit umum, di sebelah rumah. Saya berkenalan dengan anak sulung ini melalui rambutnya yang hitam menonjol perlahan-lahan. Lalu semuanya gelap …listrik mati. Rumah sakit perlu sedikit waktu untuk menghidupkan generator cadangan. Sementara itu sang bayi tidak sabar…ingin keluar. Maka dokternya minta saya pegang batteri (senter) waktu dia mengerjakan episiotomy. Selamat lahir Ayke. Ayke belajar merangkak di rumah itu. Lalu kami pindah ke jalan Buntu Tiangseng, di daerah kota, dimana kakak saya mempunyai rumah sederhana. Gaji saya kecil; Grace juga bekerja sebagai assisten Fakultas Psikologi. Jadi kami dapat 2 karung beras tiap bulannya. Tunjangan pemerintah. Tidaklah kelaparan. Tapi saya masih penasaran akan sekolah kedokteran. Maka saya menghadap Dekan FK UNPAD, Dr Hasan Sadikin. FK UNPAD baru dibuka dan memerlukan banyak pengajar. Saya menawarkan untuk membantu jurusan parasitologi, tapi setelah 2 tahun saya ingin diterima sebagai mahasiswa kedokteran. Dekan setuju dan tahun 1963 kami pindah ke Bandung.
5. Bandung 2, FK-UNPAD: 1963 -1966
Sebagai staf pengajar fakultas maka saya berhak untuk dapat perumahan. Sayangnya UNPAD tidak cukup perumahannya. Maka banyak staf pengajar tinggal di hotel termasuk makan. Tapi gaji ditahan sebagian besar, dan diberi uang saku (cukup untuk seminggu). Untunglah Grace juga bekerja di Fakultas Psikologi. Dia juga membuka klinik untuk anak-anak remaja . Lalu usaha membuat baju anak (konveksi) dengan seorang kawannya. Kami tinggal di hotel Jutimto dekat rumah sakit Borromeus. Robby lahir dirumah sakit itu. Raymond lahir di rumah bersalin Suster Liem di jalan Riau. Saya sibuk mengajar parasitologi. Kemudian menjadi siswa kedokteran. Setahun lagi saya akan selesai. Inikah rencana Yang Maha Esa? Saya menyadari kemampuan saya terbatas. Cita-cita dokter umum tidak serasi. Saya lihat banyak kawan yang bekerja keras mengumpulkan uang, bekerja di rumah sakit dan praktek di rumah. Saya tidak tertarik. Lebih cenderung ke jurusan penelitian ; seperti yang dicontohkan Prof. Lie. Tapi di Indonesia, untuk bekerja di bidang riset perlu biaya besar. Pemerintah RI belum berpikir ke arah itu. Di Eropa atau Amerika lebih banyak kemungkinan. Grace banyak membaca tentang Amerika. Maka kami memutuskan untuk hijrah keluar negeri. Kebetulan Amerika Serikat membuat undang-undang imigrasi baru di tahun 1965. Ditandatangani Presiden Johnson. Undang-undang baru itu membolehkan orang bukan berasal Eropa, untuk imigrasi ke Amerika. Maka kami mengajukan permohonan. Ini diterima tidak terlalu lama lagi. Tapi visa hanya dikeluarkan bila dapat memenuhi satu dari 3 syarat: 1. ada pekerjaan di Amerika, 2. adanya sponsor atau, 3. punya banyak dana sendiri. Kami tidak dapat memenuhi salah satu syarat itu. Harapan terbesar ialah adanya sponsor. Tapi dimana mendapatkannya? Tunggu terjadinya mujizat. Dan Tuhan memberkati kami dengan mukjizat. Kami telah pindah ke Jakarta; siap-siap untuk terbang keluar negeri. Sambil berdoa dan menunggu sponsor. Grace sedang membantu regu kepanduan di Sekolah Internasional. Disana dia bertemu beberapa orang biarawati Amerika dan menanyakan soal sponsor. Tapi mereka tidak dapat membantu. Tiba-tiba ada seorang ibu-ibu Amerika mendekati Grace. “Saya dengar kalian memerlukan sponsor? Bolehkah saya bantu”. Dia menelpon, lalu memberikan Grace sebuah alamat. “Segeralah menjumpai orang ini. Dia sering keluar kota, tapi hari ini ada dirumah”. Grace segera memacu scooternya ke Jalan Gunungsari. Ketemu seorang romo, Father Eugene Lynch dari ordo Montfort. Beliau ditugaskan mengepalai Catholic Charity di Jakarta. Father Lynch mendengarkan kisah Grace, lalu menelpon seorang temannya. “Datanglah ke kedutaan besar Amerika besok siang”. Maka saya dan Grace hadir di Jalan Merdeka Selatan. Tapi dimana Mr Vladimir Gold, yang katanya bersedia membantu. Father Lynch juga datang dan kami menanyakan bagian administrasi. “ Mr Gold sudah datang pagi-pagi dan sudah menanda-tangani semua surat-surat yang diperlukan. Staf kedutaan sekarang sedang mempersiapkan visa kalian”. Hari itu juga kami menerima visa. Sorenya saya ajak keluarga mengunjungi keluarga Gold di kebayoran Baru. Saya tanyakan mereka kenapa membantu kami yang tidak dikenalnya. Ternyata mereka imigran baru dari Hungary. Waktu baru tiba di Amerika banyak orang yang mebantu mereka; juga orang yang tidak dikenal. Inilah caranya untuk membayar kembali. Demikianlah kebaikan seseorang dapat menolong orang lain di kemudian hari. Satu persoalan lain ialah bagaimana membiayai hidup di Amerika nanti? Kami telah mengumpulkan dana untuk karcis kapal terbang dan uang hidup untuk setahun. Maka perlu cepat-cepat bekerja. Saya pelajari majalah-majalah kedokteran Amerika. Rupanya di bidang kesehatan masyarakat lebih banyak kemungkinan mendapatkan pekerjaan. Tapi syarat minimal adalah Master of Public Health. Maka saya melamar kebanyak sekolah public health. Saya diterima di Columbia University School of Public Health di New York City. Tapi saya tidak ingin datang di Amerika dengan visa siswa; nanti sukar mendapat ijin bekerja. Maka harapan tetap mendapatkan sponsor. Dengan memegang visa immigrant, maka saya menabahkan hati untuk melanjutkan petualangan ini.
