Tahukah Anda?, Tahukah Anda Redaksi E-Bulletin Tahukah Anda?, Tahukah Anda Redaksi E-Bulletin

Tertianship

What is Tertianship?

a. Another name of Noah’s ark giant ship

b. The third US battleship in the second world war

c. The last stage of Jesuit Formation

d. The third book of Torah

e. The unpublished third letter of St Peter

Answer: c. The last stage of Jesuit Formation

The formation of a Jesuit is a journey that can last more than fifteen years and encompasses five key stages:

1. The Novitiate: ~ 2 years, learn about community, ministry, the Society of Jesus and Ignatian spirituality, and make a 30-day retreat. After those first two years, these men pronounce vows of poverty, chastity and obedience.

2. First Studies: ~ 3 years, studying philosophy and theology, while serving in community.

3. Regency: ~ 3 years, active ministry, like an internship.

4. Theology Studies: ~ 3 years, a final step towards priestly ordination. After receiving the Sacrament of Holy Orders, a Jesuit is sent on his first assignment as a priest.

St. Ignatius of Loyola

5. Tertianship: Jesuit formation doesn’t stop after ordination. A Jesuit usually begin Tertianship three to five years after ordination. It is intended to be a time of renewal. A Jesuit revisits the foundational documents and history of the Society of Jesus. As he did as a novice, a Jesuit in tertianship once again makes the Spiritual Exercises of St. Ignatius Loyola. Known as the Long Retreat, the tertian prays in silence for 30 days. Tertianship is typically a nine-month program that includes spiritual training and apostolic ministry. After the tertianship, the Jesuit is called to pronounce a fourth and final vows to serve the Pope, the Church and the Society of Jesus.

Father Stefanus Hendrianto, SJ., is an Indonesian-born Jesuit priest and a member of the USA West Province of the Society of Jesus (Jesuit West). After his ordination in June 2019, Father Hendri was assigned by the Jesuit West to serve WKICU. Having served WKICU for over a year, Father Hendri received a new teaching assignment at the Gregorian University in Rome. After more than two years working in Rome, Father Hendri will start his Tertianship in Portland, Oregon, in October 2023, and the program will finish at the end of May 2024. Father Hendri is currently staying at Santa Clara University.

Source / Sumber: Jesuit Conference of Canada and the United States. https://beajesuit.org/jesuit-formation/


Apakah itu Tersiat?

A. Nama lain dari kapal raksasa bahtera Nuh

B. Kapal perang AS ketiga dalam perang dunia kedua

C. Tahap terakhir Formasi Jesuit

D. Kitab Taurat ketiga

e. Surat ketiga St Peter yang tidak diterbitkan

Jawaban: c. Tahap terakhir Formasi Jesuit

Pembentukan seorang Jesuit adalah sebuah perjalanan yang dapat berlangsung lebih dari lima belas tahun dan mencakup lima tahap kunci:

1. Novisiat: ~ 2 tahun, belajar tentang komunitas, pelayanan, Serikat Yesus dan spiritualitas Ignasian, dan melakukan retret 30 hari. Setelah dua tahun pertama itu, orang-orang ini mengucapkan kaul kemiskinan, kesucian, dan ketaatan.

2. Studi Pertama/Filsafat: ~ 3 tahun, belajar filsafat dan teologi, sambil mengabdi di komunitas

3. Tahun Orientasi Kerasulan: ~ 3 tahun, aktif dalam ‘panggilan’ melalui kerja nyata

St. Claude La Colombière - Santo Pelindung Para Tertian

4. Studi Teologi: ~ 3 tahun, langkah terakhir menuju penahbisan imam. Setelah menerima Sakramen Tahbisan, seorang Jesuit diutus untuk tugas pertamanya sebagai imam.

Romo Stefanus Hendrianto, SJ

5. Program Tersiat: pembinaan Jesuit tidak berhenti setelah penahbisan. Seorang Jesuit biasanya memulai program Tersiat tiga sampai lima tahun setelah pentahbisan. Program ini dimaksudkan sebagai masa pembaharuan.
Seorang Jesuit meninjau kembali pedoman dasar dan sejarah Serikat Yesus. Seperti yang dilakukannya sebagai novis, dalam masa Tersiat, seorang Jesuit juga menjalani Latihan Rohani St. Ignatius Loyola yang dikenal sebagai Retret Panjang, berdoa dalam keheningan selama 30 hari. Tersiat biasanya merupakan program sembilan bulan yang mencakup latihan rohani dan pelayanan kerasulan.
Setelah program Tersiat, Jesuit dipanggil untuk mengucapkan kaul keempat dan terakhir untuk melayani Paus, Gereja dan Serikat Yesus.

Romo Stefanus Hendrianto, SJ adalah Romo Yesuit kelahiran Indonesia dan merupakan anggota Provinsi Serikat Yesus Amerika Serikat bagian barat (Jesuit West). Setelah ditahbiskan sebagai Imam pada bulan Juni 2019, Romo Hendri ditugaskan oleh Jesuit West untuk melayani WKICU. Setelah melayani WKICU lebih dari satu tahun, Romo Hendri mendapat penugasan baru untuk mengajar di Universitas Gregoriana di Roma. Setelah bertugas selama lebih dari dua tahun di Roma, beliau akan memulai program Tersiat nya di Portland, Oregon bulan Oktober 2023, dan program itu akan berakhir pada akhir bulan Mei 2024. Romo Hendri saat ini tinggal di kampus Universitas Santa Clara.

Read More
Apa dan Siapa WKICU Admin Apa dan Siapa WKICU Admin

Hock Chuan dan Swan Oey

Seperti apa yang telah diyakini oleh tante Swan dalam kisah perjalanan hidup ini —Jalan Tuhan itu memang luar biasa—

Ditulis oleh Agem

Cuaca cerah pagi hari menemani saat melintas freeway 580 East menuju daerah San Ramon. Hangatnya sinar matahari meletupkan semangat saya berkendara menuju rumah pasangan sepuh WKICU yang akrab kita sapa Om Hock Chuan dan Tante Swan. Sudah lama team ebulletin ingin menulis kisah dan perjalanan hidup pasangan bersahaja ini. Team ebulletin yakin, apapun cerita tentang mereka selalu akan menarik dan sangat meng-inspirasi.

Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Mobil meluncur pelan memasuki daerah perumahan yang tampak hijau di kanan-kiri jalannya. Mata saya melirik layar The Global Positioning System (GPS) yang terpasang di dashboard mobil sambil sesekali memperhatikan nomor rumah tujuan.

……………..“The destination is on your right…” terdengar suara perempuan dari si-mesin pintar itu. Apa selalu suara seorang perempuan yang keluar? Entahlah

Saya angkat kaki dari pedal gas mengurangi laju kendaraan, nomor rumah tujuan sudah terlihat. Saya berhenti di depan halaman yang terlihat asri. Dari dalam mobil tampak seseorang membuka pintu rumah lebar-lebar.  Tante Swan muncul dengan wajah yang cerah penuh senyum. Di belakangnya berdiri sang suami, Om Hock Chuan dengan senyum tak kalah cerah. Dalam sekejap saya sudah turun mobil menemui mereka dan saling bertegur salam, bertanya kabar dan kemudian kami bertiga masuk ke dalam rumah menuju ruang tamu. Di situ ada sofa putih bersih dan rapih. Mata saya sempat melihat sekeliling ruangan sebelum duduk manis. Terlihat furniture, hiasan dan ornament di rumah itu tertata apik, tidak ada yang tidak sesuai pada tempatnya. Semua begitu serasi. ––“Pasti repot dan capek sekali mengurus rumah tetap rapih kayak gini,” gumam saya dalam hati.

***

Perbincangan kami di ruang tamu pagi itu terasa akrab dan hangat. Tante Swan menjadi juru bicara dalam obrolan hari itu. Beliau-lah yang lebih banyak bercerita dan memberikan penjelasan. Seperti sudah siap dengan arah wawancara, Tante Swan juga telah menyiapkan beberapa photo kenangan yang akan semakin memperkuat cerita hidup mereka. Om Hock Chuan yang duduk bersama di ruangan itu, dalam perbincangan lebih hanya meng-iya-kan dan menambahkan sedikit keterangan yang masih beliau ingat. Om sedikit kesulitan mengingat dan menangkap pertanyaan saya oleh karena di usianya yang menjelang 89 tahun itu pendengaran beliau sudah kurang mendukung. Beruntung bahwa sang istri sudah menemani beliau selama 53 tahun. Segala peristiwa dan jalan hidup sang suami adalah jalan dan cerita hidupnya juga. ––“Mereka telah menjadi satu, bukan lagi dua.”–– Matius 19:6

Dalam pertemuan itu saya melihat wajah Om Hock Chuan berbinar mengingat segala kenangan, sesekali menerawang membayangkan masa-masa ketika cerita itu terjadi. Saya duduk berdampingan dengan Om di sofa panjang. Saya melihat beliau begitu asyik mendengarkan sang istri merangkai setiap kenangan hidup mereka. Dari sofa seberang yang berhadap-hadapan – dibatasi meja kaca bening bertaplak putih pada bagian tengahnya– tampak Tante Swan sesekali memandang dan bertanya kepada sang suami untuk lebih meyakinkan cerita.

Om Hock Chuan yang duduk di sebelah saya adalah pria ramah baik hati dan murah senyum. Selain juga seorang deacon beliau adalah salah satu pentolan pendiri kelompok Katolik Indonesia California Utara (WKICU). Beliau memiliki nama lengkap Hock Chuan Oey. Lahir di Caracas, sebuah desa kecil di Jawa Barat pada 18 Februari 1934. Lulusan biochemistry sebuah perguruan tinggi negeri terkenal di Bandung, Institut Teknologi Bandung (ITB).

Hock Chuan Oey adalah anak pertama dari enam bersaudara (tiga laki-laki dan tiga saudari perempuan). Hanya beliau sendiri yang hijrah ke Amerika sementara orang tua dan kelima adiknya tetap berada di Cirebon, Jawa barat.

***

**Pertemuan yang merubah jalan hidup.

Menurut cerita, yang dijelaskan oleh sang istri dan dibenarkan oleh Hock Chuan sendiri, mereka berada di Amerika ini hanya karena kejadian biasa. Kejadian biasa yang kemudian menuntun mereka ke jalan hidup yang luar biasa.

Kisah ini dimulai dari mengantar seorang teman baik Hock Chuan ke airport untuk kembali pulang ke Utah, Amerika setelah kunjungannya ke Bandung. Dalam perjalanan itu terjadi percakapan diantara dua orang sahabat.

“Kamu enak yah bisa tinggal, berkarier dan hidup di Amerika,” tanya Hock Chuan kepada sahabatnya itu.

“Loh, kamu bisa saja ke Amerika kalau mau. Kamu seorang biochemist dan punya pengalaman di laboratorium. Kenapa nggak?” ujar sahabatnya itu.

“Kamu-kan sudah punya rumah sendiri? Kalau itu dijual, cukup untuk modal ke Amerika,” sambungnya lagi.

Dari percakapan sepanjang jalan ke bandara itu Hock Chuan muda merasa jadi sangat bersemangat dan terbangkitkan impiannya. Sebagai anak muda yang memang menyukai tantangan, pekerja keras, ulet dan punya impian besar Hock Chuan tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk mencoba saran itu. Dengan modal nekat dan tekad beberapa hari kemudian, dari desanya Caracas beliau lari ke Jakarta menuju Kedutaan Besar Amerika untuk mengajukan visa immigrasi. Berbekal ilmu biochemistry yang didapat dari ITB tempatnya kuliah serta pengalaman kerjanya di laboratorium penelitian selama beberapa tahun setelah kelulusannya – dan tentunya ditambah saran menjual rumah sebagai modal – Hock Chuan muda melangkah dengan pasti.

**Asam di gunung dan garam di laut, bersatu dalam belanga.

“Enam bulan kemudian pengajuan visa itu diterima,” terang Tante Swan membuka cerita.

Harapan terbentang luas bagi Hock Chuan muda. Kabar gembira segera menyeruak dalam keluarga, tetapi kegembiraan itu rupanya tidak dirasakan oleh seluruh keluarga. Kegembiraan itu hadir bersamaan dengan ganjalan dalam hati sang Ibu. Hock Chuan, sebagai putra pertama ini terlalu sibuk belajar dan bekerja hingga di usianya yang sudah kepala tiga (baca usia 30-an) belum juga menemukan pasangan hidup. Sang ibu pun menyarankan Hock Chuan sebaiknya menikah dahulu sebelum berangkat ke Amerika.

