Artikel & Renungan WKICU Admin Artikel & Renungan WKICU Admin

"How to Forgive the Unforgivable?"

Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?

By Jennie Xue, MTh
Jennie Xue is a bilingual author based in NorCal.
(Original text, in English)

Being forgiving is one of the most important traits of being a Christian. The word "forgive" itself appears 127 times throughout the Bible.

The concept is simple. We must forgive whoever did us wrong and for whatever reason. Whenever. No exception. Easy, right?

C.S. Lewis once said, "Forgiveness is a beautiful idea --until you have something to forgive."

Christ taught us to forgive seventy times seven times; whenever someone slaps us, we should give our other cheek. In other words, we must have a big heart to forgive others.

Luke 17:3-4 states, "So watch yourselves. If your brother or sister sins against you, rebuke them, and if they repent, forgive them. Even if they sin against you seven times in a day and seven times come back to you saying 'I repent,' you must forgive them."

What does "forgiving" mean?

Forgiveness is an act of pardoning, from which love would triumph over anger and vengeance. The Greek word "forgiveness" literally means "to let go."

As an act, forgiveness only requires us to act, not to wait for a feeling or a good mood to emerge before we forgive. Forgiveness isn't a feeling.

What does "forgiving" not mean?

Forgiving doesn't mean agreeing with the sin being pardoned. It's also not about forgetting. You can still remember the wrongdoing to learn from the past but still forgive the person.

Forgiving isn't reconciliation, either. Reconciliation requires repentance, while forgiveness doesn't. Jesus forgave those who wronged Him despite the fact they haven't repented and might never. 

Who should we forgive? Should we only forgive others? How about forgiving ourselves?

Frequently, we can easily forgive others but can't even fathom to forgive ourselves. After all, we're our own worst critic. However, God asks us to trust Him that He knows everything, and if He can love us, why don't we love ourselves enough to forgive (ourselves)?

1 John 3:20 states, "If our hearts  condemn us, we know that God is greater than our hearts, and He knows everything."

Is there a limit to being forgiving? Only seventy times seven?

There is no limit to being forgiving, as God has no limit in forgiving us, in both the quantity and the quality of our sins. As we're created in God's image, we can forgive as much and as deeply as God has always forgiven us.

What about the "unforgivable" sins? Should we forgive them?

The term "unforgivable" is relative and subjective. One person's "unforgivable" wrongdoing might not be that impactful in others and vice versa.

 

In the case of suicide, which has been considered "a grave or mortal sin," we shouldn't be quick to judge that people who commit them are likely sent to hell.

According to the Catechism of the Catholic Church (CCC 2282-2283):

"Grave psychological disturbances, anguish, or grave fear of hardship, suffering, or torture can diminish the responsibility of the one committing suicide... We should not despair of the eternal salvation of persons who have taken their own lives. By ways known to Him alone, God can provide the opportunity for salutary repentance. The Church prays for persons who have taken their own lives."

While the act itself is considered gravely wrong, the Church acknowledges that factors like mental illness or severe emotional stress might lessen a person's moral culpability. Only God truly knows the state of a person's soul and their capacity for moral reasoning at the time of their death.

To conclude this discussion, let's answer this final question.

Why does God ask us to forgive?

1. To Reflect God's Mercy: The Bible often depicts God as merciful and forgiving. When we forgive others, we reflect God's nature and the mercy He shows us. "Be kind and compassionate to one another, forgiving each other, just as in Christ God forgave you." (Ephesians 4:32)

2. For Healing: Holding onto anger, resentment, or hurt can harm our spiritual, emotional, and physical health. Forgiveness allows us to let go of these negative emotions and promotes healing and peace.

3. To Maintain Relationships: Forgiveness is crucial for maintaining and restoring relationships. Jesus emphasized the importance of reconciliation with others (Matthew 5:23-24).

4. As a Prerequisite for Receiving Forgiveness: In the Lord's Prayer, Jesus teaches us to ask God to forgive our debts, as we also have forgiven our debtors (Matthew 6:12). Jesus further explains, "For if you forgive other people when they sin against you, your heavenly Father will also forgive you. But if you do not forgive others their sins, your Father will not forgive your sins." (Matthew 6:14-15).

5. To Promote Love: Forgiveness is an expression of love, the greatest commandment in Christianity. It helps to maintain unity and harmony within the Christian community and beyond.

6. To Break the Cycle of Retribution: Unforgiveness can lead to a cycle of revenge and retaliation. Forgiveness helps break this cycle and promotes peace and understanding.

May we continue to forgive others and ourselves as Christ has always and will continue to forgive all of us unconditionally. Remember to repent after asking for forgiveness to turn something negative into positivity.


Bagaimana Memaafkan Yang Tidak Dapat Dimaafkan

Oleh Jennie Xue, MTh
Jennie Xue adalah penulis bilingual yang tinggal di NorCal.
(Terjemahan dalam Bahasa Indonesia)

Menjadi seorang pemaaf adalah salah satu sifat paling penting dari menjadi seorang Kristen. Kata “memaafkan’ itu sendiri muncul 127 kali di seluruh Alkitab.
Prinsipnya sederhana saja. Kita harus memaafkan siapa pun yang melakukan kesalahan pada kita dan apa pun alasannya. Kapan pun. Tanpa pengecualian. Mudah, bukan?

C.S. Lewis pernah berkata, “Memaafkan adalah ide yang indah -- sampai Anda memiliki sesuatu untuk dimaafkan.”

Kristus mengajarkan kita untuk mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali; setiap kali seseorang menampar kita, kita harus memberi pipi kita yang lain juga. Dengan kata lain, kita harus mempunyai hati yang besar untuk memaafkan orang lain.

Lukas 17:3-4 menyatakan, “Maka jagalah dirimu. Jika saudaramu berbuat dosa terhadap kamu, tegorlah mereka, dan jika mereka bertobat, ampunilah mereka. Sekalipun mereka berbuat dosa terhadapmu tujuh kali dalam sehari tujuh kali kembali kepadamu sambil berkata 'Aku bertobat,' kamu harus memaafkan mereka.”

Apa artinya “Memaafkan” ?
Pengampunan adalah tindakan memaafkan, yang darinya cinta akan menang atas kemarahan dan balas dendam. Kata dari bahasa Yunani “pengampunan” secara harafiah berarti “melepaskan”.
Sebagai sebuah tindakan, memaafkan hanya menuntut kita untuk bertindak, bukan menunggu munculnya perasaan atau suasana hati yang baik sebelum kita memaafkan. Memaafkan bukanlah sebuah perasaan.

Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?

Apa yang bukan berarti “memaafkan” ?
Memaafkan bukan berarti setuju dengan dosan yang kita ampuni. Juga bukan berarti melupakannya. Anda masih bisa mengingat kesalahannya untuk belajar dari masa lalu namun tetap memaafkan orang tersebut.
Memaafkan juga bukan rekonsiliasi. Rekonsiliasi membutuhkan pertobatan, sedangkan pengampunan tidak. Yesus mengampuni mereka yang berbuat salah kepada-Nya meskipun faktanya mereka belum bertobat dan mungkin tidak akan pernah bertobat.

Siapa yang harus kita maafkan? Haruskah kita memaafkan orang lain saja? Bagaimana kalau memaafkan diri kita sendiri?

Seringkali kita mudah memaafkan orang lain, namun kita tidak bisa memaafkan diri sendiri. Bagaimanapun juga, istilahnya kita memang kritikus terburuk kita sendiri. Namun, Tuhan meminta kita untuk percaya kepada-Nya bahwa Dia mengetahui segalanya, dan bila Dia bisa mengasihi kita, mengapa kita tidak mengasihi diri kita sendiri agar bisa memaafkan (diri kita sendiri)?.

1 Yohanes 3:20 menyatakan, ‘Jika hati kita menyalahkan kita, kita tahu, bahwa Allah lebih besar dari hati kita, dan Dia mengetahui segalanya.”

Apakah ada batasan untuk memaafkan? Apakah hanya tujuh puluh kali tujuh?
Tidak ada batasan untuk memaafkan, sebagaimana Tuhan tidak memiliki batasan dalam mengampuni kita, baik dalam jumlah maupun besarnya dosa kita. Karena kita diciptakan menurut gambar Allah, kita bisa mengampuni sebanyak dan sedalam Allah yang selalu mengampuni kita.

Bagaimana dengan “dosa-dosa yang dapat dimaafkan? Apakah perlu maafkan juga ?
Istilah ‘tidak dapat dimaafkan” bersifat relatif dan subyektif. Kelakuan seseorang yang “tak termaafkan” mungkin melakukan kesalahan tidak terlalu berdampak pada orang lain dan sebaliknya.

Dalam kasus bunuh diri, yang dianggap sebagai “dosa berat atau dosa maut” kita tidak boleh terburu-buru menilai bahwa orang yang melakukannya kemungkinan besar akan dikirim ke neraka.

Menurut Katekismus Gereja Katolik (KGK 2282-2283):
”Gangguan psikologis yang parah, kesedihan, atau ketakutan yang besar akan kesulitan, penderitaan, atau penyiksaan dapat menurunkan kadar tanggung jawab orang yang melakukan bunuh diri... Kita tidak boleh berputus asa akan keselamatan kekal orang-orang yang telah bunuh diri. Hanya melalui cara yang diketahui-Nya saja, Tuhan dapat memberikan kesempatan untuk pertobatan yang bermanfaat. Gereja berdoa bagi orang-orang yang telah mengambil hidup mereka sendiri.”

Meskipun tindakan itu sendiri dianggap salah besar, Gereja mengakui bahwa ada faktor-faktor seperti mental penyakit atau tekanan emosional yang parah dapat mengurangi kesalahan moral seseorang. Hanya Tuhan yang benar-benar tahu keadaan jiwa seseorang dan kapasitas penalaran moral pada saat kematiannya.


Untuk mengakhiri diskusi ini, mari kita jawab pertanyaan terakhir ini.

Mengapa Tuhan meminta kita untuk mengampuni?

1. Mencerminkan Kemurahan Tuhan: Alkitab sering kali menggambarkan Tuhan sebagai sosok yang penuh belas kasihan dan pemaaf. ketika kita memaafkan orang lain, kita mencerminkan sifat Tuhan dan belas kasihan yang Dia tunjukkan kepada kita. “Bersikaplah baik dan penuh kasih sayang kepada satu sama lain, saling mengampuni, sama seperti Allah telah mengampuni kamu dalam Kristus.” (Efesus 4:32)

2. Untuk Penyembuhan : Menahan amarah, dendam, atau sakit hati dapat merugikan spiritual, emosional, dan kesehatan fisik. Pengampunan memungkinkan kita melepaskan emosi negatif ini dan mendorong penyembuhan dan kedamaian.

3. Untuk Menjaga Hubungan: Pengampunan sangat penting untuk menjaga dan memulihkan hubungan. Yesus menekankan pentingnya rekonsiliasi dengan orang lain (Matius 5:23-24).

4. Sebagai Prasyarat Menerima Pengampunan: Dalam Doa Bapa Kami, Yesus mengajarkan kita untuk meminta Tuhan mengampuni hutang kita, sama seperti kita juga telah mengampuni orang yang berhutang (Matius 6:12). Yesus lebih lanjut menjelaskan, “Sebab jika kamu mengampuni orang lain ketika mereka berdosa terhadap kamu, maka Bapamu yang di sorga juga akan mengampuni kamu. Tetapi jika kamu tidak mengampuni dosa orang lain, maka Bapamu tidak akan mengampuni dosamu.” (Matius 6:14-15).

5. Untuk Meningkatkan Kasih: Pengampunan adalah ekspresi kasih, perintah terbesar dalam diri kita Kekristenan. Ini membantu menjaga kesatuan dan keharmonisan dalam komunitas Kristen dan sekitarnya.

6. Untuk Memutuskan Siklus Pembalasan: Sikap tidak memaafkan dapat mengarah pada siklus balas dendam dan pembalasan. Pengampunan membantu memutus siklus ini dan mendorong perdamaian dan pengertian.

Semoga kita terus mengampuni orang lain dan diri kita sendiri sebagaimana Kristus selalu dan akan terus mengampuni semua orang tanpa syarat. Ingatlah untuk bertobat setelah meminta maaf untuk membalikkan sesuatu yang negatif menjadi positif.

Read More
Artikel & Renungan WKICU Admin Artikel & Renungan WKICU Admin

“As a Catholic, Should I or Shouldn't I be Rich?”

Mat 6:24
No one can serve two masters. Either you will hate the one and love the other, or you will be devoted to the one and despise the other. You cannot serve both God and money.

By Jennie Xue, MTh, a bilingual author based in Northern California.

Does God want us to be rich? Sometimes we receive conflicting messages, and it confuses us. Then we’re reminded of our beloved Christ. Whenever we remember Him, we calmly say, “Jesus was born poor and died poor, so I must follow His footsteps.”

Soon after, we feel relieved that God will provide whatever it is.
We’re supposed to be grateful for what we have now, just like Jesus did. We smile and nod, agreeing. After all, there is a Bible verse, 1 Timothy 6:10, “For the love of money is the root of all evil.”

Interestingly, whenever we go to the bookstore and watch on TV or Youtube, Joel Olsteen is everywhere. He has published many books about how to live your best life and that (financial) prosperity will follow. According to Olsteen and many other reverends, God’s blessings also come in financial riches, and we must strive for them. Is that so?

Now, let’s look at the Amish and the Mennonites in the eastern part of the United States. They’re the opposite of what Olsteen believes. They live such a modest lifestyle that most don’t have electricity, computers, phones, modern transportation like cars or buses, and modern clothing. They live in traditional modesty that most consider “quite extreme.”

Now, what about us Catholics? Where do we stand in terms of monetary riches? Don’t we all believe in the same God and the same Savior? And in the idea that God came into the world in flesh and blood so that He could save us all from our sins? Matthew 6:24 states, “No one can serve two masters. Either you will have the one and love the other, or you will be devoted to the one and despise the other. You cannot serve both God and money.” The context of this verse was Jesus’ teachings on the Sermon on the Mount. He addressed this issue to the predominantly Jewish audience and discussed other sins, like adultery and murder. Through His teachings in Matthew 6:24, Jesus reminded us that money could profoundly impact our physical and spiritual selves. Also, Matthew 6:19-21 states, “Do not store up for yourselves treasures on earth, where moths and vermin destroy, and where thieves break in and steal.”

At the same token, He also provided for our needs in abundance, as stated in Matthew 14:20, “They all ate and were satisfied, and the disciples picked up twelve basketfuls of broken pieces that were left over.” He would never leave us hungry and unkept. The overarching concept of work and material well-being in Christianity is neutral, which means it’s not holy or evil. We must work based on our calling, talents, interests, passions, or simply because we have responsibilities to fulfill. And work makes us more grateful for the physical and spiritual benefits resulting. God doesn’t merely bless us with material or financial wealth, for “wealth” comes in many forms. Monetary riches are simply one of them, and how much money we have doesn’t indicate how blessed we are.

Essential teachings about monetary riches for Christians:

1. Money isn’t evil. It’s greed that’s evil.

2. Wealth comes in many forms, not only money.

3. Being financially prosperous doesn’t indicate how blessed one is.

4. Both work and money are neutral. We can give positive or negative meanings depending on our intentions.

5. We’re stewards of physical and spiritual things, including money. Use them to empower people to be closer to God with faith and sincerity.

In conclusion, as a Catholic, it’s fine to be financially independent so that you don’t burden anyone, can provide for your family, and can donate to various helpful causes without compromising yourself. May we all be fruitful and blessed in many ways.

===================

“Sebagai seorang Katolik, apakah saya harus kaya atau tidak?”

Oleh Jennie Xue, MTh, penulis dwibahasa yang tinggal di California Utara.

Apakah Tuhan ingin kita hidup kaya? Terkadang kita menerima pesan-pesan yang bertentangan, dan itu amat membingungkan. Kemudian kita diingatkan akan Kristus kita yang terkasih. Setiap kali kita mengingat-Nya, kita dengan tenang berkata, “Yesus lahir dalam keadaan miskin dan mati dalam keadaan miskin, jadi saya harus mengikuti jejak-Nya.”

Namun segera setelah itu, kita merasa lega bahwa Tuhan akan menyediakan apa pun itu. Kita seharusnya bersyukur atas apa yang kita miliki sekarang, seperti yang Yesus lakukan. Kita tersenyum dan mengangguk, setuju. Lagi pula, ada ayat Alkitab, 1 Timotius 6:10, “Karena akar segala kejahatan adalah cinta uang.”

Menariknya, setiap kali kita pergi ke toko buku dan menonton di TV atau Youtube, Joel Olsteen sering ada di mana-mana. Dia telah menerbitkan banyak buku tentang bagaimana menjalani hidup terbaik anda dan kemakmuran (finansial) akan mengikuti. Menurut Olsteen dan banyak pendeta lainnya, berkah Tuhan juga datang dalam kekayaan finansial, dan kita harus berjuang untuk itu. Apakah sesungguhnya memang begitu?

Coba kita lihat kehidupan suku Amish dan Mennonit di bagian timur Amerika Serikat. Mereka justru adalah kebalikan dari apa yang diyakini Olsteen. Mereka hidup dengan gaya hidup sederhana yang kebanyakan tidak memiliki listrik, komputer, telepon, transportasi modern seperti mobil atau bus, dan pakaian modern. Mereka hidup dalam kesopanan tradisional yang oleh kebanyakan orang dianggap “sangat ekstrim”.