6. San Francisco, UCSF: 1966 – 1972
Imigrasi ke Amerika, 1966 - …… Saya tiba di San Francisco 4 Oktober 1966, dan menginap di tempat Prof Lie, lalu meneruskan ke New York City. Disana saya menumpang di apartemen seorang kawan. Waktu menghadap dekan Columbia University School of Public Health, beliau mengatakan kursus itu telah mulai beberapa minggu yang lalu. Tidak dapat disusul, maka diminta kembali semester berikutnya. Berarti nganggur 5 bulan. Lalu saya tilpon Prof Lie. Apakah dapat bekerja dalam lab beliau selama beberapa bulan. Kebetulan dalam grant riset Prof masih ada sedikit uang lebih. Maka saya diterima sebagai lab assistant. Tugas sangat mudah. Tiap hari membantu membersihkan laboratorium dengan beratus-ratus aquarium siput air, mengumpulkan tinja binatang-binatang percobaan. Tugas-tugas ini hanya untuk sementara. Tapi kenyataannya saya bekerja di laboratorium itu sampai 13 tahun lebih. Saya sewa apartemen dekat kampus UCSF, di Ninth Avenue. Dua kamar tidur dengan ruang tamu dan dapur. Jadi perumahan ini jauh lebih baik daripada perumahan kami di Bandung. Gaji saya hanya $ 300,- sebulan, sewa apartement $ 155,- Susu 19 sen satu carton. Roti dan beras sangat murah. Dengan hidup hemat Grace dapat menyisihkan $ 100,- sebulannya. Apartment kami 2 blok dari Golden Gate Park. Waktu weekend saya ajak anak-anak dan Grace ke park. Kami rebah di bawah pohon rindang dan membiarkan anak-anak berlarian mengejar capung dan kupu-kupu. Inikah impian yang dikejar? Mungkin selanjutnya saya akan jadi lab assistant tapi Tuhan punya rencana lain. Saya dapat kabar bahwa UCSF ada graduate program bergabung dengan UC Berkeley. di bidang comparative pathology. Saya diterima, syukurlah UCSF mengizinkan saya bekerja penuh sambil mengikuti kuliah di Berkeley dan San Francisco. Jam kerja saya lunasi dengan bekerja weekend dan malam hari. Kadang-kadang masih teringat waktu pulang dari lab pada tengah malam. Berhenti sebentar pada HSW tingkat 16, melihat kota dan Golden Gate Park dibawah. Dan saya yakin anak-anak aman dalam asuhan ibunya. Juga yang menolong adalah student loan. Di Tahun 1970 saya berhasil mempertahankan tesis saya di hadapan 5 professor dan stafnya. Dan sekarang nama saya masuk dalam grantnya Prof Lie. Pangkat menjadi Assistant Research Parasitologist, gaji juga naik. Inikah tujuan yang diharapkan? Lalu ada godaan lain: International Center for Medical Research and Training. Inilah program yang dimulai pemerintah John Kennedy, untuk memperkenalkan ilmuwan Amerika dengan keadaan ilmu di negara-negara lain. Lima universitas di Amerika ditugaskan memimpin ICMRT untuk daerah masing-masing. UC-ICMRT bekerja sama dengan Institute for Medical Research di Kuala Lumpur. Tiap tahun dipilih 20 ahli-ahli dalam bidang kedokteran dan social dan dibiayai untuk 2 tahun. Staf lokal sekitar 80 orang dan saya ditawari untuk turut program ini. Satu langkah maju lagi. Di tahun 1972 kami sekeluarga pindah ke Kuala Lumpur.
7. Kuala Lumpur 1: 1972 – 1974
Saya menyewa rumah di Jalan Kuantan, dekat dengan IMR. Rumah ini ada mesin pendinginnya. Dua wanita Melayu bekerja, satu untuk membersihkan rumah, satu lagi untuk mencuci. Seorang pelayan Tionghoa mengurus dapur dan tukang kebun berasal India. Pekarangan rumah luas. Kami menanam beberapa pohon buah. Juga dibangun lapangan badminton untuk anak-anak. Mereka bersekolah Inggris, dan di antar-jemput dengan bus sekolahan. Saya beli mobil Rover untuk mengangkut keluarga ke toko toko dan kepasar. Grace berlaga sebagai nyonya besar. Dia sering berkumpul dengan ibu-ibu dari berbagai konsulat. Makan tengah hari dan minum teh sorenya. Menjadi anggauta Alliance Francaise dan les bahasa Canton. Juga mulai lagi main piano. Pekerjaan saya menyenangkan. Ini berhubungan dengan keong air, dalam rencana membantu pembasmian penyakit cacing schistosomiasis. Sering saya menjelajah hutan dan kali untuk mempelajari keadaan keong air. Suatu kekuatiran dalam peninjauan itu ialah lintah darat dan air. Mereka menggigit dan menghisap darah tanpa menimbulkan rasa sakit. Tiba-tiba darah merembes keluar pakaian. Menurut cerita staf pernah lintah-lintah kecil masuk kedalam alat kelamin dan perlu dibawa kerumah sakit. Maka sepulangnya dari hutan saya langsung mandi serta memeriksa seluruh badan. Dalam antusiasme penyelidikan, masih ada termasuk ketidak-puasan tentang pelajaran kedokteran. Tiap tahun saya melamar ke banyak fakultas kedokteran. Di Tahun 1974 saya diterima di Fakultas Kedokteran Monash University di Melbourne, Australia. Kami mulai bersiap untuk hidup “down under”. Tapi Tuhan mempunyai rencana lain. Lalu datang telegram dari Prof. John Wellington, associate dean dari UCSF. Beliaulah malaikat penjaga kami. Telegram itu mengabarkan bahwa saya diterima sebagai siswa kedokteran. Grace sangat senang akan kembali tinggal di California Bay Area.