Swan Oey lahir pada 11 November 1948 di Surabaya, Jawa Timur dengan nama asli Swan Hoo, yang kemudian mendapat tambahan nama Oey dibelakangnya setelah menikah. Beliau lahir dan besar di pusat kota Surabaya, tepatnya di sekitar Jembatan Merah yang bersejarah itu.

Swan Hoo adalah anak bontot dari lima (5) bersaudara. Salah satu saudaranya meninggal sejak kecil dan Swan Hoo hidup dengan tiga saudara perempuan dan satu laki-laki.

“Sebetulnya saya lima bersaudara tetapi yang nomor tiga meninggal. Kakak pertama saya laki-laki tidak tinggal bersama kami sejak lahir. Waktu Ibu saya akan melahirkan anak pertama mengalami masalah, dokter memberikan pilihan sulit. Dia bilang, anaknya yang mati atau mama yang mati. Yah, tentu saja Ayah saya berharap kalau bisa dua-duanya jangan mati,” cerita Tante Swan.

Baik mama atau kakak laki-lakinya berhasil diselamatkan tetapi sebagai gantinya, dan mengikuti kepercayaan orang tionghoa umumnya, kakaknya harus diberikan kepada keluarga lain, maka jadilah sang kakak diasuh oleh nenek –mama dari Ibunya Tante Swan– dan dianggap sebagai anak.

“Kakak pertama saya memanggil mamanya dengan sebutan tante,” jelasnya sambil tertawa.

Kemudian kakaknya yang nomor dua lahir, seorang perempuan. Diceritakan Tante Swan bahwa kakak nomor duanya ini adalah kesayangan ayahnya. Lalu lahir anak ke tiga tetapi kemudian meninggal. Setelah itu lahir kakak nomor 4, laki-laki dan dia menjadi anak kesayangan sang Ibu.

“Tinggal saya yang paling bontot tidak kebagian apa-apa. Orang sering bilang bahwa anak bontot itu paling disayang. No way, no way. —Ayah saya bilang ke saya; kamu adalah satu-satunya anak yang kita tidak kasih apa-apa — Rasanya mau nangis waktu itu tetapi saya malah mengatakan; “Pah, jangan khawatir, doa restunya saja. Doa restu papa sudah cukup…,” kenang Tante Swan dengan mata berkaca-kaca.

Tante Swan berhenti sejenak ketika menceritakan kisah masa lalunya. Om Hock Chuan yang duduk disamping saya melihat wajah sang istri dengan tatapan lembut.

“Saya kenal si Om dari kakak perempuan saya yang nomor dua, Lien. Mereka satu angkatan dan kebetulan mengambil jurusan yang sama di ITB. Kalau main ke tempat kakak di Bandung, saya sering bertemu dengan si Om. Dan memang akhirnya saya tinggal di rumah kakak saya untuk membantu mengurus anaknya” lanjut Tante Swan.

“Jalan Tuhan itu memang luar biasa. Setelah pengajuan imigrasi ke kedutaan Amerika diterima, Om langsung memasukkan nama saya ke dalam permohonan visa. Waktu itu padahal kita belum menikah tetapi tanpa kesulitan dan hambatan penambahan nama saya langsung disetujui kedutaan. Maka itu saya bilang, ini memang sudah jalannya Tuhan,” terang Tante Swan penuh keyakinan.

Pasangan ini kemudian menikah di bulan Desember tahun 1970 di Surabaya dan tidak sampai satu tahun berselang mereka berangkat ke Amerika tepatnya di bulan Mei, tahun 1971.

***

**Menjalin kisah hidup di Amerika.

Bagi Hock Chuan Oey, Amerika adalah harapan masa depan keluarga yang akan mereka bina, terutama untuk pekerjaan dan karir beliau sebagai peneliti di laboratorium dan juga masa depan anak yang mereka harapkan kelak.

Mereka masuk melalui Hawaii dan mendapatkan green card dari sana, kemudian dari Hawaii mereka terbang ke Los Angeles.

“Saya gak tahu kenapa harus masuk lewat Hawaii dulu. Pokoknya port of entry kita waktu itu di Hawaii,” jelas tante Swan.

Meski sudah mengantongi green card dan masuk resmi dengan lancar tidak berarti perjuangan hidup mereka tanpa rintangan. Sesampai di Los Angeles, harapan Hock Chuan untuk bisa bersekolah di Medical Technologies kandas. Sekolah ini adalah satu-satunya harapannya karena dengan bersekolah di sana berarti Hock Chuan dapat menimba ilmu secara gratis sekaligus mendapat bayaran karena mereka juga mempekerjakan para pelajar di laboratorium milik sekolah itu.

“Saya sudah telat mendaftar waku itu, dan kalau mau masuk harus nunggu pembukaan berikutnya, tiga tahun lagi. Om bisa-nya cuma kerja di bidang itu, di laboratorium. Kita gak bisa nunggu begitu lama. Bagaimana membiayai hidup?” Om Hock Chuan dengan wajah serius menjelaskan.

Tante Swan menambahkan. “Kalau masuk sekolah itu tidak bayar, malah si om dibayar. Ada gajinya karena sekaligus kerja di rumah sakit sekolah itu.”

Tutupnya pendaftaran sekolah yang diidamkan menjadi batu hambatan pertama pupusnya harapan tinggal di California. California adalah tujuan dan tempat impian mereka untuk memulai hidup baru di Amerika, saat itu Los Angeles seperti menutup pintu bagi kedatangan mereka.

Tidak mau menunggu tiga tahun untuk apa yang ingin diraih sang suami, Swan teringat akan sang kakak perempuan nomor duanya, Lien yang mempertemukan mereka. Diceritakan pula oleh Tante Swan bahwa kakak perempuannya ini, setelah lulus kuliah kemudian menikah dengan seorang dokter yang bertugas di kepolisian dan mereka menetap di Bandung. Beliau dan suaminya ini pernah mengajukan visa ke Amerika tetapi ditolak.

“Waktu itu kalau mengajukan visa berdasarkan profesi, kakak saya dan suaminya menggunakan profesi suami sebagai dokter. Mereka ditolak karena sudah banyak dokter. Kemudian kakak saya mencoba lagi dengan menggunakan profesinya sebagai seorang biochemist, eh… akhirnya malah diterima. Mereka berdua berangkat ke Amerika dan tinggal di Texas satu tahun lebih dulu dari kita,” jelas Tante lagi.

“Kita itu gak bawa uang banyak waktu ke sini. Kalau dibandingkan kakak perempuan saya dan suaminya yang dokter, uang kita gak ada apa-apanya,” sambung Tante Swan sambil tersenyum.

Sewaktu menerima telpon dari tante Swan, sang kakak menjelaskan bahwa di Texas juga ada sekolah Medical Technologies seperti di LA. Gratis tidak dipungut bayaran akan tetapi mereka tidak mempekerjakan para pelajarnya sehingga tidak ada gaji atau bayaran bagi mereka yang bersekolah di situ. Sang kakak lantas juga berbaik hati menawarkan mereka untuk tinggal di rumahnya dan menyarankan Hock Chuan untuk melamar ke rumah sakit tempat dia dan suaminya bekerja karena di sana masih butuh biochemist. Hock Chuan pun kemudian dapat bekerja di rumah sakit itu sambil melanjutkan sekolah memperdalam ilmu yang digelutinya. Saat itu Swan Oey dengan setia menemani dan mengurus sang suami sekaligus membantu sang kakak mengurus rumah.

Selang tiga belas bulan kemudian Hock Chuan dan Swan Oey memutuskan untuk menyewa apartement dan hidup mandiri. Mereka menyewa sebuah apartment sederhana di downtown Texas. Swan mengambil kesempatan itu untuk mencari pekerjaan di sebuah perusahaan pembuat pakaian yang men-supply celana untuk JC Penney.

“Om selalu bilang kalau cari apartement itu jangan yang sewanya mahal karena kalau sewa berarti uang hilang. Kita cari yang paling murah agar ada uang yang bisa ditabung untuk beli rumah,” kata tante mengenang ucapan suaminya.

Dengan prinsip kuat dan kerja keras akhirnya mereka mampu membeli rumah di Texas tahun 1973. Rumah idaman seharga $28.000 (dua puluh delapan ribu dolar) dengan 3 kamar tidur dan 2 kamar mandi menjadi milik mereka. Di rumah itu, James Howard Oey, anak lelaki mereka lahir. Rumah dengan halaman cukup luas itu menjadi tempat nyaman dalam membesarkan dan merawat si buah hati.

“Waktu itu Om sampai harus bekerja di dua tempat loh. Kerja full time di sebuah laboratorium milik seorang dokter dan satu lagi part time di rumah sakit di tempat kakak saya bekerja. Om kerja di laboratorium itu sejak baru berdiri. Dokter pemilik usaha itu mengatakan kepada Om untuk sama-sama membangun. Istilahnya seperti kerja sama begitu,” jelas Tante Swan.

Seperti halnya kerja sama yang dilakukan dalam memulai sebuah usaha (startup business) mereka berjuang bersama sejak awal, dan Hock Chuan dijanjikan profit sharing oleh sang dokter pemilik laboratorium itu, dimana tentunya akan ada pembagian keuntungan yang jelas dan adil ketika usaha itu maju dan berkembang.

Dengan memiliki ilmu dan banyak pengalaman di laboratorium sewaktu di Indonesia bukanlah hal yang mustahil bagi beliau membuat usaha itu jadi maju dan berkembang.

“Waktu di Indonesia Om pernah punya pengalaman membangun rumah sakit di Bandung dengan para dokter, bangun rumah sakit Maranatha,” sambung Tante Swan.

Seiring waktu usaha mereka berjalan sangat baik dan berkembang pesat. Dari berkantor di gedung kecil hingga pindah ke gedung kantor lebih besar. Sampailah saat dimana Hock Chuan harus bicara kepada sang dokter pemilik laboratorium soal pembagian keuntungan yang dijanjikan.

“Mana profit sharing untuk saya,” begitu tanya Om saat itu dan dijawab dengan santai tanpa rasa berdosa oleh sang dokter pemilik laboratorium; “Well, kalau kamu gak happy kerja di sini yah kamu boleh keluar.”

Mendapat jawaban tak terduga penuh dusta itu membuat hati Hock Chuan patah, berkecamuk segudang rasa. Marah, tak percaya dan kecewa dengan jawaban dari sang partner membuat Hock Chuan terpukul. Padahal, demi membangun laboratorium itu hingga berkembang dan maju beliau sampai meninggalkan pekerjaan paruh waktu-nya di rumah sakit. Hock Chuan memusatkan harapan dan impiannya di situ. Segala usaha, tenaga, waktu dan pikiran yang beliau curahkan sepenuhnya saat itu seketika lenyap tak berbekas. Impiannya terhempas.

“Kita sih waktu itu memang benar-benar nggak ngerti soal kerja sama dengan perjanjian profit sharing. Seharusnya pakai pengacara (lawyer) dan ada surat tertulis. Kita terlalu percaya hanya dengan omongan saja,” terang Tante Swan.

Karena kejadian itu Hock Chuan mengambil keputusan bulat untuk keluar dari laboratorium dan bahkan berniat pindah ke lain kota meninggalkan segala pengalaman dan kenangan pahitnya.

Yuk, kita pindah saja. Kamu mau pindah kemana? Dallas? Houston?” ajak Om kepada sang istri.

No, saya nggak mau. Kita kembali ke California saja,” jawab sang istri dengan pasti.

Seperti apa yang telah diyakini oleh Tante Swan dalam kisah perjalanan hidup ini —Jalan Tuhan itu memang luar biasa— Mereka mengerti bahwa keputusan meninggalkan Texas dan memulai kembali ke tempat impian mereka, California bukanlah hal mudah. Rintangan dan tantangan pastinya akan banyak mereka hadapi.

“Waktu itu Om berangkat ke California sendirian dengan naik mobil. Saya menunggu di rumah (Texas) hanya dengan anak saya sampai Om mendapat pekerjaan dan apartment untuk kami tinggal,” kenang Tante Swan.

“Uang yang kita kumpulkan dari Texas tidak banyak, jadi Om harus mendapatkan pekerjaan dulu di tempatnya yang baru untuk menyewa apartment,” sambungnya.

