Community
“…for this is my body which will be given up for you.” From a routine, to a ritual, to a fascination of something deeper, something I did not appreciate.
by Theo (OMK)
My 28th birthday came and went uneventfully: a mini celebration – cheesecake topped with a single lanky candle, broken happy birthdays, and a photo or two to remember. Everything was the way I preferred it; of course, not counting the looming global pandemic situation that we are in right now. It was a bit special, as it signified that I have spent longer time away from home by then.
I left home for studies abroad in my early teens, having felt a somewhat premature sense of freedom. I learnt how to budget for lunch and games, how to study and interact with adults, to make bigger decisions with even bigger impacts, usually unknown, down the road. People call it being independent; I am far from it. Most of my friends then were either roommates, or fellow compatriots. In the beginning, most were Christian, or at least nominally. Studying abroad exposed us with a plethora of perspectives: some good, some bad, most we have no idea how to discern. Met my first staunch “communist” friend whom I had great time talking politics, nonsense, and Risk to; another self-proclaimed bohemian with a very Sartre-Derrida-esque attitude (he was and still is an amazing Jazz artist); another extremely bright, full-blown atheist, whose mother is one of the more devout, persevering person I have ever met. I was somewhat stuck in the middle, that one odd kid doing his routine, trying to fit in.
As with any young teenager, I wanted to latch onto a community. Obvious first step was with my fellow Indonesians, and then with my fellow Catholics. It was something of a routine: a small group of us went to church 20 minutes away every Sunday, get to see other Indonesians - those from the girls’ school especially, had lunch afterwards and played arcade games. After a short while the group got smaller; some just fell away from the faith, and no parents were there to tell us otherwise. There were occasions when I was drifting, but somehow, I stuck around.
Soon after it was time to move again, even further across the globe. Now I had my own room, in a student housing filled with everyone from everywhere. I wanted to go out of my shell a little bit, explore new extracurriculars, yet I found myself signing up for the university’s Catholic society. At first, I thought of it like a routine, going to church on Sunday, talking a bit with other churchgoers. I noticed how much fewer the attendees were compared to Indonesia especially: mostly older people – white hair, hunched backs, and some were veiled. There were no compatriots with me at that time. Yet, what was a routine had slowly morphed into a ritual. It became a source of stability in a strange land.
Even stranger when I stepped foot into a non-English speaking Mass in the old churches of Europe filled with history and grandeur. I found myself there understanding almost nothing, and yet I felt familiar – as if it was home. Even when words dissolved into a cacophony of noises, melodies, and ringing of the bells, there was stability: “…Das ist mein Leib, der für euch hingegeben wird”; “…detta är min kropp som offras för er.”; “Hoc est enim Corpus meum.”; “…for this is my body which will be given up for you.” From a routine, to a ritual, to a fascination of something deeper, something I did not appreciate.
Eucharist is also called Holy Communion, which in Greek (Κοινωνία) also refers to community – participation. It echoes 1 Corinthians 10:16, where the bread and wine that are blessed enable us to participate in the body and blood of Christ, the paschal sacrifice. Eucharist is at the core of our Faith, and in it there is shared community with one another in Christ Jesus. Such community was something I often take for granted: a given. Yet, it is none other than through God’s grace that I am still tethered to this community.
My younger self went through the motion, trying to break new grounds. I saw self-discovery as a romantic journey into the unknown grounds, to find something distinctive about our own self, or so that was what I thought. University is the marketplace of ideas, and its best-seller involves self-actualization: the me-centeredness, discovery of the real you, and defining your own meaning in life. Look at where those ideas took them: the great progress of the Western society! Equality and liberty! Lifting of human dignity! In retrospect, I understood better about how it was on the ivory tower. There is good in those ideas; if not, from where does the appeal come from? Maybe there is too much good; paraphrasing Chesterton: “modern world is not evil, instead it’s far too good, full of wild and wasted virtues.” Breaking new grounds are great, but sometimes we forget about the foundation.
Here I am now in the US. Somewhere along the way I should be called an adult by now. Sometimes I forgot how incapable I truly am, and in turn forgot about the community I am tethered to. Oftentimes I forgot about such reality, building my castle of dreams, ornate walls, towers, neglecting the base that supports it all. This community in one body of Christ, is the foundation on which we start building up our lives. Chesterton mentioned in Orthodoxy that he wanted to write about: “an English yachtsman who miscalculated his course and discovered England under the impression that it was a new island in the South Seas”. He went further: “he looked like a fool, but his mistake was an enviable one: what could be more delightful than to have in the same few minutes all the fascinating terrors of going abroad combined with all the humane security of coming home again?” I hope that I can always remember, coming home is a good thing.
Refleksi Singkat Satu Tahun Tahbisan Imamat (bagian 4)
Bahwa Yesus adalah seorang sahabat saya yang setia dan Dia terus setia kepada saya meskipun saya pernah cukup lama meninggalkan Dia.
Oleh Romo S. Hendrianto, SJ
Pengantar
Bacaan Injil pada hari Minggu Biasa Ke 32, tanggal 8 November 2020 berisi perumpamaan tentang sepuluh orang gadis yang mengambil pelitanya untuk menyongsong mempelai laki-laki. Pada hari Minggu itu saya bertugas untuk memimpin misa bagi Warga Katolik Indonesia di California Utara. Ketika saya merenungkan bacaan Injil tersebut, ingatan saya pun melayang-layang pada kejadian lima belas tahun yang lalu. Tanpa terasa waktu cepat sekali berlalu; lima belas tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 6 November 2005, saya juga mendengar bacaan Injil yang sama. Bacaan Injil tentang cerita sepuluh orang gadis itu ternyata menjadi awal dari perjalanan saya menjadi seorang Imam Katolik.
Lima belas tahun yang lalu, saya sedang menempuh pendidikan doktoral saya di bidang Ilmu Hukum di University of Washington, Seattle. Saya tiba di Seattle pada tahun 2004 dan tahun pertama saya sebagai mahasiswa doktoral cukup melelahkan secara fisik dan mental, dan konsekuensinya pun saya cukup terisolasi. Memasuki tahun kedua, saya mencoba untuk keluar dari isolasi dan bersosialisasi dengan banyak pihak, diantaranya adalah Mudika Seattle.
Ketika itu Mudika Seattle mengadakan acara retreat dari tanggal 4 sampai 6 November 2005 di Rumah retreat Sambica yang terletak di tepi danau Sammamish, sekitar 20 menit dari Seattle. Rumah retreat itu sendiri dikelola oleh kelompok Kristen Protestan yang tidak masuk dalam dominasi manapun (non-denominational Christian). Saya pun memutuskan ikut retreat tersebut dengan motivasi ingin mengenal lebih dekat teman-teman Mudika Seattle. Sebelumnya pada bulan September saya juga sudah pernah hadir di acara Welcoming Party mereka, akan tetapi saya belum mengenal dekat para anak muda yang aktif di sana.
