Nilai Luhur Seksualitas
Adakah (tindakan seksual) Yang Diperbolehkan Di Luar Pernikahan ?
Tidak ada !.
Tuhan telah merancang tindakan seksual untuk secara eksklusif hanya terjadi dalam pernikahan.
Prinsip moralnya adalah: setiap penggunaan kemampuan seksual secara sengaja di luar pernikahan adalah salah besar. Oleh karena itu, setiap aktivitas seksual yang dilakukan di luar ikatan perkawinan dilarang, dan merupakan dosa berat, sejauh bahwa anda tahu itu adalah salah dan tidak menolaknya.
Jadi bersadarkan prinsip moral ini, hal-hal berikut adalah dosa dan terlarang: perzinahan, inses, tindakan homoseksual, onani, dan pencabulan. Secara jelas prinsip ini melarang setiap jenis aktivitas genital di luar pernikahan, baik yang dilakukan sendiri atau dengan orang lain.
Bagaimana dengan ciuman atau sentuhan yang penuh gairah?.
Mari kita terapkan kembali prinsip: “setiap penggunaan yang disengaja dari kemampuan seksual di luar pernikahan adalah tidak bermoral.” Ini termasuk dengan sengaja membangkitkan gairah seksual pada diri sendiri atau pasangan.
Jelas, jika Anda berpegangan tangan atau memberikan ciuman selamat malam yang tidak tulus dan secara tidak sengaja membangkitkan gairah seksual, anda tidak bersalah atas dosa.
Tetapi jika anda dengan sengaja menuruti gairah itu, atau jika anda mencium dan menyentuh dengan maksud untuk membangkitkan gairah, anda bersalah.
Beberapa ekspresi kasih sayang hampir pasti bisa membangkitkan gairah seksual. Maka semua itu harus dihindari sampai saatnya dapat digunakan secara sah dalam ikatan pernikahan.
Pandangan Gereja atas Homoseksualitas
“Gereja berusaha untuk memungkinkan setiap orang untuk menghayati panggilan universal menuju kekudusan. Orang-orang dengan kecenderungan homoseksual harus menerima setiap bentuk bantuan dan dorongan untuk menerima panggilan ini secara pribadi dan sepenuhnya. Ini sudah pasti akan membutuhkan banyak perjuangan dan pengendalian diri, sebab mengikuti Yesus selalu berarti mengikuti jalan Salib. Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat menjadi sumber penting bagi penghiburan dan pertolongan di jalan ini."
Tentang Penyimpangan Homoseksualitas
Homoseksualitas diartikan sebagai hubungan antara laki-laki atau antara perempuan yang mengalami ketertarikan seksual eksklusif kepada orang-orang dari jenis kelamin yang sama. Hubungan ini muncul dalam berbagai bentuk selama berabad-abad dan dalam budaya yang berbeda-beda pula. Asal-usul psikologisnya sebagian besar tetap tidak dapat dijelaskan.
Berdasarkan Kitab Suci, yang menyajikan tindakan homoseksual sebagai tindakan kebejatan berat (lih. Kejadian 19:1-29; Roma 1:24-27; 1 Korintus 6:10; 1 Timotius 1:10), tradisi suci selalu menyatakan bahwa “Tindakan homoseksual secara intrinsik adalah menyimpang dan merusak.” Hubungan semacam itu melawan hukum alam. Mereka menutup kemungkinan hadirnya karunia kehidupan dalam tindakan seksual yang seharusnya. Mereka bukan hasil dari ketertarikan seksual yang saling melengkapi dan alami. Dalam kondisi apapun hubungan semacam ini tidak dapat disetujui ataupun dibenarkan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa jumlah pria dan wanita dengan kecenderungan homoseksual yang mendalam tidaklah sedikit. Bukan pilihan mereka memiliki kondisi homoseksual; sebab bagi kebanyakan dari mereka, kondisi itu adalah sebuah cobaan hidup dan kesengsaraan.
Namun mereka harus diterima dengan hormat, kasih sayang, dan kepekaan. Setiap tanda dan tindakan diskriminasi yang tidak adil terhadap mereka harus dihindari. Orang-orang ini dipanggil untuk memenuhi kehendak Tuhan dalam hidup mereka dan, jika mereka adalah orang Kristen, untuk menyatukan kesulitan yang mungkin mereka hadapi (karena kondisi mereka itu) dalam pengorbanan Salib Tuhan di kayu salib.