8. Pacifica: 1974 – 1980
Saya mulai bersekolah lagi. Salah seorang siswa tertua di kelas. Mula-mula agak sulit untuk menyesuaikan diri dengan pelajaran kedokteran Amerika. Pendidikan dasar saya dari Indonesia. Tapi berkat petunjuk Yang Maha Esa akhirnya saya tamat juga jadi MD. Selama bekerja di klinik saya mulai sadar bahwa bakat kedokteran saya sangat terbatas. Saya tidak senang dengan pasien yang banya bicara. Maka setelah dapat MD saya pilih spesialis patologi. Saya ambil residency patologi di Kaiser Hospital San Francisco. Tapi Tuhan tidak mengijinkan jalan saya lancar. Sebelum selesai residency patologi, timbul lagi godaan lain. Waktu itu Resident Coordinator (pimpinan setempat) UCICMRT dipegang Prof Lie. Beliau ingin kembali ke rumahnya di San Francisco. Apakah saya bersedia menggantikan posisinya? Ini berarti kenaikan pangkat dan gajih dan kesempatan untuk meninjau tempat-tempat konperensi ilmiah. Maka setelah berunding dengan keluarga, saya putuskan untuk menerima tugas baru ini. Anak-anak sedang dalam masa genting di sekolah menengah. Kami tidak ingin mengganggu rutine mereka. Maka biarlah mereka tinggal di California dengan Grace dan saya kembali ke Kuala Lumpur.
9. Kuala Lumpur 2: 1977-1979
Demikianlah saya kembali ke Kuala Lumpur sebagai Resident Coordinator UC-ICMRT. Dalam golongan ini ada sekitar 20 orang ahli dari berbagai bidang. Ada dokter ahli penyakit dalam, penyakit kusta, virology; ada entomologist, geologist, sociologist, parasitologist. Mereka dibantu oleh staf setempat, kira-kira 80 orang. Tugas saya adalah untuk menyelenggarakan program ini supaya lancar. Saya sendiri ada acara penelitian penyakit cacing, meneruskan penyelidikan Prof. Lie. Saya menyewa apartment dekat IMR. Di Daerah itu banyak restoran dan bilik-bilik jajan. Juga ada bioskop, pasar dan pertokoan. Hari minggu saya pergi ke gereja Katedral, yang berada di dekat Chinatown; kemudian mampir makan bakmi atau babi panggang dan nonton film terbaru dari Shaw Brothers. Hidup berjalan lancar. Saya sering menelpon Grace dan anak-anak, serta menulis surat. Kegiatan riset saya adalah sekitar keong air, meneruskan usaha Prof Lie. Antara lain saya ikut dengan proyek bersama dengan ilmuwan-ilmuwan dan profesor dari Bangkok Institute of Tropical Medicine. Kami menyewa beberapa ladang di daerah Khon Kaen untuk mencoba apakah dapat mempergunakan prinsip antagonisme antara trematode untuk mengatasi schistosomiasis. Dalam ladang itu banyak schistosoma burung. Inilah jadi model kami. Setelah setahun maka kelompok kami menyatakan berhasil. Maka ingin kami melanjutkan penyelidikan ini ke daerah schistosomiasis manusia, misalnya di Mesir. Tapi perlu dana besar. NIH di Washington mempelajari usul riset kami dan menyatakan Setuju. Tapi tidak dapat memberi biaya, karena anggaran belanjanya sedang terbatas. Jadi “ approved, but not funded”. Inilah salah satu kekecewaan saya dalam karier penelitian.. Dan Tuhan memberi saya alasan lain untuk mengubah haluan. Timbul rasa ketidak-puasan. Saya perhatikan ada rekan-rekan yang pulang ke Amerika, akhirnya jadi supir taksi. Mencari nafkah di bidang riset bukan pekerjaan yang stabil. Sebaiknya bekerja di lapangan pelayanan. Maka saya pulang ke California dan menyelesaikan residency patologi. Selesai di tahun 1982, saya dapat pekerjaan sebagai pathology di Veterans Home Yountville, Napa county. Disitu saya bekerja 16 tahun sebagai Chief Pathology Service.