Singkat cerita retreat itu sendiri menjadi titik balik bagi perjalanan iman saya. Retreat itu dibimbing oleh Romo Benny Phang O.Carm, seorang Romo Carmelite yang ketika itu sedang menyelesaikan Licentiate in Sacred Theology di Catholic University of America di Washington DC. Pada hari kedua retreat, Romo Benny meminta para peserta untuk hening total mulai dari setelah makan siang sampai sekitar jam 5 sore. Saya pun mencoba untuk tidur siang di tengah masa hening tersebut. Akan tetapi saya tidak bisa tidur dan jadilah sayapun merenungkan perjalanan hidup saya. Dalam perenungan itu saya mulai tersadar mengapa selama ini menjauh dari Tuhan. Bahwa di lubuk hati yang mendalam saya merasa tidak ada orang yang mencintai dan peduli dengan saya, termasuk Tuhan. Akan tetapi saya tidak bisa melihat segala nikmat dan syukur yang telah Tuhan berikan kepada saya.
Setelah masa hening selesai, para peserta retreat pun kembali beraktivitas normal. Setelah makan malam, kita kembali berkumpul di aula utama dan masuk dalam renungan malam. Romo Benny Phang menggunakan sesi renungan malam tersebut sebagai ajang pencurahan Roh Kudus. Terus terang saja saya tidak familiar dan sedikit skeptis terhadap pencurahan Roh Kudus. Meski demikian saya tidak menutup diri terhadap acara tersebut. Romo Benny mendoakan setiap peserta retreat, dan ketika sampai pada giliran saya, saya bisa merasakan kekuatan Roh Kudus menyelimuti tubuh seperti gelombang listrik yang masuk ke tubuh. Saya tidak berbicara dalam bahasa roh, cuma ketika itu saya merasakan tubuh bergetar dan saya pun jatuh terbaring di lantai. Yang bisa saya rasakan malam itu adalah Kasih dan Kuasa Tuhan Yesus seperti membasuh diri saya.
Keesokan harinya, saya merasa bangun sebagai seorang manusia baru. Saya melihat dunia begitu indah dengan matahari pagi yang bersinar, burung-burung yang bernyanyi dan udara pagi yang bersih. Karena hari itu adalah hari Minggu maka kami pun mengakhir retreat dengan misa hari Minggu. Bacaan Injil pada hari itu dari Kitab Matius, perumpamaan tentang sepuluh orang gadis. Akan tetapi Romo Benny entah mengapa berkhotbah tentang panggilan untuk menjadi seorang Imam, entah itu Imam Religius ataupun Imam Diocesan dan beliau menghimbau para peserta retreat untuk bisa membuka dirinya terhadap panggilan menjadi Imam.
Terus terang saya berpikir bahwa khotbah tersebut sangat aneh karena tidak ada hubungannya sama sekali dengan bacaan Injil pada hari itu. Saya sama sekali tidak bercita-cita menjadi seorang Imam, meski demikian pesan dari Romo Benny terlanjur lengket di pikiran saya. Setelah retreat selesai dan kita kembali ke Seattle, saya pun mulai aktif bergabung bersama teman-teman Mudika Seattle. Singkat cerita pertemanan saya dengan mereka berlanjut menjadi persahabatan dan mereka banyak membantu pertumbuhan iman saya. Seiring dengan waktu, saya pun mulai pelan-pelan memikirkan panggilan menjadi Imam dan sejumlah teman-teman Mudika Seattle mendukung saya dalam panggilan tersebut.
Empat belas tahun setelah peristiwa retreat di Sambica itu saya ditahbiskan menjadi Imam Katolik. Setelah menerima Sakramen Imamat saya kembali ke Indonesia dan merayakan misa syukur di Jakarta. Karena ketika tinggal di Jakarta dulu saya tidak pernah terdaftar secara resmi di paroki manapun, saya agak kesulitan untuk mencari tempat merayakan misa syukur. Dengan bantuan sejumlah sahabat-sahabat lama dan Serikat Yesus di Indonesia, akhirnya saya memutuskan untuk merayakan misa syukur di Kapel SMA Kanisius. Saya bukan alumnus Kanisius, akan tetapi para Romo Yesuit di Kanisius telah bermurah hati untuk memberi saya kesempatan merayakan misa syukur di Kapel SMA Kanisius.
Pada misa syukur saya di Kapel SMA Kanisius, saya berkesempatan kembali bertemu dengan teman-teman dari Mudika Seattle. Tentu saja situasi kita masing-masing sudah banyak berubah dari pertemuan pertama kita empat belas tahun sebelumnya. Sebagian besar dari mereka sudah berkeluarga dengan anak-anak yang masih kecil. Tentu usia kita semua semakin bertambah, akan tetapi saya akan selalu mengingat dukungan dan doa mereka sehingga saya bisa menjadi seorang Imam Katolik.
Pertemanan atau persahabatan kadang kala adalah misteri, sering kali kita tidak bisa menjelaskan mengapa kita bisa berteman satu sama lain. Saya juga tidak bisa menjelaskan mengapa saya bisa berteman dengan anggota Mudika Seattle. Atau kita bisa mencoba dekat atau berteman dengan sejumlah orang, tetapi belum tentu orang-orang tersebut ingin berteman dengan kita. Pada akhirnya hubungan pertemanan selalu melibatkan kedua belah pihak. Kita bisa mencoba menjadi orang baik ataupun berbuat baik terhadap orang lain, akan tetapi orang tersebut bisa saja menolak kebaikan kita dan menolak menjalin hubungan dengan kita. Untuk itu lah saya berterima kasih terhadap teman-teman dari Mudika Seattle yang sudi berteman dengan orang seperti saya. Saya menduga mereka percaya apa yang dikatakan Yesus, “aku memanggil kamu Sahabat” (Yohanes 15:15) dan oleh karena itu pula mereka juga mencoba meneladani Yesus dengan bersahabat dengan orang seperti saya.
Untuk lebih mendalami perjalanan panggilan saya menjadi Imam, silahkan dibaca teks homili saya pada misa syukur di SMA Kanisius yang terlampir di bawah ini.
Homili pada misa syukur Romo Stefanus Hendrianto, SJ pada tanggal 20 Juli, di Kapel SMA Kanisius, Jakarta.