Orang-orang yang homoseksual (pun) dipanggil untuk kesucian. Berdasarkan pengendalian diri yang mengajari mereka kebebasan batin, kadang-kadang dengan dukungan persahabatan yang tidak memihak, dengan doa dan rahmat sakramental, mereka dapat dan harus secara bertahap dan tegas mendekati kesempurnaan sebagai seorang Kristen.
Sumber: Catechism of the Catholic Church (CCC) section 2352, 2357-2359, section 2390
(Congregation for the Doctrine of the Faith, Persona humana, 8)
USCCB, Ministry to Persons with a Homosexual Inclination (2006), p.13
Dari Katekismus Gereja Katolik, 1994
Listening to the Lord's Words - (a New Year's resolution)
May all holy Angels and Saints help me with this resolution and may the Holy Spirit helps me to bear the fruit from this resolution
In 2021, The Lord - thru his angel - sent me a book, which guides and teaches the readers how to communicate with Jesus and or answer His calling. It helps the readers to understand and seeing themselves from Jesus's perspective, thru a short and simple daily reading.
I promised myself to read it all the way in year 2022, including the scripture' chapters and verses behind the teaching. May all holy Angels and Saints help me with this resolution and may the Holy Spirit helps me to bear the fruit from this resolution.
-Metanoia-
Resolusi tahun 2022
Hanya dengan rahmat-Nya saja lah, saya berharap untuk mencapai resolusi ini di satu tahun mendatang.
Selama tahun 2021, saya merasa dunia seakan berputar lebih cepat dari tahun-tahun sebelumnya. Mungkin karena pengaruh pandemi COVID-19, atau mungkin juga karena faktor-faktor lain yang membuat saya merasa seperti ini.
Namun, saya pun merasa bahwa saya lebih bebas dari beban-beban hidup yang saya telah rasakan sekian lama nya. Ini semua karena kasih Tuhan Yesus, sang juru penyelamat kita yang luar biasa. Dengan kuasa penyembuhanNya melalui salah satu keluarga saya, banyak luka batin yang telah terlepas. Puji Tuhan!
Menjelang tahun 2022 ini, saya ingin meneruskan perjalanan iman saya untuk tidak saja semakin dekat dengan Tuhan Yesus dan Bunda Maria; tetapi juga untuk lebih berbaik hati dan lembut terhadap diriku sendiri.
Hanya dengan rahmat-Nya saja lah, saya berharap untuk mencapai resolusi ini di satu tahun mendatang. Amin!
Selamat Hari Natal 2021 & Tahun Baru 2022 !!!
Own Uniqueness (New Year Resolution)
“…. mengenal kelebihan dan kelemahan diri sendiri dan belajar tidak merasa kekurangan atau berlebihan, dengan kata lain “embrace my own uniqueness”.
Setiap tahun, saya mempunyai resolusi yang sama, yaitu selalu memperbaiki diri lebih baik dari tahun yang lalu. Contohnya seperti jangan berpikiran negatif, makan lebih sehat dan lainnya.
Tapi untuk tahun 2022 ini, hati saya terketuk untuk lebih mengenal diri sendiri, mengenal kelebihan dan kelemahan diri sendiri dan belajar tidak merasa kekurangan atau berlebihan, dengan kata lain “embrace my own uniqueness”.
Tuhan menciptakan setiap manusia dengan pribadi yang unik dan menurut gambar dan rupaNya. Kita diciptakan dengan kemampuan, kelemahan, bakat and sifat masing-masing. Saya diciptakan menurut rencanaNya dan tugas saya adalah untuk lebih mengapresiasi & mensyukuri segala yang telah diberikanNya. Selamat Tahun Baru!
A New Perspective - (Sebuah Resolusi Tahun Baru)
Aku harus tahu bahwa melakukan kesalahan dan dosa-dosa meskipun kecil dan kelihatan sepele - tidaklah bisa dibilang oke-oke saja.
Tahun lalu saya bertekad ingin hidup sehat di tahun 2021, lebih banyak berolahraga dan hanya makan makanan yang sehat. Dan yang terutama, saya ingin selalu mampu mematuhi firman Tuhan dan selalu bersikap baik terhadap orang lain.
Sekarang untuk tahun baru 2022, saya berharap agar terhindar selalu dari segala sakit penyakit, dan menghindari konsumsi makanan yang tidak sehat. Menjauhi segala dosa, dan 'memperlakukan' orang lain layaknya sebagaimana saya ingin diperlakukan.
Sekilas keduanya mungkin terdengar sama, hanya cara mengatakannya yang berbeda.
Tapi jika benar sama saja, apa perlunya mengatakannya secara berbeda ?.