10. Yountville, Veterans Home of California: 1982 – 1998
Veterans Home of California adalah salah satu penaungan tertua khusus untuk veteran berasal California. Sudah berdiri selama 100 tahun lebih, dan dapat menampung 1200 penghuni. Rumah sakitnya ada sekitar 400 ranjang, dan menampung 5 tingkat pelayanan, termasuk Intensive Care Unit. Beberapa gedung lagi ditinggali veteran yang tidak sakit, termasuk suami-istri. Ruang makan besar, ada ruang berkumpul untuk 1000 orang (belakangan ini disewakan kepada kota Napa untuk pertunjukan-pertunjukkan besar), lapangan olahraga, kolam renang dan lapangan golf. Ada kapela untuk 50 orang, yang siap pakai bergantian oleh macam-macam agama. Laboratorium saya di kelola oleh 10 staf, dan melakukan tes klinik. Juga kami mengerjakan surgical pathology, cytology dan autopsy. Staf kedokteran kira-kira 25 orang; kebanyakan ahli penyakit dalam, tapi ada juga ahli bedah, dokter gigi, dan psikolog. Sebulan sekali saya mengadakan clinical pathological conference untuk membahas kasus penting. Rumah saya 10 menit dari Veterans Home dan saya biasanya pulang makan tengah hari. Yountville mempunyai penduduk sekitar 300 orang, di samping penghuni Veterans Home. Kota ini ditonjolkan sebagai kota wisata di daerah anggur. Banyak anggur berkualitas tinggi disalurkan di sini. Dan ada beberapa kursus untuk pemandu anggur. Grace mengambil salah satu kursus seperti itu. Dengan kesudahan yang hampir mencelakakan. Pada tiap pertemuan kursus itu diharuskan mencicipi 10 macam anggur. Semestinya hanya dikulum, lalu dikeluarkan kedalam tempat tersedia. Tapi Grace menelan semuanya. Maka tidak heran, bila dia pulang saya sudah mendengar suaranya dari jauh. Kursus ini hanya menghasilkan sertifikat. Dalam isengnya Grace mencoba macam-macam usaha: Amway, Mary Kay dan bekerja sebagai loan broker. Kami hidup nyaman. Anak-cucu juga sering menginap. Pagi-pagi menonton balon udara meluncur di atas rumah. Saya berkenalan dengan walikota, kepala kantor pos dan room setempat. Inikah Bab terakhir petualangan kami? Tuhan mempunyai rencana sendiri. Grace didiagnosa kanker kandungan di tahun 1998. Dia mengalami beberapa bedah, radiotherapy, chemotherapy, juga herbal therapy dan acupuncture. Saya memutuskan untuk pensiun dan menemani Grace. Saya temani Grace ke Fuda Hospital di Guangzhou 2 kali. Ini rumah sakit khusus yang melakukan cara pengobatan eksperimental. Dokter-dokter nya di latih di Amerika, Eropa dan Jepang. Mereka mempraktekan cara-cara terbaru dan juga traditional Chinese medicine. Tapi pasien tidak diberi makan. Ada cafetaria besar di tingkat bawah, dan banyak restoran di sekitarnya yang dapat menghantarkan hidangan kekamar. Keluarga di ijinkan tinggal dalam kamar pasien. Kami berada disini 2 kali, sebulan tiap kalinya. Dan ini menyebabkan kami hampir bankrupt. Hospital ini khusus untuk mencari uang dari penduduk daerah Asia. Dan mungkin usaha ini telah dapat memperpanjang usia Grace beberapa bulan.
11. Castro Valley: 1998 - kini
Kami kembali ke Castro Valley, dan Grace mulai hospice program. Syukurlah dia diberi kesempatan untuk menyatakan selamat tinggal dengan banyak kawan dan keluarga, melalui telepon dan Internet. Juga banyak kawan menengok di rumah. Sambil membawa makanan dan kami berfoya-foya. Ada teman yang main piano dan kami bernyanyi lagu-lagu zaman dahulu. Grace sangat bersemangat. Kami berterima kasih kepada banyak teman, juga romo-romo, termasuk pastor paroki. Demikianlah perjalanan pulang Grace agak lancar. Di Dalam terakhirnya Grace tidur nyenyak. Anak-cucu mendampingi. Baru pagi hari dia terbangun dan kami bersama mendoakannya. Grace meninggal 27 Februari 2006, setelah berkutat dengan kanker selama 8 tahun Dia sangat merindukan Tuhan dan sekarang kembali keharibaan Yang Maha Esa. Terima kasih Bapa.
12. Meneropong kembali
Demikianlah bab mengesankan dalam hidup kami tertutup. Sukar sekali menyesuaikan hidup tanpa Grace. Syukurlah Tuhan Maha Pengasih. Beliau memberi kekuatan dan semangat untuk kami sekeluarga melewati masa sulit ini. Saya curahkan kesedihan saya dalam sebuah buku “Learning to be happy with a partially filled glass” , yang selesai dalam 3 bulan dan dicetak tahun 2006. Kawan-kawan dan keluarga banyak memberi hiburan. Lalu ada macam-macam kegiatan dalam WKICU dan PSI. Dan saya dibolehkan meneruskan pelayanan untuk memuliakan nama Tuhan. Belum lama berselang saya dapat stroke ringan. Maka banyak waktu untuk meneropong jalan hidup saya. Tuhan membolehkan saya 86 tahun lebih, mencicipi kemuliaanNya. Semoga Beliau berkenan akan tingkah laku saya. Segala kegaduhan dan usaha mengumpulkan harta dunia meraih nama , bahkan memupuk hubungan baik dengan keluarga dan sahabat, pada akhirnya hanya memberi kepuasan sementara, dan kesia-siaan. Vanity … all is vanity, seperti dijelaskan Ecclesiastes. Hanya satu hal yang penting : hubungan kita dengan Tuhan. Semoga kalian dan keluargamu dapat menghayati keberadaan Tuhan dalam hidupmu sehari-hari. Semoga kita semua masih diberi waktu tersisa untuk memuliakan Nama Tuhan.
