Divine Mercy
Dan marilah kita meletakkan hati kita yang penuh penyesalan di telapak tangan kasih-Nya dan membiarkan Kerahiman Ilahi menyembuhkan luka dosa dan kesalahan kita.
The verse “For God so loved the world that he gave his only Son, so that everyone who believes in him may not perish but may have eternal life” (Jn 3:16) is often used to describe the depth of God’s love for us. This verse is quite unfathomable, as our human mind simply can’t comprehend this profound expression of love.
In the recent Lenten Triduum recollection, a speaker used an analogy of a fruit fly: it is like a mighty human who loves fruit flies so dearly that the human became one to save them. That comparison is intriguing. Could we imagine leaving our comfortable life as a human being willingly and stooping down to be born as the humblest of the fruit flies to save the sinful and the ungrateful flies, accepting the gravity of the suffering and sacrifice that await us?
Perhaps we can’t, but God did. “God proves His love for us in that while we were sinners, Christ died for us” (Rom 5:8). He who loves us first; He who loves us when we are still sinners. God’s love and mercy for us is inseparable from human existence – the mercy shown to Adam and Eve for their disobedience and rebellion, to Cain for his act of violence, to humanity’s present days’ malice and cruelty. The Living Word continues to offer His mercy to us, the prodigal son, the lost sheep, the adulteress woman, the thief on the Cross. His final utterance on the Cross, ”Father, forgive them, for they do not know what they do,” says it all.
Indeed, God says what He means, and He means what He says. Alas, despite the unending exhortations and living proofs, humanity continues to doubt and forget. In the last century, when the world plunged into darkness, besieged by two world wars and their aftermaths, Jesus sent another messenger, Sr. Faustina Kowalska (d. 1938) – a Polish nun and mystic, to remind the world yet again of His faithfulness:
He who trusts in My mercy will not perish, for all his affairs are Mine [723].
Let the weak, sinful soul have no fear to approach Me, for even if it had more sins than there are grains of sand in the world, all would be drowned in the unmeasurable depths of My mercy [1059].
Tell souls that from this fount of mercy souls draw graces solely with the vessel of trust. If their trust is great, there is no limit to My generosity [1062].
I have opened My Heart as a living fountain of mercy. Let all souls draw life from it. Let them approach this sea of mercy with great trust... Whoever places his trust in My mercy will be filled with My divine peace at the hour of death [1520].
Sr. Faustina’s diary reminds us that Jesus refuses no one if they turn with trust to His Mercy and seek forgiveness for their sins. No sin is too grave for Jesus to forgive. All we have to do is open our hearts to receive the gift. A gift we can never repay and can only accept, one that must be experienced and not simply understood. For it is in experiencing this unconditional forgiveness that we can extend forgiveness to the others.
It takes two to hold hands. Our God is a generous God who never tires of giving. Jesus continues to extend His hand to us. Are we responding to His invitation? When we pray Our Father, when we do the examen of consciousness, when we seek His mercy at Mass and in the sacrament of Reconciliation, do we mean what we say and say what we mean?
We are in the joyous Easter season, a season where we celebrate the victory of Light over darkness. Jesus Christ’s blood has redeemed us, transforming us from the beloved dust into the precious child of God. In the excitement of the Easter celebration, let us call out to the Lord with conviction, “Jesus, I trust in You.” And let us place our contrite heart in His loving palm and allow the Divine Mercy to heal the wounds of our sins and guilts.
(RS)
Ayat “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan memperoleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16) sering digunakan untuk menggambarkan kedalaman kasih Allah kepada kita. Ayat ini sangat sulit untuk diselami, karena pikiran manusia kita tidak dapat memahami ungkapan cinta yang sangat mendalam ini.
Dalam ingatan Triduum Prapaskah baru-baru ini, seorang pembicara menggunakan analogi lalat buah: seperti manusia perkasa yang sangat mencintai lalat buah sehingga manusia menjadi satu untuk menyelamatkan mereka. Perbandingan ini amat menarik. Bisakah kita membayangkan meninggalkan kehidupan kita yang nyaman sebagai manusia dengan rela dan membungkuk untuk dilahirkan sebagai lalat buah yang paling rendah hati untuk menyelamatkan lalat yang berdosa dan tidak tahu berterima kasih, menerima beratnya penderitaan dan pengorbanan yang menunggu kita?