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam atas kehadiran kalian semua pada misa syukur malam hari ini. Saya sadar bahwa banyak pihak yang hadir pada malam hari ini mengenal saya dengan karakter yang berbeda-beda, karena masing-masing orang hanyalah mengenal saya dalam satu periode dalam kehidupan saya, entah sebagai siswa SMA St. Yosef, mahasiswa Fakultas Hukum UGM, aktivis mahasiswa, ataupun mahasiswa PhD di University of Washington, Seattle.
Akan tetapi, saya berharap kalian semua bisa menilai saya sebagai seorang Imam Jesuit dan bukan berdasarkan satu episode dalam kehidupan saya di masa lalu dimana kalian mengenal saya. Karena pada akhirnya misa malam hari ini bukan mengenai saya tetapi mengenai Yesus Kristus dan GerejaNya.
Dalam bacaan kedua yang kita dengar pada hari ini, Santo Paulus berbicara tentang penderitaan dan harapan. Santo Paulus mengatakan bahwa dia rela menderita karena Kristus ada di antara kita, dan Yesus Kristus adalah harapan akan kemuliaan. Penderitaan dan harapan adalah kosa kata yang tidak asing lagi bagi kita semua. Ketika masih muda dulu, saya juga sering bergelut dengan kedua kosa kata tersebut.
Sebagai seorang idealis, ketika masih muda saya sering bergelut dengan pertanyaan, mengapa begitu banyak penderitaan di muka bumi ini, dan dimanakah kita harus menggantungkan harapan hidup kita. Sebagai seorang pemuda idealis saya juga cukup naif karena saya percaya bahwa penderitaan di muka bumi ini bisa dihapuskan dengan perjuangan kelas, dan kemudian saya pun menjadi seorang demonstran.
Seperti yang saya katakan tadi, ketika itu saya adalah seorang anak muda yang naif karena bahan bacaan saya masih terbatas. Filsuf Yunani Kuno, Plato pernah mengatakan bahwa dalam karyanya the Republic bahwa “ketika seseorang benar-benar belajar, dia akan peduli dengan kesenangan jiwa, khususnya dengan jiwanya sendiri dan dia akan meninggalkan kesenangan yang datang melalui tubuh. " (Plato, Republic, Book VI, 485 e). Akan tetapi, waktu muda dulu saya tidak pernah baca the Republic sehingga saya tidak tahu tentang pentingnya memperhatikan kesenangan jiwa saya sendiri.
Pada tahun 1999, ketika saya sedang sibuk dengan aktivitas politik, saya bertemu dengan seorang teman lama di sebuah pesta perkawinan. Teman saya tersebut mengingatkan saya bahwa para mantan teman seperjuangan saya, para demonstran yang dia temui di kampusnya mempunyai jiwa yang kering. Akan tetapi sebagai seorang demonstran yang keras kepala dan naif, saya tidak mengakui ataupun menyangkal bahwa jiwa saya kering dan tandus.
Ketika saya menjadi seorang aktivis politik, saya percaya bahwa saya telah menemukan jawaban dan arti kehidupan. Akan tetapi saat yang sunyi dalam kehidupan adalah ketika kita berpikir bahwa kita sudah menemukan jawaban, dan jawaban yang kita temukan itu justru membuat kita terhempas. Selama bertahun-tahun saya merasa bahwa akar dari semua masalah ketidakadilan di Indonesia adalah Soeharto. Sejarah mencatat bahwa pada tanggal 20 Mei 1998, Soeharto turun sebagai presiden. Akan tetapi, tidak ada kebahagiaan ataupun kepuasan, dan justru kemenangan reformasi menghempaskan harapan saya.
Di tahun 2004, saya meninggalkan Indonesia dan memutuskan untuk memulai kehidupan baru di Amerika Serikat. Saya memulai kehidupan baru sebagai mahasiswa program doktoral di University of Washington, School of Law. Ketika saya tiba di Seattle, saya tidak lebih dari seorang pria yang jiwanya terluka. Akan tetapi kondisi jiwa yang terluka ini justru menjadi awal dari perjalanan saya untuk menjadi seorang rohaniawan Katolik.
Ada orang bijak yang mengatakan bahwa luka bisa menjadi guru kita yang paling baik. Hal ini jelas nyata pada kehidupan Santo Ignatius dari Loyola pendiri Serikat Yesus. Dalam pertempuran di Benteng Pamplona, bola Meriam menghantam kaki Ignatius. Selama masa penyembuhannya yang panjang di puri keluarga di Loyola, Ignatius mulai berpikir dan merenungkan kehidupan Yesus dan para orang kudus seperti Santo Dominikus dan Santo Fransiskus. Dia pun berpikir kalau sekiranya Dominikus dan Fransiskus bisa berbuat banyak untuk Kerajaan Allah, seharusnya saya juga bisa berbuat hal yang sama. Pertobatan Ignatius mulai dari Loyola, akan tetapi ketika berada di Manresa, khususnya di tepi sungai Cardoner, Ignatius mendapat kejelasan tentang kehendak Tuhan buat dirinya. Di tepi sungai Cardoner, Ignatius menerima rahmat Tuhan untuk melihat ke belakang tentang perbuatan-perbuatan dia di masa lalu, yang mana dia ingin mencapai kemuliaan manusiawi dengan menjadi seorang serdadu. Akan tetapi sekarang dia bisa melihat bahwa dia bisa menggantikan keinginan-keinginan duniawi itu menjadi keinginan untuk bekerja demi kemuliaan Tuhan.
Jikalau Ignatius mempunyai Manerssa and Cardoner experience, Seattle adalah merupakan tempat dimana bagi saya untuk merenungkan kembali makna kehidupan dan menemukan jalan baru. Lebih tepatnya, di tepi danau Sambica di Washington bagian timur, saya menerima rahmat Tuhan yang menyadarkan saya akan perbuatan-perbuatan saya di masa lalu.
Ketika itu saya ikut retreat bersama teman-teman Mudika Seattle. Akan tetapi retreat tersebut justru membuka mata hati dan pikiran saya tentang sosok Yesus. Bahwa Yesus adalah seorang sahabat saya yang setia dan Dia terus setia kepada saya meskipun saya pernah cukup lama meninggalkan Dia. Setelah retreat itu, saya pun mulai merasa terpanggil untuk menjadi lebih dekat mengenal Yesus dan bersahabat dengan Yesus.
Singkat cerita, perjalanan saya untuk menjadi seorang Imam Yesuit, bermula dari persahabatan. Pertama persahabatan saya dengan teman-teman Mudika Seattle. Mereka banyak membantu saya untuk menjadi lebih dekat dengan Yesus dan menghayati lebih dalam Iman Katolik. Kedua, dan yang lebih penting, adalah persahabatan dengan Yesus sendiri. Dengan mengenal Yesus lebih dekat, saya pun merasa terpanggil untuk mengikuti Yesus lebih dekat dengan menjadi seorang Imam Yesuit.