Saya mencari jawabannya. Dan berbekal dari keyakinan bahwa apa yang terucap adalah keluar dari hati, maka saya membiarkan suara hati menguraikan apa yang menjadi resolusiku untuk tahun yang baru ini, dan untuk juga fokus pada cara pencapaiannya.
Sebagai contoh, cara untuk menjaga kesehatan adalah dengan mengetahui jenis makanan yang tidak sehat (meskipun terlihat enak dan memang enak). Mengkonsumsinya, tidaklah oke-oke saja.
Aku harus tahu bahwa melakukan kesalahan dan dosa-dosa meskipun kecil dan kelihatan sepele - tidaklah bisa dibilang oke-oke saja.
Mementingkan hal duniawi dan tidak seutuhnya bertumpu akan kasih Tuhan, tidaklah oke saja.
Kurang memberi perhatian kepada orang tua dan saudara, bukanlah sesuatu yang oke.
Dan menghakimi orang lain dalam hati dan pikiran, meski tak ada yang tahu, itu pun tidaklah oke-oke saja.
Mendiamkan orang lain dan selalu ingat kesalahan mereka, itu tidaklah oke-oke saja.
Mengambil sesuatu yang bukan hak saya dan tidak ada yang tahu, itu sangat tidak oke.
Tidak bermurah hati kepada mereka yang berkekurangan dan berhak, itu jauh dari oke.
Dan iri, menginginkan milik orang lain dalam hati,...sangatlah tidak oke.
Saya harus tahu dan sadar dari sekarang, mumpung belum terlambat, bahwa semua itu tidaklah oke-oke saja.
Semoga Tuhan selalu mengajariku untuk senantiasa bergantung dan bertumpu hanya pada kasihNya saja. Hanya berkat dan kasih sayangmu, Ya Tuhan, cukuplah itu bagiku.
Dan arahkanlah mata hatiku, untuk memandang harta duniawi yang tak seberapa ini, sebagai alat semata, bukan sebagai jaminan hidupku. Karena jaminan hidupku adalah kasih dan rahmatMu saja.
Ingatkanlah aku jangan mencari kenikmatan badani dan duniawi, melainkan yang rohani dan Surgawi.
Agar aku terhindar dari keinginan akan rumah sesamaku, atau istrinya, atau apapun yang dipunyainya.
Dan ajarilah aku untuk selalu berkata benar dan suci, meskipun itu pahit dan dibenci.
Semoga dengan menghindari segala sesuatu yang tidak baik, aku akan manjadi pribadi yang lebih baik.
Begitupun dengan mengikis segala egoisme, perlahan namun pasti semoga aku bisa menjadi pribadi yang lebih bijaksana.
Happy New Year 2022.
Proses Pemberian Gelar Santo/Santa
Gelar Santo / Santa adalah bagi mereka yang hidupnya ditandai oleh pelaksanaan kebajikan yang mencapai titik heroik, dan kekudusan mereka dapat dibuktikan dengan argumen-argumen / mujizat dari Tuhan yang diperoleh melalui perantaraan doa orang kudus itu. Hal ini bertujuan untuk membuktikan bahwa ia adalah benar sahabat Allah.
Maka proses kanonisasi dan beatifikasi bukanlah proses ‘pembuatan’ seseorang menjadi Santo/ santa, namun hanya merupakan deklarasi bahwa orang itu adalah orang yang hidup kudus bahkan sejak sebelum proses kanonisasi dimulai.
Proses penentuan seseorang menjadi Santo/ Santa dalam Gereja Katolik memakan waktu yang panjang dan memerlukan bukti yang kuat berupa mujizat-mujizat yang harus ada, bahkan setelah orang tersebut meninggal, untuk membuktikan bahwa Allah memang berkenan kepada perantaraan doa orang tersebut.
Bukan uskup atau Paus yang menentukan seseorang menjadi kudus; Paus hanya menyatakan seseorang menjadi Santa / Santo setelah melalui proses penyelidikan panjang. Prosesnya itu sendiri melibatkan banyak orang, dan harus dibuktikan dengan mukjizat (minimal 2), dan mukjizatnya pun harus diperiksa secara objektif oleh dokter yang ahli.
Proses kanonisasi bukan sesuatu yang mudah, dan memakan waktu bertahun-tahun. Namun justru dalam proses itulah terlihat apakah sungguh Tuhan berkenan menyatakan seseorang tersebut sebagai orang kudus-Nya, melalui mujizat-mujizat yang terjadi setelah bertahun-tahun orang itu meninggal dunia, yaitu melalui permohonan doa syafaat orang kudus tersebut.