Sekarang, bagaimana dengan kita umat Katolik? Di manakah posisi kita dalam hal kekayaan moneter? Bukankah kita semua percaya pada Tuhan yang sama dan Juruselamat yang sama? Dan dalam gagasan bahwa Tuhan datang ke dunia dalam daging dan darah sehingga Dia dapat menyelamatkan kita semua dari dosa kita? Matius 6:24 menyatakan, “Tidak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Entah Anda akan memiliki yang satu dan mencintai yang lain, atau Anda akan berbakti pada yang satu dan membenci yang lain. Anda tidak dapat melayani Tuhan dan uang sekaligus.” Konteks ayat ini adalah ajaran Yesus tentang khotbah di bukit. Dia membahas masalah ini kepada para pendengar yang didominasi orang Yahudi dan membahas dosa-dosa lain, seperti perzinahan dan pembunuhan. Melalui ajaran-Nya dalam Matius 6:24, Yesus mengingatkan kita bahwa uang dapat sangat memengaruhi fisik dan spiritual kita. Juga, dalam Matius 6:19-21 dikatakan, “Janganlah menimbun bagimu harta di bumi, di mana ngengat dan rayap merusak, dan di mana pencuri membongkar dan mencurinya.”

Pada saat yang sama, Yesus juga memenuhi kebutuhan kita dengan kelimpahan, seperti yang dinyatakan dalam Matius 14:20, “Mereka semua makan sampai kenyang, dan murid-murid mengumpulkan dua belas keranjang penuh potongan-potongan yang tersisa.” Dia tidak akan pernah meninggalkan kita lapar dan tidak terawat. Konsep menyeluruh tentang pekerjaan dan kesejahteraan materi dalam agama Kristen adalah netral, yang artinya tidak suci atau jahat. Kita harus bekerja berdasarkan panggilan, bakat, minat, hasrat, atau hanya karena kita memiliki tanggung jawab untuk dipenuhi. Dan bekerja membuat kita lebih bersyukur atas manfaat jasmani dan rohani yang dihasilkan. Tuhan tidak hanya memberkati kita dengan kekayaan materi atau keuangan, karena “kekayaan” datang dalam berbagai bentuk. Kekayaan moneter hanyalah salah satunya, dan berapa banyak uang yang kita miliki tidak menunjukkan betapa diberkatinya kita.

Ajaran penting tentang kekayaan moneter bagi orang Kristen:

1. Uang tidak jahat. Keserakahanlah yang jahat.

2. Kekayaan datang dalam berbagai bentuk, bukan hanya uang.

3. Menjadi makmur secara finansial tidak menunjukkan betapa diberkatinya seseorang.

4. Baik pekerjaan maupun uang adalah netral. Kita bisa memberi makna positif atau negatif tergantung pada niat kita.

5. Kita mengurus hal-hal jasmani dan rohani, termasuk uang. Gunakan mereka untuk memberdayakan orang agar lebih dekat dengan Tuhan dengan iman dan ketulusan.

Kesimpulannya, sebagai seorang Katolik, tidak apa-apa untuk mandiri secara finansial sehingga Anda tidak membebani siapa pun, dapat menafkahi keluarga Anda, dan dapat menyumbang untuk berbagai tujuan yang bermanfaat tanpa mengorbankan diri Anda sendiri. Semoga kita semua berbuah dan diberkati dalam banyak hal.

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Catholics Explain And Defend Mary

Sebagai orang Katolik, bagaimana kita menjelaskan & membela devosi kita kepada bunda Tuhan kita ?.

Mother Mary participates in the salvation works of Christ Her Son, and cooperates with Him to protect His Church until the end of time. The Catholic Church specifically dedicates the months of May and October as Marian Months. Why do we pray to Our Lady? As Catholics, we can explain & defend Our Lady to anyone (especially to those questions that come from non-Catholic Christians).

Question 1: “You Catholics worship Mary. You treat her like a 4th person in the Trinity.”
Answer:
Catholics worship God alone. We do not mistake a creature - even God's greatest creature - for the creator. We honor Mary. Why ? Because of the gifts God has given her. By making her His mother, God honored Mary more than we ever could. Scripture calls Mary “blessed” and promises that all generations will do likewise (Luke 1: 42,48). We honor Mary because Jesus honored her (perfectly obeying the 4th commandment) and we are called to imitate Christ.

Question 2: “You Catholics kneel and pray before the statues of Mary. You're worshipping idols.”
Answer:
Do you honestly believe the Catholics can’t tell the difference between the God of the universe and painted plaster ?. Protestants often kneel holding a cross or a bible. Are they worshipping mere wood or printed paper ? . No, they will tell you these are reminders of Jesus and His saving deeds. Likewise, images of God's victorious saints remind us of Jesus and His saving deeds. No good Catholic thinks he is worshiping Mary by kneeling before her image in prayer.

Question 3: “Statues of Mary violate God‘s commandment not to make graven images (Exodus 20:4-5).
Answer:
In exodus 20: 4-5 God prohibits the making of images for the purpose of worshiping them. But He does not prohibit making images altogether. In Exodus 25:18-19, God commands Moses to make statues of Cherubim. In Numbers 21:8, God tells Moses to make a bronze serpent. The Jews used many carved images in their temple, including angels, oxen, lions, palm trees, and flowers
(1 Kings 6 and 7). You probably have pictures in your wallet of your family and loved ones. These are man-made images. Are you worshipping them when you use these images to recall the people they represent? No. This same principle applies to the veneration of statues. Catholics use statues and other images merely to recall the holy people they represent.




============================

Bunda Maria turut mengambil bagian dalam karya keselamatan Kristus Putera-Nya, dan bekerjasama dengan-Nya untuk melindungi Gereja-Nya sampai akhir jaman. Gereja Katolik secara khusus mendedikasikan bulan Mei dan Oktober sebagai Bulan Maria. Mengapa kita berdoa kepada Bunda Maria? Sebagai orang katolik, kita bisa menjelaskan & membela Bunda Maria kepada siapa saja (terutama atas pertanyaan-pertanyaan yang datang dari orang-orang Kristen non-Katolik).
Pertanyaan 1: “Kalian umat Katolik menyembah Maria. Kalian memperlakukannya seperti orang ke-4 dalam Trinitas.”
Jawaban:
Orang Katolik hanya menyembah Tuhan. Kami tidak memandang sebuah ciptaan Tuhan sebagai sebagai Sang Pencipta itu sendiri - walaupun itu sebuah ciptaan yang paling hebat sekalipun.
Kami menghormati Maria. Mengapa ? Oleh karena semua karunia yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Dengan menjadikannya ibu-Nya, Tuhan menghormati Maria lebih dari yang bisa kita lakukan. Kitab Suci menyebut Maria "Yang Diberkati" dan berjanji bahwa semua generasi akan melakukan hal yang sama (Lukas 1: 42,48). Kami menghormati Maria karena Yesus menghormatinya (ini mematuhi isi perintah Allah ke-4 dengan sempurna) dan kami dipanggil untuk meniru teladan Kristus.

Pertanyaan 2: “Kalian umat Katolik berlutut dan berdoa di depan patung Maria. Kamu menyembah berhala.”
Jawaban:
Apakah Anda benar-benar percaya umat Katolik tidak dapat membedakan antara Tuhan alam semesta dan plester yang dicat?. Orang Protestan sering berlutut sambil memegang salib atau Alkitab. Apakah mereka hanya menyembah kayu atau kertas cetakan? . Tidak, mereka akan memberi tahu Anda bahwa ini adalah pengingat akan Yesus dan perbuatan penyelamatan-Nya. Demikian pula, gambaran orang-orang kudus Allah yang jaya mengingatkan kita akan Yesus dan karya penyelamatan-Nya. Tidak ada orang Katolik yang berpikir bahwa dia sedang menyembah Maria dengan berlutut di depan gambarnya dalam doa.

Pertanyaan 3: “Patung Maria melanggar perintah Tuhan untuk tidak membuat patung pahatan (Keluaran 20: 4-5).
Jawaban:
Dalam Keluaran 20: 4-5 Allah melarang pembuatan patung untuk tujuan pemujaan. Tapi Allah tidak melarang membuat gambar sama sekali. Dalam Keluaran 25:18-19, Tuhan memerintahkan Musa untuk membuat patung kerub. Dalam Bilangan 21:8, Tuhan menyuruh Musa membuat ular perunggu.
Orang Yahudi menggunakan banyak patung ukiran di kuil mereka, termasuk malaikat, lembu, singa, pohon palem, dan bunga (1 Raja-raja 6 dan 7). Anda mungkin memiliki foto keluarga dan orang yang Anda cintai di dompet Anda. Ini adalah gambar buatan manusia. Apakah Anda menyembah gambar-gambar ini ketika Anda menggunakannya untuk mengingat mereka yang mereka wakili? Tidak. Prinsip yang sama berlaku untuk keberadaan patung dalam hidup doa orang Katolik. Umat ​​Katolik menggunakan patung dan gambar lain hanya untuk mengingat orang suci yang mereka wakili.



Source: San Juan Catholic Seminars - Beginning Apologetics book 6

Read More
Artikel & Renungan WKICU Admin Artikel & Renungan WKICU Admin

Is This God's Voice or Mine?

Is This God’s Voice or Mine?

Written by Jennie Xue, MTh, bilingual author based in NorCal

How often do you ask yourself, “Is this God’s voice or my own thoughts?". If you’re like me, probably quite often, especially whenever we need to make crucial decisions. First and foremost, let’s rephrase the question. It is better to ask, “How do we understand God in this?”; instead of affirming, “Is this God’s voice?”

Jeremiah 23:35–36 (NIV): “This is what each of you keeps saying to your friends and other Israelites: “What is the Lord’s answer?”; or “What has the Lord spoken?”; But you must not mention “a message from the Lord; again, because each one’s word becomes their own message. So you distort the words of the living God, the Lord Almighty, our God.” We shouldn’t be quick to judge a decision or an action as something that God asked us to do because we heard His voice. Why? Because if we actually did hear His voice, most likely, it was in our own mind where our thoughts also resided.

Inside our heads is an entanglement between His and ours, where the line can be quite blurry. However, there is a fine one, which is something that helps us listen to His voice. And we can hear His voice in our minds through prayers or other people, such as parish priests, friends, relatives, and strangers. Most of the time, His voice isn’t audible. However, you could listen to an audible voice like Samuel did (1 Samuel 3:1-10) and Gideon (Judges 6:17-22, 36-40).

Thus, how can we distinguish His voice amidst the noise in our heads?

First, God doesn’t contradict Himself. Any idea that comes from God always aligns with the Scripture. Thus, if you think the “voice”; asks you to do something against His teachings, you know it’s not from Him. In Psalm 89:34, God said, “Do you think I’d withdraw my holy promise or take back words already spoken?”; He will never ask you to do sinful or even hurting things to yourself or others. There is always a peaceful way to solve any issue.

Second, God doesn’t confuse us; He gives peace. Read this verse: 1 Corinthians 14:33 (NIV): “For God is not a God of confusion but of peace as in all the congregations of the Lord’s people. “God’s voice may not necessarily affirm our preferences, but it will give us deep peace.

Third, God doesn’t fuel our resentment but asks us to focus on Him. Whenever you hear a “voice” that fuels your hatred, confusion, or anger, it’s not His. God doesn’t fuel negativity but instead invites us to focus on Him through more profound prayers, reading the Bible, attending masses, or other positively peaceful and God-bound activities.

Fourth, God focuses on the heart of the issue. God doesn’t fixate on the same problem as we do. Instead, He helps us face hardships with our hearts in Him. This said the rumination in your mind isn’t His voice, so let it go.

Fifth, God may not directly answer your question. Whatever answer you’re looking for may not be directly answered, but He will guide you toward something or someone that may provide it. Psalm 119:105 says, “Your word is a lamp to my feet and a light to my path.” ; And be patient because it takes time for the answer to materialize.

Sixth, God doesn’t speak about others. He invites us to understand our hearts, not others. He wants us to focus on living our lives with faith in Him. Thus, if the “voice” in your head speaks about others, especially in negative tones, it’s certainly not God’s.

At last, may we all face the world with optimism and faith in Him. Christ always guides us in our confusion and uncertainty. For this, no uncharted territory is too scary for us to face. God be with us all.

=====

Apakah Ini Suara Tuhan ataukah Suaraku?

Ditulis oleh Jennie Xue, MTh, penulis dwibahasa yang tinggal di NorCal

Seberapa sering Anda bertanya pada diri sendiri, “Apakah ini suara Tuhan atau pikiran saya sendiri?". Jika Anda seperti saya, mungkin cukup sering, terutama di saat kita perlu membuat keputusan penting. Pertama dan yang terpenting, mari kita ulangi pertanyaannya. lebih baik kita bertanya, “Bagaimana kita memahami Tuhan dalam hal ini?”, daripada menegaskan, “Apakah ini sungguh suara Tuhan?”

Yeremia 23:35–36 (NIV): “Inilah yang selalu Anda katakan kepada teman Anda dan orang Israel lainnya: “Apa jawaban Tuhan?”; atau “Apa yang telah Tuhan katakan?”; Tetapi Anda tidak boleh menyebutkan “pesan dari Tuhan; lagi, karena kata-kata masing-masing menjadi pesan mereka sendiri. Jadi Anda memutarbalikkan firman Allah yang hidup, Tuhan Yang Mahakuasa, Allah kami.” Kita tidak boleh terburu-buru menilai suatu keputusan atau tindakan sebagai sesuatu yang Tuhan minta kita lakukan karena kita mendengar suara-Nya. Mengapa? Karena jika kita benar-benar mendengar suara-Nya, kemungkinan besar, itu ada di dalam pikiran kita sendiri di mana pikiran kita juga berada.

Di dalam kepala kita ada keterikatan antara Dia dan kita, di mana garisnya bisa sangat kabur. Namun, ada yang bagus, yaitu sesuatu yang membantu kita mendengarkan suara-Nya. Dan kita dapat mendengar suara-Nya dalam pikiran kita melalui doa atau orang lain, seperti pastor paroki, teman, kerabat, dan orang asing. Sebagian besar waktu, suaraNya tidak terdengar. Namun, Anda dapat mendengarkan suara yang terdengar seperti Samuel (1 Samuel 3:1-10) dan Gideon (Hakim 6:17-22, 36-40).

Lantas, bagaimana kita bisa membedakan suara-Nya di tengah kebisingan di kepala kita?

Pertama, Tuhan tidak bertentangan dengan diri-Nya sendiri. Setiap ide yang berasal dari Tuhan selalu sejalan dengan Kitab Suci. Jadi, jika Anda memikirkan "suara"; meminta Anda untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran-Nya, Anda tahu itu bukan dari-Nya. Dalam Mazmur 89:34, Tuhan berkata, “Apakah menurutmu Aku akan menarik janji suci-Ku atau menarik kembali kata-kata yang sudah diucapkan?”; Dia tidak akan pernah meminta Anda untuk berbuat dosa atau bahkan menyakiti diri sendiri atau orang lain. Selalu ada cara damai untuk menyelesaikan masalah apa pun.

Kedua, Tuhan tidak membingungkan kita; Dia memberi kedamaian. Bacalah ayat ini: 1 Korintus 14:33 (NIV): “Sebab Allah bukanlah Allah kekacauan, melainkan Allah damai sejahtera seperti dalam semua jemaat umat Tuhan. “Suara Tuhan mungkin belum tentu menegaskan preferensi kita, tetapi itu akan memberi kita kedamaian yang mendalam.

Ketiga, Tuhan tidak mengobarkan kebencian kita tetapi meminta kita untuk fokus pada-Nya.
Setiap kali Anda mendengar “suara” yang mengobarkan kebencian, kebingungan, atau kemarahan Anda, itu bukanlah suara-Nya. Tuhan tidak menyulut kenegatifan tetapi malah mengundang kita untuk fokus kepada-Nya melalui doa yang lebih mendalam, membaca Alkitab, menghadiri misa, atau aktivitas positif damai dan terikat Tuhan lainnya.

Keempat, Tuhan berfokus pada inti masalah. Tuhan tidak terpaku pada masalah yang sama seperti kita. Sebaliknya, Dia membantu kita menghadapi kesulitan dengan hati kita di dalam Dia.
Ini mengatakan bahwa perenungan dalam pikiran Anda bukanlah suara-Nya, jadi biarkan saja.

Kelima, Tuhan mungkin tidak langsung menjawab pertanyaan Anda. Jawaban apa pun yang Anda cari mungkin tidak langsung dijawab, tetapi Dia akan membimbing Anda menuju sesuatu atau seseorang yang mungkin menyediakannya. Mazmur 119:105 mengatakan, “Firmanmu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” ; Dan bersabarlah karena butuh waktu untuk jawaban terwujud.

Keenam, Tuhan tidak berbicara tentang orang lain. Dia mengajak kita untuk memahami hati kita, bukan orang lain. Dia ingin kita fokus menjalani hidup kita dengan iman kepada-Nya. Jadi, jika “suara” di kepala Anda berbicara tentang orang lain, terutama dengan nada negatif, itu pasti bukan suara Tuhan.

Akhirnya, semoga kita semua menghadapi dunia dengan optimisme dan iman kepada-Nya. Kristus selalu membimbing kita dalam kebingungan dan ketidakpastian kita. Untuk ini, tidak ada wilayah yang belum dipetakan yang terlalu menakutkan untuk kita hadapi. Tuhan menyertai kita semua.

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Why Bad Things Happen to Good People?