Rencana Tuhan sungguh indah dan luar biasa. Hock Chuan akhirnya mendapat pekerjaan di Encino, Los Angeles. Entah bagaimana di sana beliau mendapat pertolongan dari seseorang yang baru dijumpainya di tempat kerja itu. Seorang bule yang baik hati telah dikirim Tuhan untuk menolong. Si bule itu menawarkan beliau untuk tinggal di rumahnya.

“Mungkin dia kasihan melihat Om waktu itu karena semua barang bawaan disumpel dalam mobil, bahkan sampai ditumpuk di atas mobil. Habis mau ditaruh dimana? kan dia belum dapat apartment,” kenang tante.

Tak sampai satu bulan menumpang, dari gaji yang didapat dari tempat kerja baru itu Hock Chuan akhirnya mampu menyewa sebuah apartment. Dan kemudian segera menyuruh sang istri beserta anaknya untuk menyusul.

“Rumah di Texas kita jual murah sekali. Kita jual rugi. Saya dan anak saya kemudian terbang ke LA menyusul Om,” jelas Tante Swan.

Selesai mengatakan itu, Tante Swan menatap wajah sang suami tercinta sambil tersenyum. Ada kehangatan yang menyeruak dari moment itu. Dari kenyataan masa lalu dan masa kini yang mereka alami, mengingatkan kesadaran dan keyakinan saya tentang sebuah renungan iman; Tuhan punya rencana terhadap hidup setiap manusia. Rencana besar itu akan indah pada akhirnya jika kita mau dengan ikhlas menyerahkan hidup ini ke dalam tanganNya, hanya pada kehendakNya.

***

** Catatan redaksi:

Kisah ini akan berlanjut lebih seru dan menarik di bagian ke dua nanti. Akan ada kisah perjuangan lainnya dimana Tuhan menuntun mereka ke Bay Area dan akhirnya terbentuk WKICU.

Di tunggu yah…!!







Read More
Tahukah Anda?, Tahukah Anda Redaksi E-Bulletin Tahukah Anda?, Tahukah Anda Redaksi E-Bulletin

Tahukah Anda

“seseorang dibenarkan karena perbuatannya dan bukan hanya karena

imannya”

The biblical teaching that ‘a man is justified by his works and not by faith alone” appears in which New Testament epistle ?:

a. 1 Peter

b. Hebrews

c. Jude

d. James

e. 2 Timothy

Answer: d. James
(James 2:24) “See a person is justified by works and not by faith alone …….. (James 2:26) For as the body without a spirit is dead, so also faith without work is dead”

Source / Sumber: Inquizition by Patrick Madrid



So likewise a Levite, when he came to the place and saw him, passed by on the other side. 33 But a Samaritan, as he journeyed, came to where he was, and when he saw him, he had compassion.

Ajaran alkitab yang bunyinya “seseorang dibenarkan karena perbuatannya dan bukan hanya karena

imannya” tertulis dalam surat Perjanjian Baru yang mana ? :

A. Petrus Pertama

B. Ibrani

C. Yudas

D. Yakobus

E. Timotius Kedua

Jawaban: D. Yakobus

(Yakobus 2:24) “Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman……(Yakobus 2:26) Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati”



Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Why Bad Things Happen to Good People?

Mengapa Hal Buruk Terjadi pada Orang Baik?

Oleh Jennie Xue, MTh
(Seorang penulis dwibahasa dan pengajar yang berbasis di NorCal.
Karya-karyanya dapat ditemukan di jenniexue.com
)

Seberapa sering kita mendengar pertanyaan ini, "Mengapa dia menderita? Dia adalah orang yang baik." Pernyataan berikutnya yang mungkin menyusul adalah, "Yah, dia pasti punya banyak dosa, dan itu adalah karmanya untuk menderita."

Sahabat, jangan terlalu cepat menilai dan mengambil kesimpulan. Memang, keingintahuan kita sebagai orang Kristen untuk bertanya mengapa hal buruk terjadi pada orang baik dan apakah itu akibat langsung dari tindakan kita.

Pertanyaan seperti itu begitu populer sehingga para teolog dan filsuf telah mempelajarinya selama berabad-abad dalam suatu disiplin yang disebut teodisi. Istilah ini berasal dari kata Yunani "theos", yang berarti Tuhan, dan "tanggul", yang berarti keadilan.

Teodisi adalah pembelaan atas kebaikan dan kemahakuasaan Tuhan dalam menghadapi kejahatan.
Ini adalah studi yang mencoba mendamaikan keberadaan Tuhan yang penuh kasih dan mahakuasa dengan realitas kejahatan dan penderitaan di dunia.

Tuhan menciptakan kita untuk dilengkapi dengan kehendak bebas, yaitu kemampuan untuk memutuskan dan memilih tindakan kita secara mandiri. Ini adalah pengalaman manusia yang mendasar, menggarisbawahi tanggung jawab moral kita. Terkadang, kehendak bebas menimbulkan masalah, tetapi apakah itu membuat kita menderita karena dihukum oleh Tuhan?

Dengan kata lain, apakah pilihan dan tindakan yang buruk selalu mengakibatkan penderitaan yang luar biasa? Berbicara secara manusiawi, tindakan apa pun, terlepas dari moralitasnya, kemungkinan besar akan menghasilkan sesuatu.

Namun, bukan berarti mereka yang menderita penyakit mematikan, seperti kanker, adalah individu jahat yang pantas mendapatkan rasa sakit tersebut. Dengan "logika karma", semakin kejam orang tersebut, semakin banyak penderitaan yang akan dialaminya.

Bagaimana dengan orang suci yang menderita penyakit seumur hidup yang parah? Atau mereka yang mengalami langsung betapa sakitnya stigmata?

Orang suci dipilih individu dengan pesan suci untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Mereka tidak jahat, pasti. Oleh karena itu, ini adalah contoh kuat yang membuktikan bahwa "logika karma" tidak berlaku dalam kekristenan.

"Karma" adalah konsep yang banyak ditemukan dalam agama-agama Timur seperti Hindu dan Budha. Itu berputar di sekitar prinsip sebab dan akibat, menunjukkan bahwa tindakan masa lalu kita memengaruhi keadaan kita saat ini dan bahwa tindakan kita saat ini akan menentukan nasib masa depan kita.

Misalnya, kitab Ayub dalam Alkitab menantang gagasan retributif tentang keadilan ini. Ayub adalah orang saleh yang menghadapi penderitaan yang mendalam—bukan sebagai akibat dari tindakannya, tetapi sebagai bagian dari rencana ilahi di luar pemahamannya (Ayub 1:1).

Keyakinan inti Kristen adalah kebajikan anugerah, yang menekankan perkenan Tuhan bagi kita yang tidak pantas. Anugerah berarti bahwa, terlepas dari dosa manusia, Allah menawarkan kasih dan keselamatan. Dengan kata lain, bahkan jika Anda telah melakukan dosa berat dan memohon pengampunan, Tuhan akan mengampuni Anda dengan Rahmat-Nya.

Konsep ini sangat berbeda dari karma, di mana setiap hasil haruslah diraih dan diperoleh. Anugerah diungkapkan dengan indahnya dalam Efesus 2:8-9: “Sebab oleh kasih karunia kamu diselamatkan, oleh iman—dan ini bukan hasil usahamu, itu pemberian Allah—bukan karena perbuatan, sehingga tidak ada orang yang memegahkan diri. ."

Ingat, kita selalu dikasihi dan diselamatkan oleh Tuhan kita, terlepas dari beban dosa kita. Namun, adalah hak istimewa dan tanggung jawab kita sebagai orang Kristen untuk menjunjung nilai kasih dan pengampunan.

Selalu bersikap baik dan tidak menyakiti orang lain meskipun kapasitas kita tidak baik dan berbahaya. Bukan hanya karena Tuhan meminta kita untuk menjadi baik, tetapi juga karena kita diciptakan menurut gambar-Nya & srupa denganNya. Kita pada dasarnya adalah makhluk yang baik.

Nama lain Yesus Kristus adalah Emmanuel, atau "Tuhan beserta Kita". Dia datang ke dunia ini, jadi kita tidak pernah sendirian dengan rasa sakit kita. Dia selalu ada di sini untuk membawanya bersama kita dan untuk kita. Akhirnya, Dia mengangkat kita di atas dengan sukacita dan harapan yang besar.

Oleh karena itu, saat kita sedang menderita, berusahalah untuk tetap tenang dan jalani dengan sukacita, harapan, dan doa. Kami tidak sedang "dihukum"; sebaliknya, kita sedang mengalami jaminan Tuhan akan penebusan terakhir-Nya dengan dibimbing dan dilindungi dengan penuh kasih dalam pencobaan kita.

Fokusnya bukan pada sistem sebab dan akibat yang mekanis, tetapi pada kekuatan transformatif anugerah Allah di tengah pencobaan hidup. Semoga kita semua menjadi orang Kristen yang lebih baik dengan memperdalam iman kita dan memahami arti dari penderitaan kita.

____________________________________________________________

Why Bad Things Happen to Good People?

By Jennie Xue, MTh
(She is a bilingual author and educator based in NorCal.
Her works can be found at
jenniexue.com )

How often do we hear this question, "Why is he or she suffering? He/she is a good person." The next statement that might follow is, "Well, he/she must have a lot of sins, and it's his/her karma to suffer."

Friends, don't be too quick to judge and make a conclusion. Indeed, it's our curiosity as Christians to ask why bad things happen to good people and whether it's a direct consequence of our actions.

Such a question is so popular that theologians and philosophers have studied it for centuries in a discipline called theodicy. The term originates from the Greek words "theos," meaning God, and "dike," which signifies justice.

Theodicy is a defense of God's goodness and omnipotence in the face of evil. It's the study that attempts to reconcile the existence of a loving, omnipotent God with the reality of evil and suffering in the world.

God created us to be equipped with free will, which is the ability to decide and choose our actions independently. It's a fundamental human experience, underscoring our moral responsibility. Sometimes, free will cause troubles, but does it make us suffer by being punished by God?

In other words, do bad choices and actions always result in extreme suffering? Humanly speaking, any action, regardless of its morality, is likely to result in something.

However, it doesn't mean those suffering from terminal illnesses, like cancer are evil individuals deserving of such pain. With "karma logic," the more vicious the person, the more suffering he or she will experience.

How about saints who suffered from severe lifelong illnesses? Or those who experienced first-hand how painful a stigmata was?

Saints were chosen individuals with holy messages to deliver to all humankind. They were not evil, for sure. Therefore, it's a strong example that proves "karma logic" isn't valid in Christianity.

"Karma" is a concept predominantly found in Eastern religions like Hinduism and Buddhism. It revolves around the principle of cause and effect, suggesting that our past actions influence our present circumstances and that our current actions will determine our future fate.

For instance, the book of Job in the Bible challenges this retributive notion of justice. Job was a righteous man who faced profound suffering—not as a consequence of his actions, but as part of a divine plan beyond his comprehension (Job 1:1).

A core Christian belief is the virtue of grace, which emphasizes God's unmerited favor. Grace means that, despite human sinfulness, God offers love and salvation. In other words, even if you've committed a mortal sin and asked for absolution, God will forgive you with His Grace.

This concept is profoundly different from karma, where every outcome is earned. Grace is captured beautifully in Ephesians 2:8-9: "For it is by grace you have been saved, through faith—and this is not from yourselves, it is the gift of God—not by works, so that no one can boast."

Remember, we're always loved and saved by Our Lord, despite the weight of our sins. However, it's our privilege and responsibility as Christians to uphold the virtues of love and forgiveness.

Always be kind and do not harm others despite our capacity to be unkind and harmful. Not only because God asks us to be good, but also because we're made in His image and likeness. We're inherently good creatures.

Jesus Christ's other name is Emmanuel, or "God with Us." He comes to this world, so we're never alone with our pain. He is always here to carry it with us and for us. Eventually, He is to raise us above with great joy and hope.

Therefore, when we're suffering, do your best to keep calm and carry on with joy, hope, and prayers. We're not being "punished"; instead, we're experiencing God's reassurance of His ultimate redemption by being lovingly guided and protected in our trials.

The focus is not on a mechanical system of cause and effect but on the transformative power of God's grace amidst life's trials. May we all become better Christians by deepening our faith and understanding the meaning of our sufferings.

