Is it Okay to Celebrate Halloween as Catholics?
Halloween, etymology speaking, means All Hallow’s Eve or the Eve of all Saints Day which falls on October 31st every year. In Catholic Church around the world, All Saints Day falls on November 1st every year is a Holy Day of Obligation, per Pope George III in the eight century, where all believers need to attend a mass either on the day or on the eve of the day. The priests usually have special message in their homily on this day to remind us the importance of All Saints Day.
When children and adult alike wear costumes and asking for candies on Halloween, it is not part of the Catholic Church teaching. Rather, it is a cultural celebration and is an English language countries phenomenon. Though, one needs to remember that the initial inspiration did come from the All-Saints Day. The origin of the cultural phenomenon started with the Ancient Celtic festival of Samhain, where people light bonfires and wear costumes to ward off ghosts. Overtime, Halloween evolved into a day of activities like trick-or-treating, carving jack-o-lanterns, festive gatherings, and eating treats.
Jimmy Akin, an internationally known author and speaker at Catholic Answers radio program, stated that scary customs, kids asking for candies are not inartistically wrong. As a matter of fact, scary customs can be a sense of empowerment as it is an exclamation of there is no need to be scary over the customs, etc. Most importantly, Akin said, the Catholic Church does not against anyone to celebrate Halloween since it is entirely up to each individual parent on how they view what is appropriate and what is inappropriate way to celebrate this day.
Sources:
“Catholic Answers: Jimmy Akin – Is it ok to let your children celebrate Halloween? Website: https://www.youtube.com/watch?v=gUfQMfyZ8JM”
“Halloween: Origins, Meaning & Traditions.” History.com
—————————————————————————————
Bolehkah Merayakan Halloween sebagai Umat Katolik?
Halloween, secara etimologi, berarti All Hallow's Eve atau Hari Semua Orang Kudus yang jatuh pada tanggal 31 Oktober setiap tahunnya. Di Gereja Katolik di seluruh dunia, Hari Semua Orang Kudus yang jatuh pada tanggal 1 November setiap tahun adalah Hari Suci Kewajiban, menurut Paus George III pada abad kedelapan, di mana semua orang percaya harus menghadiri misa baik pada hari itu atau pada malam hari raya. Para imam biasanya mempunyai pesan khusus dalam homilinya pada hari ini untuk mengingatkan kita akan pentingnya Hari Semua Orang Kudus.
Ketika anak-anak dan orang dewasa bersama-sama mengenakan kostum dan meminta permen pada Halloween, itu bukan bagian dari ajaran Gereja Katolik. Sebaliknya, ini adalah perayaan budaya dan merupakan fenomena negara-negara berbahasa Inggris. Namun perlu diingat bahwa inspirasi awal memang datang dari Hari Semua Orang Suci. Asal usul fenomena budaya ini dimulai dengan festival Celtic Kuno Samhain, di mana orang-orang menyalakan api unggun dan mengenakan kostum untuk mengusir hantu. Seiring berjalannya waktu, Halloween berkembang menjadi hari aktivitas seperti trick-or-treat, mengukir jack-o-lantern, pertemuan meriah, dan makan camilan.
Jimmy Akin, seorang penulis dan pembicara terkenal secara internasional di program radio Catholic Answers, menyatakan bahwa kebiasaan yang menakutkan, anak-anak meminta permen bukanlah hal yang salah secara artistik. Sebenarnya, adat istiadat yang menakutkan bisa menjadi sebuah rasa pemberdayaan karena merupakan seruan untuk tidak perlu takut terhadap adat istiadat dan sebagainya. Yang terpenting, kata Akin, Gereja Katolik tidak melarang siapa pun untuk merayakan Halloween karena sepenuhnya tergantung pada masing-masing orang tua tentang bagaimana mereka memandang cara yang pantas dan apa yang tidak pantas untuk merayakan hari ini.
Sumber:
“Jawaban Katolik: Jimmy Akin – Bolehkah membiarkan anak-anak Anda merayakan Halloween? Situs web: https://www.youtube.com/watch?v=gUfQMfyZ8JM
“Halloween: Origins, Meaning & Traditions.” History.com
Selter Isoman PTPM
“Ada banyak cerita bermakna dalam masa kegelapan itu, dan karena itu saya semakin yakin bahwa kasih Tuhan itu justru nampak nyata dalam kegelapan yang memantik solidaritas kemanusiaan kita bersama.”
Effendi Kusuma Sunur, SJ
Ketika gelombang kedua covid-19 melanda Yogyakarta (Jogja) di akhir Juni 2021, kami semakin waspada namun belum membayangkan betapa dahsyat dampaknya bagi kami. Di awal bulan Juli 2021, ada usaha di kalangan para Yesuit untuk menanggapi gelombang pandemi kedua ini. Pater Provinsial Serikat Yesus (SJ) Provinsi Indonesia (Provindo) menuliskan surat kepada para Yesuit untuk menyikapi kondisi pandemi terkini saat itu, dan SJ Provindo menyiapkan sebuah selter resmi yang diusahakan oleh Studio Audio Visual (SAV-USD), sebuah karya Yesuit di Jogja.