Mungkin kita tidak bisa, tapi Tuhan bisa. “Allah membuktikan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Rm 5:8). Dia yang mencintai kita lebih dulu; Dia yang mengasihi kita ketika kita masih berdosa. Kasih dan belas kasihan Tuhan bagi kita tidak dapat dipisahkan dari keberadaan manusia – belas kasihan yang ditunjukkan kepada Adam dan Hawa atas ketidaktaatan dan pemberontakan mereka, kepada Kain atas tindakan kekerasannya, terhadap kedengkian dan kekejaman umat manusia saat ini. Sabda yang Hidup terus menawarkan belas kasihan-Nya kepada kita, anak yang hilang, domba yang hilang, wanita pezina, pencuri di kayu Salib. Ucapan terakhir-Nya di kayu Salib, "Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan," menyatakan itu semua.
Sungguh, Tuhan menyatakan apa yang Dia maksudkan, dan Dia bersungguh-sungguh dengan apa yang Dia firmankan. Sayangnya, terlepas dari nasihat dan bukti hidup yang tak ada habisnya, umat manusia terus ragu dan lupa. Pada abad terakhir, ketika dunia jatuh ke dalam kegelapan, dikepung oleh dua perang dunia dan akibatnya, Yesus mengirim utusan lain, Sr. Faustina Kowalska (wafat 1938) – seorang biarawati dan mistik Polandia, untuk mengingatkan dunia sekali lagi akan Dia. kesetiaan:
Dia yang mengandalkan belas kasihan-Ku tidak akan binasa, karena semua urusannya adalah milik-Ku [723].
Biarlah jiwa yang lemah dan berdosa tidak takut untuk mendekati-Ku, karena meskipun memiliki lebih banyak dosa daripada butiran pasir di dunia, semuanya akan tenggelam dalam kedalaman rahmat-Ku yang tak terukur [1059].
Beritahu jiwa-jiwa bahwa dari sumber rahmat ini jiwa-jiwa menarik rahmat hanya dengan bejana kepercayaan. Jika kepercayaan mereka besar, tidak ada batasan untuk kemurahan hati-Ku [1062].
Aku telah membuka HatiKu sebagai mata air belas kasih yang hidup. Biarkan semua jiwa menarik kehidupan darinya. Biarlah mereka mendekati lautan rahmat ini dengan kepercayaan yang besar... Barangsiapa menaruh kepercayaannya pada belas kasihan-Ku akan dipenuhi dengan kedamaian ilahi-Ku pada saat kematian [1520].
Buku harian Sr. Faustina mengingatkan kita bahwa Yesus tidak menolak siapa pun jika mereka berpaling dengan percaya kepada Kerahiman-Nya dan mencari pengampunan atas dosa-dosa mereka. Tidak ada dosa yang terlalu berat untuk diampuni oleh Yesus. Yang harus kita lakukan adalah membuka hati kita untuk menerima hadiah itu. Sebuah hadiah yang tidak akan pernah bisa kita balas dan hanya bisa kita terima, hadiah yang harus dialami dan tidak hanya dipahami. Karena dengan mengalami pengampunan tanpa syarat inilah kita dapat memberikan pengampunan kepada orang lain.
Dibutuhkan dua orang untuk berpegangan tangan. Tuhan kita adalah Tuhan yang murah hati yang tidak pernah lelah memberi. Yesus terus mengulurkan tangan-Nya kepada kita. Apakah kita menanggapi undangan-Nya? Ketika kita berdoa Bapa Kami, ketika kita melakukan pemeriksaan kesadaran, ketika kita mencari belas kasihan-Nya dalam Misa dan dalam Sakramen Tobat, apakah yang kita maksudkan dengan apa yang kita katakan dan katakan apa yang kita maksudkan?
Kita berada di musim Paskah yang menggembirakan, musim di mana kita merayakan kemenangan Terang atas kegelapan. Darah Yesus Kristus telah menebus kita, mengubah kita dari debu terkasih menjadi anak Allah yang berharga. Dalam kegembiraan perayaan Paskah, marilah kita berseru kepada Tuhan dengan keyakinan, “Yesus, aku percaya kepada-Mu.” Dan marilah kita meletakkan hati kita yang penuh penyesalan di telapak tangan kasih-Nya dan membiarkan Kerahiman Ilahi menyembuhkan luka dosa dan kesalahan kita.
