Tujuh Kedukaan Bunda Maria
Kita dapat belajar dari kesedihan Maria bagaimana menghadapi penderitaan kita sendiri
Tanggal September 15 adalah hari peringatan Santa Perawan Maria Berduka cita.
Tujuh Dukacita:
1. Dukacita pertama: Nubuat Simeon (Lukas 2:34-35)
Simeon bernubuat dan berkata kepada Maria, bahwa anak Maria, Yesus, telah ditentukan untuk menjatuhkan dan membangkitkan banyak orang di Israel and akan menjadi suatu tanda pembantahan. Pembantahan itu akan menyakitkan Maria seperti suatu pedang yang menembus dirinya.
2. Dukacita kedua: Melarikan Yesus ke Mesir (Mat 2:13)
Dalam mimpi, malaikat berpesan kepada Yosef agar melarikan diri bersama Maria dan bayi Yesus dari aniaya raja Herodes. Ini merupakan pedang dukacita bagi Maria yang bingung karena harus mengungsi dengan seorang bayi yang baru dilahirkan. Dimana harus tinggal? Bagaimana dengan kebutuhan sehari-hari?
3. Dukacita ketiga: Hilangnya Yesus di Bait Allah (Lukas 2:43-45)
Pedang ketiga sesaat Maria dan Yosef kehilangan Yesus setelah mengunjungi bait Allah pada hari perayaan Paskah di Yerusalem. Mencari anaknya selama tiga hari. Membayangkan bagaimana perasaan seorang ibu begitu gelisah dan takut kehilangan putra satu-satunya.
4. Dukacita keempat: Perjumpaan dengan Yesus saat menjalani hukuman mati
Sebagai seorang ibu, melihat anaknya yang sakit, betapa rasanya lebih sakit dari yang sakit. Apalagi melihat anak yang akan dihukum mati. Membayangkan bagaimana sakitnya pedang yang tembus ke dalam jiwa Bunda Maria.
5. Dukacita kelima: Yesus wafat (Yoh 19:25)
Membayangkan seorang ibu yang melihat Putranya yang tak berdosa dianiaya dengan keji and dihukum mati didepan matanya. Bunda Maria tidak berontak atau mencaci maki; dia menerima. Sepertinya dia tahu bahwa anaknya harus menjalankan penderitaan itu demi menebus dosa-dosa manusia. Segala sengsara Yesus adalah sengsara Maria. Jika ketika Yesus berkata: “Aku haus.” Bunda Maria pun tidak mampu memberikan setetes air.
6. Dukacita keenam: Lambung Yesus ditikam dan jenazah-Nya diturunkan dari salib (Mat 27:57-59)
Waktu Yesus disalibkan, semua murid2nya tidak hadir, kecuali Johanes. Bunda Maria mengalami semuanya, melihat anaknya yang ditusuk lambungnya dan menghembuskan nafas terakhir. Pedang dukacita yang sangat menusuk untuk seorang ibu. Maka, bunda Maria sangat mengerti kesedihan kita semua dan tidak akan meninggalkan kita. Mungkin kita juga seperti murid2 Tuhan Yesus yang meninggalkan Yesus tetapi Yesus tidak akan pernah meninggalkan kita. Bunda Maria selalu membantu kita untuk mendekatkan diri lagi kepada Yesus. Berdoalah kepada Bunda Maria sesaat kita merasa jauh pada Yesus, sesaat hati kita sedih dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
7. Dukacita ketujuh: Yesus dimakamkan (Yoh 19:40-42)
Ada pepatah: “It is hard to lose a son or a daughter, but it is harder to bury Christ. To be motherless is a tragedy but to be Christless is hell”.
"Sangatlah susah ketika kehilangan seorang anak, tetapi terlebih susah lagi ketika harus menguburnya. Hidup tanpa seorang ibu adalah sebuah tragedi, tetapi hidup tanpa Kristus bagaikan hidup di neraka"
Source: https://berkat.id/2019/05/16/xvi-tujuh-kedukaan-bunda-maria/
Technology and Spiritual Food
…both realizing that children and adolescents do not yet have the emotional maturity to deal with it.