Secara garis besar, proses kanonisasi adalah sebagai berikut:
Servant of God (Hamba Allah): Proses yang dimulai di level keuskupan. Uskup (atau ordinaris) membuka kesempatan penyelidikan ‘calon’ para kudus itu, yaitu dalam hal kebajikannya, sebagai respons dari permohonan umat kaum beriman. Penyelidikan umumnya dilakukan setelah lima tahun orang tersebut meninggal dunia, walaupun untuk kasus tertentu, Paus dapat mempercepat proses ini, seperti dalam kasus Ibu Teresa dan Paus Yohanes Paulus II. Setelah informasi lengkap, uskup mempresentasikannya kepada Roman Curia, lalu kemudian ditunjuk seorang postulator (umumnya dari kongregasi- jika itu dari kalangan religius) untuk sungguh-sungguh menyelidiki informasi selanjutnya tentang kehidupan sang Servant of God/ hamba Allah ini.
Declaration ‘Non Cultus’ (Pernyataan tak ada tahyul): Pada suatu saat dapat diizinkan untuk memeriksa jenazah sang Servant of God, dan pernyataan bahwa tidak adanya tahyul/ pemujaan yang ditujukan pada sang pelayan Tuhan ini.
Venerable/Heroic in Virtue (Yang Terhormat/ Heroik dalam kebajikan) : Setelah segala informasi yang diperlukan terkumpul, Bapa Paus mengumumkan teladan kebajikan dari pelayan Tuhan ini (yaitu yang berhubungan kebajikan ilahi dengan iman, pengharapan dan kasih, dan juga kebajikan pokok, yaitu, kebijaksanaan, keadilan, keberanian, dan pengendalian diri, hingga sampai pada tingkat yang heroik.
Pada saat ini dapat dicetak kartu doa yang dibagikan pada umat, sehingga umat dapat memohon doa perantaraan mereka, mohon agar mukjizat dapat diperoleh dari perantaraan doa mereka, sebagai tanda persetujuan Tuhan, untuk menyatakan pelayan Tuhan tersebut sebagai orang kudus.
Blessed (Yang Terberkati): Beatifikasi adalah pernyataan dari Gereja yang menyatakan bahwa kita dapat percaya bahwa sang pelayan Tuhan tersebut berada di surga, dan memandang Allah dalam Beatific Vision. Pesta nama Santa/ Santo tersebut ditentukan, dan boleh dirayakan.
Jika ia seorang martir, maka tidak diperlukan mukjizat lebih lanjut. Namun jika seorang non-martir, maka diperlukan sebuah mukjizat melalui doa yang ditujukan dengan perantaraan sang Venerable ini, untuk membuktikan bahwa ia benar-benar telah berada di Surga, dan Tuhan menjawab doa syafaatnya dengan memberikan mukjizat.
Sekarang ini yang dapat dianggap mukjizat adalah yang melibatkan: 1) pasien yang sakit, 2) yang tidak diketahui bagaimana cara penyembuhannya, 3) doa ditujukan agar Venerable mendoakan kesembuhan pasien, 4) pasien tersebut disembuhkan, 5) Kesembuhannya spontan, instan/ pada saat itu, menyeluruh, dan “lasting“/ tidak berubah, 6) dokter tidak dapat menjelaskan penjelasan normal.
Para orang kudus (Santo, Santa) adalah orang-orang yang semasa hidupnya meneladani Kristus sampai ke titik yang heroik, demikian pula martir, yang bahkan mencontoh Kristus sampai kepada menyerahkan hidupnya demi iman mereka kepada Kristus. Oleh karena itulah, maka gelar Santa- Santo dan martir itu dapat dikatakan diperoleh karena hubungan mereka dengan Kristus, dan yang telah menerima kepenuhan misteri Paskah Kristus, yaitu wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Surga.
Para nabi di Perjanjian Lama memang dapat juga disebut sebagai orang kudus, namun karena mereka hidup sebelum Kristus, maka mereka tidak mengalami kepenuhan misteri Paskah Kristus. Dan karena para kudus itu adalah menjadi teladan bagi kita dalam hal kekudusan setelah kita dibaptis, maka banyak orang Katolik mengambil nama Baptis dari para orang kudus itu, yang kekudusannya telah diakui sebagai buah dari hidup mereka di dalam Kristus, setelah mereka [para kudus itu] dibaptis di dalam Kristus. Dengan memilih nama seorang Santo/a sebagai nama Baptis/ Pelindung, maka artinya kita memohon agar Santo/ Santa itu berdoa bagi kita agar kita pun dapat bertumbuh di dalam kekudusan, dan dilindungi dari pengaruh kejahatan.