Mengapa Hal Buruk Terjadi pada Orang Baik?

Oleh Jennie Xue, MTh
(Seorang penulis dwibahasa dan pengajar yang berbasis di NorCal.
Karya-karyanya dapat ditemukan di jenniexue.com
)

Seberapa sering kita mendengar pertanyaan ini, "Mengapa dia menderita? Dia adalah orang yang baik." Pernyataan berikutnya yang mungkin menyusul adalah, "Yah, dia pasti punya banyak dosa, dan itu adalah karmanya untuk menderita."

Sahabat, jangan terlalu cepat menilai dan mengambil kesimpulan. Memang, keingintahuan kita sebagai orang Kristen untuk bertanya mengapa hal buruk terjadi pada orang baik dan apakah itu akibat langsung dari tindakan kita.

Pertanyaan seperti itu begitu populer sehingga para teolog dan filsuf telah mempelajarinya selama berabad-abad dalam suatu disiplin yang disebut teodisi. Istilah ini berasal dari kata Yunani "theos", yang berarti Tuhan, dan "tanggul", yang berarti keadilan.

Teodisi adalah pembelaan atas kebaikan dan kemahakuasaan Tuhan dalam menghadapi kejahatan.
Ini adalah studi yang mencoba mendamaikan keberadaan Tuhan yang penuh kasih dan mahakuasa dengan realitas kejahatan dan penderitaan di dunia.

Tuhan menciptakan kita untuk dilengkapi dengan kehendak bebas, yaitu kemampuan untuk memutuskan dan memilih tindakan kita secara mandiri. Ini adalah pengalaman manusia yang mendasar, menggarisbawahi tanggung jawab moral kita. Terkadang, kehendak bebas menimbulkan masalah, tetapi apakah itu membuat kita menderita karena dihukum oleh Tuhan?

Dengan kata lain, apakah pilihan dan tindakan yang buruk selalu mengakibatkan penderitaan yang luar biasa? Berbicara secara manusiawi, tindakan apa pun, terlepas dari moralitasnya, kemungkinan besar akan menghasilkan sesuatu.

Namun, bukan berarti mereka yang menderita penyakit mematikan, seperti kanker, adalah individu jahat yang pantas mendapatkan rasa sakit tersebut. Dengan "logika karma", semakin kejam orang tersebut, semakin banyak penderitaan yang akan dialaminya.

Bagaimana dengan orang suci yang menderita penyakit seumur hidup yang parah? Atau mereka yang mengalami langsung betapa sakitnya stigmata?

Orang suci dipilih individu dengan pesan suci untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Mereka tidak jahat, pasti. Oleh karena itu, ini adalah contoh kuat yang membuktikan bahwa "logika karma" tidak berlaku dalam kekristenan.

"Karma" adalah konsep yang banyak ditemukan dalam agama-agama Timur seperti Hindu dan Budha. Itu berputar di sekitar prinsip sebab dan akibat, menunjukkan bahwa tindakan masa lalu kita memengaruhi keadaan kita saat ini dan bahwa tindakan kita saat ini akan menentukan nasib masa depan kita.

Misalnya, kitab Ayub dalam Alkitab menantang gagasan retributif tentang keadilan ini. Ayub adalah orang saleh yang menghadapi penderitaan yang mendalam—bukan sebagai akibat dari tindakannya, tetapi sebagai bagian dari rencana ilahi di luar pemahamannya (Ayub 1:1).

Keyakinan inti Kristen adalah kebajikan anugerah, yang menekankan perkenan Tuhan bagi kita yang tidak pantas. Anugerah berarti bahwa, terlepas dari dosa manusia, Allah menawarkan kasih dan keselamatan. Dengan kata lain, bahkan jika Anda telah melakukan dosa berat dan memohon pengampunan, Tuhan akan mengampuni Anda dengan Rahmat-Nya.

Konsep ini sangat berbeda dari karma, di mana setiap hasil haruslah diraih dan diperoleh. Anugerah diungkapkan dengan indahnya dalam Efesus 2:8-9: “Sebab oleh kasih karunia kamu diselamatkan, oleh iman—dan ini bukan hasil usahamu, itu pemberian Allah—bukan karena perbuatan, sehingga tidak ada orang yang memegahkan diri. ."

Ingat, kita selalu dikasihi dan diselamatkan oleh Tuhan kita, terlepas dari beban dosa kita. Namun, adalah hak istimewa dan tanggung jawab kita sebagai orang Kristen untuk menjunjung nilai kasih dan pengampunan.

Selalu bersikap baik dan tidak menyakiti orang lain meskipun kapasitas kita tidak baik dan berbahaya. Bukan hanya karena Tuhan meminta kita untuk menjadi baik, tetapi juga karena kita diciptakan menurut gambar-Nya & srupa denganNya. Kita pada dasarnya adalah makhluk yang baik.

Nama lain Yesus Kristus adalah Emmanuel, atau "Tuhan beserta Kita". Dia datang ke dunia ini, jadi kita tidak pernah sendirian dengan rasa sakit kita. Dia selalu ada di sini untuk membawanya bersama kita dan untuk kita. Akhirnya, Dia mengangkat kita di atas dengan sukacita dan harapan yang besar.

Oleh karena itu, saat kita sedang menderita, berusahalah untuk tetap tenang dan jalani dengan sukacita, harapan, dan doa. Kami tidak sedang "dihukum"; sebaliknya, kita sedang mengalami jaminan Tuhan akan penebusan terakhir-Nya dengan dibimbing dan dilindungi dengan penuh kasih dalam pencobaan kita.

Fokusnya bukan pada sistem sebab dan akibat yang mekanis, tetapi pada kekuatan transformatif anugerah Allah di tengah pencobaan hidup. Semoga kita semua menjadi orang Kristen yang lebih baik dengan memperdalam iman kita dan memahami arti dari penderitaan kita.

____________________________________________________________

Why Bad Things Happen to Good People?

By Jennie Xue, MTh
(She is a bilingual author and educator based in NorCal.
Her works can be found at
jenniexue.com )

How often do we hear this question, "Why is he or she suffering? He/she is a good person." The next statement that might follow is, "Well, he/she must have a lot of sins, and it's his/her karma to suffer."

Friends, don't be too quick to judge and make a conclusion. Indeed, it's our curiosity as Christians to ask why bad things happen to good people and whether it's a direct consequence of our actions.

Such a question is so popular that theologians and philosophers have studied it for centuries in a discipline called theodicy. The term originates from the Greek words "theos," meaning God, and "dike," which signifies justice.

Theodicy is a defense of God's goodness and omnipotence in the face of evil. It's the study that attempts to reconcile the existence of a loving, omnipotent God with the reality of evil and suffering in the world.

God created us to be equipped with free will, which is the ability to decide and choose our actions independently. It's a fundamental human experience, underscoring our moral responsibility. Sometimes, free will cause troubles, but does it make us suffer by being punished by God?

In other words, do bad choices and actions always result in extreme suffering? Humanly speaking, any action, regardless of its morality, is likely to result in something.

However, it doesn't mean those suffering from terminal illnesses, like cancer are evil individuals deserving of such pain. With "karma logic," the more vicious the person, the more suffering he or she will experience.

How about saints who suffered from severe lifelong illnesses? Or those who experienced first-hand how painful a stigmata was?

Saints were chosen individuals with holy messages to deliver to all humankind. They were not evil, for sure. Therefore, it's a strong example that proves "karma logic" isn't valid in Christianity.

"Karma" is a concept predominantly found in Eastern religions like Hinduism and Buddhism. It revolves around the principle of cause and effect, suggesting that our past actions influence our present circumstances and that our current actions will determine our future fate.

For instance, the book of Job in the Bible challenges this retributive notion of justice. Job was a righteous man who faced profound suffering—not as a consequence of his actions, but as part of a divine plan beyond his comprehension (Job 1:1).

A core Christian belief is the virtue of grace, which emphasizes God's unmerited favor. Grace means that, despite human sinfulness, God offers love and salvation. In other words, even if you've committed a mortal sin and asked for absolution, God will forgive you with His Grace.

This concept is profoundly different from karma, where every outcome is earned. Grace is captured beautifully in Ephesians 2:8-9: "For it is by grace you have been saved, through faith—and this is not from yourselves, it is the gift of God—not by works, so that no one can boast."

Remember, we're always loved and saved by Our Lord, despite the weight of our sins. However, it's our privilege and responsibility as Christians to uphold the virtues of love and forgiveness.

Always be kind and do not harm others despite our capacity to be unkind and harmful. Not only because God asks us to be good, but also because we're made in His image and likeness. We're inherently good creatures.

Jesus Christ's other name is Emmanuel, or "God with Us." He comes to this world, so we're never alone with our pain. He is always here to carry it with us and for us. Eventually, He is to raise us above with great joy and hope.

Therefore, when we're suffering, do your best to keep calm and carry on with joy, hope, and prayers. We're not being "punished"; instead, we're experiencing God's reassurance of His ultimate redemption by being lovingly guided and protected in our trials.

The focus is not on a mechanical system of cause and effect but on the transformative power of God's grace amidst life's trials. May we all become better Christians by deepening our faith and understanding the meaning of our sufferings.

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Tithing and Financial Management for Catholics

Apakah kita wajib memberi perpuluhan? Jika ya, berapa banyak? Juga, selain perpuluhan, apa tanggung jawab keuangan kita yang lain sebagai orang katolik?

By Jennie Xue (Master of Theology Candidate)
A multidisciplinary, bilingual author and columnist based in NorCal

One of our non-Catholic Christian brothers and sisters’ religious practices is tithing, which refers to giving 10 per cent of one’s income to the Church. It’s an honorable thing to do, but how about Catholics? Are we obliged to tithe? If yes, how much? Also, other than tithing, what are our other financial responsibilities as Catholics?

First things first, let’s clarify. Catholics aren’t obliged to give away 10 per cent of our income. It was practiced in ancient Israel under the Law of Moses. It can be found in the Old Testament Malachi 3:1 “Bring the whole tithe into the storehouse, that there may be food in my house. Test me in this” says the Lord Almighty, “and see if I will not throw open the floodgates of heaven and pour out so much blessing that there will not be room enough to store it”.

Today, under the Catechism of the Catholic Church (CCC2043), the fifth precept, “You shall help to provide for the needs of the Church” practicing Catholics are obliged to assist with the needs of the Church based on their ability.

The Biblical sources of the above precept are 1 Corinthians 16:2 and 2 Corinthians 9: 6-8.
1 Corinthians 16:2: “On the first day of the week [Sunday], each of you should set aside whatever he can afford.”
2 Corinthians 9:6-8: “Whoever sows sparingly will also reap sparingly, and whoever sows generously will also reap generously. 7 Each of you should give what you have decided in your heart to give, not reluctantly or under compulsion, for God loves a cheerful giver. 8 And God is able to bless you abundantly, so that in all things at all times, having all that you need, you will abound in every good work.”

Now, what are the other financial responsibilities God urges us to do? Let’s review these OT and NT verses and grasp what He asks us to do.

Old Testament sources:
Proverbs 3:9-10
“Honor the Lord with your wealth, with the fruits of all your crops; then your barns will be filled to overflowing, and your vats will brim over with new wine.”
Applied interpretation: Always honor God; He will not forsake you financially.

Proverbs 22:7
“The rich rule over the poor, and the borrower is slave to the lender.”
Applied interpretation: Always strive to be debt free, so you aren’t being enslaved by the lender.

Ecclesiastes 5:10
“Whoever loves money never has enough; whoever loves wealth is never satisfied with their income. This, too is meaningless.”
Applied interpretation: Be grateful for what you have at hand and don’t work simply to earn more and more money. There are many things more important than money.


New Testament sources:
Matthew 6:24
“No one can serve two masters. Either you will hate the one and love the other, or you will be devoted to the one and despise the other. You cannot serve both God and money.”
Applied interpretation: Money is neutral and shouldn’t be regarded as the “ultimate source” of everything in your life. Choose between devoting yourself to God or money. We hope you’d choose the former.

2 Corinthians 9:6-7
“Remember this: Whoever sows sparingly will also reap sparingly, and whoever sows generously will also reap generously. Each of you should give what you have decided in your heart to give, not reluctantly or under compulsion, for God loves a cheerful giver.”
Applied interpretation: What you give away joyfully would return to you in multiply. This also applies to charitable donations.

1 Timothy 6:10
“For the love of money is a root of all kinds of evil. Some people, eager for money, have wandered from the faith and pierced themselves with many griefs.”
Applied interpretation: Money isn’t evil. It’s the love of money that’s evil and the root of all kinds of evil that appear later on.

To sum up, Catholics aren’t obliged to give away 10 per cent of their money to the Church but are advised to give joyfully. You can also donate other things other than money, such as time, energy, skills, information, and other resources.
And remember, money itself is neutral; it is the greed (love of money) that’s evil. So if one your goals is being financially independent, go for it. No need to be ashamed, as long as you continue giving in any of the aforementioned forms, the Lord will continue to bless you.

Have a fruitful life, everyone. Thank you for reading.

Perpuluhan dan Pengelolaan Keuangan bagi Umat Katolik

Oleh Jennie Xue (Calon Magister Teologi)
Seorang penulis dan kolumnis multidisiplin, dwibahasa yang tinggal di NorCal

Salah satu praktek keagamaan yang dijalankan oleh umat Kristen non-katolik adalah perpuluhan, yang mengacu pada memberi 10 persen dari pendapatan seseorang untuk Gereja. Itu adalah hal yang mulia untuk dilakukan, tapi bagaimana dengan umat Katolik? Apakah kita wajib memberi perpuluhan? Jika ya, berapa banyak? Juga, selain perpuluhan, apa tanggung jawab keuangan kita yang lain sebagai orang katolik?

Mulai dari yang pertama, mari kita perjelas. Umat Katolik tidak diwajibkan untuk memberikan 10 persen dari penghasilan. Praktek itu dijalankan di Israel kuno di bawah Hukum Musa, seperti tertulis dalam Perjanjian Lama Maleakhi 3:10, “Bawalah seluruh persepuluhan ke dalam gudang, supaya ada makanan di rumahku. Cobailah aku dalam hal ini” kata Tuhan Yang Mahakuasa, “dan lihat apakah Aku tidak akan membuka pintu air surga dan mencurahkan begitu banyak berkat sehingga tidak akan cukup ruang untuk menyimpannya.”

Di masa sekarang, mengacu kepada Katekismus Gereja Katolik (KGK 2043), ayat ke lima, “Kamu akan membantu untuk memenuhi kebutuhan Gereja,” Umat Katolik yang taat wajib membantu kebutuhan Gereja berdasarkan kemampuannya.

Sumber Alkitab dari ajaran di atas adalah 1 Korintus 16:2 dan 2 Korintus 9:6-8.
1 Korintus 16:2: “Pada hari pertama minggu itu [Minggu], hendaklah kamu masing-masing menyisihkan dia mampu.”
2 Korintus 9:6-8: “Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur dengan murah hati juga akan menuai dengan murah hati. 7 Anda masing-masing harus memberikan apa yang telah Anda putuskan dalam diri Anda hati untuk memberi, tidak dengan enggan atau karena paksaan, karena Tuhan mengasihi pemberi yang ceria. 8 Dan Tuhan sanggup untuk memberkati Anda dengan berlimpah, sehingga dalam segala hal setiap saat, memiliki semua yang Anda butuhkan, Anda akan berkelimpahan dalam setiap perbuatan baik.”

Sekarang, apakah tanggung jawab keuangan lainnya yang Tuhan minta untuk kita lakukan? Mari tinjau ayat Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ini dan pahami apa yang Tuhan minta kita lakukan.

Sumber Perjanjian Lama:
Amsal 3:9-10
“Hormatilah Tuhan dengan kekayaanmu, dengan hasil dari semua tanamanmu; maka lumbungmu akan terisi penuh meluap, dan tong Anda akan penuh dengan anggur baru.”
Interpretasi terapan: Selalu hormati Tuhan; Dia tidak akan meninggalkan Anda secara finansial.

Amsal 22:7
”Orang kaya menguasai orang miskin, dan peminjam menjadi budak pemberi pinjaman.”
Interpretasi terapan: Selalu berusaha untuk bebas hutang, sehingga Anda tidak diperbudak oleh pemberi pinjaman.

Pengkhotbah 5:10
”Siapa pun yang mencintai uang tidak akan pernah merasa cukup; siapa pun yang mencintai kekayaan tidak pernah puas dengan mereka penghasilan. Ini juga tidak ada artinya.”
Interpretasi terapan: Bersyukurlah atas apa yang Anda miliki dan jangan bekerja hanya untuk mendapatkan lebih banyak dan lebih banyak uang. Ada banyak hal yang lebih penting daripada uang.

Sumber Perjanjian Baru:
Matius 6:24
“Tidak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Entah Anda akan membenci yang satu dan mencintai yang lain, atau Anda akan begitu setia pada yang satu dan membenci yang lain. Anda tidak dapat melayani Tuhan dan uang sekaligus.”
Interpretasi terapan: Uang itu netral dan tidak boleh dianggap sebagai “sumber utama” dari segala sesuatu dalam hidup Anda. Pilih antara mengabdikan diri kepada Tuhan atau uang. Semoga anda akan memilih yang pertama.

2 Korintus 9:6-7
”Ingatlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak juga akan menuai dengan murah hati. Anda masing-masing harus memberikan apa yang telah Anda putuskan dalam hati untuk diberikan, bukan dengan enggan atau terpaksa, karena Tuhan mencintai pemberi yang ceria.”
Interpretasi terapan: Apa yang Anda berikan dengan senang hati akan kembali kepada Anda berlipat ganda. Ini juga berlaku untuk sumbangan amal.