Ketika saya mulai merenungkan kehidupan religius, Paus Benediktus XVI mengeluarkan surat ensiklik nya yang menurut saya the greatest encyclical letter ever yaitu Spe Salvi (kita diselamatkan dalam pengharapan). Membaca Spe Salvi saya tersadar bahwa isu ketidakadilan di muka bumi ini ujung-ujungnya adalah persoalan tentang harapan dan keselamatan. Dimanakah kita semua menggantungkan harapan akan keselamatan kita.
Yang menarik bagi saya dari surat itu adalah bahwa Paus mengatakan bahwa contoh yang paling menarik dari sosok yang ingin memperjuangkan keadilan di atas bumi adalah Karl Marx. Marx berusaha membangun kerajaan surga di atas bumi dengan jalan revolusionernya. Akan tetapi, menurut Paus Benediktus, kesalahan utama dari Marx adalah, “dia dengan gampang berpikir bahwa dihancurkannya kelas penguasa…sebuah Yerusalem yang baru akan terbentuk.”
Paus Benediktus mendeskripsikan kesalahan fundamental Marx dengan sebuah argumen bahwa, Marx lupa bahwa manusia akan selalu menjadi manusia. Marx berpikir bahwa ketika sistem ekonomi sudah diperbaiki, maka semuanya pasti beres. Akan tetapi Marx lupa bahwa manusia bukan sekedar produk dari kondisi ekonomi dan tidak mungkin bagi kita menyelamatkan manusia dengan menciptakan situasi ekonomi yang lebih baik.
Dalam suratnya, Paus mengatakan bahwa respon terbaik bagi kita sebagai orang Kristiani terhadap ketidakadilan di dunia adalah menerima kondisi manusia yang tidak sempurna. Dengan kata lain kita harus menerima kenyataan bahwa penderitaan dan ketidakadilan adalah bagian dari hakikat kita sebagai manusia. Kita bisa berusaha sekuat mungkin untuk melawan ketidakadilan dan penderitaan, akan tetapi kita tidak bisa menghilangkan ketidakadilan dan penderitaan dari muka bumi ini karena kita tidak mempunyai kekuatan untuk itu. Hanya Tuhan lah yang bisa mengakhiri penderitaan, yaitu Tuhan yang turun ke bumi dan menjadi manusia dan ikut menderita sebagai seorang manusia dan mati di kayu salib, hanya Dia lah yang bisa mengakhiri penderitaan di dunia ini.
Pada akhirnya perjuangan untuk mencapai ketidakadilan harus berujung kepada pemahaman bahwa Keadilan yang paling sempurna adalah Tuhan sendiri. Tuhan adalah keadilan dan Dia lah yang menciptakan keadilan. Jadi pengharapan kita sebagai orang Katolik adalah bahwa kita menggantungkan harapan pada Tuhan yang bisa menciptakan keadilan. Pengharapan kita sebagai umat Katolik adalah kita berharap bisa bertahan dalam menerima penderitaan dan menunggu dengan penuh harapan akan janji kebangkitan badan dan kemenangan Kritus akan maut.
Setelah membaca surat ensiklik Spe Salvi tersebut, saya pun memutuskan untuk membanting dan membuang masa lalu saya sebagai seorang aktivis politik dan memutuskan untuk menjadi seorang Imam Yesuit. Apakah dengan menjadi seorang Imam Yesuit, saya hanya akan menjadi seorang rohianawan yang besikap pasif yang berdoa dan nrimo saja. Jawaban atas pertanyaan itu bisa kita temukan dalam bacaan Injil hari ini.
Injil hari ini sering salah ditafsirkan sebagai keberpihakan Yesus terhadap spiritualitas yang kontemplatif yang dilambangkan oleh Maria, sementara Martha disalahkan karena terlalu aktif, jadi dengan kata lain model spiritualitas yang aktif cukup bermasalah. Akan tetapi, jikalau kita cermati Injil pada hari ini, Yesus mengatakan bahwa Maria telah memilih bagian yang terbaik. Yesus menggunakan kata yang terbaik untuk menunjukkan bahwa bagian yang dipilih oleh Martha juga baik. Jadi apa yang dilakukan oleh Martha bukanlah hal yang buruk ataupun jelek.
Pada intinya Yesus ingin mengingatkan bahwa pada akhirnya kehidupan kita yang aktif dalam karya Tuhan akan berakhir dengan kematian kita secara fisik. Ketika kita meninggal, tentu saja tubuh kita tidak bisa lagi memberi makan kepada orang-orang yang kelaparan atau pun membantu orang-orang miskin. Martha cepat menangkap pelajaran dari Yesus, karena dia tahu dan mengerti bahwa kehidupan kita yang aktif di dunia ini akan berakhir. Buktinya adalah kejadian ketika saudara laki-lakinya, Lazarus meninggal dunia. Di Injil Yohanes bab 11, Martha berkata kepada Yesus bahwa dia percaya bahwa saudaranya Lazarus akan bangkit pada akhir zaman. Kemudian Yesus berkata: "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?" Martha pun menjawab, "Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia." Dengan kata lain Martha mengerti bahwa akan tiba saatnya ketika kehidupan aktif duniawi akan diambil dari kita semua. Martha percaya akan kehidupan kekal yang merupakan bagian utama dari iman Kristiani.
Di Injil hari ini kita mendengar bahwa Martha bergulat antara keinginan untuk bersikap aktif dan bersikap pasif. Hal yang sama juga terjadi pada Santo Ignatius dari Loyola. Ketika dia berada di Manresa, Ignatius berpikir bahwa cara terbaik untuk melayani Tuhan adalah dengan cara-cara yang kontemplatif, mulai dari doa sampai mati raga.
Akan tetapi ketika Ignatius mulai kuliah di University of Paris, Ignatius mendapat inspirasi dari Santo Thomas Aquinas yang menjadi dasar teologis dan intelektual bagi dia untuk menggunakan cara-cara yang lebih aktif untuk memuliakan nama Tuhan, dan pada saat yang sama, dia meninggalkan cara-cara mati raga nya yang berlebihan di Manresa.
Ignatius yang lebih matang dan dewasa mulai membangun sebuah sistem baru di Serikat Yesus yang mencoba menggabungkan kedua sistem yang kontemplatif dan aktif. Santo Ignatius percaya bahwa semuanya tergantung pada rahmat Tuhan, akan tetapi kita juga harus menggunakan segala kemampuan, tenaga dan pikiran untuk bekerja sama dengan Yesus.