Dengan salam hangat dalam Kristus, serta doa-doa.
Hok Kan Lim , Ph.D, MD
Desember, 2020
Castro Valley, California
United States of America
Refleksi Satu Tahun Tahbisan Imamat (Bagian 5 - Selesai): Merayakan Natal Bersama Orang - Orang Kudus
Mengenal Santo Tomas More yang merupakan Santo Pelindung bagi para ahli hukum, saya pun berpikir bahwa masih ada harapan untuk seorang lawyer seperti saya untuk masuk surga.
Refleksi Satu Tahun Tahbisan Imamat (Bagian 5 - Selesai)
Merayakan Natal Bersama Orang - Orang Kudus
(My Christmas with the Saints)
S. Hendrianto, SJ
Pengantar
Natal tahun Ini adalah Natal kedua yang saya rayakan sebagai seorang rohaniawan Katolik. Mengingat Natal tahun Ini sangat berbeda dengan Natal - Natal tahun sebelumnya, karena kita semua masih dalam situasi pandemi, maka saya pun mencoba merenungkan dan mengingat kembali pengalaman - pengalaman Natal saya.
Saya tidak besar di keluarga Katolik, meski demikian orang tua saya mengirim saya menempuh pendidikan di SD Katolik. SD tempat saya bersekolah mengambil nama Santa pelindung Santa Teresia Kanak - Kanak Yesus. Jadi dia adalah orang Kudus pertama yang saya kenal. Sebagai anak yang bersekolah di sekolah Katolik, kita juga harus ikut hadir di misa meski kita tidak mengerti makna misa tersebut. Ketika duduk di kelas V, saya mulai mengenal Santo Fransiskus Xaverius sebagai orang pertama yang menyebarkan agama Katolik di Indonesia. Pada saat yang bersamaan, saya mengikuti program katekumen di sekolah dan kemudian di baptis.
Sejak mengikuti program Katekumen dan setelah dibaptis, saya pun mulai merayakan Natal di Gereja tempat saya dibaptis, yaitu Gereja Santo Petrus. Karena di rumah kita tidak merayakan Natal, maka pengalaman saya hanya terbatas di Gereja dan sekolah saja. Meski demikian saya percaya bahwa pengalaman Natal saya tidak kalah meriahnya dengan teman - teman saya yang berasal dari Keluarga Katolik, karena saya merayakan Natal bersama orang - orang kudus, Santa Teresia Kanak - Kanak Yesus dan Santo Fransiskus Xaverius yang merupakan Santo dan Santa Pelindung Kaum Misionaris dan juga Santo Petrus.
Ketika duduk di bangku SMA, saya tentu sudah lebih sering merayakan Natal. Saya masih ingat dalam salah satu perayaan Natal di SMA, para panitia malah sibuk memutar lagu Black or White dari Michael Jackson yang sedang ngepop saat itu. Dalam hati saya berpikir, apakah saya benar - benar merayakan Natal karena sama sekali tidak terdengar lagu Natal. Meski demikian saya percaya bahwa Santo Yosef, sebagai Santo pelindung SMA saya ikut hadir di tengah - tengah kami dan saya bisa merasakan kehadiran dia dan merayakan bersama ayah duniawi Yesus.
Setelah saya pindah ke Yogya dan duduk di bangku kuliah, saya rutin Ikut misa hari Minggu di Kapel Sanatha Dharma. Meski saya tidak kuliah di Santha Dharma, tapi karena saya tinggal tidak jauh dari kampus Santha Dharma, saya pun sering misa ke Kapel Santo Bellarminus. Selama lima tahun lebih tinggal di Yogya saya mempunyai banyak kenangan indah dalam merayakan perayaan ekaristi di Kapel tersebut, khususnya pada hari Natal. Di Kapel tersebut juga saya pertama kali mendengar lagu Handel Messiah di perdengarkan pas Misa Natal.
Mengingat kembali pengalaman Natal saya di kapel Sanatha Dharma, saya juga yakin bahwa saya merayakan Natal bersama orang - orang Kudus, khususnya Santo Robertus Bellarminus sebagai penlindung Kapel dan juga orang kudus lainnya dari Serikat Yesus, yaitu Santo Bernardus Realino. Pada awalnya saya tidak tahu bahwa Realino adalah nama seorang Santo. Saya cuma tahu bahwa Asrama Mahasiswa Realino adalah rumah bagi mahasiswa, khusus laki - laki, yang cukup terpandang di Yogyakarta. Asrama Itu sendiri telah ditutup sekitar tahun 1990, dua tahun sebelum saya tiba di Yogja. Ketika saya tiba di Yogya, yang tersisa hanyalah Lembaga Studi Realino. Baru belakangan saya tahu bahwa Santo Bernardus Realino adalah seorang pengacara dan bekerja di pemerintahan kota di Napels sebelum masuk Serikat Yesus pada tanggal 13 October 1564. Ketika Itu saya sedang duduk di bangku Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, dan saya percaya bahwa Santo Bernardus Realino telah berdoa buat saya jauh - jauh hari dan akan terus berdoa buat saya.