1 Timotius 6:10
”Karena cinta akan uang adalah akar dari segala kejahatan. Beberapa orang, karena haus akan uang, telah mengembara dari iman dan menyiksa dirinya dengan banyak kesedihan.”
Interpretasi terapan: Uang tidak jahat. Cinta akan uang itulah yang jahat dan akar dari segala macam kejahatan yang muncul di kemudian hari. Singkatnya, umat Katolik tidak diwajibkan untuk memberikan 10 persen dari uang mereka kepada Gereja tetapi disarankan untuk memberi dengan sukacita. Anda juga dapat menyumbangkan hal-hal lain selain uang, seperti waktu, tenaga, keterampilan, informasi, dan sumber daya lainnya. Dan ingat, uang itu sendiri netral; keserakahan (cinta uang) itulah yang jahat. Jadi jika salah satu milikmu tujuan menjadi mandiri secara finansial, lakukanlah. Tidak perlu malu, selama Anda melanjutkan memberi dalam salah satu bentuk yang disebutkan di atas, Tuhan akan terus memberkati Anda.

Memiliki kehidupan yang berbuah, semua orang. Terima kasih telah membaca.

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Five Reasons That Jesus Speaking Literally About His Real Flesh And Blood

Hosti Kudus adalah sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Kristus. Kata Yesus: "Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman”.

Five reasons that Jesus speaking literally about his real flesh and blood:

1. The discourse takes place just after the famous miracle of the multiplications of the loaves. Jesus turned five loaves and a couple of fish into a seemingly inexhaustible food supply: enough to feed thousands of people and still 12 baskets of leftovers. This miracle prefigures the inexhaustible gift of Christ’s own flesh and blood.

2. Jesus claims the superiority of his bread over the manna given to the Israelites. “I am the bread of life. Your fathers ate the manna in the wilderness, and they died. This is the bread which comes down from Heaven that a man eats of it and does not die (John 6: 48 - 50).

3. Everyone who heard Jesus understood him to be speaking literally of his body and blood.      ”How can this man give us his flesh to eat?”. “This is a hard saying; who can listen to it?”.

Many of Jesus' disciples -  who were with him for many years - quit following Jesus, never even asking Jesus to explain himself. They understood perfectly that Jesus meant precisely what he said.

4. Jesus repeats six times in six verses (verses 53 - 58) ”Truly, truly, I say to you, unless you eat the flesh of the son of man and drink his blood, you have no life in you”.
“For my flesh is food indeed and my blood is drink indeed”.

5. Many of Jesus’ own disciples can’t accept the literalness of his teaching and leave him. Notice that Jesus did not call them back and explain that he is only speaking figuratively.
Jesus didn't call the unbelieving disciples back and offered to explain for an obvious reason: they understood exactly what he meant. They just couldn’t accept it. Even the twelve apostles were shaken. But Jesus doesn’t compromise a bit. Instead, he challenges His own hand picked Apostles: “will you also go away?.  In faith Peter answers: “Lord, to whom shall we go ?. You have the words of eternal life”.

Lima Dasar Bahwa Yesus Berbicara Secara Harafiah Tentang Tubuh Dan DarahNya:

1. Khotbah terjadi tepat setelah keajaiban penggandaan roti. Yesus mengubah lima roti dan beberapa ikan menjadi persediaan makanan yang tampaknya tidak pernah habis: cukup untuk memberi makan ribuan orang dan masih tersisa 12 keranjang makanan. Mukjizat ini menggambarkan pemberian darah dan daging Kristus sendiri yang tidak ada habisnya.

2. Yesus mengklaim keunggulan/keutamaan rotiNya atas manna yang diberikan kepada orang Israel. “Aku adalah roti hidup. Nenek moyangmu telah makan manna di padang gurun dan mereka telah mati. Akulah roti hidup yang turun dari Surga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya (Yohanes 6: 48 - 50).

3. Setiap orang yang mendengar Yesus mengerti bahwa Yesus berbicara secara harafiah tentang tubuh dan darahNya. "Bagaimana orang ini bisa memberi kita dagingnya untuk dimakan?". “Ini adalah perkataan yang sulit; siapa yang bisa mendengarkannya?”.
Banyak murid Yesus - yang telah bersamanya selama bertahun-tahun - kemudian berhenti mengikuti Yesus, bahkan tidak pernah meminta Yesus untuk menjelaskan Dirinya sendiri. Mereka memahami sepenuhnya bahwa bahwa Yesus benar-benar bersungguh-sungguh dengan apa yang Dia katakan.

4. Yesus mengulangi enam kali dalam enam ayat (Yoh 6: 53 - 58) "Sungguh, sungguh, Aku berkata kepadamu, kecuali kamu makan daging Anak Manusia dan minum darahNya, kamu tidak memiliki kehidupan di dalam kamu". "Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman”.

5. Banyak dari murid Yesus sendiri tidak dapat menerima ajaranNya secara literal dan meninggalkanNya.
Perhatikan bahwa Yesus tidak memanggil mereka kembali dan menjelaskan bahwa Dia hanya berbicara kiasan. Yesus tidak memanggil kembali murid-murid yang tidak percaya dan menawarkan untuk menjelaskan, karena alasan yang sudah jelas: mereka mengerti persis apa yang Dia maksud. Mereka tidak bisa menerimanya.
Bahkan kedua belas rasul terguncang. Tetapi Yesus tidak berkompromi sedikit pun. Sebaliknya, Dia menantang para Rasul yang dipilihNya sendiri dari awal mula: “Apakah kamu akan pergi juga ?.” Dengan beriman Petrus menjawab: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi?. Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal”.

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Time Management for Catholics

“Our decisions must begin by acknowledging that our lives belong to God. ……..……..
We must maintain a clear sense of our mission on earth: to love God and to love our neighbor. Everything flows from this.”

by Jennie M. Xue

Time is precious and considered a “commodity”. Whether at work or home, obligations and distractions can make us feel overwhelmed and, frequently, distance us from what matters. Claiming ourselves “busy” is, in fact, a popular excuse.

The concept of “time” itself is much more than that. Time isn’t merely “ours”; it’s God’s.

Using this paradigm, in Catholicism, the essence of time revolves around the idea of “the right time”, or kairos in Greek. In the New Testament, the ultimate kairos is Salvation. On the contrary, the chronological time (human time) we’re accustomed to is called chronos.

About kairos, Ecclesian 3:1-8 wrote it well: For everything, there is a season, and a time for every matter under heaven:

A time to be born, and a time to die;
A time to plant, and a time to pluck up what is planted;
A time to kill, and a time to heal;
A time to break down, and a time to build up;
A time to weep, and a time to laugh;
A time to mourn, and a time to dance;
A time to throw away stones, and a time to gather stones together;
A time to embrace, and a time to refrain from embracing;
A time to seek, and a time to lose;
A time to keep, and a time to throw away;
A time to tear, and a time to sew;
A time to keep silence, and a time to speak;
A time to love, and a time to hate;
A time for war, and a time for peace.

God’s time is never linear and is more about values than anything else. Thus, we must discern and weigh the value of each moment, which is reflected in each decision that results in thoughts, words, and deeds.

Cited from Marshall J. Cook in Time Management: A Catholic Approach, “Our decisions must begin by acknowledging that our lives belong to God. Prayer must guide them. And they must be rooted in an honest appraisal of our lives and a sincere desire to love and serve God. We must maintain a clear sense of our mission on earth: to love God and to love our neighbor. Everything flows from this.”

We can use these four tools for managing time as Catholics: self-awareness, organization, prayerful reflection, and purposeful action.
Self-awareness is essential because it takes us a step back to assess how we manage our time. For this, we need to distinguish what is necessary and what isn’t.

Stephen Covey once stressed the importance of value-based time management, which can be categorized into essential and urgent. In the Old Testament, prophet Micah states that an activity is deemed important; when we actively contribute to our mission to do justice, love kindness, and walk humbly with God.

Next, the organization is crucial because it helps us keep track of what needs to be done when it needs to be done, and how long it will take. By having a plan, we can prioritize tasks based on their importance and time sensitivity. Remember, what’s “important”, according to lay experts like Covey, is different from God’s definition.

Prayerful reflection gives us time to slow down and reflect on our faith and values. This helps us reflect on whether an act or a decision is valuable for ourselves, fellow humans, and, most importantly, God. And whether it deepens our faith.

Finally, Catholics should be aware of purposeful action. It simply means taking proactive steps towards achieving our goals instead of merely responding to tasks as they come up or waiting for something to happen.

May our time management as Catholics grow each day. Amen.

———————————————

Manajemen Waktu bagi Umat Katolik

Waktu sangat berharga dan dianggap sebagai "komoditas". Baik di tempat kerja atau di rumah, kewajiban dan gangguan dapat membuat kita merasa kewalahan dan, seringkali, menjauhkan kita dari hal-hal yang penting. Mengklaim diri kita "sibuk", sudah menjadi alasan yang populer.

Konsep “waktu” itu sendiri sesungguhnya lebih dari itu. Waktu bukan hanya “milik kita”; itu milik Tuhan.

Dengan menggunakan paradigma ini, dalam agama Katolik, esensi waktu berkisar pada gagasan “waktu yang tepat”, atau kairos dalam bahasa Yunani. Dalam Perjanjian Baru, kairos tertinggi adalah Keselamatan. Sebaliknya, waktu kronologis (waktu manusia) yang biasa kita kenal disebut kronos.

Tentang kairos, Pengkhotbah 3:1-8 menuliskannya dengan baik: Untuk segala sesuatu, ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya:

Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal;
Ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam;
Ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan;
Ada waktu untuk meruntuhkan, ada waktu untuk membangun;
Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa;
Ada waktu untuk meratap, ada waktu untuk menari;
Ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu;
Ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;
Ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk kehilangan;
Ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang;
Ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit;
Ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara;
Ada waktu untuk mencintai, ada waktu untuk membenci;
Ada waktu untuk perang, dan ada waktu untuk damai.

Waktu Tuhan tidak pernah linier dan lebih tentang nilai daripada apa pun. Oleh karena itu, kita harus mencermati dan menimbang nilai setiap momen, yang tercermin dalam setiap keputusan yang menghasilkan pikiran, perkataan, dan perbuatan.

Dikutip dari Marshall J. Cook dalam Time Management: A Catholic Approach, “Keputusan kita harus dimulai dengan mengakui bahwa hidup kita adalah milik Tuhan. Doa harus membimbing mereka. Dan itu harus berakar pada penilaian yang jujur atas hidup kita dan keinginan yang tulus untuk mengasihi dan melayani Tuhan. Kita harus mempertahankan pengertian yang jelas tentang misi kita di bumi: untuk mengasihi Allah dan mengasihi sesama kita. Semuanya mengalir dari ini.”

Kita dapat menggunakan empat alat ini untuk mengatur waktu sebagai umat Katolik: kesadaran diri, organisasi, refleksi doa, dan tindakan yang bertujuan.

Kesadaran diri sangat penting karena kita perlu mundur selangkah untuk menilai bagaimana kita mengatur waktu kita. Untuk itu, kita perlu membedakan mana yang perlu dan mana yang tidak.

Stephen Covey pernah menekankan pentingnya manajemen waktu berbasis nilai, yang dapat dikategorikan menjadi esensial dan mendesak. Dalam Perjanjian Lama, nabi Mikha menyatakan bahwa suatu kegiatan dianggap penting; ketika kita secara aktif berkontribusi pada misi kita untuk melakukan keadilan, mencintai kebaikan, dan berjalan dengan rendah hati bersama Tuhan.

Selanjutnya, pengorganisasian sangat penting karena membantu kita melacak apa yang perlu dilakukan, kapan perlu dilakukan, dan berapa lama waktu yang diperlukan. Dengan memiliki rencana, kita dapat memprioritaskan tugas berdasarkan kepentingan dan sensitivitas waktu. Ingat, apa yang “penting”, menurut pakar awam seperti Covey, berbeda dengan definisi Tuhan.

Refleksi penuh doa memberi kita waktu untuk memperlambat dan merenungkan iman dan nilai-nilai kita. Ini membantu kita merenungkan apakah suatu tindakan atau keputusan berharga bagi diri kita sendiri, sesama manusia, dan yang terpenting, Tuhan. Dan apakah itu memperdalam iman kita.

Akhirnya, umat Katolik harus menyadari tindakan yang bertujuan. Ini berarti mengambil langkah proaktif untuk mencapai tujuan kita alih-alih hanya menanggapi tugas yang muncul atau menunggu sesuatu terjadi.

Semoga manajemen waktu kita sebagai orang Katolik berkembang setiap hari. Amin.

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Imlek, Tradisi Gereja dan Streisand Effect

S. Hendrianto, SJ

Tahun Baru Imlek ini mengingatkan saya bahwa saya sudah lebih dua tahun menetap di Roma. Ketika saya tiba di Roma di awal tahun 2021, saya harus menjalani karantina selama 14 hari dan Tahun Baru Imlek 2021 tiba pas saya sedang berada dalam masa karantina. Ketika itu beberapa orang umat Warga Katolik IndonesiaCalifornia Utara (WKICU) mengirim pesan dan mengucapkan Selamat Tahun Baru Imlek. Saya jawab Terima Kasih, akan tetapi saya tidak merayakan Imlek; yang pertama bagaimana mau merayakan Imlek dalam karantina dan yang kedua suasana dunia yang masih tidak menentu karena coronavirus juga tidak memungkinkan untuk perayaan Imlek.


Ketika itu ada seorang umat yang mengatakan bahwa Imlek harus tetap dirayakan karena itu bagian dari tradisi sama seperti Gereja Katolik yang memegang teguh tradisi. Saya jawab, analogi antara tradisi Tahun Baru Imlek dengan tradisi di Gereja Katolik itu tidak tepat.
Pertama, tradisi dalam Gereja Katolik basisnya adalah Kitab Suci, sementara Tahun Baru Imlek tidak berbasiskan Kitab Suci. Kedua, tradisi dalam Gereja Katolik digunakan oleh Tuhan untuk berkomunikasi dengan umat manusia, sementara Tuhan tidak berkomunikasi melalui Tahun Baru Imlek. Ketiga, tradisi dalam Gereja Katolik bertujuan untuk membimbing manusia menuju kekudusan, sementara Tahun Baru Imlek tidak ada urusan dengan kekudusan. Terakhir, faktanya ada sejumlah tradisi dalam Gereja Katolik yang juga sudah hilang atau dihapuskan, misalnya misa dalam Bahasa Latin yang lebih dikenal dengan Misa Tridentina atau Tridentine Mass sudah ditinggalkan. Jadi dengan kata lain Gereja Katolik juga tidak sepenuhnya memegang tradisi.

Sebagai catatan Misa Trienditina sudah di tidak pakai lagi sejak Konsili Vatikan II dan diganti dengan misa yang kita kenal sekarang yaitu Misa Novus Ordo (Tata Cara Misa Baru) atau yang juga dikenal dengan nama Misa Paulus VI (dari nama Bapa Suci Paus Paulus VI). Akan tetapi pada tanggal 7 Juli 2007, Paus Benediktus XVI mengeluarkan Motu Proprio Summorum Pontificum (sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh Sri Paus dalam Hukum Kanonik) yang menetapkan bahwa tata cara misa yang diterbitkan oleh Paul Paulus VI adalah bentuk umum - Forma ordinaria, sedangkan Misa Tridentina adalah bentuk luar biasa – Forma Extra Ordinaria. Paus Benedictus XVI juga memberikan kebebasan yang lebih besar untuk menggunakan liturgi Tridentina, dengan menyatakan bahwa semua imam boleh secara bebas merayakan misa Tridentina secara pribadi, tanpa harus meminta izin dari pihak manapun.

Di tahun Kelinci ini saya tiba – tiba teringat lagi dengan analogi antara tradisi Tahun Baru Imlek dan tradisi Latin Mass di Gereja Katolik.
Pada tanggal 16 Juli 2021, Paus Fransiskus mengeluarkan Motu Proprio Tradiones Custodes yang membatasi perayaan misa Tridentina kecuali dengan izin Uskup setempat. Pada tanggal 4 Desember 2021, Vatican juga menegaskan bahwa Sakramen – Sakramen lainnyadalam liturgi Tridentina juga dibatasi. Perkembangan di Gereja Katolik ini membuat saya merenungkan pengalaman saya dengan Tahun Baru Imlek, karena menurut saya kedua hal itu ada kaitannya secara tidak langsung.