Source:
https://katolisitas.org/kriteria-seorang-diberi-gelar-santosanta/
https://www.catholicregister.org/
St. John the Cross: “God speaks in the Night”
Through his life, writing and teaching, St. John the Cross repeatedly declared that God’s Love is meant for all mankind and our life is a continuous love story with God who inviting us for a deeper Union with Him.
(Summarized & Rewritten by Yanli S. Guerzon)
Feast Day: December 14.
Origin:
St. John the Cross was born as Juan de Yepes y Álvarez in 1542, in the city of Fontiveros, Spain. He was born on June 24 which is the feast day of Saint John of the Baptist. The city of Fontiveros is about 30 miles from the city of Avila.
St. John’s father - Gonzalo de Yepes - is from an affluent family of rich silk merchants. Gonzalo left his family’s wealth to marry Catalina Alvarez, a poor weaver beneath his social class.
Shortly after their marriage, Spain was experiencing a calamity where the country was attacked by the plague of locusts. Spain as a country went to bankruptcy, leaving starving farmers and villagers to poverty. Therefore, John and his two brothers - Francisco and Luis - were born into poverty. His father’s death was followed by Luis who died from malnutrition. His mother tried to ask help from his father’s family but she was dismissed cruelly by her in-laws.
Religious Life:
John learned his basic education of reading and writing through vocational school for the orphans. During his adolescence years, he left the orphanage school and went to live in the Hospital of the Conception where he devoted his times to the victims of the plague and venereal diseases. Afterwards, as an exchange of his nursing services, he was allowed to attend the local Jesuit college. John who was naturally intelligent studied Latin, Greek, rhetoric, Spanish classics and religion. Instead of choosing to be promoted as the hospital Chaplain, he chosen to be growing in love for solitude. As a result, he then decided to enter the religious Order of Carmelite. He took the religious name of Fray Juan De Santo Matía. He was sent by the Carmelites order to study at the University of Salamanca, the finest European university at the time.
Friendship with St. Teresa of Avila:
Toward the end of his religious study, he almost decided to entering the Carthusian monastery where he thought he can practiced his life of solitude. When he finally became ordained into a Carmelite priest and did his first Mass in Medina del Campo, he met Teresa of Avila.
Attempting to leads her nuns back to the original rules of the order, community life, fasting, silence, poverty, and prayer, Teresa founded a renewed monasteries for the Order Carmelite of Discalced (OCD). Discalced means “without shoes” or “barefoot”. To balance their daily living, Teresa incorporated period of recreation into the rule so that the nuns have more time to pray, talk, work and rest.
When Teresa of Avila met John, she knew she has founded a leader to started the OCD community for men who in search of solitude living. While John considered Teresa as his mentor for she is 27 years of his senior, Teresa recognized John as her spiritual director. Finally accompanied by another friar, John started the new discalced men community at Duruelo, outskirts of Avila. He took a new religious name as Juan de la Cruz, or John the Cross in English. The rest was history. More and more young men started joining John in his new reformed Carmelite order.
Transfiguration in Toledo:
The reformed that was originally supported by some leaders in the Carmelite Order became a source of disagreement and anger amongst some of the friars. The devil works through the human’s jealousy and created tension among the Carmelites. After a brief meeting, they decided and condemned the reform movement; thus, John was identified as a rebel within the Carmelites.
John was then arrested by his own Carmelite brothers and was imprisoned in Toledo at the height of cold winter on December 2, 1577. He was flogged, starved and told to forsake his rebellious commitment and to return to the old style of primitive living rules of the Carmelite.
God speaks to John in the nights, he was transfigured in Toledo. The endurance of nine months of sufferings transformed John into his dark nights. Then, at his stark of emptiness, images flowed from the depths of his soul. He poured all of these into his poetic masterpiece, “The Dark Night of the Soul”, and “The Spiritual Canticle.” He encountered God’s separation and yet His Divine Love from a distance. Through God’s mercy and John’s perseverance, he was able to escape and hid in one of the OCD nuns convent in Toledo. The poems he wrote during his imprisonment became the Spanish Poet masterpiece. John of the Cross was truly a mystic, poet, theologian and a master of spiritual direction.
John the Cross Spirituality
The followings are the central themes of John teachings:
“On Fire with Love”, passion for God’s Love. A willingness response to overwhelming the presence of Divine love in our life.