Akan tetapi menjelang akhir masa kuliah saya di Yogya, saya pun mulai meninggalkan Gereja, karena berbagai macam alasan yang membuat Iman saya terguncang. Setelah Itu saya pun tidak pernah lagi merayakan Natal sampai pada akirnya setelah saya pindah ke Jakarta, saya kembali ke Gereja pada awalnya hanya karena ajakan mantan pacar saya. Mulai lah saya merayakan Natal di Gereja Katedral Santa Perawan Maria Di Angkat ke Surga yang kebetulan juga di ampu oleh para Romo Serikat Yesus. Jadi disini saya mendapat kesempatan merayakan Natal bersama Santa Perawan Maria sendiri. Setelah berminggu - minggu ke Gereja, hati saya pun mulai tersentuh kembali dan mulai kembali ke Gereja dengan kemauan saya sendiri dan bukan karena pacar saya.
Di Gereja Katedral juga pertama kali saya mendengar nama Santo Tomas More dari seorang Romo Yesuit yang berkhotbah tentang Santo yang mati demi membela Gereja Katolik karena dia menolak mendukung Raja Henry VIII yang Ingin memisahkan diri dari Gereja Katolik. Mengenal Santo Tomas More yang merupakan Santo Pelindung bagi para ahli hukum, saya pun berpikir bahwa masih ada harapan untuk seorang lawyer seperti saya untuk masuk surga.
Setelah saya pindah ke Amerika Serikat, khususnya di Seattle, rumah spiritual saya adalah University of Washington Catholic Newman Center. Di sini lah saya pengalaman spiritual saya mulai tumbuh lebih mendalam dan kemudian akhirnya benih panggilan tumbuh. Selama kurang lebih lima tahun tinggal di Seattle, saya selalu merayakan Natal di Newman Center, yang mana saya percaya bahwa saya merayakan besama Santo John Henry Cardinal Newman sebagai santo pelindung Newman Center.
Pada suatu hari, setelah misa Natal di Newman Center, ada seorang mahasiswa dari South Korea yang mengatakan saya, mengapa kamu datang sendirian ke Gereja malam ini. Mengapa kamu tidak datang bersama keluargamu? Dalam hati saya berpikir aneh juga pertanyaan orang Ini, akan tetapi mungkin dia berpikir bahwa teman - teman dari Mudika Seattle yang sering bersama saya ke Newman adalah anggota keluarga saya. Mungkin malam Itu saya datang sendirian, tapi saya yakin para orang Kudus Ikut hadir dan merayakan Natal bersama saya.
Tahun 2008, saya menyelesaikan studi doktoral saya dan mempertahan disertasi saya pada tanggal 14 November, yang merupakan peringatan Santo Yosef Pignateli, SJ, seorang Santo dari Serikat Yesus. Santo Yosef Pignatelli, adalah pemimpin Serikat Yesus selama masa Serikat Yesus di bubarkan oleh Paus dan para Imam Yesuit harus hidup di pembuangan. Saya juga yakin bahwa dia telah berdoa untuk saya jauh sebelum saya menyelsaikan program doktoral dan akan terus berdoa untuk saya dalam perjalanan hidup saya. Jadi di Natal tahun 2008, saya mendapatkan seorang teman baru dalam merayakan Natal yaitu Santo Yosef Pignatelli, SJ.
Selama tinggal di Seattle, saya pun mulai merenunggkan panggilan menjadi seorang Imam dan puncaknya. Mengapa saya akhirnya memutuskan masuk Serikat Yesus karena saya pun tersadar setelah melihat ke belakang persentuhan saya dengan para Romo Yesuit di Indonesia, baik mulai dari masa saya di Yogya dan kemudian pindah ke Jakarta. Di tambah lagi dengan dukungan para orang - orang Kudus Serikat Yesus yang telah saya kenal selama hidup saya.
Setelah masuk ke Novitatie Serikat Yesus dan menjalani proses formasi, saya terus merasakan kedekatan dengan para orang Kudus. Di Novitiate, tentu saya kembali merayakan Natal bersama Santo Fransiskus Xaverius yang merupakan Santo Pelindung Novitate. Setelah mengucapkan kaul pertama dan melanjutkan studi Filsafat di Chicago, saya semakin dekat dengan Santo Ignatius dari Loyola, pendiri Serikat Yesus karena saya merasakan pengalaman yang sama dengan beliau. Santo Ignatius harus belajar bahasa Latin bersama para anak - anak, sementara saya harus belajar filsafat bersama para anak - anak undergraduate. Selama dua tahun tinggal di Chicago, saya pun merayakan Natal bersama Santo Ignatius.
Selama Tahun Orientasi Kerasulan di Santa Clara University, saya banyak mengalami kesulitan dan saya harus sering berdoa kepada orang - orang kudus lainnya meminta pertolongan seperti misalnya Santa Clara dari Asisi dan juga Santa Teresia Benedikta Salib, atau yang lebih dikenal dengan nama Santa Edith Stein. Selama Tahun Orientasi Pastoral di Boston, saya tinggal di komunitas Santo Petrus Faber, dan sebagai seorang pendiri Serikat Yesus, saya juga yakin bahwa dia banyak berdoa buat saya di tengah banyaknya kesulitan yang saya hadapi.
Melihat perjalanan hidup saya, banyak orang yang mungkin tidak percaya bahwa orang seperti saya bisa menjadi seorang Romo. Saya sendiri juga terkadang tidak percaya karena begitu banyaknya kesulitan yang saya harus hadapi dalam perjalanan hidup saya, khsusunya dalam masa formasi sebagai seorang Yesuit. Akan tetapi saya pikir saya punya banyak teman yang membantu, yaitu para orang - orang Kudus yang terus mendoakan saya. Melihat ke belakang, bahwa sebenarnya begitu banyak keajaiban - keajaiban Natal dalam hidup saya, khsusnya bagaimana para orang Kudus membantu saya dalam kehidupan saya.