Ketika saya masih kecil, saya terbiasa merayakan hari raya Imlek di kampung. Sedikit catatan bahwa mayoritas orang Tionghoa di kampung saya adalah orang Hakka, jadi mereka tidak menyebut Imlek tapi Kongian, dalam Bahasa Hakka. Sebagai anak kecil tentu saya tidak mengerti makna Imlek, kecuali makan makanan enak, menerima angpau atau pun bertamu ke rumah tetangga dan keluarga. Karena keluarga saya dari keluarga menengah ke bawah, tentu saja banyak hal – hal yang tertentu yang tidak sanggup kita nikmati dalam hari- hari biasa. Maka cuma pas hari raya Imlek saja kita bisa makan raisin atau cashew nuts, yang bagi saya ketika itu adalah barang mewah. Saya bersekolah di SD Katolik tapi sekolah meliburkan para murid selama beberapa hari pada Tahun Baru Imlek. Ingatan saya akan Tahun Baru Imlek yang membekas adalah ketika saya sudah duduk di bangku SMA. Ketika itu pemerintah daerah melarang Sekolah saya yangKatolik untuk meliburkan para siswa pada Tahun Baru Imlek. Ditambah lagi kabarnya ketika itu Kanwil Depdikbud main ancam mengancam kalau sampai sekolah meliburkan siswa pas Tahun Baru Imlek maka status Sekolah saya sebagai sekolah swasta yang disamakan (dengan sekolah Negeri) bisa terancam diturunkan. Para siswa yang mayoritas keturunan Tionghoa pun ribut besar; Ketua OSIS menyerukan bolos massal pas Tahun Baru Imlek. Tapi ada juga seorang Ketua Kelas (dari kelas IPA – sementara saya duduk di kelas IPS) yang menentang seruan bolos massal karena dia tidak ingin status sekolah terpengaruh, sehingga cita – cita dia masuk Perguruan Tinggi Negeri bisa gagal. Saya sendiri ketika itu berpikir bahwa kedua orang tersebut salah besar, karena masalah nya bukan pada status sekolah atau keharusan merayakan Tahun Baru Imlek. Tapi masalah utamanya adalah Depdikbud sebagai perpanjangan tangan Orde Baru yang semena – mena melarang Tahun Baru Imlek. Tentu saja kebijakan tersebut bagian dari politik diskriminasi terhadap orang Tionghoa yang dilancarkan olehOrde Baru sejak awal berdirinya. Jadi kalau benar – benar mau melawan, ya lawan lah pemerintah Orde Baru, bukan melawa sekolah. Sementara saya juga tidak setuju kepada sang Ketua Kelas (dari kelas sebelah) yang mau manut dan tunduk saja pada pemerintah.

Ketika saya pindah ke Yogya dan mulai duduk di bangku Perguruan Tinggi di Universitas Gadjah Mada, kebencian saya terhadap Orde Baru sudah semakin membatu. Jadi menurut saya yang penting adalah Orde Baru dan Soeharto harus dilawan, khsusunya politik rasialis dan diskriminatif dari Orde Baru. Setelah Soeharto tumbang dan Gus Dur mulai membuka keran kebebasan, sayamasih ingat ketika Gus Dur menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif, berlaku bagi mereka yang merayakannya. Ketika itu saya sudah bekerja di sebuah kantor pengacara Internasional; saya pun memutuskan untuk mengambil kesempatan libur dan merayakan Imlek, sebagai bentuk “kemenangan” simbolis atas perlawanan terhadap politik diskriminatif Orde Baru. Tapi belakangan ketika Megawati menetapkan Imleksebagai hari libur Nasional dan perayaan Imlek sudah kebablasan, saya memutuskan untuk mundur lagi. Saya pikir tidaklah pada tempatnya perayaan Imlek yang meriah dan serba wah di tengah situasi rakyat banyak yang masih morat – marit hidupnya ditengah situasi ekonomi yang belum menentu pasca reformasi.

Tahun 2004, saya meninggalkan Indonesia untuk studi lanjut dan kemudian bermukim di Seattle. Ketika di Seattle, paling saya sekedar merayakan Imlek dengan makan – makan di Chinatown bersama teman – teman dari Mudika Seattle. Tapi belakangan saya memutuskan menjadi seorang vegetarian, sementara restaurant favorit teman – teman saya adalah Kaw Kaw yang terkenal dengan babi panggangnya.Jadilah saya tidak ikut merayakan lagi Tahun Baru Imlek bersama teman – teman Mudika Seattle.

Tahun 2009, saya masuk Novisiat Serikat Yesus dan saya langsung berhadapan lagi dengan realitas bahwa Tahun Baru Imlek di “larang” kembali. Ketika itu pembesar di Novisiat “melarang” saya dan seorang teman dari Vietnam untuk merayakan Tahun Baru Imlek. Pas tahun baru Imlek, makanan yang disajikan adalah masakan Mexico.
Karena kesal atas pelarangan tersebut dan harus makan masakan Mexico pada tahun baru Imlek, pada malam hari, saya dan teman tadi menyelinap keluar untuk makan di Pecinan.

Setelah selesai Novisiat, saya pindah ke Chicago untuk melanjutkan studi filsafat dan di Chicago, saya pun memutuskan untuk “balas dendam” atas pelarangan di Novisiat. Ketika Tahun Baru Imlek tiba, saya dan sejumlah teman pun memutuskanuntuk merayakan Imlek di Chinatown Chicago dan menikmati hotpot sepuasnya.

Setelah Chicago, saya tidak ingat lagi ada pengalaman Imlek yang penuh makna dalam hidup saya. Akan tetapi melihat ke belakang, semangat saya untuk merayakan Imlek justru lebih besar dan menggebu gebu ketika Imlek dilarang, baik oleh pemerintah Orde Baru ataupun pembesar saya. Berdasarkan pengalaman itu saya pun merenungkan keputusan Paus Fransiskus untuk membatasi Misa Tridentina. Saya termenung merenungkan apakah sebagian umat Katolik justru akan diam – diam di bawah tanah terus merayakan Misa Tridentina. Tentu saja analogi saya kurang tepat, umat Katolik seharusnya tunduk dan patuh kepada Bapa Suci, bukan seperti orang –orang Tionghoa Indonesia yang tetap ngotot merayakan Imlek meski dilarang pemerintah Orde Baru.Akan tetapi saya ingat kepada Streisand effect yang merujuk kepada usaha untuk melarang, mensensor atau menghilangkan sebuah informasi yang akibatnya justru melipatgandakan keingintahuan orang terhadap informasi yang dilarang tersebut.

Streisand effect ini bermula dari kasus penyanyi Barbra Streisdand yang mencoba untuk melarang publikasi foto rumahnya di Malibu, California, terutama pada sisi yang menghadap pantai. Barbra Streisand menuntut penghapusan foto rumahnya dalam album 12.000 foto garis pantai California yang dimuat di Pctopia.com.
Tindakan ini malah membuat orang banyak semakin penasaran. Sebelum gugatan dilayangkan, foto rumah Barbra hanya diunduh oleh enam pengunjung. Setelah kasus Barbra mencuat, lebih dari 420.000 orang mengunjungi situs yang memuat foto rumahnya.

Sekali lagi mungkin analogi saya kurang tepat karena pelarangan yang dilakukan oleh Barbra Streisand itu hanyalah merupakan tindakan manusia yang ingin melindungi kepentingan pribadinya. Sementara keputusan Paus Fransiskus merupakan tindakan yang terinsipirasi oleh Roh Kudus, dan untuk kepentingan Gereja secara menyeluruh. Sehingga mungkin saja banyak orang yang setelah ini tidak peduli lagi terhadap Misa Tridentina dan tradisi tersebut akan hilang dalam satu generasi ke depan.

Meski demikian ada satu hal lagi yang membuat saya termenung. Pada masa Orde Baru, salah satu alasan Orde Baru melarang Imlek ada soal kecemburuan sosial (diantara banyak alasan politik lainnya). Satu sisi ada benarnya alasan tersebut, karena perayaan Imlek yang kebablasan bisa semakin meningkatkan kecemburan sosial. Akan tetapi solusinya adalah bukan dengan larang – melarang. Solusinya justru adalah mengatasi pesoalan ekonomi dan kemiskinan di Indonesia. Selama persoalan itu tidak diselesaikan, kecemburuan sosial tetap akan terjadi baik dengan Imlek ataupun tanpa Imlek.



S. Hendrianto, SJ

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Beautiful Souls

Orang biasa dan tidak sempurna, laki-laki dan perempuan yang disempurnakan oleh Tuhan. Mereka hanya memiliki satu tujuan dalam hidup – menjadi satu dengan Tuhan.

“The difference between the Gospel written and the lives of the Saints is the same as the difference between music written on a page and music played out loud.”

Jiwa-Jiwa yang indah

Hari Raya Semua Orang Kudus adalah hari suci yang khusyuk bagi Gereja Katolik. Ini adalah suatu hari peringatan di mana umat beriman merayakan persekutuan kita dengan orang-orang kudus. Kita dipanggil untuk mengingat dan menghormati saudara-saudari kita di dalam Kristus, saksi-saksi agung Kristus, yang telah pergi sebelum kita dan berada di surga bersama Tuhan. Tapi pernahkah kita berhenti sejenak dan merenungkan siapakah jiwa-jiwa yang indah ini ?. Atau mengapa kita merayakan hidup mereka? Dan bagaimana kita, insan fana ini, bisa menjadi salah satu di antara mereka?

Bila kita perhatikan, tidak ada yang lebih beragam dari semua lapisan kehidupan, melebihi keragaman latar belakang orang-orang kudus. Pria dan wanita. Tokoh-tokoh Alkitab dan tokoh-tokoh kontemporer. Kaya dan miskin. Bangsawan dan orang buangan. Tua dan muda. Yang kuat dan yang lemah. Cerdas dan buta huruf. Berbudaya dan orang biasa. Karismatik dan lemah lembut. Orang Kristen sejati dan orang yang terlambat bertobat. Yang dikanonisasi oleh Gereja dan banyak lagi orang-orang kudus yang tidak dikenal dan tidak dikenal yang telah berjalan di bumi. Setiap seseorang bertemu dengan Tuhan secara pribadi; masing-masing menawarkan kepada kita wawasan yang berbeda tentang bagaimana mencintai Yesus, bahwa ada banyak cara untuk mengasihi Yesus. Santo Yosef, hamba Tuhan yang rendah hati, yang taat pada perintah Tuhan tanpa pertanyaan untuk melindungi Keluarga Kudus. Santo Fransiskus Assisi, menanggapi panggilan “Francis, Fransiskus, pergi dan perbaiki rumah-Ku yang runtuh,” meninggalkan segalanya untuk mengikuti ajaran Yesus Kristus dan untuk berjalan di jejak-Nya. Santo Ignatius dari Loyola, yang Latihan Pencernaan Spiritualnya telah membawa banyak orang setia dalam menemukan Tuhan. Santa Theresia dari Lisieux, dengan kepolosan dan kesederhanaannya bagai seorang anak kecil, mengungkapkan cintanya untuk Tuhan dengan caranya yang kecil. Bunda Teresa dari Calcutta, yang melihat dan mencintai Yesus dalam setiap orang yang dia layani, terutama yang tertindas dan terbuang.

Keragaman mencerminkan volume. Bahwa setiap orang bisa menjadi suci, atau setidaknya, bertujuan untuk menjadi suci. Terlepas dari keragaman latar belakang, orang-orang kudus tampaknya memiliki satu kesamaan. Orang suci mencintai Tuhan dengan segenap hati, jiwa, pikiran, dan kekuatannya, dan mencintai orang lain seperti Tuhan mencintai. Satu pribadi yang mengambil identitas Kristus. Seseorang yang memahami bahwa kekudusan adalah tidak mungkin jika tanpa kasih karunia Tuhan dan tanpa penyerahan diri sepenuhnya dan ketaatan total kepada-Nya. Sama seperti kita, orang-orang kudus memiliki pergumulan, kesalahan, kekurangan, dosa, dan konflik batin mereka. Orang biasa dan tidak sempurna, laki-laki dan perempuan yang disempurnakan oleh Tuhan. Mereka hanya memiliki satu tujuan dalam hidup – menjadi satu dengan Tuhan.

Ketika kita merayakan orang-orang kudus, kita diingatkan bahwa hidup mereka terfokus pada salib: menempatkan Yesus di pusat kehidupan, menjadi satu dengan Tuhan melalui doa - salib vertikal, dan mencintai dan merawat saudara dan saudari kita - salib horizontal. Mereka adalah model untuk kita tiru - karena mereka adalah murid dan pengikut terbesar Yesus.
Di bulan November, kita diingatkan akan identitas kita sebagai satu Tubuh Mistik Kristus. Gereja di bumi bersatu dalam doa dengan gereja di surga. Semua jiwa yang penuh kasih ini mengelilingi kita, menyemangati kita, mendoakan kita, bersyafaat untuk kita, menunggu kita di akhir garis finish. Mereka di surga, dan kita para peziarah di bumi. Bersatu dalam doa, menyembah Tuhan sebagai keluarga dalam Ekaristi. Kita adalah satu dalam Tubuh Kristus. Kita adalah Tubuh Kristus. Tidakkah itu sangat menghibur untuk mengetahui bahwa kita tidak pernah sendirian dalam perjalanan kita?

RS

Kutipan:
St Agustinus: “Perbedaan antara Injil yang ditulis dan kehidupan para Orang Suci adalah sama dengan perbedaan antara musik yang ditulis di halaman dan musik yang dimainkan dengan keras.”

Translated from the original text : “Beautiful Souls”

All Saints’ Day is a solemn holy day of the Catholic Church. It is one of the greatest commemorations, when the faithful celebrate our communion with the saints. We are called to remember and honor our brothers and sisters in Christ, the great witnesses of Christ, who have gone before us and are in heaven with God. But have we ever paused and reflected on who these beautiful souls are? Or why do we celebrate their lives? And how do we, mortal beings, become one?

When we think of the saints, we can’t find more diverse backgrounds from all walks of life. Men and women. Biblical personages and contemporary figures. Wealthy and poor. Aristocrats and outcasts. Old and young. Strong and weak. Intellect and illiterate. Cultured and commoner. Charismatic and meek. Cradle Christians and late converts. The ones canonized by the Church and many more unknown and anonymous saints who have walked the earth. Each one encounters God in a personal way; each offers us a different insight on how to love Jesus, that there are many ways to love Jesus. Saint Joseph, the humble servant of God, who obeys God’s commandments without questions to protect the Holy Family. Saint Francis Assisi, responding to the call “Francis, Francis, go and repair My house which is falling into ruins,” drops everything to follow the teachings of Jesus Christ and to walk in His footsteps. Saint Ignatius of Loyola, whose Spiritual Discernment Exercises have led countless faithful in finding God. Saint Therese of Lisieux, with her innocence and child-like simplicity, expresses her love for God in her little way. Mother Teresa of Calcutta, who sees and loves Jesus in everyone she serves, especially the downtrodden and the outcasts.

The diversity speaks volume. That everyone can be holy, or at least, aim to be holy. Despite the diversity in the background, the saints seem to have one thing in common. A saint loves God with all his/her heart, soul, mind, and strength, and loves others the way God loves. A person who takes on Christ’s identity. One who understands that holiness is not possible without God’s grace and without his/her complete surrender and total obedience to Him. Just like us, the saints have their struggles, faults, flaws, sins, and inner conflicts. The imperfect and ordinary men and women made perfect by God. They have but one purpose in life – to be one with God.

When we celebrate the saints, we are reminded that their lives are focused on the cross: placing Jesus at the center of our lives, being one with God through prayers - the vertical cross, and loving and caring for our brothers and sisters - the horizontal cross. They are our models to imitate because they are the greatest disciples and followers of Jesus. In the month of November, we remember our identity as one Mystical Body of Christ. The church on earth united in prayers with the church in heaven. All these loving souls surrounding us, cheering for us, praying for us, interceding for us, waiting for us at the finished line. They in heaven, and we the pilgrims on earth. United as one in prayers, worshiping God as a family in the Eucharist. We are one in the Body of Christ. We are the Body of Christ. Isn’t it comforting to know that we are never alone in our journey?

RS

Quote:
St Augustine: “The difference between the Gospel written and the lives of the Saints is the same as the difference between music written on a page and music played out loud.”

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

The Elder Brother Of The Prodigal Son - part 2

“Bapa, aku telah berdosa terhadap Surga dan terhadapmu”
God, have mercy on me, a sinner

“Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadapmu. Aku tidak layak lagi disebut anakmu; jadikan aku seperti salah satu pelayanmu "

Tentu saja aku marah, tentu saja aku tidak senang.
Dia hidup seenaknya di negeri asing, dan begitu sudah habis uangnya, ia pulang ke rumah bagaikan seorang pengemis yang kelaparan. Dan bapaku menyambut anaknya yang hilang itu dengan begitu suka cita, hingga menyembelih seekor anak lembu tambun untuk pesta dengan seluruh pekerja.


Sedangkan aku selama ini sudah hidup lurus dan bekerja keras di ladang, melayani bapa dan tidak pernah sekalipun menentang perintahnya. Aku tidak pernah berpesta pora atau mengenal seorangpun pelacur, aku anak sulung, maka aku pantas dihargai atas posisi, semua usaha dan dedikasiku kepada bapa selama ini. Yang jelas, aku jelas lebih baik daripada adikku itu, mengapa justru sekarang bapaku menyambutnya dengan suka cita bahkan memakaikannya jubah, memberinya sandal dan mengenakannya cincin ??. Aku jelas tidak terima semuanya ini, aku tidak akan masuk ke rumah, biarkan mereka berpesta di dalam.

Hari ini makin sore, sudah tiga jam aku di sini, masih duduk di bawah pohon ini, memandang rumah bapa dari jauh. Mereka masih berpesta, musik dan nyanyian riuh rendah masih sesekali terdengar.

Ah, perutku mulai lapar, dan tidak ada makanan atau minuman di sini. Angin pun mulai terasa dingin, dan aku tidak membawa jaket atau selimut. Aku seorang sendiri, sedangkan mereka bergembira di sana.

Sendiri, ya sendiri…
Tiba-tiba aku tersentak, menyadari kesendirian ini..
Mengapa justru aku yang sekarang sendiri ?
Tapi aku masih tak sudi untuk melangkah ke sana, ke rumah bapa.
Maka biarkan aku tetap sendiri, di sini.