Technology and Spiritual Food
It was a quiet dawn in the park when the girl spotted a squirrel up on a tree. The squirrel piqued her interest. Standing on its feet, the squirrel was holding a burger wrapper with its tiny paws and began sniffing the sheet. To her surprise and horror, it started munching the wrapper; the gravy on the sheet must have been so delicious that the squirrel could not resist finishing it in no time - swallowed whole. It was not aware that it was ingesting something harmful.
Her mind wandered to the young family she saw in a restaurant yesterday. The parents were busy looking at their smartphones, and the child, probably six years old, was busy tapping and swiping his iPad with his delicate fingers. Did the young couple know of what the boy was playing? She surely hoped so, for the boy could scarcely take his eyes off the screen.
People of all ages and from all walks of life are increasingly hooked on their smartphones. After all, we do live in a world that is going digital, and the development in digital technology is unstoppable, influencing and changing the way we live and interact. The technology industry’s forerunners have been monitoring and limiting access in their households due to smartphone usage's addictive nature and ease. Steve Jobs did not let his children use an iPad, while Melinda Gates preferred to wait longer before putting a smartphone in her children’s pockets, both realizing that children and adolescents do not yet have the emotional maturity to deal with it.
At the same time, technology development has also given a wide access to Christian treasures, something unimaginable even at the turn of the last decade – if we know how to harvest them. For example, the Bible and classic and contemporary Christian literature are no longer confined to hardcopy; lecture series and talks are also available online. These electronic and audio versions allow us to read and listen anytime and everywhere. What would have been difficult to secure or burned a deep hole in our wallets are now available at our finger tips – many are for free. The audio books and lectures are especially great for those who are hard-pressed for time; one can listen to spiritual reading in the morning walk, during the commute, or while doing chores. All we need is a smartphone and the desire to deepen our faith.
Here are some examples of websites and mobile apps for spiritual nourishment:
Resources for faith formation for all ages and interest – children, youth, and adults, from light-hearted cartoons and movies to intense faith formation programs: https://formed.org/
Classic Christian literature, including writings from the saints: http://www.ccel.org/
Materials on liturgy and prayers: https://stpaulcenter.com/library/liturgy-and-prayer/#prayer-spirituality
Mobile Apps Laudate, which can be downloaded for free, contains the Bible, the daily Mass readings, daily prayer and reflection, Liturgy of the Hours, the Rosary prayer, the Stations of the Cross, and even Vatican documents, in multiple languages (including Asian languages).
It has been said that who we are in five years is determined by what we read today. The statement may be an oversimplification, but there is a ring of truth in it: what we read and watch shapes who we become. Many of us pay attention to our diet; perhaps it is time to do so for the nourishment of our soul as well. The digital world is here to stay, and it is up to us to make a responsible choice.
(RS)
(Terjemahan Versi Bahasa Indonesia)
Teknologi dan Makanan Spiritual
Saat itu fajar yang tenang di taman ketika seorang gadis melihat seekor tupai di atas pohon. Tupai menggelitik minatnya. Berdiri di atas kakinya, tupai itu memegang pembungkus burger dengan cakarnya yang kecil dan mulai mengendus-endus lembaran itu. Yang mengejutkan dan terlihat ngeri, dia mulai mengunyah bungkusnya; kuah di atas sprei pasti sangat lezat sehingga tupai tidak tahan untuk tidak menghabiskannya dalam waktu singkat - ditelan utuh. Itu tidak sadar bahwa itu menelan sesuatu yang berbahaya.
Pikiran sang gadis mengembara kepada satu keluarga muda yang dilihatnya di sebuah restoran kemarin. Kedua orang tua sibuk melihat smartphone mereka, dan sang anak itu, mungkin berusia enam tahun, sibuk mengetuk dan menggesekkan iPadnya dengan jari-jarinya yang halus. Apakah pasangan muda itu tahu apa yang sedang dimainkan anak laki-laki itu? Dia pasti berharap begitu, karena bocah itu hampir tidak bisa mengalihkan pandangannya dari layar.