“Compassion for the Poor & the Sick”, his earlier service in hospital for caring for the poor and sick people has made him a person with compassionate heart Christlike.
“Sensitivity to Spiritual needs”, John felt that people were best served through a gentle direction that drew everyone to love God.
“Detachment”, in order to love God’s completely, ones need to detach his or her life from all earthly things. This purification will leads the dark night of the senses and eventually the dark night of the soul.
“ Humility”, being humble is the key of all spiritual enrichment.
“Trust in God”, the need of trusting God’s Providence completely.
“Love of Solitude”, Being in solitude will nourish one’s spiritual strength and intimacy with God.
“Devotion to Mary”, Marian Consecration is a need for getting into eternal life.
John the Cross lived a full life, and finally at the age of 49, he died on December 14, 1591 in Ubeda. He was declared as a saint in 1726 and later on, St. John the Cross was proclaimed as a Doctor of the Church by Pope Pius XI. Through his life, writing and teaching, St. John the Cross repeatedly declared that God’s Love is meant for all mankind and our life is a continuous love story with God who inviting us for a deeper Union with Him.
Senior Citizen
‘Innocence until proven guilty..’
As a senior citizen was driving down the motorway, his car phone rang.
Answering, he heard his wife’s voice urgently warning him. “ Victor, I just heard on the news that there is a car going the wrong way on 1-25. Please be careful.”
“ Hell,” said Victor, “It’s not just one car. It’s hundred of them!”
Steadfast Love
In every year this month we celebrate Thanksgiving Day. Let us express our gratitude and thankfulness for all the goodness of God, and sounding it in our deepest heart as we walk our daily lives through.
“Grateful and Thankful”
“You have given all to me”
What to thank for this Thanksgiving? Hhhmmmm……. A lot!
In Suscipe prayer from St Ignatius; “You have given all to me”….. this is what I thank for, daily.
A highlight for this year: God knows what I lack, ‘communicating with Him heart to heart’.
Therefore, He sends me a little book thru His ‘Angel’ to help me to practice.
And thru WKICU Ignatian Spiritual Exercise with romo Mahar, in one of his meditation guidance is to present ourselves to Jesus, our God. Let Him do the talking and examination . It’s the other way around what I always do in prayers. What a huge impact!
I am grateful and thankful!
Thank you WKICU community !
-Metanoia-
My Thankful Heart
This thanksgiving,
I am thankful for the health that God has given me and my family.
Also thankful for everyone that has sacrificed their time helping WKICU as a community.
May God always give His abundant grace
for them and their family
Amen.
HM-
For Thy is The Kingdom and The Power and The Glory
A blind man granted his sight ..
And a leper cured, as you touched
A crippled walk, as you set him free
And a sinner pardoned, unpunished she
O Lord thank you
For letting me see and pardon me
Holding my hands and walk with Thee
Be our light day and night
Shine in our hearts, shine through the darkness.
O Lord thank you for your eternal blessings
For me to wake up every morning and my eyes see
For every breaths I take and know I am free
Teach me how to bend my heart and knees
For Thy is the Kingdom, the Power and the Glory.
Selter Isoman PTPM
“Ada banyak cerita bermakna dalam masa kegelapan itu, dan karena itu saya semakin yakin bahwa kasih Tuhan itu justru nampak nyata dalam kegelapan yang memantik solidaritas kemanusiaan kita bersama.”
Effendi Kusuma Sunur, SJ
Ketika gelombang kedua covid-19 melanda Yogyakarta (Jogja) di akhir Juni 2021, kami semakin waspada namun belum membayangkan betapa dahsyat dampaknya bagi kami. Di awal bulan Juli 2021, ada usaha di kalangan para Yesuit untuk menanggapi gelombang pandemi kedua ini. Pater Provinsial Serikat Yesus (SJ) Provinsi Indonesia (Provindo) menuliskan surat kepada para Yesuit untuk menyikapi kondisi pandemi terkini saat itu, dan SJ Provindo menyiapkan sebuah selter resmi yang diusahakan oleh Studio Audio Visual (SAV-USD), sebuah karya Yesuit di Jogja.