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Tithing and Financial Management for Catholics

Apakah kita wajib memberi perpuluhan? Jika ya, berapa banyak? Juga, selain perpuluhan, apa tanggung jawab keuangan kita yang lain sebagai orang katolik?

By Jennie Xue (Master of Theology Candidate)
A multidisciplinary, bilingual author and columnist based in NorCal

One of our non-Catholic Christian brothers and sisters’ religious practices is tithing, which refers to giving 10 per cent of one’s income to the Church. It’s an honorable thing to do, but how about Catholics? Are we obliged to tithe? If yes, how much? Also, other than tithing, what are our other financial responsibilities as Catholics?

First things first, let’s clarify. Catholics aren’t obliged to give away 10 per cent of our income. It was practiced in ancient Israel under the Law of Moses. It can be found in the Old Testament Malachi 3:1 “Bring the whole tithe into the storehouse, that there may be food in my house. Test me in this” says the Lord Almighty, “and see if I will not throw open the floodgates of heaven and pour out so much blessing that there will not be room enough to store it”.

Today, under the Catechism of the Catholic Church (CCC2043), the fifth precept, “You shall help to provide for the needs of the Church” practicing Catholics are obliged to assist with the needs of the Church based on their ability.

The Biblical sources of the above precept are 1 Corinthians 16:2 and 2 Corinthians 9: 6-8.
1 Corinthians 16:2: “On the first day of the week [Sunday], each of you should set aside whatever he can afford.”
2 Corinthians 9:6-8: “Whoever sows sparingly will also reap sparingly, and whoever sows generously will also reap generously. 7 Each of you should give what you have decided in your heart to give, not reluctantly or under compulsion, for God loves a cheerful giver. 8 And God is able to bless you abundantly, so that in all things at all times, having all that you need, you will abound in every good work.”

Now, what are the other financial responsibilities God urges us to do? Let’s review these OT and NT verses and grasp what He asks us to do.

Old Testament sources:
Proverbs 3:9-10
“Honor the Lord with your wealth, with the fruits of all your crops; then your barns will be filled to overflowing, and your vats will brim over with new wine.”
Applied interpretation: Always honor God; He will not forsake you financially.

Proverbs 22:7
“The rich rule over the poor, and the borrower is slave to the lender.”
Applied interpretation: Always strive to be debt free, so you aren’t being enslaved by the lender.

Ecclesiastes 5:10
“Whoever loves money never has enough; whoever loves wealth is never satisfied with their income. This, too is meaningless.”
Applied interpretation: Be grateful for what you have at hand and don’t work simply to earn more and more money. There are many things more important than money.


New Testament sources:
Matthew 6:24
“No one can serve two masters. Either you will hate the one and love the other, or you will be devoted to the one and despise the other. You cannot serve both God and money.”
Applied interpretation: Money is neutral and shouldn’t be regarded as the “ultimate source” of everything in your life. Choose between devoting yourself to God or money. We hope you’d choose the former.

2 Corinthians 9:6-7
“Remember this: Whoever sows sparingly will also reap sparingly, and whoever sows generously will also reap generously. Each of you should give what you have decided in your heart to give, not reluctantly or under compulsion, for God loves a cheerful giver.”
Applied interpretation: What you give away joyfully would return to you in multiply. This also applies to charitable donations.

1 Timothy 6:10
“For the love of money is a root of all kinds of evil. Some people, eager for money, have wandered from the faith and pierced themselves with many griefs.”
Applied interpretation: Money isn’t evil. It’s the love of money that’s evil and the root of all kinds of evil that appear later on.

To sum up, Catholics aren’t obliged to give away 10 per cent of their money to the Church but are advised to give joyfully. You can also donate other things other than money, such as time, energy, skills, information, and other resources.
And remember, money itself is neutral; it is the greed (love of money) that’s evil. So if one your goals is being financially independent, go for it. No need to be ashamed, as long as you continue giving in any of the aforementioned forms, the Lord will continue to bless you.

Have a fruitful life, everyone. Thank you for reading.

Perpuluhan dan Pengelolaan Keuangan bagi Umat Katolik

Oleh Jennie Xue (Calon Magister Teologi)
Seorang penulis dan kolumnis multidisiplin, dwibahasa yang tinggal di NorCal

Salah satu praktek keagamaan yang dijalankan oleh umat Kristen non-katolik adalah perpuluhan, yang mengacu pada memberi 10 persen dari pendapatan seseorang untuk Gereja. Itu adalah hal yang mulia untuk dilakukan, tapi bagaimana dengan umat Katolik? Apakah kita wajib memberi perpuluhan? Jika ya, berapa banyak? Juga, selain perpuluhan, apa tanggung jawab keuangan kita yang lain sebagai orang katolik?

Mulai dari yang pertama, mari kita perjelas. Umat Katolik tidak diwajibkan untuk memberikan 10 persen dari penghasilan. Praktek itu dijalankan di Israel kuno di bawah Hukum Musa, seperti tertulis dalam Perjanjian Lama Maleakhi 3:10, “Bawalah seluruh persepuluhan ke dalam gudang, supaya ada makanan di rumahku. Cobailah aku dalam hal ini” kata Tuhan Yang Mahakuasa, “dan lihat apakah Aku tidak akan membuka pintu air surga dan mencurahkan begitu banyak berkat sehingga tidak akan cukup ruang untuk menyimpannya.”

Di masa sekarang, mengacu kepada Katekismus Gereja Katolik (KGK 2043), ayat ke lima, “Kamu akan membantu untuk memenuhi kebutuhan Gereja,” Umat Katolik yang taat wajib membantu kebutuhan Gereja berdasarkan kemampuannya.

Sumber Alkitab dari ajaran di atas adalah 1 Korintus 16:2 dan 2 Korintus 9:6-8.
1 Korintus 16:2: “Pada hari pertama minggu itu [Minggu], hendaklah kamu masing-masing menyisihkan dia mampu.”
2 Korintus 9:6-8: “Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur dengan murah hati juga akan menuai dengan murah hati. 7 Anda masing-masing harus memberikan apa yang telah Anda putuskan dalam diri Anda hati untuk memberi, tidak dengan enggan atau karena paksaan, karena Tuhan mengasihi pemberi yang ceria. 8 Dan Tuhan sanggup untuk memberkati Anda dengan berlimpah, sehingga dalam segala hal setiap saat, memiliki semua yang Anda butuhkan, Anda akan berkelimpahan dalam setiap perbuatan baik.”

Sekarang, apakah tanggung jawab keuangan lainnya yang Tuhan minta untuk kita lakukan? Mari tinjau ayat Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ini dan pahami apa yang Tuhan minta kita lakukan.

Sumber Perjanjian Lama:
Amsal 3:9-10
“Hormatilah Tuhan dengan kekayaanmu, dengan hasil dari semua tanamanmu; maka lumbungmu akan terisi penuh meluap, dan tong Anda akan penuh dengan anggur baru.”
Interpretasi terapan: Selalu hormati Tuhan; Dia tidak akan meninggalkan Anda secara finansial.

Amsal 22:7
”Orang kaya menguasai orang miskin, dan peminjam menjadi budak pemberi pinjaman.”
Interpretasi terapan: Selalu berusaha untuk bebas hutang, sehingga Anda tidak diperbudak oleh pemberi pinjaman.

Pengkhotbah 5:10
”Siapa pun yang mencintai uang tidak akan pernah merasa cukup; siapa pun yang mencintai kekayaan tidak pernah puas dengan mereka penghasilan. Ini juga tidak ada artinya.”
Interpretasi terapan: Bersyukurlah atas apa yang Anda miliki dan jangan bekerja hanya untuk mendapatkan lebih banyak dan lebih banyak uang. Ada banyak hal yang lebih penting daripada uang.

Sumber Perjanjian Baru:
Matius 6:24
“Tidak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Entah Anda akan membenci yang satu dan mencintai yang lain, atau Anda akan begitu setia pada yang satu dan membenci yang lain. Anda tidak dapat melayani Tuhan dan uang sekaligus.”
Interpretasi terapan: Uang itu netral dan tidak boleh dianggap sebagai “sumber utama” dari segala sesuatu dalam hidup Anda. Pilih antara mengabdikan diri kepada Tuhan atau uang. Semoga anda akan memilih yang pertama.

2 Korintus 9:6-7
”Ingatlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak juga akan menuai dengan murah hati. Anda masing-masing harus memberikan apa yang telah Anda putuskan dalam hati untuk diberikan, bukan dengan enggan atau terpaksa, karena Tuhan mencintai pemberi yang ceria.”
Interpretasi terapan: Apa yang Anda berikan dengan senang hati akan kembali kepada Anda berlipat ganda. Ini juga berlaku untuk sumbangan amal.

1 Timotius 6:10
”Karena cinta akan uang adalah akar dari segala kejahatan. Beberapa orang, karena haus akan uang, telah mengembara dari iman dan menyiksa dirinya dengan banyak kesedihan.”
Interpretasi terapan: Uang tidak jahat. Cinta akan uang itulah yang jahat dan akar dari segala macam kejahatan yang muncul di kemudian hari. Singkatnya, umat Katolik tidak diwajibkan untuk memberikan 10 persen dari uang mereka kepada Gereja tetapi disarankan untuk memberi dengan sukacita. Anda juga dapat menyumbangkan hal-hal lain selain uang, seperti waktu, tenaga, keterampilan, informasi, dan sumber daya lainnya. Dan ingat, uang itu sendiri netral; keserakahan (cinta uang) itulah yang jahat. Jadi jika salah satu milikmu tujuan menjadi mandiri secara finansial, lakukanlah. Tidak perlu malu, selama Anda melanjutkan memberi dalam salah satu bentuk yang disebutkan di atas, Tuhan akan terus memberkati Anda.

Memiliki kehidupan yang berbuah, semua orang. Terima kasih telah membaca.

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Five Reasons That Jesus Speaking Literally About His Real Flesh And Blood

Hosti Kudus adalah sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Kristus. Kata Yesus: "Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman”.

Five reasons that Jesus speaking literally about his real flesh and blood:

1. The discourse takes place just after the famous miracle of the multiplications of the loaves. Jesus turned five loaves and a couple of fish into a seemingly inexhaustible food supply: enough to feed thousands of people and still 12 baskets of leftovers. This miracle prefigures the inexhaustible gift of Christ’s own flesh and blood.

2. Jesus claims the superiority of his bread over the manna given to the Israelites. “I am the bread of life. Your fathers ate the manna in the wilderness, and they died. This is the bread which comes down from Heaven that a man eats of it and does not die (John 6: 48 - 50).

3. Everyone who heard Jesus understood him to be speaking literally of his body and blood.      ”How can this man give us his flesh to eat?”. “This is a hard saying; who can listen to it?”.

Many of Jesus' disciples -  who were with him for many years - quit following Jesus, never even asking Jesus to explain himself. They understood perfectly that Jesus meant precisely what he said.

4. Jesus repeats six times in six verses (verses 53 - 58) ”Truly, truly, I say to you, unless you eat the flesh of the son of man and drink his blood, you have no life in you”.
“For my flesh is food indeed and my blood is drink indeed”.

5. Many of Jesus’ own disciples can’t accept the literalness of his teaching and leave him. Notice that Jesus did not call them back and explain that he is only speaking figuratively.
Jesus didn't call the unbelieving disciples back and offered to explain for an obvious reason: they understood exactly what he meant. They just couldn’t accept it. Even the twelve apostles were shaken. But Jesus doesn’t compromise a bit. Instead, he challenges His own hand picked Apostles: “will you also go away?.  In faith Peter answers: “Lord, to whom shall we go ?. You have the words of eternal life”.

Lima Dasar Bahwa Yesus Berbicara Secara Harafiah Tentang Tubuh Dan DarahNya:

1. Khotbah terjadi tepat setelah keajaiban penggandaan roti. Yesus mengubah lima roti dan beberapa ikan menjadi persediaan makanan yang tampaknya tidak pernah habis: cukup untuk memberi makan ribuan orang dan masih tersisa 12 keranjang makanan. Mukjizat ini menggambarkan pemberian darah dan daging Kristus sendiri yang tidak ada habisnya.

2. Yesus mengklaim keunggulan/keutamaan rotiNya atas manna yang diberikan kepada orang Israel. “Aku adalah roti hidup. Nenek moyangmu telah makan manna di padang gurun dan mereka telah mati. Akulah roti hidup yang turun dari Surga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya (Yohanes 6: 48 - 50).