(RS)
Happy Easter 2022
He is Risen..!
We were buried therefore with him by baptism into death, so that as Christ was raised from the dead by the glory of the Father, we too might walk in newness of life
Cobaan selama Prapaskah 2022
Janganlah pernah meragukan rencana-Nya! Selalu percaya lah kepada-Nya karena Dia selalu menyediakan segalanya dan tidak pernah membiarkan siapa pun melewati cobaan sendirian karena Dia selalu bersama kita semua! Amen !
Dalam masa masa Pra-Paskah tahun ini, tepatnya pada tanggal 17 Maret 2022 yang baru lalu, saya menerima sebuah tuntutan pengadilan atas sebuah insiden yang terjadi di bulan Oktober 2018. Dalam tuntutan itu, yang dituduhkan kepada saya adalah melakukan perampokan, membobol masuk, dan melanggar kontrak leasing. Tetapi saya berkeyakinan bahwa dari semua tuduhan itu, satu-satunya kesalahan yang telah saya lakukan adalah pelanggaran kontrak. Itupun dikarenakan sang pemilik rumah telah melanggar perjanjian sewa terlebih dahulu dengan membatasi akses saya ke tempat itu dengan tidak memberikan semua kunci kepada saya. Hal itu menyebabkan saya tidak dapat mengakses barang-barang pribadi dan area umum saya. Itu terjadi tiga kali dalam dua bulan saya tinggal di kediaman itu. Selain itu, saya berulang kali dituduh mencuri dan dimarahi oleh pemiliknya. Semua itu membuat saya mengalami kekhawatiran dan stress yang terus-menerus, sehingga saya akhirnya mencari seorang penasihat hukum. Atas nasihat pengacara hukum, saya memutuskan untuk pindah dari kediaman itu demi kesejahteraan dan kesehatan mental saya. Sejak itu saya tidak pernah kembali ke kediaman sejak itu.
Setelah menerima gugatan itu, saya terus berdoa meminta bimbingan Tuhan serta lewat sang pengacara. Pengacara saya meyakinkan saya bahwa tuduhan perampokan dan melanggar dan memasukkan klaim telah melewati masa pembatasan tiga tahun. Satu-satunya klaim yang layak adalah pelanggaran kontrak; namun karena karena faktor perilaku mengerikan sang pemilik property, ada argumen yang harus dibuat.
Saya akan diadili di tengah Pekan Suci pada 12 April, yakni 2 hari sebelum Kamis Agung. Saya menganggapnya sebagai tanda berkat karena hampir sejajar dengan awal penderitaan Tuhan Yesus; saya merasa seperti memikul salib bersama-Nya. Sebelum hari pengadilan, saya diberi doa pembebasan oleh salah satu tante saya yang menyatakan, "Darah Yesus Kristus yang Mahakudus, selamatkan saya (kita) dan seluruh dunia." Saya disarankan oleh tante saya untuk membaca ini terus menerus serta berdoa Salam Maria. Saya mengikuti nasihatnya dalam hati dan berdoa Rosario selain melakukan doa hening 20 menit setiap hari. Saya juga berdoa doa perlindungan Malaikat Agung St. Michael, berdoa doa tindakan pentahbisan kepada roh kudus, berdoa Novena penyerahan diri pada kehendak Tuhan oleh Pastor Don Dolindo Ruotolo, dan berdoa doa untuk tujuh karunia roh kudus. Saya juga berdoa kepada malaikat penjaga saya, kepada keluarga suci, dan kepada santa-santa baptis/konfirmasi saya, St. Stephanie dan St. Agnes.
Pada hari pengadilan, saya terus membaca Salam Maria dan doa pembebasan dalam perjalanan ke gedung pengadilan dan di dalam gedung pengadilan. Sungguh, saya dapat mengatakan bahwa saya benar-benar merasakan kehadiran Tuhan Yesus, Bunda Maria, dan semua Malaikat Agung di ruang sidang karena saya sangat tenang dan damai. Saya dimampukan menjawab semua pertanyaan hakim dengan tenang dan hormat. Sementara, orang yang menggugat saya tampak marah, tidak teratur, dan sangat emosional. Selain itu, dia tidak dapat memberikan bukti kuat kepada hakim ketika ditanya.