Setelah tahbisan Imamat saya pada tahun 2019, saya kembali ke Indonesia dan merayakan misa syukur di berbagai tempat, dan salah satunya adalah Kapel Santo Bellarminus di Universitas Sanatha Dharma. Terlampir di bawah ini adalah homili saya pada misa syukur di Kapel Santo Bellarminus yang bisa sedikit menggambarkan perjalanan saya bersama orang Kudus.
(Homily Romo Stefanus Hendrianto, SJ pada misa syukur di Kapel Santo Robertus Bellarminus, Universitas Sanatha Dharma, 28 Juli, 2019)
Saudara - saudari yang terkasih dalam Kristus,
Hari ini adalah hari yang berbahagia sekali buat saya karena saya bisa merayakan misa di Kapel yang merupakan tempat awal panggilan saya. Lebih dari 25 tahun yang lalu saya menghabiskan hari - hari saya di Kapel Ini, khsususnya untuk merayakan misa hari Minggu dan hari - hari suci lainnya, mulai Paskah sampai Natal. Di Kapel ini saya pertama kali mendengar lagu Handel Messiah di perdengarkan pada hari Natal. Saya masih Ingat bagaimana penampilan koor mahasiswa Sanatha Dharma begitu memukau malam itu, sampai - sampai almarhum Romo Giles Gilarso, SJ yang memimpin misa Natal juga tercengang mendengar lagu - lagu Natal yang diperdengarkan malam itu. Di kapel ini lah saya pertama kali bertemu dengan para Romo Yesuit. Meskipun saya tidak mengenal dekat para Romo Yesuit tersebut, mereka meninggalkan kesan mendalam pada saya, yang di kemudian hari tanpa saya sadari mempengaruhi saya untuk menjadi Imam Yesuit.
Di Kapel Ini juga saya mengenal dua orang Santo dari Serikat Yesus, yaitu Santo Robertus Bellarminus dan Santo Bernardus Realino. Saya percaya kedua orang kudus dari Serikat Yesus ini telah mendoakan saya sejak saya mahasiswa miskin dan kere di Yogya dan mereka terus mendoakan saya dalam perjalanan hidup saya ke depan. Saya juga pecaya bahwa kedua orang Kudus ini telah mendoakan saya sehingga saya menjadi seorang Romo Yesuit.
Dalam bacaan Injil, Tuhan berkata kepada Abraham, jika kudapati lima puluh orang benar dalam Kota Sodom, maka aku akan mengampuni seluruh kota tersebut dan tidak membinasakannya. Tuhan dan Abraham mencoba tawar – menawar, sampai akhirnya Tuhan berkata sekiranya ku dapati 10 orang benar di sana, aku takkan memusnahkannya. Kita bisa bertanya pada diri kita sendiri, apakah kita masing – masing bisa menemukan 10 orang saleh, kudus atau orang benar.
Mungkin sulit bagi kita untuk menemukan orang kudus dari teman – teman kita sendiri atau lingkungan sekitar kita. Akan tetapi sebenarnya ada kontradiksi dalam kehidupan ini. Kita merasa sulit untuk menemukan orang - orang kudus dalam kehidupan kita, akan tetapi kalau kita menemukan sesorang yang hidup saleh atau hidup suci, kita cenderung mentertawakan atau mencemoohkan orang tersebut. Sebagai contoh, ketika saya masih mahasiswa dulu saya tinggal di daerah Demangan Kidul, akan saya sering menghabiskan waktu di daerah Mrican, khususnya di tempat kost saudara sepupu saya yang tinggal di dekat kampus Sanatha Dharma ini. Di rumah kost tersebut ada seorang anak yang saleh dan rajin berdoa; teman ini rajin mengikuti misa harian di Kapel Santo Bellarminus. Ironisnya kita justru mentertawakan atau mencemoohkan teman yang rajin berdoa ini. Yang menarik adalah teman ini kemudian masuk Serikat Yesus dan saya bertemu lagi dengan dia sepuluh tahun kemudian ketika dia sudah hampir ditahbiskan dan saya sendiri baru sedang akan masuk Novisiat Serikat Yesus.
Kalau kita sadar bahwa menjadi orang kudus adalah panggilan kita semua, tentu kita tidak akan kesulitan mencari orang - orang Kudus di sekitar kita. Kita semua dipanggil untuk menjadi orang kudus dan perlu kita sadari bahwa kehidupan untuk menjadi orang Kudus bukan hanya untuk para Romo dan Suster, tapi juga untuk kalian semua.
Salah satu sarana yang bisa kita pergunakan untuk menjadi orang kudus telah diberikan oleh Gereja, yaitu melalui Sakramen pengampunan dosa. Orang Katolik yang rajin mengaku dosa dan menerima komuni bisa memulai proses panjang untuk menjadi orang kudus. Rahmat yang kita terima dari Sakramen pengakuan dosa bisa membuka mata kita untuk melihat bahwa Gereja Katolik adalah Gereja yang disi oleh para pendosa, orang - orang yang lemah dan mudah tergoda, orang - orang yang telah lari jauh dari Tuhan, dan orang - orang yang telah kehilangan arah dan tujuan. Akan tetapi Tuhan selalu menawarkan pengampunan yang tanpa batas. Melalui pengampunan Tuhan tersebut kita semua bisa menjadi orang kudus.