3. Setiap orang yang mendengar Yesus mengerti bahwa Yesus berbicara secara harafiah tentang tubuh dan darahNya. "Bagaimana orang ini bisa memberi kita dagingnya untuk dimakan?". “Ini adalah perkataan yang sulit; siapa yang bisa mendengarkannya?”.
Banyak murid Yesus - yang telah bersamanya selama bertahun-tahun - kemudian berhenti mengikuti Yesus, bahkan tidak pernah meminta Yesus untuk menjelaskan Dirinya sendiri. Mereka memahami sepenuhnya bahwa bahwa Yesus benar-benar bersungguh-sungguh dengan apa yang Dia katakan.

4. Yesus mengulangi enam kali dalam enam ayat (Yoh 6: 53 - 58) "Sungguh, sungguh, Aku berkata kepadamu, kecuali kamu makan daging Anak Manusia dan minum darahNya, kamu tidak memiliki kehidupan di dalam kamu". "Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman”.

5. Banyak dari murid Yesus sendiri tidak dapat menerima ajaranNya secara literal dan meninggalkanNya.
Perhatikan bahwa Yesus tidak memanggil mereka kembali dan menjelaskan bahwa Dia hanya berbicara kiasan. Yesus tidak memanggil kembali murid-murid yang tidak percaya dan menawarkan untuk menjelaskan, karena alasan yang sudah jelas: mereka mengerti persis apa yang Dia maksud. Mereka tidak bisa menerimanya.
Bahkan kedua belas rasul terguncang. Tetapi Yesus tidak berkompromi sedikit pun. Sebaliknya, Dia menantang para Rasul yang dipilihNya sendiri dari awal mula: “Apakah kamu akan pergi juga ?.” Dengan beriman Petrus menjawab: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi?. Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal”.

Read More
Tahukah Anda Redaksi E-Bulletin Tahukah Anda Redaksi E-Bulletin

Tahukah Anda?

Apakah Misa Merah / Red Mass itu ?

A “Red Mass” is a special Mass celebrated for:

a. Courts, judges, and lawyers
b. Doctors
c. Patients
d. Prisoners
e. Monks

Answer: a. Courts, judges, and lawyers

Catholic Lawyer Guilds throughout the world, in conjunction with their bishops, sponsor a Red Mass annually in order to invoke divine guidance and strength during the coming term of the Court. It is celebrated in honor of the Holy Spirit as the source of wisdom, understanding, counsel, and fortitude, gifts that shine forth preeminently in the dispensing of justice in the courtroom as well as in the individual lawyer’s office. It also offers prayers for all men and women in the legal profession, judiciary, and public life, asking that they be blessed with wisdom and understanding. These special Masses began in Paris, 1245, and the first on States-side was in New York City on October 6, 1928. The Basilica of the national Shrine of the Immaculate Conception in D.C. has attendees at their Red Masses from Congress, the Supreme Court, and even presidents.

Source / Sumber: Inquizition by Patrick Madrid

“Misa Merah” adalah Misa khusus yang dirayakan untuk:
A. Pengadilan, hakim, dan pengacara
B. Dokter
C. Pasien
D. Tahanan
E. Biksu

Jawaban: A. Pengadilan, hakim, dan pengacara

Persekutuan Pengacara Katolik di seluruh dunia, bekerja sama dengan keuskupannya, mengadakan ‘Misa Merah’ setiap tahun untuk mendapatkan bimbingan dan kekuatan Allah saat memulai periode baru penugasan di Mahkamah Agung. Misa dirayakan untuk menghormati Roh Kudus sebagai sumber kebijaksanaan, pengertian, nasihat, dan keteguhan, sebagai karunia utama untuk membuahkan keadilan di ruang sidang dan di kantor para pengacara. Misa ini mendoakan para pekerja di bidang hukum, pengadilan, dan umat pada umumnya, agar mereka diberkati dengan karunia kebijaksanaan dan pengertian. Dalam sejarah, misa ini pertama kali di adakan di Paris, tahun 1245. Sedangkan di Amerika Serikat, pertama kali di persembahkan di New York City pada tanggal 6 Oktober 1928. Misa Merah di Basilika Nasional Maria Dikandung Tanpa Noda di D.C. Amerika Serikat, biasa dihadiri oleh para anggota Kongres, Mahkamah Agung, dan bahkan oleh beberapa presiden.

Read More
Tahukah Anda WKICU Admin Tahukah Anda WKICU Admin

Tahukah Anda?

Itu menandakan bagaimana Kristus, khususnya dalam Ekaristi Kudus, adalah perwujudan “roti” dari surga

In Hebrew, the word ‘Betlehem’ means:

a. City of David

b. Home of Shepherds

c. Star of Wonder

d. House of Bread

e. Prince of Peace

Dalam bahasa Ibrani, kata Betlehem berarti:

A. Kota Daud

B. Rumah para Gembala

C. Bintang Keajaiban

D. Rumah Roti

E. Raja Damai

Answer:

D. The significance of the name of the little town where Jesus was born cannot be underestimated. The house of bread’ motif is one of the fulfilments of prophecy concerning the coming Mesiah: “But you, O Betlehem Ephrathah, who are little to be among the clans of Judah, from you shall come forth for me one who is to be ruler in Israel, whose origin is form of old, from ancient days” (Micah 5:1). It also signifies how Christ, particularly in the Holy Eucharist, is the fulfillment of the miraculous bread from heaven, the manna in the desert (Exodus 16) with which God fed the Israelites for a time as the wandered. Jesus said, “For the bread of God is that which comes down from heaven and gives life to the world” and “I am the bread of life; he who comes to me shall not hunger, and he who believes in meshall never thirst” (John 6:33, 35).

Jawaban:

D. Nama kota kecil tempat Yesus dilahirkan, sama sekali bukanlah hal yang ‘kecil’. Konsep rumah roti & adalah salah satu penggenapan nubuat tentang Mesias yang akan datang: “Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak dahulu kala” (Mikha 5:1). Itu menandakan bagaimana Kristus, khususnya dalam Ekaristi Kudus, adalah perwujudan “roti” dari surga, juga dengan manna di padang pasir (Keluaran 16) dimana Tuhan memberi makan orang Israel saat mereka mengembara. Yesus berkata, “Karena roti yang dari Allah adalah roti yang turun dari surga dan memberi hidup kepada dunia” dan “Akulah roti hidup; barang siapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi,dan barang siapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi” (Yohanes 6:33, 35).

Source / Sumber: Inquizition by Patrick Madrid.

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Time Management for Catholics

“Our decisions must begin by acknowledging that our lives belong to God. ……..……..
We must maintain a clear sense of our mission on earth: to love God and to love our neighbor. Everything flows from this.”

by Jennie M. Xue

Time is precious and considered a “commodity”. Whether at work or home, obligations and distractions can make us feel overwhelmed and, frequently, distance us from what matters. Claiming ourselves “busy” is, in fact, a popular excuse.

The concept of “time” itself is much more than that. Time isn’t merely “ours”; it’s God’s.

Using this paradigm, in Catholicism, the essence of time revolves around the idea of “the right time”, or kairos in Greek. In the New Testament, the ultimate kairos is Salvation. On the contrary, the chronological time (human time) we’re accustomed to is called chronos.

About kairos, Ecclesian 3:1-8 wrote it well: For everything, there is a season, and a time for every matter under heaven:

A time to be born, and a time to die;
A time to plant, and a time to pluck up what is planted;
A time to kill, and a time to heal;
A time to break down, and a time to build up;
A time to weep, and a time to laugh;
A time to mourn, and a time to dance;
A time to throw away stones, and a time to gather stones together;
A time to embrace, and a time to refrain from embracing;
A time to seek, and a time to lose;
A time to keep, and a time to throw away;
A time to tear, and a time to sew;
A time to keep silence, and a time to speak;
A time to love, and a time to hate;
A time for war, and a time for peace.

God’s time is never linear and is more about values than anything else. Thus, we must discern and weigh the value of each moment, which is reflected in each decision that results in thoughts, words, and deeds.

Cited from Marshall J. Cook in Time Management: A Catholic Approach, “Our decisions must begin by acknowledging that our lives belong to God. Prayer must guide them. And they must be rooted in an honest appraisal of our lives and a sincere desire to love and serve God. We must maintain a clear sense of our mission on earth: to love God and to love our neighbor. Everything flows from this.”

We can use these four tools for managing time as Catholics: self-awareness, organization, prayerful reflection, and purposeful action.
Self-awareness is essential because it takes us a step back to assess how we manage our time. For this, we need to distinguish what is necessary and what isn’t.

Stephen Covey once stressed the importance of value-based time management, which can be categorized into essential and urgent. In the Old Testament, prophet Micah states that an activity is deemed important; when we actively contribute to our mission to do justice, love kindness, and walk humbly with God.

Next, the organization is crucial because it helps us keep track of what needs to be done when it needs to be done, and how long it will take. By having a plan, we can prioritize tasks based on their importance and time sensitivity. Remember, what’s “important”, according to lay experts like Covey, is different from God’s definition.

Prayerful reflection gives us time to slow down and reflect on our faith and values. This helps us reflect on whether an act or a decision is valuable for ourselves, fellow humans, and, most importantly, God. And whether it deepens our faith.

Finally, Catholics should be aware of purposeful action. It simply means taking proactive steps towards achieving our goals instead of merely responding to tasks as they come up or waiting for something to happen.

May our time management as Catholics grow each day. Amen.

———————————————

Manajemen Waktu bagi Umat Katolik

Waktu sangat berharga dan dianggap sebagai "komoditas". Baik di tempat kerja atau di rumah, kewajiban dan gangguan dapat membuat kita merasa kewalahan dan, seringkali, menjauhkan kita dari hal-hal yang penting. Mengklaim diri kita "sibuk", sudah menjadi alasan yang populer.

Konsep “waktu” itu sendiri sesungguhnya lebih dari itu. Waktu bukan hanya “milik kita”; itu milik Tuhan.

Dengan menggunakan paradigma ini, dalam agama Katolik, esensi waktu berkisar pada gagasan “waktu yang tepat”, atau kairos dalam bahasa Yunani. Dalam Perjanjian Baru, kairos tertinggi adalah Keselamatan. Sebaliknya, waktu kronologis (waktu manusia) yang biasa kita kenal disebut kronos.

Tentang kairos, Pengkhotbah 3:1-8 menuliskannya dengan baik: Untuk segala sesuatu, ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya:

Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal;
Ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam;
Ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan;
Ada waktu untuk meruntuhkan, ada waktu untuk membangun;
Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa;
Ada waktu untuk meratap, ada waktu untuk menari;
Ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu;
Ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;
Ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk kehilangan;
Ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang;
Ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit;
Ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara;
Ada waktu untuk mencintai, ada waktu untuk membenci;
Ada waktu untuk perang, dan ada waktu untuk damai.

Waktu Tuhan tidak pernah linier dan lebih tentang nilai daripada apa pun. Oleh karena itu, kita harus mencermati dan menimbang nilai setiap momen, yang tercermin dalam setiap keputusan yang menghasilkan pikiran, perkataan, dan perbuatan.

Dikutip dari Marshall J. Cook dalam Time Management: A Catholic Approach, “Keputusan kita harus dimulai dengan mengakui bahwa hidup kita adalah milik Tuhan. Doa harus membimbing mereka. Dan itu harus berakar pada penilaian yang jujur atas hidup kita dan keinginan yang tulus untuk mengasihi dan melayani Tuhan. Kita harus mempertahankan pengertian yang jelas tentang misi kita di bumi: untuk mengasihi Allah dan mengasihi sesama kita. Semuanya mengalir dari ini.”

Kita dapat menggunakan empat alat ini untuk mengatur waktu sebagai umat Katolik: kesadaran diri, organisasi, refleksi doa, dan tindakan yang bertujuan.

Kesadaran diri sangat penting karena kita perlu mundur selangkah untuk menilai bagaimana kita mengatur waktu kita. Untuk itu, kita perlu membedakan mana yang perlu dan mana yang tidak.

Stephen Covey pernah menekankan pentingnya manajemen waktu berbasis nilai, yang dapat dikategorikan menjadi esensial dan mendesak. Dalam Perjanjian Lama, nabi Mikha menyatakan bahwa suatu kegiatan dianggap penting; ketika kita secara aktif berkontribusi pada misi kita untuk melakukan keadilan, mencintai kebaikan, dan berjalan dengan rendah hati bersama Tuhan.