Hakim menyatakan bahwa kasus tersebut sedang diajukan; penghakiman dan semua bukti akan dikirimkan melalui surat dalam satu atau dua minggu. Meskipun penghakiman belum disampaikan, saya merasa damai dan berserah penuh kepada Tuhan karena Dia adalah hakim tertinggi, satu-satunya yang mengetahui kebenaran. Saya percaya ini dengan sepenuh hati! Amen Amen Amen!!!
Sebagai penutup, saya menyadari betapa diberkatinya saya memiliki keluarga, teman, dan teman-teman kerja yang terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu yang mendukung saya selama masa sulit ini. Tuhan benar-benar telah memberkati saya dengan menempatkan mereka semua dalam hidup saya. Janganlah pernah meragukan rencana-Nya! Selalu percaya lah kepada-Nya karena Dia selalu menyediakan segalanya dan tidak pernah membiarkan siapa pun melewati cobaan sendirian karena Dia selalu bersama kita semua! Amen!
Who is Your King ?
Siapakah rajamu, yang kepadaNya engkau rela menyerahkan nyawamu ?
If I was never born,.. what difference(s) it would be to the World ?.
Ketika kita bertanya kepada diri sendiri: Apa tujuan hidupku terlahir di dunia ini?
Kemungkinan besar kita akan sulit menjawabnya.
Namun ketika pertanyaannya dibalik menjadi: “Kalau saya tidak pernah terlahir di duni ini, apa ada bedanya bagi dunia ?.” Otomatis kita berpikir lebih keras lagi untuk mencari jawaban-jawabannya. Karena kegagalan untuk menjawabnya berarti adalah kegagalan untuk memberikan justifikasi atas keberadaan kita. Dan tidak seorangpun ingin bila kebearadannya di dunia tidak berarti apa-2.
Saat menuliskan ini, invasi Rusia ke Ukraina telah memasuki hari ke sepuluh, dan ratusan korban jiwa telah berjatuhan dari kedua belah pihak. Sebagian besar korban dari pihak Rusia adalah para tentara, karena memang pihak tentara Rusia diperintahkan pemimpin negaranya untuk memasuki wilayah negara Ukraina. Jatuhnya korban para tentara ini (meskipun dalam sebuah perang itu adalah sebuah keniscayaan dan sebuah konsekuensi wajar), tetap saja membuat saya berpikir: 'Ah, sungguh kasihan, sungguh sangat disayangkan, nyawa hilang dalam perang melawan sesama manusia'.
Mengapa disayangkan? Bukankah mereka adalah tentara? Bukankah memang tugas tentara adalah tunduk kepada perintah pemimpin negara, berperang membela dan mempertahankan negara ?.
Iya betul, memang para tentara harus taat kepada pemimpinnya (raja, presiden, panglima tentara) dan tidak boleh menolak perintah, disuruh apapun harus turut perintah, disuruh perang ya perang, disuruh latihan ya latihan. Tetapi bagaimana dengan nyawa-nyawa mereka itu, Apakah kerelaan MEREKA menyerahkan nyawanya untuk berperang, sungguh-sungguh adalah tujuan yang paling penting, mengalahkan pentingnya semua tujuan hidup lain di dunia ini?.
Saya tidak bisa menerka jawabannya. Saya terdiam, lama.
Apakah kalau mati dalam perang akan masuk Sorga ?.
Kalau tidak masuk Sorga, lantas mengapa bersedia menjadi tentara dan membunuh sesama ?.
Pertanyaan-pertanyaan ini terasa begitu mendasar dan penting untuk dijawab. Sebab jika semua tentara telah menyerahkan nyawanya atas nama ketaatan kepada pemimpin (dunia), yang tidak menjamin keselamatan kekal, bagaimana mereka menempatkan ketaatan mereka kepada Tuhan, yang sungguh menjanjikan keselamatan kekal ?.
Ataukah semua tentara tidak percaya akan adanya keselamatan kekal ?. Ataukah sebaliknya mereka percaya bahwa berperang (dan membunuh pihak musuh) akan menghantarkan jiwa mereka kepada keselamatan kekal?.
Jika sungguh sebuah ketaatan adalah kunci mencapai keselamatan kekal, bagaimana kalau Tuhan, sebagai raja kita, memerintahkan kita untuk berperang melawan dosa?. Tidakkah perintah itu adalah jauh lebih penting daripada semua peperangan fisik di dunia?.