Pada awal bulan Juli itu pula, saya didatangi oleh petugas Satgas Covid-19 untuk meminta wisma PTPM (Pembina Tenaga Pengembangan Masyarakat) menjadi “semacam” sebuah selter isolasi mandiri (isoman) untuk berjaga-jaga. Saya menyambut pemintaan para petugas dengan menyiapkan 11 kamar dan 1 pastoran untuk menjadi tempat isoman di PTPM dan meminta mereka untuk mendampingi kami di PTPM dari segi medis. Namun karena tak kunjung ada pasien isoman yang masuk, saya memberanikan diri untuk menyebarkan berita terkait kehadiran selter ini kepada beberapa sahabat. Yang terjadi adalah saya dikontak oleh banyak orang yang membutuhkan selter isoman, namun saya tak bisa menerima mereka karena Satgas Covid setempat yang saya mintai bantuan medisnya ternyata sudah kewalahan untuk mengurusi begitu banyak masalah yang muncul dalam gelombang ke-2 pandemi di Jogja.
Karena banyaknya permintaan, panggilan Tuhan untuk menyediakan selter semakin kuat dalam diri saya, dan saya mengupayakan apa yang diperlukan untuk membuka sebuah selter. Saya sadar bahwa saya tak memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk membuka selter, maka saya mengontak seorang dosen UGM untuk meminta bantuannya. Darinya saya dikenalkan ke beberapa dokter dan para dokter tersebut membantu saya untuk mengeksekusi apa yang sudah ada di hati dan pikiran saya itu. Tanggal 11 Juli 2021 malam, saya membuat “Surat Pernyataan Pasien”, disetujui oleh para dokter setelah memberi revisi Surat tersebut, dan pada akhirnya tanggal 12 Juli 2021, masuklah pasien pertama ke selter PTPM.
Saya memulai selter itu dengan 2 tenaga relawan (termasuk saya) dan seorang dokter.
Pada awalnya, saya hanya mempunyai uang Rp. 5 juta, sebagian dari sisa dari sumbangan donatur tahun lalu saat pandemi masuk ke Indonesia. Ketika dosen-dosen UGM tahu bahwa saya membutuhkan bantuan, mereka juga langsung mengumpulkan donasi bagi selter itu. Ada juga yang mengusulkan agar saya menyebarkan “flyer” untuk meminta donasi. Saya mengikuti sarannya, dan sungguh luar biasa, ada banyak sekali orang yang merasa diketuk hatinya dan memberikan donasi dengan murah hati baik dalam bentuk uang, disinfektan, masker, dsb. Yang mengharukan adalah bahwa ada yang memberi dari kekurangan mereka.
Saya mengenang bahwa di minggu pertama, kami masuk keluar selter tanpa baju hazmad karena kami tak mempunyainya. Kami “terpaksa” masuk selter karena beberapa orang tua yang isoman tak mahir menggunakan sarana komunikasi sehingga kami perlu mengecek mereka secara langsung. Syukur kepada Allah, kami terus dilindungi Tuhan sehingga tidak jatuh sakit. Seminggu kemudian baru baju hazmad yang kami pesan dari seorang donatur di Jakarta tiba dan kami pun dengan hati gembira dan lega menggunakannya.
Kami juga menyaksikan semangat dan solidaritas kemanusiaan di tengah kegelapan pandemi gelombang kedua. Bergabungnya beberapa mahasiswa sebagai relawan dan 3 orang dokter sebagai penasehat dan tenaga medis di selter merupakan asupan energi yang menghidupkan. Solidaritas kemanusiaan itu tak berhenti pada orang yang melayani semata, melainkan juga menyebar pada orang-orang yang dilayani di selter. Beberapa isomaners juga menunjukkan bela rasa mereka dengan mengusahakan makan siang atau malam untuk semua penghuni. Mereka tahu mereka dilayani secara sukarela oleh pelayan selter, dan mereka menunjukkan kemurahan hati mereka dengan berdonasi bagi selter entah itu dalam bentuk makanan ataupun uang.
Selter PTPM resmi ditutup pada tanggal 1 September 2021 karena tak ada lagi orang yang masuk ke selter sejak minggu ketiga Agustus 2021. Gelombang kedua pandemi sudah berlalu, dan kami dengan rasa syukur mengenang anugerah panggilan dan perlindungan Tuhan, serta pelayanan kepada sesama yang membutuhkan. Motto saya ketika berjuang di selter itu, “Daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan lilin kecil.” Ada banyak cerita bermakna dalam masa kegelapan itu, dan karena itu saya semakin yakin bahwa kasih Tuhan itu justru nampak nyata dalam kegelapan yang memantik solidaritas kemanusiaan kita bersama.
Sebagian dana yang tersisa dan belum terpakai dari donasi selter sudah dan akan dipakai untuk penanganan pandemi lebih lanjut. Saya telah membantu tiga paroki di Jogja untuk melakukan vaksinasi kepada masyarakat, dan dana selter tersisa akan saya serahkan kepada SJ Provindo untuk menolong semua orang yang membutuhkan pertolongan dalam masa pandemi ini.