Pada awal bulan Juli itu pula, saya didatangi oleh petugas Satgas Covid-19 untuk meminta wisma PTPM (Pembina Tenaga Pengembangan Masyarakat) menjadi “semacam” sebuah selter isolasi mandiri (isoman) untuk berjaga-jaga. Saya menyambut pemintaan para petugas dengan menyiapkan 11 kamar dan 1 pastoran untuk menjadi tempat isoman di PTPM dan meminta mereka untuk mendampingi kami di PTPM dari segi medis. Namun karena tak kunjung ada pasien isoman yang masuk, saya memberanikan diri untuk menyebarkan berita terkait kehadiran selter ini kepada beberapa sahabat. Yang terjadi adalah saya dikontak oleh banyak orang yang membutuhkan selter isoman, namun saya tak bisa menerima mereka karena Satgas Covid setempat yang saya mintai bantuan medisnya ternyata sudah kewalahan untuk mengurusi begitu banyak masalah yang muncul dalam gelombang ke-2 pandemi di Jogja.
Karena banyaknya permintaan, panggilan Tuhan untuk menyediakan selter semakin kuat dalam diri saya, dan saya mengupayakan apa yang diperlukan untuk membuka sebuah selter. Saya sadar bahwa saya tak memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk membuka selter, maka saya mengontak seorang dosen UGM untuk meminta bantuannya. Darinya saya dikenalkan ke beberapa dokter dan para dokter tersebut membantu saya untuk mengeksekusi apa yang sudah ada di hati dan pikiran saya itu. Tanggal 11 Juli 2021 malam, saya membuat “Surat Pernyataan Pasien”, disetujui oleh para dokter setelah memberi revisi Surat tersebut, dan pada akhirnya tanggal 12 Juli 2021, masuklah pasien pertama ke selter PTPM.
Saya memulai selter itu dengan 2 tenaga relawan (termasuk saya) dan seorang dokter.
Pada awalnya, saya hanya mempunyai uang Rp. 5 juta, sebagian dari sisa dari sumbangan donatur tahun lalu saat pandemi masuk ke Indonesia. Ketika dosen-dosen UGM tahu bahwa saya membutuhkan bantuan, mereka juga langsung mengumpulkan donasi bagi selter itu. Ada juga yang mengusulkan agar saya menyebarkan “flyer” untuk meminta donasi. Saya mengikuti sarannya, dan sungguh luar biasa, ada banyak sekali orang yang merasa diketuk hatinya dan memberikan donasi dengan murah hati baik dalam bentuk uang, disinfektan, masker, dsb. Yang mengharukan adalah bahwa ada yang memberi dari kekurangan mereka.
Saya mengenang bahwa di minggu pertama, kami masuk keluar selter tanpa baju hazmad karena kami tak mempunyainya. Kami “terpaksa” masuk selter karena beberapa orang tua yang isoman tak mahir menggunakan sarana komunikasi sehingga kami perlu mengecek mereka secara langsung. Syukur kepada Allah, kami terus dilindungi Tuhan sehingga tidak jatuh sakit. Seminggu kemudian baru baju hazmad yang kami pesan dari seorang donatur di Jakarta tiba dan kami pun dengan hati gembira dan lega menggunakannya.
Kami juga menyaksikan semangat dan solidaritas kemanusiaan di tengah kegelapan pandemi gelombang kedua. Bergabungnya beberapa mahasiswa sebagai relawan dan 3 orang dokter sebagai penasehat dan tenaga medis di selter merupakan asupan energi yang menghidupkan. Solidaritas kemanusiaan itu tak berhenti pada orang yang melayani semata, melainkan juga menyebar pada orang-orang yang dilayani di selter. Beberapa isomaners juga menunjukkan bela rasa mereka dengan mengusahakan makan siang atau malam untuk semua penghuni. Mereka tahu mereka dilayani secara sukarela oleh pelayan selter, dan mereka menunjukkan kemurahan hati mereka dengan berdonasi bagi selter entah itu dalam bentuk makanan ataupun uang.
Selter PTPM resmi ditutup pada tanggal 1 September 2021 karena tak ada lagi orang yang masuk ke selter sejak minggu ketiga Agustus 2021. Gelombang kedua pandemi sudah berlalu, dan kami dengan rasa syukur mengenang anugerah panggilan dan perlindungan Tuhan, serta pelayanan kepada sesama yang membutuhkan. Motto saya ketika berjuang di selter itu, “Daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan lilin kecil.” Ada banyak cerita bermakna dalam masa kegelapan itu, dan karena itu saya semakin yakin bahwa kasih Tuhan itu justru nampak nyata dalam kegelapan yang memantik solidaritas kemanusiaan kita bersama.