Orang-orang dari segala usia dan dari semua lapisan masyarakat semakin terpikat pada smartphone mereka. Bagaimanapun, kita hidup di dunia yang akan digital, dan perkembangan teknologi digital tak terbendung, mempengaruhi dan mengubah cara kita hidup dan berinteraksi. Pelopor industri teknologi telah memantau dan membatasi akses di rumah mereka karena sifat kecanduan dan kemudahan penggunaan smartphone. Steve Jobs tidak membiarkan anak-anaknya menggunakan iPad, sementara Melinda Gates lebih suka menunggu bertahun-tahun lebih lama sebelum memasukkan smartphone ke saku anak-anaknya, keduanya menyadari bahwa anak-anak dan remaja belum memiliki kedewasaan emosional untuk menghadapinya.
Pada saat yang sama, perkembangan teknologi juga telah memberikan akses yang luas terhadap harta Kristiani, sesuatu yang tidak terbayangkan bahkan pada pergantian dekade terakhir – jika kita tahu cara memanennya. Misalnya, Alkitab dan literatur Kristen klasik dan kontemporer tidak lagi terbatas pada hardcopy; seri kuliah dan pembicaraan juga tersedia secara online. Versi elektronik dan audio ini memungkinkan kita untuk membaca dan mendengarkan kapan saja dan di mana saja. Apa yang akan sulit untuk mengamankan atau membakar lubang yang dalam di dompet kita sekarang tersedia di ujung jari kita – banyak yang gratis. Buku audio dan kuliah sangat bagus untuk mereka yang kesulitan waktu; seseorang dapat mendengarkan bacaan rohani di jalan pagi, selama perjalanan, atau saat melakukan tugas. Yang kita butuhkan hanyalah sebuah smartphone dan keinginan untuk memperdalam iman kita.
Berikut adalah beberapa contoh situs web dan aplikasi seluler untuk makanan rohani:
Sumber daya untuk pembinaan iman untuk segala usia dan minat – anak-anak, remaja, dan dewasa, dari kartun dan film yang ringan hingga program pembinaan iman yang intens: https://formed.org/
Literatur Kristen klasik, termasuk tulisan-tulisan dari orang-orang kudus: http://www.ccel.org/
Materi tentang liturgi dan doa: https://stpaulcenter.com/library/liturgy-and-prayer/#prayer-spirituality
Aplikasi Seluler Laudate, yang dapat diunduh secara gratis, berisi Alkitab, bacaan Misa harian, doa dan refleksi harian, Liturgi Setiap Jam, doa Rosario, Jalan Salib, dan bahkan dokumen Vatikan, dalam berbagai bahasa (termasuk bahasa Asia).
Ada kata-kata bijak bahwa siapa kita dalam lima tahun ditentukan oleh apa yang kita baca hari ini. Pernyataan itu mungkin merupakan penyederhanaan yang berlebihan, tetapi ada kebenaran di dalamnya: apa yang kita baca dan tonton membentuk siapa kita. Banyak dari kita memperhatikan pola makan kita; mungkin sudah waktunya untuk melakukannya bagi makanan jiwa kita juga. Dunia digital akan tetap ada, dan tergantung pada kita untuk membuat pilihan yang bertanggung jawab.
(RS)
Kembalinya Sang Romo Rajawali (bagian 2):
Sakramen Pengakuan Dosa dan Sakramen Ekaristi adalah dua hal utama yang perlu diperhatikan oleh seorang Imam untuk menuju kekudusan secara internal.
Kembalinya Sang Romo Rajawali (bagian 2):
Mencari Kekudusan diantara Surga dan Neraka
Dalam dua tulisan saya yang terdahulu, saya banyak menanggapi tulisan teman lama saya yang berjudul Romo Kodok. Ketika saya menulis tulisan yang pertama tentang Romo Kodok melawan Romo Rajawali, seorang teman lama saya dari SMA memberi tanggapan bahwa ada yang kurang dari tulisan saya yaitu sosok kekudusan seorang Romo. Karena terbatasnya ruang dan juga fokus saya lebih menanggapi argumentasi tentang Romo Kodok, saya belum sempat mengangkat topik kekudusan. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, saya ingin mengangkat makna kekudusan dari seorang Romo.