Dalam karyanya Pilgrim’s Progress, John Bunyan menceritakan tentang seseorang yang mencoba membersihkan lantai yang kotor berdebu. Akan tetapi setiap kali dia mencoba menyapu, debu di ruangan tersebut terbang ke udara dan kemudian kembali lagi ke lantai. Setelah dia memerciki air di atas lantai yang berdebu, orang tersebut bisa menyapu lantai dengan lebih gampang. Disini kita bisa melihat bahwa sapu bisa melambangkan kerja-kerja aktif kita di dunia untuk kerajaan Allah, akan tetapi percikan air, yang melambangkan rahmat Tuhan, juga diperlukan untuk membantu sapu mencapai tujuan akhirnya.
Analogi antara sapu dan air ini merupakan contoh bahwa kita bekerja sama dengan Tuhan untuk membangun Kerajaan Allah. Kita harus menggunakan segala kemampuan kita untuk membangun perdamaian dan keadilan di dunia ini. Meski demikian, kita juga membutuhkan rahmat Tuhan untuk mencapai tujuan kita mewujudkan perdamaian dan keadilan di muka bumi ini.
Saya baru saja memulai perjalanan saya sebagai seorang Imam Yesuit. Oleh karena itu saya meminta tolong doa kalian semua agar saya bisa menjadi Imam Yesuit yang rendah hati dan penuh pengharapan. Saya ingin menjadi seorang Imam Yesuit yang penuh pengharapan karena saya ingin membantu memberikan harapan kepada orang banyak di tengah penderitaan mereka.
Akan tetapi, sebagai seorang Imam Yesuit, saya sadar bahwa ada keterbatasan bagi kita umat manusia karena usia, kemampuan fisik dan pikiran, dan akan tiba saatnya ketika harus menyadari bahwa misi kita di dunia ini tidak selesai. Oleh karena, seperti yang dikatakan oleh Santo Ignatius, “Hanya rahmat dan cintaMu padaku yang ku mohon menjadi milikku.”
Tuhan memberkati kalian semua.
Pendatang Baru
Memilih bangku paling depan di gereja
Seperti biasanya, setiap hari Minggu pagi orang-orang datang ke gereja dan langsung memilih tempat duduk di bangku bagian belakang. Demikian juga dengan pagi ini, kecuali seorang pendatang baru yang langsung menuju ke bangku paling depan.
Setelah kebaktian, Pendeta memberi salam kepada pendatang baru ini sambil bertanya mengapa ia duduk di bangku paling depan. "Saya seorang sopir bus," jawabnya, "dan saya datang untuk belajar dari anda bagaimana caranya membuat orang-orang berebut duduk di bangku yang paling belakang."
Monika Fuun dan Secuil Kenangan
Perjuangan dan dedikasinya menunjukkan komitmen akan cinta dan rasa syukur kepada Tuhan yang hanya dapat beliau lakukan lewat WKICU.
Ditulis oleh Agem Rahardjo
(Mengenang satu tahun meninggalnya Tante Monik)
** Bahan tulisan oleh Imman Chiang.
Sinar matahari siang itu menyengat cukup panas membakar kulit kering yang lupa dibaluri sunblock. Saya menyingkir dan masuk ke dalam tenda sesekali untuk berteduh sebentar di bawah kain terpalnya yang melebar panjang. Ada hembusan angin dingin yang menusuk ketika bersembunyi dari sorotan tajam sang mentari. Saya berada di cosmopolitan gathering place, Union Square di pusat kota San Francisco saat itu. Kalau ingatan saya tidak salah, waktu itu sekitar pertengahan bulan September tahun 2012. Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) menyelenggarakan acara Indonesia Day----- peringatan rutin tahunan perayaan Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia yang sebenarnya jatuh pada tanggal 17 Agustus, dan bagi kita di Indonesia peringatan itu cukup diucap tujuh belasan.
Saya membantu Konsulat Jendral Republik Indonesia menunggui stand mereka. Sebuah tenda yang tersedia sebagai pusat informasi dan promosi mengenai Indonesia berdiri di sudut deretan akhir di antara tenda-tenda yang menjual makanan dan jajanan khas Indonesia. Di dalam tenda itu, di atas meja ber-taplak kain batik berjejer brocure dan leaflet yang memperkenalkan dan menampilkan pariwisata serta keragaman budaya. Ada juga buku-buku karya sastra Indonesia baik asli maupun terjemahan yang diapit hiasan payung Bali dan beberapa patung wayang. Stand yang saya tunggui hanya sedikit menarik pengunjung yang datang. Mengherankan sekaligus juga menyedihkan. Panggung besar di sisi tengah lapangan tempat menyajikan acara utama seperti tari-tarian dan bermacam kebudayaan Indonesia punya nasib baik. Suara gamelan, tari-tarian dan nyanyian lagu-lagu Batak serta permainan alat musik Kolintang yang keluar dari pengeras suara berhasil menarik banyak pengunjung.
Matahari mulai meninggi, orang yang datang bertambah semakin banyak. Mereka berserakan disetiap sudut lapangan berebut tempat dengan sinar matahari yang cepat menyebar memenuhi tempat bernama Union Square itu. Dari dalam tenda saya melihat sebagian besar lainnya tampak berjubel dengan semangat 45 bagai pejuang-pejuang kemerdekaan yang tak kenal menyerah mengular antri di tenda-tenda makanan dan jajanan khas Indonesia di pinggir lapangan berharap tidak kehabisan Nasi Padang, Lontong Sayur ataupun Es Cendol. Beberapa yang telah mendapat makanan asyik menyantap sambil menyaksikan sisa pertunjukkan yang tidak sempat diperhatikan sewaktu mengantri tadi…. sebagian lain yang telah memborong berbungkus-bungkus langsung pulang karena takut makanan dan jajanan itu basi atau rusak karena terlalu lama di kantong plastik dalam cuaca panas.
Ingatan mengenai acara itu masih menggantung di kepala, tetapi ada satu hal yang tetap melekat resap di hati yang mendorong saya menyelesaikan tulisan ini. Secuil kenangan yang menyadarkan banyak hal….secuil saja, karena sebiji sesawi juga mampu memindah gunung.
Tengah hari menjelang sore, seorang wanita tiba-tiba saja masuk ke dalam tenda dengan senyum ramah agak malu-malu. Mata yang terbuka lebar menyapa tepat ketika saya selesai menghabiskan kotak nasi makan siang pembagian dari panitia. Saya membalas sapaan ramahnya. Saya mengenal beliau di gereja Union City. Wanita itu bernama Monika Fuun atau yang akrab kita panggil Tante Monik. Kalau boleh saya menyuruh ingatan kembali ke masa itu, rasa-rasanya beliau adalah umat wkicu pertama yang berbicara hati ke hati, penuh kehangatan dan keakraban kepada saya.