Teringat dulu,...ketika aku masih kecil,..kami berdua masih kecil.

Kami sering bermain di dekat sini. Dan di bawah pohon ini, kami selalu menanggalkan sandal kami sebelum memanjatnya. Di atas pohon, kami memetik buahnya yang matang, memakannya, sembari menikmati semilir angin dan menebar pandangan sampai sejauh-jauhnya. Dari atas pohon  ini, bisa terlihat rumah kami di kejauhan, sungai, dan segala sesuatu di kaki perbukitan nun jauh di sana.

Tetapi suatu hari ketika memanjat pohon ini, dia, adikku ini,..tidak banyak berkata. Pandangannya seperti sedang tertambat pada ujung-ujung gunung dan segala sesuatu yang tersimpan di baliknya, segala sesuatu yang tidak tampak. Sesekali ia tampak gelisah tetapi tidak yakin akan apa yang akan dikatakannya “Bang,..apa ya yang ada di balik gunung-gunung itu. Apakah ada ladang-ladang lain seperti ladang milik kita?. Apakah ada rumah-rumah lain dan berapa besar keluarga mereka?...bolehkah kita berkenalan dengan anak-anaknya yang mungkin cantik dan tampan?. Apakah mereka punya anggur dan apakah rasanya sama dengan anggur di rumah kita?. Bang,..aku ingin tahu..”.

Aku cuma diam. Adikku ini ternyata punya banyak pertanyaan dalam hatinya yang tidak bisa aku menjawabnya. Maka aku pun hanya membalas tatapannya tanpa bisa berkata banyak. Mana mungkin aku tau jawaban atas semua pertanyaannya itu. Aku sendiri belum pernah berjalan melampaui puncak-puncak gunung itu untuk tau apa yg ada di baliknya. Yang aku tahu hanya bekerja setiap hari sebaik-baiknya untuk bapaku, supaya ia tidak menilaiku malas dan menjadi marah kepadaku. Aku takut membuat bapaku marah.

Tetapi seperti yang sudah aku pahami, adikku ini bukan seorang yang betah di rumah, ia punya jiwa seorang petualang, dan dia pun tidak akan mudah menyerah selama pertanyaannya belum terjawab. Tiba-tiba katanya: “Bang,..aku ingin pergi melihat dunia di luar sana. Aku tau bapa pasti tidak mengijinkan, tetapi aku tetap akan tetap pergi walaupun dia tidak mengijinkan”.

Hari itu setelah kami turun dari pohon, memakai kembali sandal kami, dan hendak berjalan pulang kembali ke rumah, terasa kaki saya agak sakit dan sama sekali tidak nyaman. Ternyata sandal kami tertukar, aku sedang memakai sandal adikku.


Sandal adikku.
Kupejamkan mataku mengingat saat-saat itu, ketika aku sedang memakai sandal adikku. Segala ketidaknyamanannya, segala kesempitan dan kasar permukaannya, segala kesusahanku untuk melangkahkan kaki.

Coba sekarang aku membayangkan sedang memakai sandal adikku lagi. Membayangkan bagaimana aku berada di posisi dia.. “Be in his shoes”.

Pergi meninggalkan keluarga di masa muda, pergi membawa sebagian harta bapa yang menjadi bagianku. Semangat muda dan keingintahuan yang besar akan dunia lain di ujung sana - telah membuatku berani menentang rencana bapa.
Menganggap harta adalah jaminan hidupku di negeri asing, menggunakannya tidak bijaksana bahkan habis di meja judi dan perempuan-perempuan asing. Menganggap hartaku akan kekal, dan semua orang adalah teman sejati. Menganggap dunia akan tetap baik-baik saja meskipun hidup dalam lingkaran dosa. Tidak perlu berkomunikasi dengan bapa, toh aku sudah dewasa.

Terlalu banyak untuk dikatakan,..yang jelas, semuanya adalah dosa.

Dan ketika masa paceklik tiba, kelaparan dan kemiskinan merajalela, ketika sepeserpun tidak lagi ku punya dan makanan babi pun orang tidak izinkan untuk aku makan, ketika tidak ada lagi teman, ketika yang kurasakan adalah sengsara hidup jauh dari rumah bapa……

Apa yang akan kulakukan?.
Maka aku akan berkata: "Berapa banyak pelayan sewaan ayahku yang punya makanan, dan di sini aku mati kelaparan! Aku akan berangkat dan kembali kepada ayahku dan berkata kepadanya: Ayah, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadapmu. Aku tidak layak lagi disebut anakmu; jadikan aku seperti salah satu pelayanmu" ….

Kini aku akan bangkit,... akan kutanyakan adikku itu. Akan kutanyakan apakah dia juga berkata begitu sebelum memutuskan kembali kepada bapa.

Ternyata dengan membayangkan berada di posisi dia,.. telah membuatku mengerti sedikit tentang kesesakan dan pergumulannya. Memakai sandal yang tertukar telah membuatku mengerti sesuatu. Dan di atas segalanya, adikku telah memilih yang terbaik, yakni bertobat dan berbalik kembali kepada bapa.

Akan kukatakan juga kepadanya,.. bahwa aku tidak lebih baik daripadanya.





Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

The Elder Brother

‘.. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia"‘

The Elder Brother (Of The Prodigal Son)



Saya tidak tahu bagaimana harus memahami perbedaan antara sikap sang Anak Sulung dan sikap sang ayah – dalam kisah the Prodigal Son (Luk 15:11-32).

Karena tidak mudah untuk dipahami, mungkin bukan tanpa alasan bahwa Yesus terlebih dahulu memberikan dua perumpamaan sebelum pada puncaknya memberikan perumpamaan anak yang hilang ini; yakni perumpamaan tentang domba yang hilang dan perumpamaan tentang dirham yang hilang. Lewat dua perumpamaan itu, mungkin Yesus ingin mencontohkan kebahagiaan dan suka cita yang dirasakan sang ayah ketika anak bungsunya kembali; sama seperti kebahagiaan sang gembala yang menemukan kembali seekor dombanya yg tersesat, atau kebahagiaan seorang perempuan yang menemukan kembali dirhamnya yang hilang.

“Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa..”

Ketika sang anak bungsu kembali ke rumah bapanya, sang bapa berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia (ayat 20) dan dengan bersuka cita berkata 'Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali' (ayat 24).

Lain halnya dengan sang anak sulung. Dia tidak serta merta senang dengan kepulangan adiknya, dan sikapnya 180 derajat berbeda dengan sikap bapanya itu. Dia menolak masuk ke rumah, dan katanya 'Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia.'


Jadilah saya bertanya-tanya. Apakah semua hal yang dikatakannya itu sungguh adalah sebab penolakannya itu?. Mari kita lihat satu per satu.

Katanya.. 'Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku'.

Sekarang. Seandainya .. sekali lagi seandainya,.. bapanya pernah memberikan seekor kambing kepadanya untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatnya.

Lantas apakah kemudian dia akan menerima adiknya itu?. Apakah sikapnya akan berbeda ?.
I do not think so. Menurut saya dia akan tetap masih menolak kepulangan adiknya meskipun bapa mereka pernah memberikannya seekor kambing untuk bersuka cita.
Jadi jika demikian halnya,.. maka argumennya itu tidak relevan. Alasan itu tidaklah tepat. Lantas apa ?


Katanya lagi.. 'Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia.' Ini poin-poin ucapannya itu:

  1. anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa

  2. .. bersama-sama dengan pelacur-pelacur

  3. bapa menyembelih anak lembu tambun untuk dia

Mari kita lihat alasan itu satu per satu
1. anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa.
Seandainya adiknya pulang dengan harta yang berlimpah, lebih banyak daripada yang dulu dibawanya pergi.

Coba kita renungkan… apakah dia lantas akan menerima adiknya itu?.
Kalau ya, berarti dia (si Sulung) adalah seorang yang mata duitan, materialistis, atau memandang harta sebagai ukuran dalam menilai orang lain. Baginya, harta lebih penting daripada kasih sayang persaudaraan; dan ketika adiknya pulang dalam ketiadaan dan kemiskinan, diapun enggan menunjukkan kasih, sekalipun itu adalah adiknya satu-satunya.

Still, menurut saya dia tetap akan menolak kepulangan adiknya itu, meskipun is datang dengan lebih banyak harta. Sehingga, adiknya kehabisan harta bukanlah menjadi alasan yang sesungguhnya. Lantas apa?

2. ..bersama-sama dengan pelacur-pelacur
Entah bagaimana dia bisa tahu bahwa adiknya bersama-sama dengan pelacur-pelacur sewaktu di negeri asing, tapi anggaplah itu benar.
Pertanyaannya,.. kalau ternyata adiknya tidak hidup demikian, kalau ternyata adiknya hidup ‘benar’ selama di negeri asing. Coba kita renungkan.. apakah dia lantas akan menerima adiknya itu?.
Kalau ya, berarti dia hanya mau menerima adiknya kalau adiknya itu adalah seorang yang 'suci' dan tanpa kesalahan, tidak berkekurangan dan tidak punya kelemahan. Dia tidak memiliki simpati bagi orang yang melukai hati bapa mereka. Baginya, orang lain harus berkualitas lebih baik atau sekurang-kurangnya sama baiknya dengan dia, baru dia bisa menerima. Alih-alih saudaranya itu perlu dibantu oleh karena segala kesulitan dan kepahitan selama hidup di negeri asing, dia malah sebaliknya menolak, dihukum atau mengucilkan adiknya itu. Seolah dialah orang yang paling berhak untuk menghukum dan mengadili.

Tapi still, meskipun adiknya ternyata hidup ‘benar’ di negeri orang, Sang anak sulung akan tetap menolaknya. Jadi ini juga bukan alasan penolakan yang sesungguhnya. Lantas apa?

3. ..bapa menyembelih anak lembu tambun untuk dia
Betulkah dia marah hanya karena bapanya menyembelih seekor anak lembu tambun untuk pesta itu?.
Seandainya,.. tidak ada seekor anak lembu tambun yang disembelih, seandainya tidak ada pesta besar-besaran..
Apakah dia lantas akan mau menerima adiknya itu?.
Tidak juga. Jadi sepertinya alasan itu tidak relevan juga. Ada atau tidaknya seekor anak lembu tambun disembelih (atau kambing, atau ayam dan ternak potong lainnya) rasanya tidak berpengaruh. Sepertinya dia akan tetap menolak kepulangan adiknya itu, dan enggan masuk ke dalam rumah bapanya.

Dari pembahasan di atas, ternyata kata-kata amarah sang anak Sulung tidak mewakili alasan penolakannya atas kepulangan adiknya. Jadi,.. lantas apa sebetulnya yang menjadi dasar, alasan penolakannya atas adiknya sendiri?.

Jawabannya mungkin ada di dasar hati kita masing-masing.
Bila kita kurang bersyukur dan selalu merasa kurang,.. mungkin kita sedang bersikap seperti anak sulung.
Bila kita tidak bisa melawan amarah,.. kita tidak ubahnya sedang berlaku seperti anak sulung.
Bila kita sering diam-diam menghakimi orang lain dan merasa paling benar dan paling suci,.. kita sedang manjadi seperti anak sulung
Dan bila kita sering gagal untuk mengampuni mereka yang bersalah,.. kita pun menjadi seperti anak sulung.
Demikian juga ketika kita mengutamakan harta & posisi sosial di atas nilai-nilai kemanusiaan dan kasih, kita adalah anak sulung itu.

Memahami sikap sang anak Sulung ternyata tidak ubahnya dengan memahami kerohanian saya sendiri, memahami kelemahan, sifat-sifat duniawi, emosi, keterbatasan dan kekurangan saya. Lewat perumpamaan yang Yesus berikan ini, saya berharap bisa belajar untuk menjadi lebih bijaksana dan tidak mudah menghakimi sesama yang kurang beruntung, terutama di saat saya merasa sudah berada di pihak yang benar. Mudah-mudahan kita mau dan mampu untuk melihat segala sesuatu dalam kehidupan ini dengan kacamata sang Bapa, kacamata Kasih, yang tidak bersyarat, the unconditional love.

Newark, 09_22_22

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Tujuh Kedukaan Bunda Maria

Kita dapat belajar dari kesedihan Maria bagaimana menghadapi penderitaan kita sendiri

Tanggal September 15 adalah hari peringatan Santa Perawan Maria Berduka cita.

Tujuh Dukacita:

1.     Dukacita pertama: Nubuat Simeon (Lukas 2:34-35)

Simeon bernubuat dan berkata kepada Maria, bahwa anak Maria, Yesus, telah ditentukan untuk menjatuhkan dan membangkitkan banyak orang di Israel and akan menjadi suatu tanda pembantahan. Pembantahan itu akan menyakitkan Maria seperti suatu pedang yang menembus dirinya.

 2.     Dukacita kedua: Melarikan Yesus ke Mesir (Mat 2:13)

Dalam mimpi, malaikat berpesan kepada Yosef agar melarikan diri bersama Maria dan bayi Yesus dari aniaya raja Herodes. Ini merupakan pedang dukacita bagi Maria yang bingung karena harus mengungsi dengan seorang bayi yang baru dilahirkan. Dimana harus tinggal? Bagaimana dengan kebutuhan sehari-hari?

3.     Dukacita ketiga: Hilangnya Yesus di Bait Allah (Lukas 2:43-45)

Pedang ketiga sesaat Maria dan Yosef kehilangan Yesus setelah mengunjungi bait Allah pada hari perayaan Paskah di Yerusalem. Mencari anaknya selama tiga hari. Membayangkan bagaimana perasaan seorang ibu begitu gelisah dan takut kehilangan putra satu-satunya.

  4.     Dukacita keempat: Perjumpaan dengan Yesus saat menjalani hukuman mati

Sebagai seorang ibu, melihat anaknya yang sakit, betapa rasanya lebih sakit dari yang sakit.  Apalagi melihat anak yang akan dihukum mati. Membayangkan bagaimana sakitnya pedang yang tembus ke dalam jiwa Bunda Maria.

5.     Dukacita kelima: Yesus wafat (Yoh 19:25)

Membayangkan seorang ibu yang melihat Putranya yang tak berdosa dianiaya dengan keji and dihukum mati didepan matanya. Bunda Maria tidak berontak atau mencaci maki; dia menerima. Sepertinya dia tahu bahwa anaknya harus menjalankan penderitaan itu demi menebus dosa-dosa manusia. Segala sengsara Yesus adalah sengsara Maria. Jika ketika Yesus berkata: “Aku haus.” Bunda Maria pun tidak mampu memberikan setetes air.

 6.     Dukacita keenam: Lambung Yesus ditikam dan jenazah-Nya diturunkan dari salib (Mat 27:57-59)

Waktu Yesus disalibkan, semua murid2nya tidak hadir, kecuali Johanes. Bunda Maria mengalami semuanya, melihat anaknya yang ditusuk lambungnya dan  menghembuskan nafas terakhir. Pedang dukacita yang sangat menusuk untuk seorang ibu. Maka, bunda Maria sangat mengerti kesedihan kita semua dan tidak akan meninggalkan kita. Mungkin kita juga seperti murid2 Tuhan Yesus yang meninggalkan Yesus tetapi Yesus tidak akan pernah meninggalkan kita. Bunda Maria selalu membantu kita untuk mendekatkan diri lagi kepada Yesus. Berdoalah kepada Bunda Maria sesaat kita merasa jauh pada Yesus, sesaat hati kita sedih dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

7.     Dukacita ketujuh: Yesus dimakamkan (Yoh 19:40-42)

Ada pepatah: “It is hard to lose a son or a daughter, but it is harder to bury Christ. To be motherless is a tragedy but to be Christless is hell”. 
"Sangatlah susah ketika kehilangan seorang anak, tetapi terlebih susah lagi ketika harus menguburnya. Hidup tanpa seorang ibu adalah sebuah tragedi, tetapi hidup tanpa Kristus bagaikan hidup di neraka"

Source: https://berkat.id/2019/05/16/xvi-tujuh-kedukaan-bunda-maria/

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

One Blesses Six

“Pernahkah kita menyadari bahwa hari Minggu juga berarti hari awal pekan, hari pembuka, hari yang menguatkan iman, pengharapan dan cinta kita kepada Tuhan, sembari memohon tuntunan Roh Kudus untuk pekan yang baru?”

Mungkin banyak di antara kita yang selama ini memandang & memanfaatkan hari Minggu sebagai hari akhir pekan, karena memang dalam bahasa Inggris hari Minggu termasuk satu dari dua hari weekend, sedangkan terjemahan weekend itu sendiri adalah akhir pekan.
Siapa yang tidak suka hari Minggu ? No one. Semua orang suka weekend, dan selalu menyambut weekend dengan senang hati karena pada umumnya weekend adalah waktu istirahat & refreshing setelah bekerja sepanjang pekan dari hari Senin sampai Jum’at (atau bahkan Sabtu). Selain untuk refreshing, hari Minggu kemudian diisi dengan ibadah di gereja, mengucap syukur akan segala berkat & penyertaan Tuhan di sepanjang pekan yang telah berlalu.
Tidak ada yang salah dengan semuanya itu.

Tetapi apakah sesimple itu?. Pernahkah kita menyadari bahwa hari Minggu juga berarti hari awal pekan, hari pembuka, hari yang menguatkan iman, pengharapan dan cinta kita kepada Tuhan, sembari memohon tuntunan Roh Kudus untuk pekan yang baru ?.