Sebagian dana yang tersisa dan belum terpakai dari donasi selter sudah dan akan dipakai untuk penanganan pandemi lebih lanjut. Saya telah membantu tiga paroki di Jogja untuk melakukan vaksinasi kepada masyarakat, dan dana selter tersisa akan saya serahkan kepada SJ Provindo untuk menolong semua orang yang membutuhkan pertolongan dalam masa pandemi ini.
Dengan ini, saya juga mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas kemurahan hati para sahabat yang dengan caranya masing-masing menolong saya dan teman-teman di Jogja untuk mengabdi Allah dan melayani sesama.
AMDG,
Effendi, SJ
Nahh tilang!
Seorang pastor naik motor di jalan sepi. Di balik kelokan jalan seorang polisi menyuruh pastor berhenti dan menunjukkan SIM dan STNK.
Semua lengkap dan masih berlaku. Polisi memeriksa lampu depan jauh-dekat, lampu belakang, lampu rem, lampu belok kiri-kanan-depan-belakang. Semua berfungsi baik.
Setengah putus asa polisi mengembalikan surat2
Polisi: “Gak takut nih, malam2 jalan sendiri?”
Pastor: “Saya pastor, kemanapun pergi saya bersama Állah Bapa, Allah Putra, Allah Roh Kudus dan Bunda Maria.”
Polisi: (Setengah berteriak) “NHAA! TILANG! Naik motor berlima!”
Kakiku Bebas
Seorang jemaat mempertanyakan hobi pendetanya yang suka taekwondo.
Jemaat: “Mengapa Pastor menyukai bela diri taekwondo dan bukan karate atau silat?”
Pastor: “Karena taekwondo adalah beladiri yang lebih banyak menggunakan kaki.”
Jemaat: “Apa kelebihannya?”
Pastor: “Gini, mulutku untuk berkotbah, tidak boleh memaki. Tanganku untuk memberkati, tidak boleh untuk menampar. Tetapi kakiku kan bebas!”
Wound of Christ
“as you repeat your same sins, my wound would bleed again …. “
(By Yanli S. Guerzon)
In 2017, I was blessed to be able to join a pilgrimage with Pater Robby Wowor OFM to the Holyland. We visited Egypt, Israel and Jordan in about 10 days trip. The overall journey was splendid and lots of graces for my spiritual experience. Today, I’d like to share with you a special spiritual enrichment. With hope the story will strengthen each other faith.
It was a beautiful winter morning, we started our day with a holy mass at a small chapel. As always, I was ready with my small camera to capture the beauty of the surrounding. The chapel was called “Scourging of the Pillar”. It was the very place where our Lord, Jesus Christ was scourged.
I started taking pictures of the stain glass behind the altar. It was depicting Jesus in pains from the scourging that He endured. Then, Pater Robby told us what had happened to Jesus inside the room 2000 years ago. The chandelier above are the pieces of the metal tools used to beat Him up. I got goosebumps and immediately put my camera away and started to pray intensely. It was intense alright. I was in tears thinking of what had happened to my beloved Jesus. In just a short moment I was transcendent to a very deep contemplation of the sorrowful mystery.
All of the sudden in my meditation, I spotted Jesus’s bloody torso. It was in red blood color. All of his skin was red and plenty of wounds in shape of holes. Then, I was brought to a specific wound of Christ. Please look at the enclosed picture. I’ve tried to illustrate what I have seen in my canvas painting. It was His fresh dry wound. All of the sudden, blood flow out from the dry wound. I cried more and more as I saw it vividly. Then, I asked Jesus. “What is happening.” He simply replied. “as you repeat your same sins, my wound would bleed again …. “ “Oh no,” I said. “Forgive me Lord, for I have sinned. I didn’t realized it hurt you more in your wounds”.
I cried and cried. Then, I was awakened from my deep contemplation, and realized it was the time to receive communion already on the holy mass. I lined up and received the Eucharist. Then, after receiving the Body of Christ, as I was chewing the Bread I was again brought to a deep meditation. This time the wound was covered with a tiny medal of St. Benedict. I heard the voice of the Lord, “…I conquered dead and live. “. The Lord advised me to share this vision to all of my friends and other Christians. I was then, try to sketch the vision using pen on my notebook. Jesus told me to paint it also in canvas. He wanted me to try my best in drawing it and shared with others.
In the nutshell, we are reminded that every time we repeat our offensive deeds, and make sin again and again. We pretty much scourge Jesus wound one more time. So, I was warned to repent repeatedly as I sin and sin again. From that experience, I trust in Jesus more and more because He had told me and shared with me his pains. I immediately went to confession and repent. Thanks God for Sacrament of Reconciliation.
I would like to invite you to meditate on this Wound of Christ image. May the Lord grant you His graces and messages for own spiritual growth.