Obrolan di antara kami terjadi. Beliau tinggal seorang diri di downtown San Francisco. “Saya sih cuma tinggal jalan kaki aja sampe.” Begitu katanya menjawab pertanyaan saya soal tempat tinggalnya. Mendengar jawaban itu, saya yang belum genap dua tahun berada di Amerika dan belum juga berhasil mendapat pekerjaan segera menduga bahwa Tante Monik ini pasti bekerja di tempat yang sangat baik dan bergaji besar karena jika tidak, mana mungkin akan sanggup membayar tempat tinggal yang jaraknya hanya tinggal selangkahan kaki saja dari Union Square?
Monika Fuun berasal dari Maluku. Dilahirkan 13 Desember 1956 di desa Sofianin kepulauan Tanimbar, tepatnya di sebuah pulau kecil bernama Fordate yang terletak di sebelah tenggara kepulauan Maluku. Desa kelahirannya terpencil sekali hingga saya kesulitan mencari keterangan mengenai daerah itu meskipun dibantu oleh tuan Google. Sebagai anak tukang kayu pasangan Theodorus Fuun dan Wilhelmina Bungaa, beliau telah terdidik hidup keras dan menjadi kuat. Sejak lulus SMP telah sangat terampil dan cekatan membantu ayahnya.
Saat umur 19 tahun pindah ke Jakarta bersama ketiga saudaranya dan kemudian diboyong ke kota Bogor bekerja di sebuah rumah makan. Hijrahnya ke Bogor inilah yang kemudian merubah perjalanan hidup Monika Fuun hingga akhir hayatnya. Sejak rumah makan tempatnya bekerja tutup setelah pemiliknya meninggal dunia, beliau mendapat pekerjaan baru di sebuah Apotik (toko obat) yang berlokasi di kota yang sama, hingga akhirnya tahun 1995 diajak ke Amerika oleh salah satu anak pemilik Apotik tersebut untuk membantunya mengurus keluarga dan merawat anak-anak mereka. Lama setelah bekerja membantu keluarga ini beliau memutuskan untuk mencari pengalaman baru. Dengan bantuan seorang teman akhirnya beliau berhasil mendapatkan pekerjaan di sebuah hotel/penginapan khusus yang merawat orang-orang tua yang terletak di tengah kota San Francisco. Dan atas kebaikan pemilik perusahaan tersebut beliau diijinkan menempati salah satu kamar di sana.
Dari cerita dan obrolan kami di dalam tenda sepanjang siang hingga sore itu menjadikan saya paham mengenai apa yang dikerjakan selama kedatangannya di Amerika. Dengan status keimigrasian yang tidak jelas, keterbatasan bahasa dan pendidikan yang menurut beliau sama sekali tidak dapat diandalkan untuk mendapat pekerjaan dan hidup layak telah membuatnya lebih kuat dan tahan banting. Keyakinan diri dan penyerahan jalan hidupnya kepada Tuhan telah membawanya pada sebuah keajaiban akan berkat berkelimpahan dari Allah yang memampukannya melewati segala rintangan dan mendapatkan apa yang menurut beliau sudah lebih dari cukup. Berkat dari harapan sederhana yang beliau inginkan untuk menjalani kehidupan seorang diri di Amerika sudah diterima. “Tuhan itu baik sekali. Semua yang saya minta dalam doa selalu dikasih, Saya mau terima kasih sama Tuhan. Pengen melayani dan selalu kasih waktu untuk Dia,” jelasnya ketika saya tanyakan mengapa sering terlihat di gereja Union City sementara beliau tinggal di San Francisco.
Monika Fuun selalu hadir di tiga wilayah misa WKICU setiap bulan, San Francisco, Santa Clara dan Union City. Bahkan beliau masih menyempatkan diri hadir di misa Minggu keempat bersama KKI Sacramento…..belum lagi beliau selalu muncul dengan semangat tinggi di beberapa undangan acara doa Rosario, Persekutuan Doa, dan kegiatan religius lain tanpa perduli jarak yang membentang menghadang. Perjuangan dan dedikasinya menunjukkan komitmen akan cinta dan rasa syukur kepada Tuhan yang hanya dapat beliau lakukan lewat WKICU. Niat adalah api yang membakar, dan perjuangan sebagai perwujudannya. Beliau mengajarkan kepada saya dan juga kepada kita bagaimana seharusnya melayani Tuhan sekaligus mencintai komunitas ini. Mungkin saya terbiasa bersembunyi dibalik alasan-alasan ketidak mampuan, tidak ada waktu, dan sifat terbiasa dilayani hingga niat yang seharusnya ada di dalam diri terkubur dalam-dalam, tinggal tunggu waktu sampai akhirnya mengikis cinta….
Di tenda berukuran kurang lebih 8 x 10 feet itu saya asyik mendengarkan rangkaian rasa syukur yang meluncur tanpa hambatan dari mulutnya. Tanpa beban kisah demi kisah terus mengalir. Saya tidak melihat ada rasa sombong dan sikap merasa hebat. Tertangkap semua tutur cerita dan ujaran kata yang keluar dari mulutnya penuh ketulusan. Takjub atas segala penyertaan Tuhan dan terjawabnya semua doa-doa serta harapan. Harapan dalam ujud permohonan yang begitu sederhana untuk hanya bisa diberi tempat tinggal dan berteduh, mendapatkan makan, diberi waktu luang untuk melayani, dan kemampuan menyimpan sedikit uang lebih sekedar membantu keluarga di kampungnya. Dengan wajah serius sambil menatap ke luar tenda sempat terucap keinginannya membantu menyekolahkan seorang keponakannya. Keinginan dari keterbatasan dan kesederhanaannya yang menyentuh hati. Suara gamelan yang dimainkan oleh para bule dari tengah panggung menambah suasana perbincangan kami. Ada nuansa magis tercipta yang mengingatkan ujaran; Ketulusan datang dari dasar hati yang paling dalam…..jika hati seumpama lautan dalam, ketulusan bersemayam di dasar sana. Kita harus sanggup dan mau turun menyelam ke bawah dan terus ke bawah, merendahkan diri dan hati kita serendah-rendahnya agar dapat menyentuh, merasakan dan sampai ke sana. Jangan biarkan tubuh, ego dan kesombongan mengangkatmu kembali ke atas.
Tante Monik orang yang selalu mencari Tuhan dan berusaha dekat denganNya. Dengan segala keterbatasan, beliau telah menyentuh lini setiap sudut ruang hati kita. Rasa gerah dan tidak senang akan sikapnya yang sering kita salah artikan mampu merubah suasana hati menjadi rasa nyaman, tenang dan aman ketika bekerja dan berada di sekitarnya. Seperti apa yang pernah dirasakan oleh Imman, keponakannya yang tinggal di LA, “Personally, growing up in Bogor with her I always felt safe when she is around for she is strong and brave and very protective of us as children at that time. And I know she loved us her nephew, she always remember to called each of us on our birthdays and even on our wedding anniversary. So very thoughtful of her.”