Jika ya, akahkah kita rela menyerahkan nyawa demi perintah Tuhan itu? Apakah kita rela mati seperti para tentara yang rela mati mematuhi perintah pemimpin negaranya ?.
Masa Prapaskah adalah masa yang baik untuk memperbaiki diri dan berperang melawan dosa. Dan semoga kita mau melihat kembali apa arti dan tujuan keberadaan kita di dunia ini. Siapakah raja sejati bagi kita, dan apakah kita sudah taat dan rela mati untuk Sang Raja, seperti ketaatan para tentara yang telah rela mati di medan perang.
Sebab Yesus telah menunjukkan kerelaanNya sampai mati di kayu salib, demi ketaatanNya kepada perintah Bapa. Dan dengan menyerahkan nyawaNya, sungguh Dia telah memperoleh kembali hidupNya.
Newark, CA March 5, 2022
Perjalanan Prapaskah
“Biarkan Dia menarik sanubari kita dan menarik kita lebih dekat kepada-Nya. Dia yang sangat mengasihi kita, menunggu kita di Kayu Salib dan di dalam Kebangkitan. Karena kita dipanggil untuk berbalik kepada-Nya. Dan kita dipanggil untuk kembali ke pelukan-Nya”.
Perjalanan Prapaskah
“Ingatlah bahwa kamu adalah debu, dan kamu akan kembali menjadi debu.”
Gadis itu hampir tidak memikirkan kematian, kecuali pada kesempatan langka ketika dia menghadiri misa Rabu Abu. Dia selalu tertarik dengan pikiran tentang kematian. Bukan pikiran yang gelap dan tidak sehat; hanya sebuah rasa ingin tahu yang sederhana.
Gadis itu mengingat pengalaman pertamanya berada dekat dengan tubuh jenazah, yakni jenazah guru sekolah dasar. Guru yang disayangi murid-muridnya, yang selalu ceria meski sakit. Gadis itu adalah salah satu dari sedikit siswa yang memiliki keberanian untuk mendekati peti mati, dan dia bertanya-tanya di mana gurunya sekarang. Suatu hari dia sedang berjalan pulang ketika dia melihat seekor tupai kecil tergeletak tak bergerak di tengah jalan. Dia dengan cepat berlari dan mengambil tupai itu sedangkan sebuah mobil sedang lewat dengan cepat. Tubuhnya masih hangat tapi jelas tak bernyawa. Dia dengan hati-hati meletakkan tupai di bawah pohon besar di pinggir jalan. Selama beberapa hari berikutnya, dia berjalan di dekat pohon dan mengamatinya membusuk dan hancur perlahan, menjadi satu dengan bumi. Mungkin ke tempat gurunya berada. Abu menjadi abu, debu menjadi debu.
Bertahun-tahun telah berlalu. Di luar sana di negeri asing di senja yang tenang, gadis itu berbaring di padang rumput, terbungkus selimut hangat. Udara terasa dingin; bau rerumputan segar menggelitik lubang hidungnya; jangkrik berkicau lembut di kejauhan. Tubuhnya terasa ringan saat dia bernapas dengan lembut. Perasaannya tumpul. Dia merasakan gravitasi menarik tubuhnya seolah-olah tubuhnya tenggelam perlahan. Mungkin begitulah rasanya ketika dia akhirnya bertemu langsung dengan Penciptanya. Pulang ke orang yang mencintainya apa adanya. Matanya menjadi berat, dan dia perlahan-lahan tertidur—tidur nyenyak dan damai.
Dari lahir ke dalam hidup, hidup ke dalam kematian, kematian ke dalam pelukan-Nya. Hidup memang cepat berlalu. Ini hanyalah sebuah perjalanan yang penuh dengan duniawi dan kejutan, pasang surut, dan liku-liku yang tak terduga. Seseorang dapat dengan mudah melupakan tujuan akhir dan tenggelam dalam hal-hal yang sementara. Sampai kita mengalihkan pandangan kita ke Salib. Salib yang membawa kita pulang. Salib penderitaan, kasih karunia-Nya yang menyelamatkan, dan harapan. Harapan yang datang dengan Kebangkitan.
Rabu Abu, Prapaskah, Gairah, Kematian, dan Kebangkitan.