Selanjutnya, pengorganisasian sangat penting karena membantu kita melacak apa yang perlu dilakukan, kapan perlu dilakukan, dan berapa lama waktu yang diperlukan. Dengan memiliki rencana, kita dapat memprioritaskan tugas berdasarkan kepentingan dan sensitivitas waktu. Ingat, apa yang “penting”, menurut pakar awam seperti Covey, berbeda dengan definisi Tuhan.

Refleksi penuh doa memberi kita waktu untuk memperlambat dan merenungkan iman dan nilai-nilai kita. Ini membantu kita merenungkan apakah suatu tindakan atau keputusan berharga bagi diri kita sendiri, sesama manusia, dan yang terpenting, Tuhan. Dan apakah itu memperdalam iman kita.

Akhirnya, umat Katolik harus menyadari tindakan yang bertujuan. Ini berarti mengambil langkah proaktif untuk mencapai tujuan kita alih-alih hanya menanggapi tugas yang muncul atau menunggu sesuatu terjadi.

Semoga manajemen waktu kita sebagai orang Katolik berkembang setiap hari. Amin.

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Imlek, Tradisi Gereja dan Streisand Effect

S. Hendrianto, SJ

Tahun Baru Imlek ini mengingatkan saya bahwa saya sudah lebih dua tahun menetap di Roma. Ketika saya tiba di Roma di awal tahun 2021, saya harus menjalani karantina selama 14 hari dan Tahun Baru Imlek 2021 tiba pas saya sedang berada dalam masa karantina. Ketika itu beberapa orang umat Warga Katolik IndonesiaCalifornia Utara (WKICU) mengirim pesan dan mengucapkan Selamat Tahun Baru Imlek. Saya jawab Terima Kasih, akan tetapi saya tidak merayakan Imlek; yang pertama bagaimana mau merayakan Imlek dalam karantina dan yang kedua suasana dunia yang masih tidak menentu karena coronavirus juga tidak memungkinkan untuk perayaan Imlek.


Ketika itu ada seorang umat yang mengatakan bahwa Imlek harus tetap dirayakan karena itu bagian dari tradisi sama seperti Gereja Katolik yang memegang teguh tradisi. Saya jawab, analogi antara tradisi Tahun Baru Imlek dengan tradisi di Gereja Katolik itu tidak tepat.
Pertama, tradisi dalam Gereja Katolik basisnya adalah Kitab Suci, sementara Tahun Baru Imlek tidak berbasiskan Kitab Suci. Kedua, tradisi dalam Gereja Katolik digunakan oleh Tuhan untuk berkomunikasi dengan umat manusia, sementara Tuhan tidak berkomunikasi melalui Tahun Baru Imlek. Ketiga, tradisi dalam Gereja Katolik bertujuan untuk membimbing manusia menuju kekudusan, sementara Tahun Baru Imlek tidak ada urusan dengan kekudusan. Terakhir, faktanya ada sejumlah tradisi dalam Gereja Katolik yang juga sudah hilang atau dihapuskan, misalnya misa dalam Bahasa Latin yang lebih dikenal dengan Misa Tridentina atau Tridentine Mass sudah ditinggalkan. Jadi dengan kata lain Gereja Katolik juga tidak sepenuhnya memegang tradisi.

Sebagai catatan Misa Trienditina sudah di tidak pakai lagi sejak Konsili Vatikan II dan diganti dengan misa yang kita kenal sekarang yaitu Misa Novus Ordo (Tata Cara Misa Baru) atau yang juga dikenal dengan nama Misa Paulus VI (dari nama Bapa Suci Paus Paulus VI). Akan tetapi pada tanggal 7 Juli 2007, Paus Benediktus XVI mengeluarkan Motu Proprio Summorum Pontificum (sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh Sri Paus dalam Hukum Kanonik) yang menetapkan bahwa tata cara misa yang diterbitkan oleh Paul Paulus VI adalah bentuk umum - Forma ordinaria, sedangkan Misa Tridentina adalah bentuk luar biasa – Forma Extra Ordinaria. Paus Benedictus XVI juga memberikan kebebasan yang lebih besar untuk menggunakan liturgi Tridentina, dengan menyatakan bahwa semua imam boleh secara bebas merayakan misa Tridentina secara pribadi, tanpa harus meminta izin dari pihak manapun.

Di tahun Kelinci ini saya tiba – tiba teringat lagi dengan analogi antara tradisi Tahun Baru Imlek dan tradisi Latin Mass di Gereja Katolik.
Pada tanggal 16 Juli 2021, Paus Fransiskus mengeluarkan Motu Proprio Tradiones Custodes yang membatasi perayaan misa Tridentina kecuali dengan izin Uskup setempat. Pada tanggal 4 Desember 2021, Vatican juga menegaskan bahwa Sakramen – Sakramen lainnyadalam liturgi Tridentina juga dibatasi. Perkembangan di Gereja Katolik ini membuat saya merenungkan pengalaman saya dengan Tahun Baru Imlek, karena menurut saya kedua hal itu ada kaitannya secara tidak langsung.

Ketika saya masih kecil, saya terbiasa merayakan hari raya Imlek di kampung. Sedikit catatan bahwa mayoritas orang Tionghoa di kampung saya adalah orang Hakka, jadi mereka tidak menyebut Imlek tapi Kongian, dalam Bahasa Hakka. Sebagai anak kecil tentu saya tidak mengerti makna Imlek, kecuali makan makanan enak, menerima angpau atau pun bertamu ke rumah tetangga dan keluarga. Karena keluarga saya dari keluarga menengah ke bawah, tentu saja banyak hal – hal yang tertentu yang tidak sanggup kita nikmati dalam hari- hari biasa. Maka cuma pas hari raya Imlek saja kita bisa makan raisin atau cashew nuts, yang bagi saya ketika itu adalah barang mewah. Saya bersekolah di SD Katolik tapi sekolah meliburkan para murid selama beberapa hari pada Tahun Baru Imlek. Ingatan saya akan Tahun Baru Imlek yang membekas adalah ketika saya sudah duduk di bangku SMA. Ketika itu pemerintah daerah melarang Sekolah saya yangKatolik untuk meliburkan para siswa pada Tahun Baru Imlek. Ditambah lagi kabarnya ketika itu Kanwil Depdikbud main ancam mengancam kalau sampai sekolah meliburkan siswa pas Tahun Baru Imlek maka status Sekolah saya sebagai sekolah swasta yang disamakan (dengan sekolah Negeri) bisa terancam diturunkan. Para siswa yang mayoritas keturunan Tionghoa pun ribut besar; Ketua OSIS menyerukan bolos massal pas Tahun Baru Imlek. Tapi ada juga seorang Ketua Kelas (dari kelas IPA – sementara saya duduk di kelas IPS) yang menentang seruan bolos massal karena dia tidak ingin status sekolah terpengaruh, sehingga cita – cita dia masuk Perguruan Tinggi Negeri bisa gagal. Saya sendiri ketika itu berpikir bahwa kedua orang tersebut salah besar, karena masalah nya bukan pada status sekolah atau keharusan merayakan Tahun Baru Imlek. Tapi masalah utamanya adalah Depdikbud sebagai perpanjangan tangan Orde Baru yang semena – mena melarang Tahun Baru Imlek. Tentu saja kebijakan tersebut bagian dari politik diskriminasi terhadap orang Tionghoa yang dilancarkan olehOrde Baru sejak awal berdirinya. Jadi kalau benar – benar mau melawan, ya lawan lah pemerintah Orde Baru, bukan melawa sekolah. Sementara saya juga tidak setuju kepada sang Ketua Kelas (dari kelas sebelah) yang mau manut dan tunduk saja pada pemerintah.

Ketika saya pindah ke Yogya dan mulai duduk di bangku Perguruan Tinggi di Universitas Gadjah Mada, kebencian saya terhadap Orde Baru sudah semakin membatu. Jadi menurut saya yang penting adalah Orde Baru dan Soeharto harus dilawan, khsusunya politik rasialis dan diskriminatif dari Orde Baru. Setelah Soeharto tumbang dan Gus Dur mulai membuka keran kebebasan, sayamasih ingat ketika Gus Dur menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif, berlaku bagi mereka yang merayakannya. Ketika itu saya sudah bekerja di sebuah kantor pengacara Internasional; saya pun memutuskan untuk mengambil kesempatan libur dan merayakan Imlek, sebagai bentuk “kemenangan” simbolis atas perlawanan terhadap politik diskriminatif Orde Baru. Tapi belakangan ketika Megawati menetapkan Imleksebagai hari libur Nasional dan perayaan Imlek sudah kebablasan, saya memutuskan untuk mundur lagi. Saya pikir tidaklah pada tempatnya perayaan Imlek yang meriah dan serba wah di tengah situasi rakyat banyak yang masih morat – marit hidupnya ditengah situasi ekonomi yang belum menentu pasca reformasi.

Tahun 2004, saya meninggalkan Indonesia untuk studi lanjut dan kemudian bermukim di Seattle. Ketika di Seattle, paling saya sekedar merayakan Imlek dengan makan – makan di Chinatown bersama teman – teman dari Mudika Seattle. Tapi belakangan saya memutuskan menjadi seorang vegetarian, sementara restaurant favorit teman – teman saya adalah Kaw Kaw yang terkenal dengan babi panggangnya.Jadilah saya tidak ikut merayakan lagi Tahun Baru Imlek bersama teman – teman Mudika Seattle.

Tahun 2009, saya masuk Novisiat Serikat Yesus dan saya langsung berhadapan lagi dengan realitas bahwa Tahun Baru Imlek di “larang” kembali. Ketika itu pembesar di Novisiat “melarang” saya dan seorang teman dari Vietnam untuk merayakan Tahun Baru Imlek. Pas tahun baru Imlek, makanan yang disajikan adalah masakan Mexico.
Karena kesal atas pelarangan tersebut dan harus makan masakan Mexico pada tahun baru Imlek, pada malam hari, saya dan teman tadi menyelinap keluar untuk makan di Pecinan.

Setelah selesai Novisiat, saya pindah ke Chicago untuk melanjutkan studi filsafat dan di Chicago, saya pun memutuskan untuk “balas dendam” atas pelarangan di Novisiat. Ketika Tahun Baru Imlek tiba, saya dan sejumlah teman pun memutuskanuntuk merayakan Imlek di Chinatown Chicago dan menikmati hotpot sepuasnya.

Setelah Chicago, saya tidak ingat lagi ada pengalaman Imlek yang penuh makna dalam hidup saya. Akan tetapi melihat ke belakang, semangat saya untuk merayakan Imlek justru lebih besar dan menggebu gebu ketika Imlek dilarang, baik oleh pemerintah Orde Baru ataupun pembesar saya. Berdasarkan pengalaman itu saya pun merenungkan keputusan Paus Fransiskus untuk membatasi Misa Tridentina. Saya termenung merenungkan apakah sebagian umat Katolik justru akan diam – diam di bawah tanah terus merayakan Misa Tridentina. Tentu saja analogi saya kurang tepat, umat Katolik seharusnya tunduk dan patuh kepada Bapa Suci, bukan seperti orang –orang Tionghoa Indonesia yang tetap ngotot merayakan Imlek meski dilarang pemerintah Orde Baru.Akan tetapi saya ingat kepada Streisand effect yang merujuk kepada usaha untuk melarang, mensensor atau menghilangkan sebuah informasi yang akibatnya justru melipatgandakan keingintahuan orang terhadap informasi yang dilarang tersebut.

Streisand effect ini bermula dari kasus penyanyi Barbra Streisdand yang mencoba untuk melarang publikasi foto rumahnya di Malibu, California, terutama pada sisi yang menghadap pantai. Barbra Streisand menuntut penghapusan foto rumahnya dalam album 12.000 foto garis pantai California yang dimuat di Pctopia.com.
Tindakan ini malah membuat orang banyak semakin penasaran. Sebelum gugatan dilayangkan, foto rumah Barbra hanya diunduh oleh enam pengunjung. Setelah kasus Barbra mencuat, lebih dari 420.000 orang mengunjungi situs yang memuat foto rumahnya.