Ibarat sebuah mobil perlu diisi bahan bakar, atau electric car perlu di-charged dulu sebelum drivernya melakukan perjalanan jauh, rohani kita juga perlu diisi dengan firman-firman Tuhan yang dibacakan dalam misa, oleh ibadat sabda dan yang terpenting yakni Ekaristi. Jadi hari Minggu adalah hari di mana kita memohon berkat Tuhan (dalam misa) untuk hari-hari di sepanjang pekan yang baru. Dan berkat hari Minggu menyertai hari Senin sampai Sabtu.; One blesses Six.

Dengan demikian setiap hari di sepanjang pekan yang baru, telah dinaungi oleh berkat yang kita terima di misa Ekaristi hari Minggu yang mendahului pekan itu. Berkat itu sungguh memampukan kita menjalani hari-2 Senin sampai Sabtu. Itu menenangkan, sehingga dalam hari-2 weekdays berikutnya tidak perlu lagi kita merasa was-was atau khawatir berlebihan, sebab semua kekhawatiran telah kita sampaikan kepada Tuhan; dan semua harapan telah kita serahkan ke hadirat Tuhan pula.

Memulai satu pekan dengan berkat di hari Minggu, selaras dengan rutinitas para rohaniwan seperti para romo dan suster.
Para biarawan dan biarawati memulai hari mereka dengan sesi doa di pagi hari, mungkin satu jam atau bahkan lebih. Mereka tahu untuk memberikan waktu terbaik untuk Tuhan, yakni di awal hari, sebelum melakukan semua rutinitas lainnya.
Tentu saja di misa hari Minggu kita juga kemudian mengucap syukur untuk hari-2 di minggu yang baru berlalu.

Mari kita memohon & menjadikan berkat dalam misa Ekaristi hari Minggu sebagai kekuatan rohani untuk menjalani weekdays kita. Semoga kita selalu haus & terpanggil untuk menerima berkat itu - bagaikan rusa mendamba air - sehingga jiwa kita bisa berkata ‘AMIN’, bahwa hadir di misa mingguan & menerima Ekaristi kudus adalah suatu berkat yang selalu urgent dan mandatory, bukan sesuatu yang optional & bisa ditawar-tawar.

Semoga.

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Martha dan Maria

"Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku."

(Luk 10:38-42) Ketika Yesus dan murid-murid-Nya dalam perjalanan, tibalah Ia di sebuah kampung. Seorang perempuan yang bernama Marta menerima Dia di rumahnya.
Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya, sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: "Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku."
Tetapi Tuhan menjawabnya: "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya."

"Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku."

Bacaan Injil beberapa minggu yang lalu - yakni tentang Martha dan Maria - masih sangat melekat dalam ingatan saya. Bukan hanya karena tidaklah mudah untuk 100% membenarkan Maria atau 100% menyalahkan Martha, tetapi mungkin karena kita masing-masing juga memiliki gabungan sifat, sikap, dan keadaan yang serupa dari kedua pribadi tokoh itu.

Di satu sisi kita ingin selalu dekat dengan Yesus, merasakan keintiman rohani yang memang menyenangkan hati Yesus dan menguatkan hidup rohani kita. Dengan kata lain, mendengarkan firman tuhan.
Tetapi di lain sisi kita sering terperangkap dalam lingkaran dan rutinitas yang mau tidak mau harus dijalankan, sebab jika tidak maka kita akan mengalami kesulitan setidaknya secara finansial. Bagaimana bisa membayar tagihan bulanan, cicilan, dan begitu banyaknya kebutuhan - jika tidak sibuk bekerja dan bekerja ?.

Ini menarik, sebab Yesus dalam bacaan Injil tidak pernah melarang atau menyalahkan Martha karena telah bekerja dan bersusah payah ‘mempersiapkan segalanya’ dan melayani Yesus. Anehnya, Yesus juga tidak memuji atau berterima kasih atas segala pelayanannya itu. Pun, Yesus tidak menyalahkan Maria.

Ada seorang teman yang berpendapat bahwa jika Martha tidak ‘komplain’ ke Yesus, maka semuanya akan baik-baik saja dan Yesus pun akan diam saja.

I don’t think so. Sebab kalaupun Martha tidak sampai ‘komplain’ ke Yesus,..apakah itu berarti Yesus tidak akan pernah tahu apa yang dia rasakan?. (Martha merasakan ketidakadilan - sebab dia seorang saja yang ‘bekerja’ sementara saudaranya duduk-duduk saja mendengarkan Yesus). Sebab sebagai anak Allah, tentu saja Yesus akan tahu juga meskipun Martha tidak komplain bicara.

Jika demikian, Martha harus bagaimana? Bicara komplain salah, tetapi diam dan komplain dalam hati juga salahkah ?.

Sekali lagi, Yesus tidak pernah menyalahkan Martha oleh karena pelayanannya itu. Pelayanannya itu sudah pasti menyenangkan dan berkenan bagi Yesus. Tidak ada yang salah dalam melayani Yesus, sebab itu juga adalah bentuk cinta dan hormat dari seorang Martha kepada gurunya dan tamunya.
Begitu juga Maria, yang dalam perwujudan cinta dan hormatnya kepada guru dan tamu mereka, memilih duduk tenang mendengarkan Yesus.

Terus, apa yang salah jika demikian halnya?.
Salahnya, adalah Martha komplain.
Dan tidak peduli apakah komplain itu diucapkan atau tidak (sebab Tuhan tahu segalanya yang terucap ataupun tidak ).

Salahnya, adalah Martha komplain karena membandingkan apa yang dia lakukan dan apa yang Maria lakukan.
Karena dia membandingkan cara dia melayani Yesus dengan cara Maria ‘melayani’ Yesus.
Karena dia merasa apa yg dilakukanya lebih penting (sehingga Maria sampai kudu / harus ikut membantunya).
Karena kemudian timbul ketidaksukaan dan iri.
Karena dia berpikir Maria lebih ‘enak’, dan dirinya merasa lebih susah. (Renungan: apakah sesungguhnya dalam pelayanan itu susah???)
Maka patutlah Yesus mengingatkannya "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara”. Ini termasuk perkara membanding-bandingkan pelayanannya dengan bentuk pelayanan orang lain sesamanya.

Lebih parahnya lagi, Martha mengusulkan agar Maria meninggalkan posisinya dan menggantikannya dengan melakukan tugas seperti yang dia (Martha) lakukan. Ini sama saja artinya dengan meinggalkan kedekatan dan hubungan yang baik dengan Yesus. Ini sangat salah. Maka dari itu Yesus selanjutnya berkata : “…tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya."
Saat Yesus datang, hanya satu saja yang perlu: bersama dengan Yesus, mendengarkan Dia, atau berkomunikasi dengan Dia. Dalam kehidupan sehari-hari tanpa kehadiran yesus - mungkin saja Maria sama sibuknya dengan Martha, bekerja sama rajinnya. Tetapi ketika Yesus hadir ! Ya Ketika Yesus datang, ketika Yesus menyapa: ketika Yesus mengetuk pintu: hanya satu saja yang terbaik: mendengarkan suaraNya, firmanNya. Ingat lagu “When you hear His voice today, harden not your heart..”.
Maria memilih itu. Dan itu dikatakan Yesus sebagai “bagian yang terbaik”.

Coba saja kalau dalam pelayanannya itu, Martha selalu bersuka hati, penuh syukur dan bahkan bernyanyi-nyanyi. Pasti tidak kuatir & susah.
Dan coba dalam keseharian dan pelayanan kita, kita selalu mengucap syukur.
Maka Martha dan kita tidak akan komplain, tidak akan saling membandingkan utk mencari yang terbaik. Sebab sesungguhnya semuanya baik dan berkenan bagi Tuhan, semuanya dipanggil untuk melayani Tuhan Yesus dengan kemampuan, rahmat dan talenta yang berbeda beda. Panggilan Maria, Martha, dan kita masing-2: berbeda-beda bentuknya walaupun satu tujuannya: melayani & menyenangkan Tuhan.
Ada orang yang terpanggil untuk melakukan pelayanan aktif, dan ada juga yang terpanggil untuk karya kontemplatif. Keduanya sama-sama eksis dan saling melengkapi, tidak untuk saling meniadakan.

Sekarang tinggallah satu tantangan lagi utk kita: kapan dan seberapa sering kita mengundang Yesus datang ?. Dan di saat-saat doa bersama Yesus itu, seperti seorang Maria, maukah anda meninggalkan semua hal lain, tenang dan khidmat mendengarkan suaraNya yang halus berbicara dalam lubuk hati terdalam ?. Mencari tahu apa yang Yesus harapkan darimu, dan menceritakan apa yang engkau butuh dari Yesus. Adakah saat yang lebih baik, lebih penting, dan lebih indah dari itu?.

Newark, 17 August 2022.

(English translation)

The Bible reading a few weeks ago - about Martha and Mary - is still very much in my memory. Not only because it's not easy to 100% justify Maria or 100% blame Martha, but maybe because each of us also has a combination of similar traits, attitudes, and circumstances from the two personalities.

On the one hand, we want to always be close to Jesus, to feel spiritual intimacy which really pleases Jesus and strengthens our spiritual life. In other words, listening to God's word. But on the other hand we are often trapped in a circle and routines that we inevitably have to carry out, because otherwise we will likely experience difficulties, at least financially. How can you pay your monthly bills, installments, and so many necessities - if you're not busy working and working?.

This is interesting, because Jesus in the Gospel reading never forbids or blames Martha for having worked and gone to great lengths to 'prepare everything' and serve Jesus. Surprisingly, Jesus also did not praise or thank her for all of his ministry. Nor, Jesus blame Mary.

There is a friend of mine who thinks that if Martha does not verbally 'complain' to Jesus, then everything will be fine and Jesus will be just silent.

I don't think so. Because even if Martha doesn't verbally 'complain' to Jesus, does that mean Jesus will never know how she feels? (Martha feels injustice - because she is the only one who 'works' while her sister sits around listening to Jesus). Because as the Son of the Father, of course Jesus would know too, even though Martha didn't say.

If so, what should Martha do? Verbally complaining is wrong, but being silent and complaining in your heart is also wrong?

Again, Jesus never blamed Martha for her service. Her ministry was certainly pleasing and pleasing to Jesus. There is nothing wrong in serving Jesus, because that too is a form of love and respect from a Martha to her teacher and guest. Likewise, Mary, who in the expression of her love and respect for their teachers and guest, chose to sit quietly listening to Jesus.

So, what's wrong if that's the case?. The fault is, that Martha complained. Because she compared the way she served Jesus with the way Mary 'served' Jesus. Because she felt what she was doing was more important part (so that Mary had to help her). Because then hatred and envy arose. Because she felt Maria took an easy part, while hers she found it as more difficult. (Reflection: is it really difficult in ministry ???)
So Jesus should remind her "Martha, Martha, you are worried and troubled with many things". That is, it is a matter of comparing her ministry with other people's ministry.

Worse, Martha suggested that Mary need to leave her position and asked her to do and be same as (Martha) herself. This is the same as suggesting to taking away the good & intimate relationship with Jesus. This is very wrong. That is why then Jesus continues “…but only one thing is necessary: ​​Mary has chosen the best part, which will not be taken away from her.”
When Jesus comes, only one thing is necessary: ​​to be with him wholeheartedly, to listen to Him, or to communicate with Him. In daily life without Jesus presence - maybe Mary is just as busy as Martha, working just as diligently. But when Jesus is present! Yes When Jesus comes around, when Jesus greets, when Jesus knocks on the door: only one thing is best: to listen to His voice, His word. Remember the song "When you hear His voice today, harden not your heart.." Mary chose that. And Jesus said it was "the best part".

Imagine if in her service, Martha is always happy, full of gratitude and even sings. Definitely not worried & difficult. And imagine if in our daily life and service, we always give thanks to the Lord. So Martha and we will not complain, nor will we compare each other to claim to be the best. Because actually everything is good and pleasing to God, all of them are called to serve the Lord Jesus with different abilities, graces and talents. The call of Mary, Martha, and each of us: are different forms although there is only one goal: to serve & please God.
There are people who are called to do active ministries, while others are called to contemplative works. Both exist and are complementary to each other, not to cancel each other out.

Now there is only one more challenge for us: when and how often do we invite Jesus to come?. And in those prayerful moments with Jesus, like a Mary, will you leave everything else behind, quietly listening to His soft voice speak in your deepest heart? To find out what Jesus expects from you, and you tell Jesus what you need from him. Is there a better, more important, and more beautiful moment than that ?

Newark, August 17, 2022.




Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

"Terganggu"

Tanpa bola meriam, dunia akan kehilangan satu orang suci lagi untuk membimbing kita, kita juga tidak akan memiliki Gereja St Ignatius atau Jesuit. Bola meriam itu merupakan gangguan, dan bagaimana St. Ignatius menghadapinya mengubah hidupnya dan jutaan orang lainnya.

Tidak dapat disangkal bahwa kita hidup di dunia yang sibuk. Tuntutan hidup yang tiada henti – keluarga, pekerjaan, perawatan diri, dan banyak lagi – seolah berlomba untuk mendapatkan perhatian kita, sedemikian rupa sehingga kita selalu terburu-buru dan hampir tidak punya waktu untuk sekedar bernafas dan memperhatikan arah hidup kita. Waktu berlalu, kalender berlari menuju akhir tahun, dan kita kemudian bertanya-tanya ke mana perginya hari-hari itu. Kita – para Martha yang khawatir dan terganggu – disibukkan dengan obrolan, gangguan, dan kesenangan dunia, semua hal yang kita pikir kita tidak akan bisa hidup tanpanya.

Kemudian tragedi demi tragedi terjadi: meninggalnya orang yang dicintai, penyakit kritis, pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan besar dengan pasangan atau teman - memaksa kita untuk melepaskan keasyikan dan komitmen penting kita. Tiba-tiba hidup kita berubah, dan kita dikejutkan dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan eksistensial, “Mengapa ini terjadi pada saya? Mengapa saya? Bagaimana sekarang? Apa arti dan tujuan hidup saya? Apakah ada kehidupan yang lebih dari semuanya ini?”

Ini adalah pertanyaan yang biasanya tidak kita tanyakan ketika semuanya berjalan dengan baik. Namun, masa-masa perjuangan dan keputusasaan sesungguhnya sering menandai awal dari babak baru dalam hidup kita. Ini adalah undangan untuk meninjau kembali hidup kita, ketika kita mulai mempertanyakan keberadaan kita dan mencari sesuatu yang berarti.


St. Ignatius dari Loyola adalah contoh klasik. Dalam peperangan, dia terkena bola meriam, melukai satu kaki dan mematahkan yang lain. Bola meriam itu sungguh telah mengganggu kehidupannya yang penuh warna di istana dengan permainan pedang dan para dayang istana. Dalam masa pemulihan, ia menghabiskan berbulan-bulan menganggur, sebagian besar dalam rasa sakit dan kebosanan, yang memberinya waktu yang signifikan dalam keheningan dan kesendirian untuk membaca dan merenungkan tentang hidupnya, kehidupan Kristus, dan orang-orang kudus. Dia mulai memperhatikan gerakan batinnya – sesuatu yang tidak akan bisa dia lakukan jika dia tetap sibuk dengan urusan duniawinya. Dia mulai menyaring bahwa pikiran dan keinginan ini membawa penghiburan atau kesedihan. Cederanya memungkinkan dia untuk melihat Tuhan bekerja dalam dirinya dan hidupnya. Akhirnya, dia memutuskan untuk memilih Kristus daripada kehidupan yang dia jalani sebelumnya.

Dalam masa pemulihan, ia menghabiskan berbulan-bulan menganggur, sebagian besar dalam rasa sakit dan kebosanan, yang memberinya waktu yang signifikan dalam keheningan dan kesendirian untuk membaca dan merenungkan tentang hidupnya, kehidupan Kristus, dan orang-orang kudus.


Kisah kita mungkin tidak sedramatis pertobatan St Ignatius, tetapi kita dapat yakin bahwa Tuhan selalu menjangkau kita setiap saat. Tuhan menyela hidup kita karena suatu alasan, dan kita perlu memperhatikannya. Interupsinya menunjukkan kepada kita apa yang membuat kita tertawan. Hanya kemanusiaan kitalah yang membuat kita lumpuh. Namun, kerentanan kita memungkinkan Dia untuk melakukan terobosan. Ini membuka kita pada kemungkinan yang belum pernah kita pertimbangkan sebelumnya dan potensi yang ditawarkan masa depan kita.

Ketika sebuah bola meriam mengenai St Ignatius, hal terakhir yang bisa dia bayangkan adalah jalan yang pada akhirnya akan menuntunnya untuk menulis Latihan Rohani Ignatius dan mendirikan Serikat Yesus. Tanpa bola meriam, dunia akan kehilangan satu orang suci lagi untuk membimbing kita, kita juga tidak akan memiliki Gereja St Ignatius atau Jesuit. Bola meriam itu merupakan gangguan, dan bagaimana St. Ignatius menghadapinya mengubah hidupnya dan jutaan orang lainnya.


Apa bola meriam kita? Dan bagaimana kita menanggapinya? Jika kita benar-benar percaya bahwa Tuhan akan menjaga kita, bukankah masuk akal jika kita akan melihat dan mengikuti bisikan Roh dengan setia, meskipun kita tidak tahu apa yang ada di depan? Mari kita berdoa kepada Tuhan agar Dia mengungkapkan kepada kita apa yang telah menawan kita begitu lama. Dan agar Dia memberi kita penglihatan untuk mengenali gangguan-Nya dan keberanian untuk keluar dari kurungan kita dan menuju kebebasan.
(RS)

— Peringatan Santo Ignatius jatuh pada tanggal 31 Juli —

Sumber: Terjemahan dari tulisan Rosina Simon berjudul “Interrupted”

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Immersed in Prayer

Mathematically speaking, the only logical answer would be when her will is equal to His will, which would only be possible if she completely surrendered her will and submitted to Him.