Selama empat puluh hari, kita diundang untuk mengingat siapa diri kita, merenungkan dalam hati mengapa kita ada di sini dan untuk apa kita dipanggil. Kita diingatkan untuk mati bagi diri kita sendiri dan bagi dunia. Meninggalkan, setidaknya untuk sementara, kenyamanan keegoisan kita. Karena kita dipanggil untuk -
Menjadi Haus, mengundang Tuhan kita ke dalam hidup kita untuk memuaskan kegelisahan kita;
Menjadi petualang, berjalan dalam iman, jatuh dan bangkit bersama-Nya, mengetahui bahwa Dia sedang melakukan perjalanan bersama kita;
Menjadi Percaya, biarkan Dia menyentuh kedalaman jiwa kita;
Menjadi Kekasih, mengingat betapa kita dicintai dengan sepenuh hati dan tanpa syarat;
Menjadi Milik, karena kita adalah milik-Nya, dan Dia adalah milik kita.
Biarkan Dia menarik sanubari kita dan menarik kita lebih dekat kepada-Nya. Dia yang sangat mengasihi kita, menunggu kita di Kayu Salib dan di dalam Kebangkitan. Karena kita dipanggil untuk berbalik kepada-Nya. Dan kita dipanggil untuk kembali ke pelukan-Nya.
(Rosina Simon)
Mempuasakan Dan Memberi Makan
"Serigala mana yang akan menang?" Cherokee tua itu menjawab, "Yang kamu beri makan."
Prapaskah ada pada kita. Sebagian dari kita mungkin sudah merenungkan amalan puasa, doa, dan sedekah mana yang ingin kita jalankan tahun ini. Banyak yang akan mengulangi pantangan yang sudah dikenal. Yang lain ingin menjelajah ke sesuatu yang baru, dan yang beberapa lagi tidak yakin harus mulai dari mana. Cerita rakyat asli Amerika ini mungkin menawarkan kita beberapa ide untuk direnungkan:
Cherokee tua sedang mengajar cucunya tentang kehidupan. "Perkelahian sedang terjadi di dalam diriku," katanya kepada anak laki-laki itu. “Ini adalah pertarungan yang mengerikan, dan itu adalah antara dua serigala. Yang satu jahat – dia adalah kemarahan, iri hati, kesedihan, penyesalan, keserakahan, kesombongan, mengasihani diri sendiri, rasa bersalah, dendam, rendah diri, kebohongan, kebanggaan palsu, superioritas, dan ego.” Dia melanjutkan, “Yang lain baik – dia adalah sukacita, kedamaian, cinta, harapan, ketenangan, kerendahan hati, kebaikan, kebajikan, empati, kemurahan hati, kebenaran, kasih sayang, dan iman. Pertarungan yang sama terjadi di dalam diri Anda – dan di dalam diri setiap orang juga.” Sang cucu memikirkannya sebentar dan kemudian bertanya kepada kakeknya, "Serigala mana yang akan menang?" Cherokee tua itu menjawab, "Yang kamu beri makan."
Ada kekayaan dan kebijaksanaan yang mendalam dalam cerita ini. Kita mengenali diri kita sebagai kakek dan cucu: kisah dua serigala adalah kisah kita, terlepas dari siapa kita, di mana kita tinggal, dan berapa usia kita. Terlahir sebagai anak Tuhan yang diberkati, kita masing-masing secara bertahap kehilangan kepolosan kita ke dunia, yang memikat dan meninabobokan kita dengan pesona, godaan, dan gangguannya, serta melalui ketidaktahuan, ketidaktaatan, dan luka yang ditimbulkan oleh diri kita sendiri dan orang lain.
Memang, pertarungan antara orang suci dan orang berdosa di dalam adalah pergumulan tanpa akhir; itu adalah interaksi “Jekyll dan Hyde” dalam diri kita. Tidak ada orang yang benar-benar suci atau benar-benar orang berdosa, dan tidak ada yang luput dari perjuangan ini. Semua orang kudus bergumul dengan kelemahan mereka masing-masing – duri dalam daging yang dimaksud oleh St. Paulus – yang membuat mereka tetap rendah hati. Demikian pula, seorang pembunuh yang mengerikan mungkin memiliki kelemahan, betapapun remehnya itu.