Monika Fuun telah pergi meninggalkan kita semua dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dua hari sebelum beliau meninggal dunia, saya mendapat sms dan pesan wa dari beberapa umat yang bertanya tentang keberadaannya. Beliau yang tidak pernah absen dari acara-acara religius tiba-tiba menghilang tanpa pesan. Tak ada sms atau whatsapp yang terkirim darinya. Handphone yang tak pernah lepas dari tangannya juga diam seribu bahasa tanpa pernah menjawab panggilan. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya dimana rutinitas kesehariannya adalah memberi perhatian melalui kiriman doa dan renungan lewat pesan whatsapp. Menelpon saya dan beberapa teman lain untuk minta bersama-sama mendoakan kesembuhan salah seorang umat atau seseorang yang dekat dengannya. Mengingatkan akan ulang tahun dan tahbisan para Romo, juga selalu menawarkan diri untuk membantu acara-acara WKICU tanpa kita minta.
Tengah malam di bulan November tahun 2019 usaha pencarian berhenti setelah mendapat kabar beliau ditemukan tergeletak di dalam kamarnya dalam keadan sudah meninggal dunia. Kabar itu menyengat kesadaran tentang betapa tipis dan dekatnya sebuah kematian pada diri kita. Dimensi ruang antara hidup dan mati bagai sebuah jaring internet yang tak terlihat namun mampu memindah partikel pesan ketempat yang jauhnya ribuan, bahkan jutaan kilometer dengan tertekannya tombol send sekejapan saja. We are a messenger, saya pernah dengar ungkapan itu. Hidup membawa pesan yang akan kita goreskan ….jika nanti pada gilirannya tombol send kita itu tertekan, pesan apakah yang sudah dan akan kita tulis agar tersurat di layar kehidupan?
Saya termenung di sudut rumah sambil menatap sebuah meja kecil yang sengaja tersedia khusus untuk menaruh sebuah box berisi urn----tempat berbentuk kendi yang di dalamnya bersemayam abu kremasi Tante Monik. Di luar rumah suasana muram dan sepi. Hanya suara kicau burung dan angin bertiup lamban yang tak mampu menggerakkan daun-daun di pepohonan sekedar melambai pelan untuk mengucap salam perpisahan. Saya nyalakan dua batang lilin kecil di samping kanan-kiri sebuah photo. Photo almarhumah yang sedang tersenyum bahagia berdiri persis di depan box berisi urn itu. Ada seuntai Rosario berwarna biru kesayangan beliau yang selalu menemaninya setiap saat masuk ke dalam doa, baik di rumah ataupun di dalam kendaraan umum yang menjadi alat transportasinya setiap hari. Salib Yesus dan patung Bunda Maria mengapit abu jenazahnya dengan rapih.
”Suatu hari nanti saya pasti nginep di rumah kamu,” katanya saat menolak halus tawaran saya untuk menginap. Masih teringat jelas kedatangan beliau bersama romo-romo tamu yang dihantarnya ke rumah saya menginap satu hingga dua malam dalam program “romo tamu” WKICU sebagai usaha membantu memimpin misa karena ketiadaan romo. Sungguh tak mengira kamu memenuhi janji itu setelah menjadi abu. Tak juga menyangka bahwa usaha kamu yang tak kenal lelah mengajak umat datang ke misa San Francisco akhirnya menjadi nyata. Lebih dari 200 orang telah berbondong ikut misa, meski itu untuk menghadiri misa pemakamanmu. Misa pemakaman yang megah dan indah di St. Ignatius Church, San Francisco telah Tuhan Yesus sediakan menghantar kepergianmu ke rumah Bapa.
Sabtu pagi hari kedua, keponakan beliau datang menjemput abu jenazahnya. Pertemuan hangat dengan sang keponakan (Imman dan istrinya) mengalirkan cerita dan kenangan baik tentang seorang tante yang sangat dicintai oleh keluarga dan saudara-saudaranya. Terlontar kabar hari itu bahwa harapan yang pernah beliau katakan di dalam tenda telah terlaksana. Suri, keponakan perempuannya di Indonesia telah berhasil disekolahkannya hingga bangku kuliah. Imman dan istrinya pamit pulang tak lama berselang dan mengatakan akan mampir dahulu menikmati pemandangan sepanjang pantai Monterey sebelum perjalanan kembali menuju Los Angeles. “Istri saya ingin jalan-jalan kesana.” Kata Imman. Bagai tersengat listrik mendengar itu saya berujar dalam hati, “Oh Tante…..indah betul cara Tuhan membalas ketulusan dan kesederhanaan cintamu.” Betapa Tante Monik sangat menyukai indahnya pantai Monterey hingga selalu menyarankan saya untuk membawa para romo yang menginap di rumah untuk pelesir ke sana. “Saya suka sekali ke Monterey. Pemandangan pantainya sungguh indah. Nggak pernah bosen saya!” Katanya menjelaskan ketika saya tanya mengapa harus selalu pergi ke sana?…………sudah menjadi abu-pun kamu masih diberi kesempatan menikmati pantai kecintaanmu.
Menyadari apa yang barusan saja terjadi, ketika melihat mobil keponakannya itu menghilang di tikungan jalan saya tergesa masuk rumah. Meraih handphone di atas meja. Teringat pesan terakhirnya yang terkirim satu minggu sebelum beliau meninggal yang isinya pesanan gado-gado dan telur balado untuk acara rekoleksi para suster Putri Carmel. Jempol ini dengan cepat mengetik kata, “Terima kasih tante! Saya akan pastikan tidak ada yang mengganti menu pilihan ini.” Jempol menekan tombol send…..Terkirim! Entah siapa yang membaca pesan balasan itu di hp-nya. Saya hanya ingin menambah terwujudnya satu keinginan beliau, dari sekian banyak permintaan dan keinginannya yang secara ajaib telah terpenuhi.
Sambil merapihkan kembali meja kecil, lilin, Salib Yesus dan patung Bunda Maria bekas tempat meletakkan box berisi urn tadi pikiran saya terbang mengembara. Ada rasa damai nan membahagiakan ketika membayangkan Tante Monik sedang bergandengan tangan berjalan di sepanjang pantai Monterey bersama sosok tubuh seseorang yang dibalut cahaya benderang. Mereka berjalan mesra beriringan, sesekali terlihat menari lincah….deburan ombak mengiringi lamat-lamat sebuah lagu riang yang terbawa angin pantai,
Maumere da gale kota Ende
Pepin gisong gasong
Le'le Luk Ele Rebin Ha
La Le Le Luk Si La Sol
Mi Fa Mi Fa Sol Le'le Tiding Fa Fa
Rebing Mude Mi
Do Do Do Do Mi Do Mi Do Gemu Fa Mi Re
Ele le ... Ele le...