Immersed in Prayer

She was immersing herself in the hot water in a quiet morning when three generations of females entered the onsen. Even though she tried to keep to herself, she couldn’t help but notice the young girl, her mother, and her grandmother. Two things caught her attention. The young girl’s smooth porcelain skin, the mother’s well-maintained appearance and yet the onset of aging was apparent, and the grandmother’s deep lines and wrinkles. And their dispositions were noticeably different. The young girl was lively and chatty, the mother refined and eloquent, and the grandmother serenely paying attention and occasionally chimed in the conversation. 

The three generations made interesting contrasts - the evolving physical, mental, and perhaps intellectual progress was clear to see. No one could stop the deterioration of the physique over time, regardless of what one does. Most would develop mentally and intellectually, as one learns from and goes through education and life experiences. The girl has noticed the evolution in herself. Those were exterior, visible, and observable. Then a thought crossed her mind. How about the invisible, the deeper self? Would there be growth in the interiority as well? 

Somehow, she could not put down the thought and started pondering about her faith and prayer. Especially her struggle in understanding free will and God’s will. She was taught that man has free will; and yet “Thy will be done” was also imparted and repeated often in prayers. The peculiar dichotomy. 

She remembered praying as a child and adolescent, petitioning for certain favors, such as getting good grades for her exams, requesting presents for her birthdays, wishing for a certain boy to notice her, et cetera. She was praying and expecting that her prayers would be granted. And to increase the odds, she would promise to be good and try to be super nice and helpful to her family and friends. It was always about her will, and she was bargaining and buying grace. It did not occur to her that God has will. The conversation was a one-way street. Her speaking, Him listening.

Slowly she learned that she did not always get what she asked for. And occasionally, she learned to accept when people reminded her that maybe a certain outcome was not God’s will. Such as when her childhood best friend was diagnosed with leukemia. As a mature adult, she prayed hard and prayed for intercessions, and her friend’s leukemia was cured. She was elated. God was good, and He answered her prayer. When cancer recurred six years later, she prayed harder and added Novenas and weekly fasting while reciting “Thy will be done.” Perhaps it was more in the lips than in the heart, for she was devastated when her friend passed on. Even though she could accept that it was God’s will, and it was best for her friend, she could not help but question the contradiction of her will versus His will.

How could this paradox ever be resolved? Mathematically speaking, the only logical answer would be when her will is equal to His will, which would only be possible if she completely surrendered her will and submitted to Him. If she totally believed that He knows her better than she knows herself, that He loves her more than she loves herself, that His ways are higher than hers. Ceding control. Willingness to enter the unknown. Complete trust. Complete faith. Like Jesus on the Cross. Was that even possible? 

Her thoughts were interrupted by their laughter. The young girl’s gullible chuckle and the grandmother’s gentle laugh. Her eyes were drawn to the grandmother’s wrinkled face. A face that has seen and lived through a bountiful of joys and sorrows. A wise, peaceful soul. Perhaps it is possible. (RS).    

*onsen = Japanese hot spring    

(Translation in Bahasa Indonesia)

Tenggelam dalam Doa

Seorang wanita membenamkan dirinya di air panas di pagi yang tenang ketika tiga wanita dari tiga generasi berbeda memasuki onsen. Meskipun dia mencoba untuk tidak memperhatikan, dia tidak bisa tidak memperhatikan gadis muda itu, ibunya, dan neneknya. Ada dua hal yang menarik perhatiannya. Kulit porselen halus gadis muda itu, penampilan sang ibu yang terpelihara dengan baik namun permulaan penuaan tampak jelas, dan garis-garis dalam dan kerutan sang nenek. Dan disposisi mereka sangat berbeda. Gadis muda itu lincah dan cerewet, ibunya halus dan fasih berbicara, dan neneknya dengan tenang memperhatikan dan kadang-kadang menimpali dalam percakapan.

Tiga generasi membuat kontras yang menarik - kemajuan fisik, mental, dan mungkin intelektual yang berkembang jelas terlihat. Tidak ada yang bisa menghentikan kerusakan fisik dari waktu ke waktu, terlepas dari apa yang dilakukan. Sebagian besar akan berkembang secara mental dan intelektual, ketika seseorang belajar dari dan melalui pendidikan dan pengalaman hidup. Gadis itu telah memperhatikan evolusi dalam dirinya. Itu adalah eksterior, terlihat, dan dapat diamati. Kemudian sebuah pikiran terlintas di benaknya. Bagaimana dengan yang tak terlihat, diri yang lebih dalam? Akankah ada pertumbuhan dalam interioritas juga?

Entah bagaimana, dia tidak bisa mengesampingkan pikiran itu dan mulai merenungkan tentang iman dan doanya. Terutama perjuangannya dalam memahami kehendak bebas dan kehendak Tuhan. Dia diajari bahwa manusia memiliki kehendak bebas; namun "Jadilah kehendak-Mu" juga disampaikan dan sering diulang dalam doa. Dikotomi yang khas.

Dia ingat berdoa sebagai seorang anak dan remaja, memohon bantuan tertentu, seperti mendapatkan nilai bagus untuk ujiannya, meminta hadiah untuk ulang tahunnya, berharap seorang anak laki-laki memperhatikannya, dan lain-lain. Dia berdoa dan berharap doanya akan dikabulkan. Dan untuk meningkatkan peluang, dia akan berjanji untuk menjadi baik dan berusaha menjadi sangat baik dan membantu keluarga dan teman-temannya. Itu selalu tentang keinginannya, dan dia menawar dan membeli anugerah. Tidak terpikir olehnya bahwa Tuhan memiliki kehendak. Percakapan adalah jalan satu arah. Dia berbicara, Dia mendengarkan.

Perlahan dia belajar bahwa dia tidak selalu mendapatkan apa yang dia minta. Dan terkadang, dia belajar menerima ketika orang mengingatkannya bahwa mungkin hasil tertentu bukanlah kehendak Tuhan. Seperti ketika sahabat masa kecilnya didiagnosis menderita leukemia. Sebagai orang dewasa yang matang, dia berdoa dengan sungguh-sungguh dan berdoa untuk syafaat, dan leukemia temannya disembuhkan. Dia sangat gembira. Tuhan itu baik, dan Dia menjawab doanya. Ketika kanker kambuh enam tahun kemudian, dia berdoa lebih keras dan menambahkan Novenas dan puasa mingguan sambil membaca "Jadilah kehendak-Mu." Mungkin itu lebih di bibir daripada di hati, karena dia hancur ketika temannya meninggal. Meskipun dia bisa menerima bahwa itu adalah kehendak Tuhan, dan itu yang terbaik untuk temannya, dia tidak bisa tidak mempertanyakan kontradiksi antara kehendaknya dengan kehendak-Nya.

Bagaimana paradoks ini bisa diselesaikan? Secara matematis, satu-satunya jawaban logis adalah ketika kehendaknya sama dengan kehendak-Nya, yang hanya mungkin jika dia sepenuhnya menyerahkan kehendaknya dan tunduk kepada-Nya. Jika dia benar-benar percaya bahwa Dia mengenalnya lebih baik daripada dia mengenal dirinya sendiri, bahwa Dia mencintainya lebih dari dia mencintai dirinya sendiri, bahwa jalan-Nya lebih tinggi daripada miliknya. Kontrol penyerahan. Kesediaan untuk memasuki yang tidak diketahui. Kepercayaan penuh. Iman yang lengkap. Seperti Yesus di Kayu Salib. Apakah itu mungkin?

Pikirannya terganggu oleh tawa mereka. Tawa gadis muda yang mudah tertipu dan tawa lembut sang nenek. Matanya tertuju pada wajah nenek yang keriput. Wajah yang telah melihat dan menjalani banyak suka dan duka. Jiwa yang bijaksana dan damai. Mungkin itu mungkin. (RS).

*onsen = pemandian air panas Jepang

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Who is Your King ?

Siapakah rajamu, yang kepadaNya engkau rela menyerahkan nyawamu ?

If I was never born,.. what difference(s) it would be to the World ?.

Ketika kita bertanya kepada diri sendiri: Apa tujuan hidupku terlahir di dunia ini?
Kemungkinan besar kita akan sulit menjawabnya.


Namun ketika pertanyaannya dibalik menjadi: “Kalau saya tidak pernah terlahir di duni ini, apa ada bedanya bagi dunia ?.” Otomatis kita berpikir lebih keras lagi untuk mencari jawaban-jawabannya. Karena kegagalan untuk menjawabnya berarti adalah kegagalan untuk memberikan justifikasi atas keberadaan kita. Dan tidak seorangpun ingin bila kebearadannya di dunia tidak berarti apa-2.


Saat menuliskan ini, invasi Rusia ke Ukraina telah memasuki hari ke sepuluh, dan ratusan korban jiwa telah berjatuhan dari kedua belah pihak. Sebagian besar korban dari pihak Rusia adalah para tentara, karena memang pihak tentara Rusia diperintahkan pemimpin negaranya untuk memasuki wilayah negara Ukraina. Jatuhnya korban para tentara ini (meskipun dalam sebuah perang itu adalah sebuah keniscayaan dan sebuah konsekuensi wajar), tetap saja membuat saya berpikir: 'Ah, sungguh kasihan, sungguh sangat disayangkan, nyawa hilang dalam perang melawan sesama manusia'.


Mengapa disayangkan? Bukankah mereka adalah tentara? Bukankah memang tugas tentara adalah tunduk kepada perintah pemimpin negara, berperang membela dan mempertahankan negara ?.

Iya betul, memang para tentara harus taat kepada pemimpinnya (raja, presiden, panglima tentara) dan tidak boleh menolak perintah, disuruh apapun harus turut perintah, disuruh perang ya perang, disuruh latihan ya latihan. Tetapi bagaimana dengan nyawa-nyawa mereka itu, Apakah kerelaan MEREKA menyerahkan nyawanya untuk berperang, sungguh-sungguh adalah tujuan yang paling penting, mengalahkan pentingnya semua tujuan hidup lain di dunia ini?.

Saya tidak bisa menerka jawabannya. Saya terdiam, lama.

Apakah kalau mati dalam perang akan masuk Sorga ?.
Kalau tidak masuk Sorga, lantas mengapa bersedia menjadi tentara dan membunuh sesama ?.

Pertanyaan-pertanyaan ini terasa begitu mendasar dan penting untuk dijawab. Sebab jika semua tentara telah menyerahkan nyawanya atas nama ketaatan kepada pemimpin (dunia), yang tidak menjamin keselamatan kekal, bagaimana mereka menempatkan ketaatan mereka kepada Tuhan, yang sungguh menjanjikan keselamatan kekal ?.
Ataukah semua tentara tidak percaya akan adanya keselamatan kekal ?. Ataukah sebaliknya mereka percaya bahwa berperang (dan membunuh pihak musuh) akan menghantarkan jiwa mereka kepada keselamatan kekal?.


Jika sungguh sebuah ketaatan adalah kunci mencapai keselamatan kekal, bagaimana kalau Tuhan, sebagai raja kita, memerintahkan kita untuk berperang melawan dosa?. Tidakkah perintah itu adalah jauh lebih penting daripada semua peperangan fisik di dunia?.

Jika ya, akahkah kita rela menyerahkan nyawa demi perintah Tuhan itu? Apakah kita rela mati seperti para tentara yang rela mati mematuhi perintah pemimpin negaranya ?.


Masa Prapaskah adalah masa yang baik untuk memperbaiki diri dan berperang melawan dosa. Dan semoga kita mau melihat kembali apa arti dan tujuan keberadaan kita di dunia ini. Siapakah raja sejati bagi kita, dan apakah kita sudah taat dan rela mati untuk Sang Raja, seperti ketaatan para tentara yang telah rela mati di medan perang.
Sebab Yesus telah menunjukkan kerelaanNya sampai mati di kayu salib, demi ketaatanNya kepada perintah Bapa. Dan dengan menyerahkan nyawaNya, sungguh Dia telah memperoleh kembali hidupNya.


Newark, CA March 5, 2022



Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

The Purpose of Life - Tujuan Hidup

“Tuhan menciptakan aku, supaya aku mengenalNya, mencintaiNya, dan melayaniNya di dunia ini dan bahagia bersamaNya selamanya di Sorga”

Pernahkah anda bertanya : “Apakah sebetulnya tujuan hidup ini ?”

Dalam Katekismus lama ada pertanyaan, “Mengapa Tuhan menciptakanmu?”

Jawabannya: “Tuhan menciptakan aku, supaya aku mengenalNya, mencintaiNya, dan melayaniNya di dunia ini dan bahagia bersamaNya selamanya di Sorga.”

Di sini lah, dalam hanya 18 kata ini, adalah rangkuman seluruh alasan keberadaan kita di dunia.
Yesus bahkan menjawab pertanyaan itu dengan lebih singkat lagi: “Aku datang supaya kamu memiliki hidup dan memilikinya lebih berkelimpahan” (Yohanes 10:10)



Rencana Tuhan untuk Anda sederhana.
Bapa yang maha pengasih ingin memberimu semua hal yang baik - terutama kehidupan kekal. Yesus rela mati di kayu salib untuk menyelamatkan kita semua dari dosa dan keterpisahan kekal dari Allah yang disebabkan oleh dosa (KGK 599-623).

Ketika Dia menyelamatkan kita, Dia menjadikan kita bagian dari Tubuh-Nya, yaitu Gereja (1 Kor.12:27-30). Dengan demikian kita menjadi bersatu dengan Dia dan dengan orang-orang Kristen di manapun (di bumi, di surga, di api penyucian).

Source: Catholic Answer booklet

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Mengapa Orang Katolik menyembah patung ? (Sebuah pertanyaan yang keliru).

Dalam Keluaran 20:4-5, Tuhan melarang pembuatan patung untuk tujuan disembah, tetapi Tuhan sama sekali tidak melarang pembuatan patung.

Mengapa Orang Katolik menyembah patung ? Ada banyak patung di gereja Katolik !.


Anda mungkin belum pernah ditanyai seseorang secara langsung seperti seperti itu.
Tapi bila anda seperti saya dan banyak orang Katolik lain yang pernah mengalaminya, pertanyaan ini sontak terdengar seperti sebuah tuudingan yang tidak bersahabat dan mengusik rasa damai dalam hati.

Mari kita simak akan hal ini, agar kita bisa memberikan jawaban yang benar - sekaligus membuktikan bahwa pemahaman dan tudingan mereka tidaklah tepat.


Dasar yang paling mungkin dipakai oleh orang yang bertanya tentang ini, adalah ayat 4 dan 5 kitab Keluaran bab 20 yang bunyinya adalah seperti ini: “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.
Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku.”


Katolik tentu tidak menyembah patung, atau apapun hasil buatan manusia. Gereja Katolik mengajarkan bahwa hanya Tuhan yang harus disembah. Menyembah apa pun yang diciptakan adalah sebuah dosa serius penyembahan berhala. Dalam Keluaran 20:4-5, Tuhan melarang pembuatan patung untuk tujuan disembah, tetapi Tuhan sama sekali tidak melarang pembuatan patung.
Dalam Keluaran 25:18-19, Tuhan memerintahkan Musa untuk membuat patung malaikat (Kerubim). Dalam Bilangan 21:8, Tuhan menyuruh Musa membuat ular tembaga (seraph), yang harus dibuat oleh orang Israel untuk dilihat agar mereka bisa disembuhkan. Orang-orang Yahudi juga menggunakan banyak patung ukiran di Bait Suci, termasuk kerub, lembu, singa, pohon palem, dan bunga (1 Raja-raja 6 dan 7).


Umat Katolik menggunakan patung dan gambar lain untuk mengingat orang-orang suci yang mereka wakili: Yesus, para malaikat, dan orang-orang kudus. Untuk alasan yang sama, orang Protestan juga menggunakan adegan kelahiran Natal untuk menggambarkan orang suci yang sama: Yesus, para malaikat, dan orang-orang kudus. Bedanya hanya saja, umat Katolik menggunakan patung dan gambar dalam sepanjang tahun dalam rangkaian kebaktian mereka.



Penolakan terhadap patung dan gambar lainnya dalam kehidupan kebaktian Gereja adalah bid'ah yang dikenal sebagai "ikonoklasme". Ini pertama kali terlihat dalam agama Kristen pada abad kedelapan ketika Kaisar jahat Leo Isauria, yang dipengaruhi oleh agama baru Islam (didirikan pada 622 M), mulai menyerang penggunaan patung dan ikon di Gereja. Dalam Konsili Nicea Kedua pada tahun 787 M, Gereja mengutuk bid’ah ini. Ikonoklasme itu kemudian tidak pernah muncul kembali dalam agama Kristen, sampai pada masa terjadinya Reformasi (sekitar th 1520).


Sekarang kita tahu dan siap memberikan jawaban atas pertanyaan (yg didasarkan pandangan yg keliru) di atas.
Dan semoga semakin banyak orang yang menjadi tahu dan mengerti akan ajaran dan tradisi gereja kita yang satu, kudus, katolik, dan apostolik.

Source: San Juan Catholic Seminars




Read More