Dengan ini, saya juga mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas kemurahan hati para sahabat yang dengan caranya masing-masing menolong saya dan teman-teman di Jogja untuk mengabdi Allah dan melayani sesama.
AMDG,
Effendi, SJ
Nahh tilang!
Seorang pastor naik motor di jalan sepi. Di balik kelokan jalan seorang polisi menyuruh pastor berhenti dan menunjukkan SIM dan STNK.
Semua lengkap dan masih berlaku. Polisi memeriksa lampu depan jauh-dekat, lampu belakang, lampu rem, lampu belok kiri-kanan-depan-belakang. Semua berfungsi baik.
Setengah putus asa polisi mengembalikan surat2
Polisi: “Gak takut nih, malam2 jalan sendiri?”
Pastor: “Saya pastor, kemanapun pergi saya bersama Állah Bapa, Allah Putra, Allah Roh Kudus dan Bunda Maria.”
Polisi: (Setengah berteriak) “NHAA! TILANG! Naik motor berlima!”
Kakiku Bebas
Seorang jemaat mempertanyakan hobi pendetanya yang suka taekwondo.
Jemaat: “Mengapa Pastor menyukai bela diri taekwondo dan bukan karate atau silat?”
Pastor: “Karena taekwondo adalah beladiri yang lebih banyak menggunakan kaki.”
Jemaat: “Apa kelebihannya?”
Pastor: “Gini, mulutku untuk berkotbah, tidak boleh memaki. Tanganku untuk memberkati, tidak boleh untuk menampar. Tetapi kakiku kan bebas!”
Wound of Christ
“as you repeat your same sins, my wound would bleed again …. “
(By Yanli S. Guerzon)
In 2017, I was blessed to be able to join a pilgrimage with Pater Robby Wowor OFM to the Holyland. We visited Egypt, Israel and Jordan in about 10 days trip. The overall journey was splendid and lots of graces for my spiritual experience. Today, I’d like to share with you a special spiritual enrichment. With hope the story will strengthen each other faith.
It was a beautiful winter morning, we started our day with a holy mass at a small chapel. As always, I was ready with my small camera to capture the beauty of the surrounding. The chapel was called “Scourging of the Pillar”. It was the very place where our Lord, Jesus Christ was scourged.
I started taking pictures of the stain glass behind the altar. It was depicting Jesus in pains from the scourging that He endured. Then, Pater Robby told us what had happened to Jesus inside the room 2000 years ago. The chandelier above are the pieces of the metal tools used to beat Him up. I got goosebumps and immediately put my camera away and started to pray intensely. It was intense alright. I was in tears thinking of what had happened to my beloved Jesus. In just a short moment I was transcendent to a very deep contemplation of the sorrowful mystery.
All of the sudden in my meditation, I spotted Jesus’s bloody torso. It was in red blood color. All of his skin was red and plenty of wounds in shape of holes. Then, I was brought to a specific wound of Christ. Please look at the enclosed picture. I’ve tried to illustrate what I have seen in my canvas painting. It was His fresh dry wound. All of the sudden, blood flow out from the dry wound. I cried more and more as I saw it vividly. Then, I asked Jesus. “What is happening.” He simply replied. “as you repeat your same sins, my wound would bleed again …. “ “Oh no,” I said. “Forgive me Lord, for I have sinned. I didn’t realized it hurt you more in your wounds”.
I cried and cried. Then, I was awakened from my deep contemplation, and realized it was the time to receive communion already on the holy mass. I lined up and received the Eucharist. Then, after receiving the Body of Christ, as I was chewing the Bread I was again brought to a deep meditation. This time the wound was covered with a tiny medal of St. Benedict. I heard the voice of the Lord, “…I conquered dead and live. “. The Lord advised me to share this vision to all of my friends and other Christians. I was then, try to sketch the vision using pen on my notebook. Jesus told me to paint it also in canvas. He wanted me to try my best in drawing it and shared with others.
In the nutshell, we are reminded that every time we repeat our offensive deeds, and make sin again and again. We pretty much scourge Jesus wound one more time. So, I was warned to repent repeatedly as I sin and sin again. From that experience, I trust in Jesus more and more because He had told me and shared with me his pains. I immediately went to confession and repent. Thanks God for Sacrament of Reconciliation.
I would like to invite you to meditate on this Wound of Christ image. May the Lord grant you His graces and messages for own spiritual growth.