Jalan Tol Menuju Surga atau Neraka
Dalam beberapa kesempatan saya sering mendengar celetukan bahwa menjadi Romo adalah jalan tol menuju surga. Bahkan beberapa tahun yang lalu, saya mendengar ada seorang anak muda yang dengan lantang mengatakan bahwa dia memutuskan menjadi Romo karena itu adalah jalan yang paling mudah untuk masuk surga. Saya pribadi tidak pernah berpikir bahwa menjadi seorang Romo adalah jalan tol menuju surga. Justru sebaliknya bahwa menjadi seorang Romo akan membuat kita lebih mudah masuk neraka.
Sebagai seorang Romo tentu kita dituntut untuk mempunyai standard yang lebih tinggi dibanding umat biasa. Jikalau kita gagal memenuhi standard tersebut tentunya konsekuensi yang harus kita tanggung adalah lebih berat dari pada umat biasa yang gagal memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang Katolik. Pada intinya ada dua macam pola hidup dalam kehidup Gereja: pertama, pola hidup “sempurna” dan pola hidup yang kurang “sempurna.” Jikalau kita melihat cerita Injil, kita tahu bahwa kedua belas murid dipanggil oleh Yesus untuk menjadi rasul dengan mengikuti Dia dan meninggalkan segalanya. Akan tetapi ada banyak pengikut Yesus pada masa itu, yang tidak dipanggil oleh Yesus menjadi para Rasul, dan tugas mereka hanyalah menyediakan rumah buat Yesus dan murid- muridnya, atau menyediakan makanan dan minimum buat Yesus dan murid-muridnya. Jadi para Romo adalah orang yang dipanggil untuk masuk ke dalam pola hidup yang “sempurna” seperti para Rasul, sementara sebagian besar umat dipanggil untuk menjalani pola hidup yang kurang “sempurna” dalam kapasistas mereka, entah sebagai suami, ayah, anak, istri, ibu, kakek ataupun nenek. Meskipun pola hidup mereka kurang “sempurna” tentu saja mereka tetap mendapat tugas untuk menjalani 10 Perintah Allah dan hukum yang utama, yaitu Mencintai Tuhan Allah dan Sesama Manusia. Sementara untuk para Romo, standard mereka tentu lebih tinggi, bukan hanya dituntut untuk menjalani hukum utama dan 10 perintah Allah, tapi mereka juga harus menjunjung nilai – nilai kebajikan surgawi, jikalau gagal ya berarti alamat seorang Romo masuk neraka akan lebih besar daripada orang awam.
Seorang Romo juga akan lebih gampang masuk ke neraka kalau dia entah sengaja atau tidak menyesatkan umat, entah itu dengan ajaran sesat ataupun perbuatan – perbuatan yang menimbulkan skandal. Sebagai contoh, seorang Romo yang dengan alasan pastoral menyingkirkan ajaran Gereja tentang moralitas dan seksualitas. Seorang Romo seperti ini tentu harus menanggung perbuatan, tindakan dan ucapannya dengan konsekuensi yang lebih berat.
Lupakan dulu hal – hal besar yang berkaitan dengan doktrin, dalam hal kecil saja para Romo dituntut untuk mempunyai standard yang lebih tinggi. Belum lama berselang saya mengalami perlakuan yang kurang menyenangkan dalam perjalanan menggunakan pesawat. Ketika sampai di counter ticket untuk check-in, saya dikabari bahwa tiket pesawat overbooked dan karena saya check in agak telat, sekitar satu setengah jam sebelum pesawat berangkat, maka saya tidak kebagian tempat lagi. Saya langsung marah dan beraksi dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh maskapai penerbangan ini adalah penipuan terhadap konsumen karena mereka menjual tiket diluar kapasitas tempat duduk dan kemudian penumpang seperti saya di korbankan, hanya dengan alasan telat check in, meski saya tiba satu setengah jam sebelum pesawat berangkat. Akhirnya saya pun berkata karena tindakan maskapai ini adalah penipuan, dan mereka bisa digugat oleh konsumen. Sang pegawai maskapai penerbangan itu pun langsung bereaksi dengan mengatakan bahwa, “tidak sepantasnya kata – kata seperti itu keluar dari seorang Romo.” Karena saya memakai pakaian klerus tentu saja mereka tahu saya seorang Romo dan saya pun langsung di hakimi karena mengungkapkan kemarahan saya. Meski demikian, saya pun terhenyak atas kata – kata sang pegawai Maskapai penerbangan itu. Jujur saya mengakui bahwa apa yang dia ucapkan ada benarnya; kata – kata yang keluar dari mulut saya adalah kata – kata seorang lawyer dan bukan seorang Romo. Sebagai seorang Romo saya dituntut untuk selalu rendah hati, terlepas dari perlakuan yang saya terima dari siapapun itu, entah perlakukan semena- mena ataupun tidak manusiawi. Sebagai seorang Romo saya haruslah seperti Yesus yang rendah hati meskipun dituduh sebagai seorang kriminal dan dihina sampai mati di kayu salib.