Sekali lagi mungkin analogi saya kurang tepat karena pelarangan yang dilakukan oleh Barbra Streisand itu hanyalah merupakan tindakan manusia yang ingin melindungi kepentingan pribadinya. Sementara keputusan Paus Fransiskus merupakan tindakan yang terinsipirasi oleh Roh Kudus, dan untuk kepentingan Gereja secara menyeluruh. Sehingga mungkin saja banyak orang yang setelah ini tidak peduli lagi terhadap Misa Tridentina dan tradisi tersebut akan hilang dalam satu generasi ke depan.

Meski demikian ada satu hal lagi yang membuat saya termenung. Pada masa Orde Baru, salah satu alasan Orde Baru melarang Imlek ada soal kecemburuan sosial (diantara banyak alasan politik lainnya). Satu sisi ada benarnya alasan tersebut, karena perayaan Imlek yang kebablasan bisa semakin meningkatkan kecemburan sosial. Akan tetapi solusinya adalah bukan dengan larang – melarang. Solusinya justru adalah mengatasi pesoalan ekonomi dan kemiskinan di Indonesia. Selama persoalan itu tidak diselesaikan, kecemburuan sosial tetap akan terjadi baik dengan Imlek ataupun tanpa Imlek.



S. Hendrianto, SJ

Read More
WKICU Admin WKICU Admin

Farewell to Pope Emeritus Benedict XVI

Taken from Vatican News

“The 95-year-old Pope Emeritus Benedict XVI passed away on Saturday at 9:34 AM in his residence at the Vatican's Mater Ecclesiae Monastery.

Pope Emeritus Benedict XVI has returned to the Father’s House.

The Holy See Press Office announced that the Pope Emeritus died at 9:34 AM on Saturday morning in his residence at the Mater Ecclesiae Monastery, which the 95-year-old Pope emeritus had chosen as his residence after resigning from the Petrine ministry in 2013.

“With sorrow I inform you that the Pope Emeritus, Benedict XVI, passed away today at 9:34 AM in the Mater Ecclesiae Monastery in the Vatican. Further information will be provided as soon as possible.  As of Monday morning, 2 January 2023, the body of the Pope Emeritus will be in Saint Peter's Basilica so the faithful can pay their respects."

During a briefing at the Holy See Press office, the director, Matteo Bruni, told journalists that  Pope Francis will preside over the funeral of the Pope Emeritus on 5 January at 9.30 CET in St. Peter's Square. No tickets are foreseen for participation in the Mass.

Bruni also said the Pope Emeritus on Wednesday 28th, in the afternoon, received the Sacrament of Anointing of the Sick in the Mater Ecclesiae monastery at the end of Holy Mass.

Pope Emeritus Benedict XVI’s remains will rest at the Mater Ecclesiae monastery until the morning of Monday, 2 January; official visits or public prayers are not foreseen.

From 9am on the same day, Benedict’s body will lie in state in St. Peter’s  Basilica so the faithful can pay their final respects.”

Direct source: https://www.vaticannews.va/en/vatican-city/news/2022-12/pope-emeritus-benedict-xvi-dies-aged-95.html

Read More
Redaksi E-Bulletin Redaksi E-Bulletin

Am I praying, O Lord ?

Mother Teresa said, “God speaks in the silence of the heart. Listening is the beginning of prayer. Listen in silence because if your heart is full of other things, you cannot hear the voice of God.”

Prayer does not change God’s mind; it changes us.
Prayer allows us to be transformed by Christ. Our prayer life slowly shapes who we are: as a tree is known by its fruit, so are we by our prayer life.

A girl chatted with a lady seated next to her in a faith-formation program. The lady confided that

she prayed everyday but did not feel close to God. Her morning prayer was the rosary, a devotion to our

Lady, and daily petitions; she prayed Divine Mercy at 3 pm and another set of rosary and devotion to a

saint before she slept. She regularly attended talks to deepen her faith too. Despite all these, she felt

distant from God. The girl was intrigued: “It seems that you spend a lot of time talking to God and

listening about God. When do you listen to God?” The lady looked confused: “What do you mean? I

spend a few hours praying every day, don’t I?”


The encounter reminded the girl of a recent lunch with a childhood friend who was troubled that

she could not pray anymore. The friend said “I used to pray Our Father and Hail Mary every day, but

this is becoming dry. I find it easier to talk to Jesus, making up imaginary conversations with Him. I could

be driving or buying groceries, and I’d speak to Him; or I’d be quiet and imagine Him sitting next to me.

When I have a problem, I would tell Him, “I can’t solve this; it’s beyond me. You help take care of it, ok?”

Then I’d go to sleep. Interestingly, when I wake up, the problem doesn’t seem as bad.”


These two encounters were captivating: the first lady was certain she was praying, while the

second lady was convinced she was not. Both were unsure if they truly communed with God, who is

silent and invisible, when indeed both are praying. What, then, is prayer? Alas, there is no simple

answer. If we ask ten people, we will likely receive ten distinct replies because we are trying to describe

an experience often inexpressible with words.

The saints are an excellent case in point: “Prayer is the raising of one’s mind and heart to God” (St.

John Damascene); “Prayer is a surge of the heart; it is a simple look turned towards heaven” (St. Therese

of Lisieux); “Prayer is the encounter of God’s thirst with ours” (St. Augustine). There is simply no fixed

definition. Despite the different expressions, the saints all spoke of an intimate bond that comes from a

profound encounter: they experienced God, and they knew Jesus intimately. But they didn’t get there

overnight. Nobody does.


For the saints and many Christians to pray is to invite the living Christ into their lives. Our

relationship with Jesus is a journey we must walk in person, with the Gospel as our guide. Praying with

the Gospel teaches us to see with His eyes, hear with His ears, and feel with His heart. Just like in

courtship or friendship, we can’t borrow someone else’s experience. Listening to another person’s

testimony or preaching may be uplifting, but it will remain as head knowledge until we personally

encounter Jesus. Just like any relationship, our awareness of Him slowly grows.

Without praying with the Gospel, our understanding of who God is only comes from our sheer

imagination. Without recognizing who Jesus truly is, everything else – the rosary, the devotion, the

imaginary heart-to-heart conversation – is incomplete. One can’t imagine and describe the sweetness of

honey unless they have tasted it.


Indeed, to pray is to allow God’s sweetness to touch us. Prayer does not change God’s mind; it

changes us. Prayer allows us to be transformed by Christ. Our prayer life slowly shapes who we are: as a

tree is known by its fruit, so are we by our prayer life. As we grow in our relationship with Jesus, our

relationship with ourselves and others deepens. Simply put, one can’t be touched and loved by God and

remain the same person.


Prayer is a two-way conversation, even though we tend to be more proficient in vocalizing and

petitioning. In Advent, as we prepare our heart to receive Christ, let us remind ourselves that to pray is

also to have a quiet heart to hear. Mother Teresa said, “God speaks in the silence of the heart. Listening

is the beginning of prayer. Listen in silence because if your heart is full of other things, you cannot hear

the voice of God.”


Are we listening to the Voice within?)


The Voice Within 

Speak, Lord, your servant is listening

If there is one thing we can be sure of, it is God’s immense desire to be with us and to be known

by us. He reaches out and always reveals Himself to us. However, the thought of an invisible God

speaking to us can be unimaginable and unfathomable. And herein lies the question: Does God really

communicate with us? And if so, how?


The stories in the Scripture and of the lives of the saints reveal that God speaks to humans

throughout the history of humanity – some directly. For our sake, however, it is wise to assume that we

are not one of the select few, as it is equally sensible to believe that God is generous and creative in

connecting with us individually: His communication with us is as personalized as our unique fingerprints.

He meets us where we are, in ways which we can understand.


Many Christians attest to God speaking to them through praying with the Scripture, God’s

personal love letter for each of us. The Scripture points us and brings us closer to God. Through the

Scripture, God the mother comforts Her troubled child, God the lover courts His beloved, God the

faithful friend offers unceasing compassion and companionship.

Many also affirm that moments of God are beyond the dedicated prayer time. The experience of

God unfolds in our daily life – the splendor and turmoil of nature and creation, the voice of God spoken

by a friend or a stranger, in the gentle breeze and the buzzing of a busy street; as a thought, an insight,

or a tug in our heart; in joyous moments, heart-wrenching tragedies, and mundane chores. St. Ignatius

calls this awareness of God as finding God in all things. That is God speaking to us every day.


Finding God in our daily life is something which we can discover and acquire, for which St.

Gregory Palamas offered a wise counsel: “To think about God a thousand times, without experiencing

God, is to know nothing.” We can only know God by experiencing and recognizing His presence in our

life.

Recognizing God’s presence does not happen overnight: it is growth. Our life history is filled with

stories and memories of God, and yet our busyness often prevents us from feeling and sensing God. He

has been whispering, “I was there with you when….,” “I was here when….,” and “I am here with you

now”; we did not hear Him.

With the gift of hindsight, when we remember our first experience of God, the second, the third,

and the fourth, we begin to find the fingers of God touching us throughout our lives, even in our most

painful moments. The more we are aware and attentive to these memories, the more we are attuned to

God’s presence in our life. By revisiting, reliving, and savoring His companionship with our senses, mind,

and heart, we slowly learn to acquire the taste of God. 


Another year is coming to an end. As we just celebrate the Lord’s incarnation in our midst, let us

welcome Him into our life, inviting the Lord to remind us that He has always been present, loving us and

guiding us. Let us call out to Him: “Speak, Lord, your servant is listening,” as we listen with our heart,

and we listen in silence.

Read More
Redaksi E-Bulletin Redaksi E-Bulletin

Thanksgiving Wish

Lord, we give thanks for Your infinite love, Your promises that never fail, and Your plans that are always the best for your people.

Tgivingcard.jpg
Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Beautiful Souls

Orang biasa dan tidak sempurna, laki-laki dan perempuan yang disempurnakan oleh Tuhan. Mereka hanya memiliki satu tujuan dalam hidup – menjadi satu dengan Tuhan.

“The difference between the Gospel written and the lives of the Saints is the same as the difference between music written on a page and music played out loud.”

Jiwa-Jiwa yang indah

Hari Raya Semua Orang Kudus adalah hari suci yang khusyuk bagi Gereja Katolik. Ini adalah suatu hari peringatan di mana umat beriman merayakan persekutuan kita dengan orang-orang kudus. Kita dipanggil untuk mengingat dan menghormati saudara-saudari kita di dalam Kristus, saksi-saksi agung Kristus, yang telah pergi sebelum kita dan berada di surga bersama Tuhan. Tapi pernahkah kita berhenti sejenak dan merenungkan siapakah jiwa-jiwa yang indah ini ?. Atau mengapa kita merayakan hidup mereka? Dan bagaimana kita, insan fana ini, bisa menjadi salah satu di antara mereka?

Bila kita perhatikan, tidak ada yang lebih beragam dari semua lapisan kehidupan, melebihi keragaman latar belakang orang-orang kudus. Pria dan wanita. Tokoh-tokoh Alkitab dan tokoh-tokoh kontemporer. Kaya dan miskin. Bangsawan dan orang buangan. Tua dan muda. Yang kuat dan yang lemah. Cerdas dan buta huruf. Berbudaya dan orang biasa. Karismatik dan lemah lembut. Orang Kristen sejati dan orang yang terlambat bertobat. Yang dikanonisasi oleh Gereja dan banyak lagi orang-orang kudus yang tidak dikenal dan tidak dikenal yang telah berjalan di bumi. Setiap seseorang bertemu dengan Tuhan secara pribadi; masing-masing menawarkan kepada kita wawasan yang berbeda tentang bagaimana mencintai Yesus, bahwa ada banyak cara untuk mengasihi Yesus. Santo Yosef, hamba Tuhan yang rendah hati, yang taat pada perintah Tuhan tanpa pertanyaan untuk melindungi Keluarga Kudus. Santo Fransiskus Assisi, menanggapi panggilan “Francis, Fransiskus, pergi dan perbaiki rumah-Ku yang runtuh,” meninggalkan segalanya untuk mengikuti ajaran Yesus Kristus dan untuk berjalan di jejak-Nya. Santo Ignatius dari Loyola, yang Latihan Pencernaan Spiritualnya telah membawa banyak orang setia dalam menemukan Tuhan. Santa Theresia dari Lisieux, dengan kepolosan dan kesederhanaannya bagai seorang anak kecil, mengungkapkan cintanya untuk Tuhan dengan caranya yang kecil. Bunda Teresa dari Calcutta, yang melihat dan mencintai Yesus dalam setiap orang yang dia layani, terutama yang tertindas dan terbuang.

