Hanafi Daud - Pewarta Tangguh Yang Penuh Kasih
Ditulis oleh Agem Rahardjo
Tanah Amerika sudah tak asing lagi bagi Hanafi Daud sejak tahun 1981, tahun saat beliau mulai mempercayakan pendidikan kedua anak lelakinya, Andika dan Nafira di San Francisco State University (SFSU). Keberadaan kedua buah hatinya yang bersekolah inilah yang membuat Hanafi Daud, yang akrab dengan panggilan Om Hanafi sering berkunjung sebelum akhirnya pada tahun 1993 beliau dan istrinya, Bertha Wulandari memutuskan untuk benar-benar hijrah dan menetap di San Francisco, Bay Area.
Lahir dengan nama asli Liem Swan Han pada tanggal 14 Desember 1933 di Cirebon, Jawa Barat. Masa itu Belanda masih menguasai Indonesia, dan tentu saja beliau juga merasakan masa remaja peralihan penjajah dari bangsa Belanda ke bangsa Jepang di tahun 1942-1945. Hanafi Daud adalah saksi sejarah Perang Dunia ke dua (WWII) dan saksi sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Beliau memiliki sejarahnya sendiri di masa itu. Dengan semangat tinggi, kecintaan dan keyakinan luar biasa hidupnya terisi dengan bakti dan perjuangan gigih membantu tanah air melalui gerakan “bawah tanah” bersama teman-teman pewarta. Bermodalkan pena dan mesin ketik beliau menyemangati rakyat dan pejuang kemerdekaan dengan tulisan serta berita melalui koran dan pemberitaan yang dibentuk bersama teman seperjuangan….dan inilah yang mengawali karirnya sebagai wartawan Indonesia hingga hijrahnya ke Amerika.
Saya termasuk salah satu orang yang beruntung telah mengenal Om Hanafi Daud. Pertemuan pertama yang membuat saya merasa benar-benar mengenal Om Hanafi terjadi ketika menghadiri pertemuan sebuah kelompok kecil yang semua anggotanya para orang-orang tua (senior), Persatuan Senior Indonesia (PSI). Saya memang sebelumnya telah mengenal beliau di setiap misa minggu ke tiga, Union City. Pembawaannya kalem, pandangannya tajam dan wajahnya selalu terlihat serius. Sungguh kaku bagi orang seperti saya yang memang tidak pernah serius. Tetapi, di acara itu Om Hanafi yang saya kenal menjadi sosok lain. Pembawaanya yang kalem seketika berubah menjadi periang dan sangat bersahabat, penuh canda dan tawa. Pandangannya yang tajam menyelidik berubah menjadi tatapan teduh penuh perhatian, dan keseriusannya tenggelam bersama celetukan canda dan lelucon yang keluar dari mulutnya…….membuat saya tertawa terbahak-bahak.
Dalam pertemuan itu beliau memandu acara dengan saling berbagi pengetahuan mengenai segala sesuatu, termasuk kisah sejarah Indonesia. Dari pemaparannya itu saya mendapat banyak sekali pengetahuan sejarah yang tidak pernah saya dapat dari pelajaran sekolah. Di acara itu beliau bersama Pak Rawi (almarhum), salah satu pendiri yang saat itu juga merangkap ketua PSI tampil bergantian. Kedua orang itu bagi saya adalah pelopor yang memberi “nilai dan jiwa” ke dalam perkumpulan para senior itu. Saya seperti mendapat pencerahan ketika mendengarkan sejarah yang sebenarnya dari sang pelaku sejarah itu sendiri. Mendengarkan cerita dan kisah yang lengkap dengan data, photo dan bukti-bukti asli mengenai apa yang terjadi dan bagaimana sepak terjang beliau pada masa itu menimbulkan kedekatan tersendiri bagi saya, seperti menghubungi kisah-kisah sejarah sesungguhnya yang sering ayah saya ceritakan. Ayah saya lahir tahun 1929 di Surabaya dan memutuskan bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di usianya yang sangat muda (10 tahun), dan lama setelah itu TKR diubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mendapat pelajaran sejarah perjuangan kemerdekaan dari ayah saya seolah mendapat lentera pengusir kegelapan dan kesesatan sejarah yang saya dapat dari sekolah melalui buku pelajaran Sejarah Nasional Indonesia keluaran Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Seperti juga kisah sejarah yang diceritakan Om Hanafi saat itu. Kisah sejarah dan perjuangan mereka memiliki ruangnya sendiri, amat nyata dan menuju pada satu pintu keluar yang mengarah ke tujuan yang sama. Perjuangan yang berawal dari rasa cinta kepada tanah air dan semangat merebut kemerdekaan mengusir penjajah.