Kekudusan dari dalam
Tidak mudah untuk mencari ukuran kekudusan bagi seorang Imam, tapi paling tidak ada dua hal dasar yang bisa menjadi patokan. Kedua hal mendasar ini merupakan faktor internal yang berasal dari kehidupan seorang Imam. Ketika saya masih belajar theologi, seorang Imam Jesuit yang menjadi professor saya pernah mengatakan bahwa untuk menjadi seorang Bapa Pengakuan yang baik, seorang Imam juga harus sering mengaku dosa. Pertama jelas bahwa kita para Romo juga adalah para pendosa, dan kedua, dengan sering mengaku dosa kita juga menjadi bisa merasakan rahmat Tuhan dari pengalaman mengaku dosa sehingga kita bisa membantu umat yang mengaku dosa ke kita. Ditambah lagi tentu adalah suatu hal yang munafik kalau seorang Imam sering mendengar pengakuan dosa tapi dia sendiri jarang mengaku dosa. Saya tidak berani mengatakan bahwa saya sudah sampai pada tahap kekudusan seperti yang disampaikan Professor saya, dan saya juga jujur mengakui bahwa saya belum sampat pada tahap mengaku dosa setiap minggu. Tapi saya berusaha mencoba untuk secara regular dan sering mengaku dosa karena saya menyadari saya juga adalah seorang pendosa.
Faktor kedua adalah perayaan Ekaristi oleh para Imam. Pater Theodore Hesburgh, CSC, mantan President University of Notre Dame, di Indiana dalam biografinya menceritakan bahwa dalam hidupnya dia setiap hari selalu merayakan misa baik secara umum bersama orang banyak maupun secara individual. Sampai akhir hayatnya Pater Hesburg tidak pernah absen merayakan misa setiap hari. Jadi beliau bukan duduk atau berpartisipasi secara pasif dalam misa, melaikan setiap hari merayakan misa atau paling tidak konselebrasi. Saya pikir Pater Herseburgh adalah seorang teladan dalam hal ini, terlepas dari segala kekurangan beliau, dia adalah contoh bagaimana seorang Imam menempatkan Ekaristi dalam kehidupan pribadinya. Apa yang dilakukan oleh Pater Hesrburgh adalah suatu hal yang coba saya contoh dan semoga saya bisa seperti beliau bisa merayakan Ekaristi kudus setiap hari sampai akhir hayat saya.
Tentu masih banyak hal lain bisa masuk dalam kategori kekudusan seorang Imam, tapi paling tidak kedua hal diatas, yaitu Sakramen Pengakuan Dosa dan Sakramen Ekaristi adalah dua hal utama yang perlu diperhatikan oleh seorang Imam untuk menuju kekudusan secara internal.