Keragaman mencerminkan volume. Bahwa setiap orang bisa menjadi suci, atau setidaknya, bertujuan untuk menjadi suci. Terlepas dari keragaman latar belakang, orang-orang kudus tampaknya memiliki satu kesamaan. Orang suci mencintai Tuhan dengan segenap hati, jiwa, pikiran, dan kekuatannya, dan mencintai orang lain seperti Tuhan mencintai. Satu pribadi yang mengambil identitas Kristus. Seseorang yang memahami bahwa kekudusan adalah tidak mungkin jika tanpa kasih karunia Tuhan dan tanpa penyerahan diri sepenuhnya dan ketaatan total kepada-Nya. Sama seperti kita, orang-orang kudus memiliki pergumulan, kesalahan, kekurangan, dosa, dan konflik batin mereka. Orang biasa dan tidak sempurna, laki-laki dan perempuan yang disempurnakan oleh Tuhan. Mereka hanya memiliki satu tujuan dalam hidup – menjadi satu dengan Tuhan.

Ketika kita merayakan orang-orang kudus, kita diingatkan bahwa hidup mereka terfokus pada salib: menempatkan Yesus di pusat kehidupan, menjadi satu dengan Tuhan melalui doa - salib vertikal, dan mencintai dan merawat saudara dan saudari kita - salib horizontal. Mereka adalah model untuk kita tiru - karena mereka adalah murid dan pengikut terbesar Yesus.
Di bulan November, kita diingatkan akan identitas kita sebagai satu Tubuh Mistik Kristus. Gereja di bumi bersatu dalam doa dengan gereja di surga. Semua jiwa yang penuh kasih ini mengelilingi kita, menyemangati kita, mendoakan kita, bersyafaat untuk kita, menunggu kita di akhir garis finish. Mereka di surga, dan kita para peziarah di bumi. Bersatu dalam doa, menyembah Tuhan sebagai keluarga dalam Ekaristi. Kita adalah satu dalam Tubuh Kristus. Kita adalah Tubuh Kristus. Tidakkah itu sangat menghibur untuk mengetahui bahwa kita tidak pernah sendirian dalam perjalanan kita?

RS

Kutipan:
St Agustinus: “Perbedaan antara Injil yang ditulis dan kehidupan para Orang Suci adalah sama dengan perbedaan antara musik yang ditulis di halaman dan musik yang dimainkan dengan keras.”

Translated from the original text : “Beautiful Souls”

All Saints’ Day is a solemn holy day of the Catholic Church. It is one of the greatest commemorations, when the faithful celebrate our communion with the saints. We are called to remember and honor our brothers and sisters in Christ, the great witnesses of Christ, who have gone before us and are in heaven with God. But have we ever paused and reflected on who these beautiful souls are? Or why do we celebrate their lives? And how do we, mortal beings, become one?

When we think of the saints, we can’t find more diverse backgrounds from all walks of life. Men and women. Biblical personages and contemporary figures. Wealthy and poor. Aristocrats and outcasts. Old and young. Strong and weak. Intellect and illiterate. Cultured and commoner. Charismatic and meek. Cradle Christians and late converts. The ones canonized by the Church and many more unknown and anonymous saints who have walked the earth. Each one encounters God in a personal way; each offers us a different insight on how to love Jesus, that there are many ways to love Jesus. Saint Joseph, the humble servant of God, who obeys God’s commandments without questions to protect the Holy Family. Saint Francis Assisi, responding to the call “Francis, Francis, go and repair My house which is falling into ruins,” drops everything to follow the teachings of Jesus Christ and to walk in His footsteps. Saint Ignatius of Loyola, whose Spiritual Discernment Exercises have led countless faithful in finding God. Saint Therese of Lisieux, with her innocence and child-like simplicity, expresses her love for God in her little way. Mother Teresa of Calcutta, who sees and loves Jesus in everyone she serves, especially the downtrodden and the outcasts.

The diversity speaks volume. That everyone can be holy, or at least, aim to be holy. Despite the diversity in the background, the saints seem to have one thing in common. A saint loves God with all his/her heart, soul, mind, and strength, and loves others the way God loves. A person who takes on Christ’s identity. One who understands that holiness is not possible without God’s grace and without his/her complete surrender and total obedience to Him. Just like us, the saints have their struggles, faults, flaws, sins, and inner conflicts. The imperfect and ordinary men and women made perfect by God. They have but one purpose in life – to be one with God.

When we celebrate the saints, we are reminded that their lives are focused on the cross: placing Jesus at the center of our lives, being one with God through prayers - the vertical cross, and loving and caring for our brothers and sisters - the horizontal cross. They are our models to imitate because they are the greatest disciples and followers of Jesus. In the month of November, we remember our identity as one Mystical Body of Christ. The church on earth united in prayers with the church in heaven. All these loving souls surrounding us, cheering for us, praying for us, interceding for us, waiting for us at the finished line. They in heaven, and we the pilgrims on earth. United as one in prayers, worshiping God as a family in the Eucharist. We are one in the Body of Christ. We are the Body of Christ. Isn’t it comforting to know that we are never alone in our journey?

RS

Quote:
St Augustine: “The difference between the Gospel written and the lives of the Saints is the same as the difference between music written on a page and music played out loud.”

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

The Elder Brother Of The Prodigal Son - part 2

“Bapa, aku telah berdosa terhadap Surga dan terhadapmu”
God, have mercy on me, a sinner

“Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadapmu. Aku tidak layak lagi disebut anakmu; jadikan aku seperti salah satu pelayanmu "

Tentu saja aku marah, tentu saja aku tidak senang.
Dia hidup seenaknya di negeri asing, dan begitu sudah habis uangnya, ia pulang ke rumah bagaikan seorang pengemis yang kelaparan. Dan bapaku menyambut anaknya yang hilang itu dengan begitu suka cita, hingga menyembelih seekor anak lembu tambun untuk pesta dengan seluruh pekerja.


Sedangkan aku selama ini sudah hidup lurus dan bekerja keras di ladang, melayani bapa dan tidak pernah sekalipun menentang perintahnya. Aku tidak pernah berpesta pora atau mengenal seorangpun pelacur, aku anak sulung, maka aku pantas dihargai atas posisi, semua usaha dan dedikasiku kepada bapa selama ini. Yang jelas, aku jelas lebih baik daripada adikku itu, mengapa justru sekarang bapaku menyambutnya dengan suka cita bahkan memakaikannya jubah, memberinya sandal dan mengenakannya cincin ??. Aku jelas tidak terima semuanya ini, aku tidak akan masuk ke rumah, biarkan mereka berpesta di dalam.

Hari ini makin sore, sudah tiga jam aku di sini, masih duduk di bawah pohon ini, memandang rumah bapa dari jauh. Mereka masih berpesta, musik dan nyanyian riuh rendah masih sesekali terdengar.

Ah, perutku mulai lapar, dan tidak ada makanan atau minuman di sini. Angin pun mulai terasa dingin, dan aku tidak membawa jaket atau selimut. Aku seorang sendiri, sedangkan mereka bergembira di sana.

Sendiri, ya sendiri…
Tiba-tiba aku tersentak, menyadari kesendirian ini..
Mengapa justru aku yang sekarang sendiri ?
Tapi aku masih tak sudi untuk melangkah ke sana, ke rumah bapa.
Maka biarkan aku tetap sendiri, di sini.



Teringat dulu,...ketika aku masih kecil,..kami berdua masih kecil.

Kami sering bermain di dekat sini. Dan di bawah pohon ini, kami selalu menanggalkan sandal kami sebelum memanjatnya. Di atas pohon, kami memetik buahnya yang matang, memakannya, sembari menikmati semilir angin dan menebar pandangan sampai sejauh-jauhnya. Dari atas pohon  ini, bisa terlihat rumah kami di kejauhan, sungai, dan segala sesuatu di kaki perbukitan nun jauh di sana.

Tetapi suatu hari ketika memanjat pohon ini, dia, adikku ini,..tidak banyak berkata. Pandangannya seperti sedang tertambat pada ujung-ujung gunung dan segala sesuatu yang tersimpan di baliknya, segala sesuatu yang tidak tampak. Sesekali ia tampak gelisah tetapi tidak yakin akan apa yang akan dikatakannya “Bang,..apa ya yang ada di balik gunung-gunung itu. Apakah ada ladang-ladang lain seperti ladang milik kita?. Apakah ada rumah-rumah lain dan berapa besar keluarga mereka?...bolehkah kita berkenalan dengan anak-anaknya yang mungkin cantik dan tampan?. Apakah mereka punya anggur dan apakah rasanya sama dengan anggur di rumah kita?. Bang,..aku ingin tahu..”.

Aku cuma diam. Adikku ini ternyata punya banyak pertanyaan dalam hatinya yang tidak bisa aku menjawabnya. Maka aku pun hanya membalas tatapannya tanpa bisa berkata banyak. Mana mungkin aku tau jawaban atas semua pertanyaannya itu. Aku sendiri belum pernah berjalan melampaui puncak-puncak gunung itu untuk tau apa yg ada di baliknya. Yang aku tahu hanya bekerja setiap hari sebaik-baiknya untuk bapaku, supaya ia tidak menilaiku malas dan menjadi marah kepadaku. Aku takut membuat bapaku marah.

Tetapi seperti yang sudah aku pahami, adikku ini bukan seorang yang betah di rumah, ia punya jiwa seorang petualang, dan dia pun tidak akan mudah menyerah selama pertanyaannya belum terjawab. Tiba-tiba katanya: “Bang,..aku ingin pergi melihat dunia di luar sana. Aku tau bapa pasti tidak mengijinkan, tetapi aku tetap akan tetap pergi walaupun dia tidak mengijinkan”.

Hari itu setelah kami turun dari pohon, memakai kembali sandal kami, dan hendak berjalan pulang kembali ke rumah, terasa kaki saya agak sakit dan sama sekali tidak nyaman. Ternyata sandal kami tertukar, aku sedang memakai sandal adikku.


Sandal adikku.
Kupejamkan mataku mengingat saat-saat itu, ketika aku sedang memakai sandal adikku. Segala ketidaknyamanannya, segala kesempitan dan kasar permukaannya, segala kesusahanku untuk melangkahkan kaki.

Coba sekarang aku membayangkan sedang memakai sandal adikku lagi. Membayangkan bagaimana aku berada di posisi dia.. “Be in his shoes”.

Pergi meninggalkan keluarga di masa muda, pergi membawa sebagian harta bapa yang menjadi bagianku. Semangat muda dan keingintahuan yang besar akan dunia lain di ujung sana - telah membuatku berani menentang rencana bapa.
Menganggap harta adalah jaminan hidupku di negeri asing, menggunakannya tidak bijaksana bahkan habis di meja judi dan perempuan-perempuan asing. Menganggap hartaku akan kekal, dan semua orang adalah teman sejati. Menganggap dunia akan tetap baik-baik saja meskipun hidup dalam lingkaran dosa. Tidak perlu berkomunikasi dengan bapa, toh aku sudah dewasa.

Terlalu banyak untuk dikatakan,..yang jelas, semuanya adalah dosa.

Dan ketika masa paceklik tiba, kelaparan dan kemiskinan merajalela, ketika sepeserpun tidak lagi ku punya dan makanan babi pun orang tidak izinkan untuk aku makan, ketika tidak ada lagi teman, ketika yang kurasakan adalah sengsara hidup jauh dari rumah bapa……

Apa yang akan kulakukan?.
Maka aku akan berkata: "Berapa banyak pelayan sewaan ayahku yang punya makanan, dan di sini aku mati kelaparan! Aku akan berangkat dan kembali kepada ayahku dan berkata kepadanya: Ayah, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadapmu. Aku tidak layak lagi disebut anakmu; jadikan aku seperti salah satu pelayanmu" ….

Kini aku akan bangkit,... akan kutanyakan adikku itu. Akan kutanyakan apakah dia juga berkata begitu sebelum memutuskan kembali kepada bapa.

Ternyata dengan membayangkan berada di posisi dia,.. telah membuatku mengerti sedikit tentang kesesakan dan pergumulannya. Memakai sandal yang tertukar telah membuatku mengerti sesuatu. Dan di atas segalanya, adikku telah memilih yang terbaik, yakni bertobat dan berbalik kembali kepada bapa.

Akan kukatakan juga kepadanya,.. bahwa aku tidak lebih baik daripadanya.





Read More