Leon Bloy, seorang pujangga dan penulis dari Perancis pernah menulis, "kesedihan utama, kegagalan utama, dan tragedy utama dalam kehidupan ini adalah tidak menjadi orang Kudus." Dalam hidupnya Bloy mempunyai dua orang anak murid yang dia kasihi yaitu Raïssa Oumançoff and Jacques Maritain. Ketika Itu Raissa dan Jacques adalah mahasiswa di Sorbone University di Paris, dan tempat mereka kuliah tidak lebih dari padang kering dan tandus dalam kehidupan rohani. Karena mereka merasa kering dalam hidupnya, mereka memutuskan untuk memberi tengat waktu satu tahun untuk menemukan arti kehidupan. Kalau mereka gagal menemukan makna kehidupan, maka mereka memutuskan untuk bunuh diri bersama. Pada saat yang sama mereka mendengar dari teman - teman tentang sosok Leon Bloy, dan teman - teman mereka menganjurkan Raissa dan Jacques bertemu orang tua yang aneh ini. Mereka pun akhirnya bertemu langsung pada tahun 1905; di sosok Leon Bloy, Raissa dan Jacques menemukan sosok manusia yang belum pernah mereka temui. Bloy adalah sosok yang begitu haus dan lapar akan sang Maha Kuasa. Pada saat yang sama Bloy mendoakan agar kedua anak muda ini bisa menjadi orang Kudus. Sejarah mencatat bahwa Jacques Maritains dengan dukungan Raissa akhirnya berpengaruh besar terhadap gereja Katolik, khususnya Konsili Vatikan II.
Di Bacaan injil, hari ini Yesus berkata, mintalah maka kamu akan diberi, carilah maka kamu akan mendapatkan, ketuklah maka pintu akan dibukakan. Ini adalah undangan bagi kita untuk berdoa agar kita bisa menjadi orang Kudus, dan juga kita perlu mendoakan orang - orang di sekitar kita untuk bisa menjadi orang Kudus. Sebagian dari kita mungkin sudah pernah mendengar cerita Santo Ignatius dari Loyola dan Santo Fransiskus Xavier. Ketika mereka masih mahasiwa di Universtas Paris, Fransiskus selalu memandang sebelah mata Ignatius yang lebih tua dan kelihatan ketinggalan jaman. Sementara Ignatius terus berusaha meyakinkan teman mudanya untuk mengikuti Latihan Rohani. Ignatius pun terus berdoa agar teman mudanya ini bisa menjadi orang kudus. Sampai pada akhirnya doa Ignatius terkabul dan Fransiskus Xaverius pun bersedia melakukan Latihan Rohani dan kemudian menjadi seorang misionaris yang menyebarkan agama Katolik ke berbagai penjuru muka bumi.
Mengapa saya saat ini bisa menjadi seorang Romo juga tidak lepas dari doa berbagai pihak, mulai dari Ibu saya sampai teman - teman saya, dan khususnya para Kudus di surga. Di tahun terakhir saya tinggal di Yogya, saya mulai kehilangan pegangan iman dan perlahan lahan meninggalkan Gereja. Ketika pindah ke Jakarta setelah saya lulus dari Fakultas Hukum UGM, saya bertemu dengan seorang teman SMA saya di Jakarta. Ketika itu kita bertemu di Mac Donald di Gadjah Mada Plaza. Saya pun ketika itu langsung memesan burger, sementara teman saya itu mengatakan dia tidak akan pesan apa - apa karena hari itu adalah hari Jumat, yang merupakan hari puasa dan pantang bagi umat Katolik. Saya sedikit merasa aneh bin salah tingkah karena tidak sadar bahwa hari itu adalah hari Jumat pada masa PraPaskah. Akan tetapi setelah itu saya terus menjalani kehidupan yang jauh dari Gereja. Sementara teman saya ini hanya bisa mendoakan orang seperti saya untuk bisa kembali ke jalan yang benar. Doa orang - orang di sekitar saya pun akhirnya terkabul ketika saya merasa terpanggil untuk kembali ke Gereja dan akhirnya memutuskan untuk masuk Serikat Yesus.
Saya baru di tahbiskan 50 hari yang lalu, jadi perjalanan saya masih panjang dan oleh karena itu saya meminta tolong agar kalian semua terus mendoakan saya untuk menjadi seorang Romo yang kudus. Akan tetapi sekali lagi panggilan untuk menjadi orang Kudus bukan hanya untuk para Romo. Oleh karena itu marilah kita semua agar berdoa untuk satu sama lain, agar diri kita sendiri, teman kita, saudara – saudara, anak masing masing agar bisa menjadi orang Kudus.
Acara Natal Online WKICU - 25 Desember 2020
Mari kita melihat bersama rekaman ‘Acara’ online setelah Misa Natal WKICU…
Tahun ini, 2020, hampir seluruh dunia merasakan yang tidak pernah dialami tahun-tahun sebelumnya, yang berdampak pula di Natal 2020.
Begitu pula dengan Natal WKICU, tidak ada ramah tamah di San Leanders maupun di St. Justin. Tetapi, dengan rahmat Tuhan kita yang selalu bermurah hati, kita dapat menyelenggarakan ‘acara’ online sederhana ini setelah Misa Natal pada tanggal 25 Desember 2020.
Untuk umat yang tidak ‘hadir’ saat acara ini ditayangkan, dapat menikmati rekaman nya. Mudah-mudahan ini menjadi sejarah tak terlupakan untuk kita semua, dan mari kita semua berdoa semoga kita dapat berkumpul kembali sebagai satu komunitas di Natal yang akan datang.
Untuk melihat rekaman acara tersebut, umat bisa klik video di bawah ini atau klik link ini.