Kekudusan dari luar
Faktor eksternal yang mempengaruhi kekudusan seorang Romo adalah umat sendiri. Umat yang kudus juga akan menghasilkan Imam yang kudus. Seperti yang saya jelaskan sebelummya bahwa ukuran yang dipakai untuk mengukur seorang Romo adalah standard yang lebih tinggi. Setelah seorang Imam meninggal, dan dia harus menghadapi penghakiman terakhir, dia tidak hanya harus bertanggung jawab terhadap jiwa dia sendiri, tapi juga terhadap jiwa – jiwa orang yang dipercayakan kepada nya. Seorang Imam juga harus bertanggung jawab terhadap jiwa – jiwa umatnya. Berdasarkan pola pikir ini kita bisa melihat bahwa seorang Imam yang menyesatkan umatnya, adalah alamat masuk ke neraka. Mungkin ada segelintir Imam yang sengaja menyesatkan umatnya, tapi pengamatan saya ada juga sejumlah Imam yang berpikir bahwa dia ingin memuaskan keinginan umatnya, sehingga membiarkan saja umatnya berbuat seenak perutnya dan pada akhirnya sang Imam tidak sadar bahwa dial ah yang ketiban pulang bertanggung jawab terhadap keselamatan umat yang dia biarkan untuk berbuat apa saja.
Ambil sebagai contoh kewajiban ke Gereja pada Misa Hari Raya Khusus, semisal Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga. Tahun ini Misa Peringatan Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga jatuh pada hari Senin. Umat pun mencari berbagai alasan tidak bisa ke Gereja, dan celakanya Gereja juga menurunkan standard, entah dengan memindahkan itu ke hari Minggu ataupun bahkan memutuskan bahwa hari itu tidak wajib ke Gereja. Tentu pemikirannya adalah tidak ingin membuat umat menjadi repot, jadi Gereja pun mencoba meringankan beban umat. Meski para Uskup dan Imam mempunyai niat baik, tapi hasilnya belum tentu baik, karena umat pun merasa senang - senang saja dibebaskan oleh Gereja dari kewajiban.
Betul pada akhirnya yang mengambil keputusan adalah Para Uskup dan Imam, akan tetapi umat juga punya saham dalam masalah ini. Kalau saja umat Katolik berani bersikap lebih militant dan tidak mencari jalar pintas atau mau gampangnya saja, dan mereka berani berkorban untuk memenuhi kewajiban dalam kehidupan bergereja, tentu hal ini juga berpengaruh pada para Uskup dan Imam yang tidak berusaha meringakan beban umat dengan pikiran agar umat senang.
Ketika saya masih berstatus sebagai Transitional Deacon, saya bertugas di sebuah gereja di Amerika Bagian Timur. Waktu itu sekitar bulan November dan hujan sore – sore menguyur kota dimana saya tinggal. Ketika itu sudah masuk musim gugur dan sudah mulai dingin, meski tidak dingin – dingin amat dan tidak ada badai salju. Ketika itu saya bertugas di misa Sabtu sore jam 5.30. Umat yang datang tidak banyak, dan sejumlah umat menghampiri saya dan berkata, “Homili singkat saja hari ini, yang datang Cuma 5 orang, homili nya 5 menit cukup, kalau satu orang satu menit homili sudah cukup.” Tentu saja mereka setengah bercanda kepada saya, akan tetapi candaan ini juga menunjukkan sikap mereka yang ingin misa cepat selesai dan bisa langsung pergi.
Dari pengalaman singkat saya sebagai seorang Imam, saya sering mendengar komplain dari sejumah umat yang saya layani bahwa mereka, “mengapa kok Romo sering membuat umat susah dengan peraturan ini dan itu.” Tentu akan lebih gampang memberikan dispensasi atau membiarkan umat berjalan sendiri sesuai dengan keinginan mereka, tanpa terikat aturan yang menurut mereka merepotkan atau membuat hidup mereka menjadi susah. Akan tetapi pada akhirnya yang harus bertanggung jawab terhadap keputusan itu adalah saya sendiri sebagai seorang Romo, bukan hanya pertanggung jawaban di dunia, tapi juga pertanggujawaban di akhirat nanti.