Putar ke kiri e...
Nona manis putarlah ke kiri
ke kiri ke kiri ke kiri
dan ke kiri ke kiri ke kiri
ke kiri manis ee...
Sekarang kanan e...
Nona manis putarlah ke kanan
ke kanan ke kanan ke kanan ke kanan
dan ke kanan ke kanan ke kanan
ke kanan manis ee..
A Half-Full Glass of Life
Jadi biarlah kapal ini tenggelam bila harus tenggelam, dengan segala kail dan jalanya
Biarlah guncangan badai menceburkan ku ke dinginnya danau
Selama Yesus ada di dalam perahuku, tentramlah jiwaku
Pandemi belum berakhir, kebakaran hutan mengikuti, polusi udara dan evakuasi.
Ekonomi jalan di tempat, resesi menghantui
Kontak sosial jadi minimum, kesepian menjadi-jadi
Bagaimana juga emosi ini, kekuatiran menjadi warnanya, dan ketakutan begitu nyata.
Hari esokku bagaimana, kesuksesanku jadi tanda tanya. Rasa amanku terusik dan kian sirna.
Aku bertanya, di manakah Engkau Tuhan.
Kuraih cangkir kopiku. Yang selalu setia menemani setiap pagi, tiada henti. Ya, setia.
Seperti Mentari yang tidak pernah terlambat
Sehari pun tiada pernah dia tak datang, sejak aku lahir.
Sinarnya menerangi agar jalanku tak jatuh.
Hangatnya begitu sempurna bagaimana jadinya bila tanpa hadirnya.
Adakah yang lebih setia dari cangkir kopiku?
Adakah?.
Ya ada.. ! Dia yang mencipta, Dia Sang Pencipta.
Oh bunga bakung merenunglah
Sepanjang hidup ternyata oh baik-baik saja
Separoh jalan hidup ini oh pernahkah engkau berkekurangan?.
Jadi mengapakah kau dan aku tambahkan lagi beban di pundak, semua kekuatiran yang dunia tawarkan.
Besok akan baik-baik saja seperti kemarin dan hari ini
Kesuksesan dan rasa aman tiada lagi penting selama aku berjalan bersamamu Yesus.
Aku pilih menjadi ‘happy’, aku pilih menjadi berani dan besar hati.
Hanya rahmat dan kasihMu padaku,
yang kumohon menjadi milikku.
Bukankah limitation semata menggiring kerinduan untuk menghargai sesamaku lebih lagi?
Membawa hadirku dan hadir mereka menjadi syukur akan karuniaNya
memberi bukti dan aplikasi turutkah kami akan jalanNya
berlomba dengan waktu, sebelum hari berganti malam.
Tiadalah perlu hidup berlebih, memimpi apa yang aku tak harus punya
Apa itu resesi? Hidup ini penuh berkat, seperti kemarin dan hari ini
Buktinya gelas hidup ini telah setengah penuh terisi
In fact terlalu cukup untuk berbagi
Terlalu banyak untuk janda miskin dengan dua sen persembahannya.
Adalah mimpi di atas mimpi oh semua yatim piatu dan korban perang yang makanpun tak selalu .
Padahal aku sesungguhnyalah tiada lebih berharga dari mereka
Apa yang membuatku ?.
Jadi biarlah kapal ini tenggelam bila harus tenggelam, dengan segala kail dan jalanya
Biarlah guncangan badai menceburkan ku ke dinginnya danau
Selama Yesus ada di dalam perahuku, tentramlah jiwaku
BerkatNya cukup untuk hari ini dan esok, hidup dan matiku untuk Kristus dan bersama Dia.
We can even walk on this stormy water, and for that you may ask Peter.
Ya dan amin, semua akan baik-baik saja ketika kita percaya.
CA, Fall 2020
Nasihat Pendeta
Resep pandai bergaul
Seorang pemuda yang akan berangkat ke ladang misi (tugas mengemban misi agama) pamit pada Pendetanya.
"Pa, minta doa. Besok saya akan pergi ke ladang misi," katanya.
"Pergilah, Nak. Hati-hatilah di negeri orang, kau harus pandai bergaul, supaya banyak menenangkan jiwa."
"Bagaimana resepnya, Pa?"
"Ya, jika kau bertemu dengan tukang tahu, bicaralah soal tahu. Jika bertemu dengan tukang lontong, bicaralah soal lontong, dan jika bertemu dengan tukang sayur, bicaralah soal sayur."
"Bagaimana, jika bertemu dengan ketiganya, Bapa?"
"Ya, bicara saja soal gado-gado, Nak.."
God's Wings...
Time waits for no one. Treasure every moment you have.
After a forest fire in Yellowstone National Park, forest rangers began their trek up a mountain to assess the inferno's damage. One ranger found a bird literally petrified in ashes, perched statuesquely on the ground at the base of a tree. Somewhat sickened by the eerie sight, he knocked over the bird with a stick. When he gently struck it, three tiny chicks scurried from under their dead mother's wings. The loving mother, keenly aware of impending disaster, had carried her offspring to the base of the tree and had gathered them under her wings, instinctively knowing that the toxic smoke would rise.
She could have flown to safety but had refused to abandon her babies. Then the blaze had arrived and the heat had scorched her small body, the mother had remained steadfast...because she had been willing to die, so those under the cover of her wings would live.
'He will cover you with His feathers, and under His wings you will find refuge.' (Psalm 91:4)
Time waits for no one. Treasure every moment you have.
You will treasure it even more when you can share it with someone special. To realize the value of a friend...lose one.
Certain things catch your eye, but pursue only those that capture your heart.
(Bahan tulisan dikumpulkan oleh Hanafi Daud dari beberapa sumber)
Pasukan Allah
Ada waktunya untuk bertugas
Setelah Kebaktian usai, ada seorang Pendeta yang selalu berdiri di depan pintu keluar untuk menyalami seluruh umat yang hadir. Pendeta ini menyalami teman saya dan menariknya ke sudut gereja untuk berbicara dengannya.
Pendeta ini berkata :
”Anda perlu bergabung dengan 'pasukan Allah', nak!"
Teman saya menjawab :
" Saya sudah bergabung dengan 'pasukan Allah', Pak."
Pendeta itu kemudian bertanya, "Tapi mengapa saya hanya melihatmu pada hari Natal dan Paskah saja?"
Teman saya itu kemudian berbisik, "Saya termasuk dalam agen rahasia!"