Sejak pertemuan itu saya merasa sangat dekat dengan Om Hanafi. Beliau selalu menyapa saya dengan ramah dan sesekali melontarkan canda khasnya ketika bertemu. Dari para sesepuh WKICU saya mendengar kabar bahwa Om Hanafi ini pendukung yang setia. Pernah menjadi ketua WKICU yang ke-empat untuk periode 2001-2003 dan beliau selalu terlibat dalam mengasuh, membesarkan dan memberi arahan setelah itu. Banyak pemikirannya yang melengkapi landasan dasar dan panduan pembentukan aturan bagi Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) WKICU. Kemampuan dan pengalamannya sebagai wartawan disalurkan lewat pembuatan bulletin, menjadi photographer dadakan, juga sekaligus pengumpul arsip dan peristiwa penting perjalanan WKICU. Begitu rapih dan teliti…..tak heran ketika WKICU merayakan perayaan 25 tahun berdirinya, Om Hanafi adalah satu-satunya orang yang tepat untuk merangkai perjalanan itu menjadi sebuah buku. Tanpa kerja keras, kemampuan dan kesetiaan Om Hanafi, sejarah perjalanan komunitas kita tidak akan terbukukan dengan baik.
Kecintaannya pada dunia kewartawanan dan tulis-menulis telah berakar. Tak heran jika beliau mampu menyelesaikan buku memoar yang ditulis dalam bahasa Inggris setebal 132 halaman, Hanafi Daud, My Mosaic: Indonesia 1933-1993 and USA 1993-today……. Sebuah buku perjalanan hidup lengkap yang ditulis dengan kesadaran dan rasa syukur akan berkat rahmat Tuhan dalam hidupnya yang membentuk kematangan pribadi dan ke-taatannya sebagai seorang Katolik yang ingat akan asal-usulnya.
“I feel lucky to live in Indonesia for some sixty years. It had given me a wealth of life experiences. I feel lucky to have been a part of the Indonesian Revolution and experienced the fervor of a nation fighting to free itself from Dutch colonization. I feel lucky to live in a transition period in the history of human life, moving from an older era before WWII to fast growing technology era that is changing the world and the way we live in.”
Tahun 2020 di bulan Mei, Om Hanafi mengundang saya bergabung lewat Aneka Ria, group whatsapp yang dibentuk olehnya. Saya adalah anggota termuda di sana dan saya sangat senang Om Hanafi mengundang bergabung dan membolehkan saya untuk nimbrung bercanda bersama. Obrolan kelompok itu dipenuhi kiriman video, saling mengirim kartu bergambar dengan ucapan selamat pagi atau malam yang indah…tak ketinggalan satu yang saya tunggu-tunggu dan selalu menghibur hari-hari saya, yaitu cerita-cerita humor segar yang beliau kirim. Group ini amat unik dan berbeda dari group lain yang saya miliki.
Rabu jam 8 pagi, tanggal 21 April 2021 handphone saya berdenyut tanda sebuah pesan masuk. Saya melihat Om Hanafi Daud mengirim berita ke dalam group. Saya melirik sepintas sebelum melihat isi pesan itu. Pesan pagi itu bukan berisi photo dan bukan humor segar yang biasa beliau kirimkan……di pesan itu tertulis, “This is Nafira, Bertha and Hanafi’s Daud son. Dad just passed away about a couple hours ago….”
Isi kepala saya yang dipenuhi oleh rencana-rencana untuk hari itu lenyap seketika. Suasana tiba-tiba menjadi sunyi dan kosong. Tertegun membaca berulang-ulang pesan itu sebelum akhirnya membalas dan meminta jawaban yang meyakinkan atas berita itu. Beliau meninggal dan kembali ke rumah Allah Bapa di surga dengan tenang dalam tidurnya, begitu keterangan lanjutan yang saya dapat. Masih tidak percaya, kabar duka itu pun segera saya teruskan kepada umat lain dengan iringan doa yang tak putus, dan di setiap kirimannya juga saya sertakan permohonan agar penerima pesan berdoa bersama mengiringi kepergian Om Hanafi yang kita semua cintai.
Bagi saya, Om Hanafi Daud adalah seorang sahabat, seorang guru, seorang panutan dan seperti juga ayah saya, Om Hanafi adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia yang berjasa. Beliau juga telah berbuat banyak untuk komunitas kita WKICU selama keberadaannya di Bay Area. Dan bagi kami team ebulletin, beliau adalah pengawas, penasihat dan pendukung tulisan yang sangat baik…..
Selamat jalan Om Hanafi……doakan kami dari rumah Allah untuk kami yang masih mengembara di dunia ini.
In Memoriam
Hanafi Daud
December 14, 1933 – April 21, 2021