Kembali dalam contoh kasus peringatan Hari Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga pada tahun ini, sebagai seorang Imam kita juga kerepotan. Di Amerika Serikat, Konferensi Uskup Amerika Serikat sudah memutuskan bahwa kalau Hari Peringatan tersebut jatuh pada hari Senin atau Sabtu, umat dibebaskan dari kewajiban pergi ke Gereja. Mau tidak mau kita para Imam harus mengumukan itu ke umat. Tapi disisi lain, tentu hal seperti ini menurukan standard kekudusan, baik kepada umat ataupun para Imam sendiri. Para umat mungkin bergembira karena mereka tidak wajib ke Gereja pada hari itu, akan tetapi kami para Imamlah yang nantinya harus mempertanggung jawabkan kegembiraan itu di kehidupan selanjutnya.
One Blesses Six
“Pernahkah kita menyadari bahwa hari Minggu juga berarti hari awal pekan, hari pembuka, hari yang menguatkan iman, pengharapan dan cinta kita kepada Tuhan, sembari memohon tuntunan Roh Kudus untuk pekan yang baru?”
Mungkin banyak di antara kita yang selama ini memandang & memanfaatkan hari Minggu sebagai hari akhir pekan, karena memang dalam bahasa Inggris hari Minggu termasuk satu dari dua hari weekend, sedangkan terjemahan weekend itu sendiri adalah akhir pekan.
Siapa yang tidak suka hari Minggu ? No one. Semua orang suka weekend, dan selalu menyambut weekend dengan senang hati karena pada umumnya weekend adalah waktu istirahat & refreshing setelah bekerja sepanjang pekan dari hari Senin sampai Jum’at (atau bahkan Sabtu). Selain untuk refreshing, hari Minggu kemudian diisi dengan ibadah di gereja, mengucap syukur akan segala berkat & penyertaan Tuhan di sepanjang pekan yang telah berlalu.
Tidak ada yang salah dengan semuanya itu.
Tetapi apakah sesimple itu?. Pernahkah kita menyadari bahwa hari Minggu juga berarti hari awal pekan, hari pembuka, hari yang menguatkan iman, pengharapan dan cinta kita kepada Tuhan, sembari memohon tuntunan Roh Kudus untuk pekan yang baru ?.
Ibarat sebuah mobil perlu diisi bahan bakar, atau electric car perlu di-charged dulu sebelum drivernya melakukan perjalanan jauh, rohani kita juga perlu diisi dengan firman-firman Tuhan yang dibacakan dalam misa, oleh ibadat sabda dan yang terpenting yakni Ekaristi. Jadi hari Minggu adalah hari di mana kita memohon berkat Tuhan (dalam misa) untuk hari-hari di sepanjang pekan yang baru. Dan berkat hari Minggu menyertai hari Senin sampai Sabtu.; One blesses Six.
Dengan demikian setiap hari di sepanjang pekan yang baru, telah dinaungi oleh berkat yang kita terima di misa Ekaristi hari Minggu yang mendahului pekan itu. Berkat itu sungguh memampukan kita menjalani hari-2 Senin sampai Sabtu. Itu menenangkan, sehingga dalam hari-2 weekdays berikutnya tidak perlu lagi kita merasa was-was atau khawatir berlebihan, sebab semua kekhawatiran telah kita sampaikan kepada Tuhan; dan semua harapan telah kita serahkan ke hadirat Tuhan pula.
Memulai satu pekan dengan berkat di hari Minggu, selaras dengan rutinitas para rohaniwan seperti para romo dan suster.
Para biarawan dan biarawati memulai hari mereka dengan sesi doa di pagi hari, mungkin satu jam atau bahkan lebih. Mereka tahu untuk memberikan waktu terbaik untuk Tuhan, yakni di awal hari, sebelum melakukan semua rutinitas lainnya.
Tentu saja di misa hari Minggu kita juga kemudian mengucap syukur untuk hari-2 di minggu yang baru berlalu.
Mari kita memohon & menjadikan berkat dalam misa Ekaristi hari Minggu sebagai kekuatan rohani untuk menjalani weekdays kita. Semoga kita selalu haus & terpanggil untuk menerima berkat itu - bagaikan rusa mendamba air - sehingga jiwa kita bisa berkata ‘AMIN’, bahwa hadir di misa mingguan & menerima Ekaristi kudus adalah suatu berkat yang selalu urgent dan mandatory, bukan sesuatu yang optional & bisa ditawar-tawar.
Semoga.