Kita cantik dan hancur, diberkati dan terluka, satu dengan banyak kebajikan dan banyak keburukan. Kisah ini mengingatkan kita bahwa bagian yang kita makan – baik atau jahat – menentukan siapa diri kita dan akan menjadi apa kita nantinya. Itu logis, sesuatu yang secara intuitif kita ketahui tetapi sering kita lupakan. Banyak dari kita yang sadar akan makanan yang kita pilih. Kita berolahraga secara teratur untuk menjaga tubuh kita tetap bugar dan untuk memastikan bahwa arteri dan vena jantung fisik kita tetap sehat dan tidak tersumbat. Namun kita sering mengabaikan perhatian yang sama untuk merawat hati rohani kita.
St. Paulus telah memberi kita ide-ide berharga untuk puasa dan makanan rohani kita: “Tetapi sekarang kamu harus menyingkirkan semua hal seperti itu – kemarahan, murka, kedengkian, fitnah, dan kata-kata kasar dari mulutmu. Jangan membohongi satu sama lain… kenakan kasih sayang, kebaikan, kerendahan hati, kelembutan, dan kesabaran. Bersabarlah satu sama lain, saling memaafkan… Di atas segalanya, kenakan dirimu dengan cinta. Biarlah damai sejahtera Kristus memerintah di dalam hatimu. Dan bersyukurlah… Dan apapun yang kamu lakukan, dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah segala sesuatu dalam nama Tuhan Yesus sambil mengucap syukur kepada Allah Bapa melalui Dia” (lih. Kol 3:8-17). Ayat-ayat ini berfungsi sebagai pengingat latihan spiritual yang kita dipanggil untuk lakukan.
Kebajikan tidak pernah diperoleh dalam semalam, dan kejahatan tidak pernah hilang untuk selamanya. Tukang kebun yang berpengalaman mengatakan bahwa dibutuhkan banyak musim untuk benih tumbuh dan menghasilkan buah. Benih membutuhkan tanah yang baik, perawatan yang penuh perhatian, matahari, dan air untuk menghasilkan buah yang baik. Sama pentingnya, gulma dan hama harus sering disingkirkan.
Bagi umat Kristiani, Prapaskah adalah masa di mana kita berlatih untuk waspada terhadap perbuatan dan pikiran kita, memperkuat kebajikan dan melemahkan keburukan. Serigala yang kita beri makan akan menang. Kelaparan si jahat melucuti kekuasaannya atas kita dan memungkinkan yang baik untuk berkembang - mengosongkan diri untuk memberi ruang bagi Yang Ilahi. Apa satu hal penting yang Tuhan undang untuk kita puasa dan makan di masa Prapaskah ini?
Di Gurun
Orang Kristen dipanggil untuk merayakan Prapaskah dengan doa, puasa, dan sedekah. Bukan suatu kebetulan bahwa pembacaan Injil untuk hari Minggu pertama Prapaskah dimulai dengan padang gurun; lagi pula, Prapaskah empat puluh hari adalah perayaan empat puluh hari Yesus di padang gurun.
Kitab Suci dipenuhi dengan kisah-kisah transformasional di padang gurun. Perjanjian Lama menceritakan kisah-kisah tentang umat pilihan Tuhan yang dibawa ke padang gurun, di mana mereka menjalani pemurnian dan belajar untuk percaya pada pemeliharaan Ilahi. Gurun adalah tempat peralihan, di mana umat Allah meninggalkan diri mereka yang lama dan berubah sebelum memasuki tanah perjanjian.
Padang gurun juga menandai permulaan Injil: Yesus, yang dibaptis di sungai Yordan dan dikukuhkan sebagai Putra Terkasih, segera didorong oleh Roh keluar ke padang gurun. Urgensinya jelas; pengaturan, tidak salah lagi. Yesus menanggapi undangan itu dengan menyendiri di padang gurun, melepaskan diri dari dunia untuk menyendiri dengan Bapa-Nya. Puasa daging dan makan jiwa selama empat puluh hari mempersiapkan dan mengubahnya, dan godaan Setan tidak menguasainya. Dia tidak membawa apa-apa selain kepercayaan dan ketersediaannya yang lengkap, tidak disibukkan dengan apa pun kecuali Bapa.
Kita juga diundang oleh Roh untuk memasuki padang gurun kehidupan kita sehari-hari; kita dipanggil untuk memperhatikan banyak gangguan yang memenuhi hidup kita. Yesus mengajarkan kepada kita apa itu. Dia mengungkapkan godaannya di padang gurun untuk kita pelajari dari: Kepemilikan, Kekuasaan, dan Kebanggaan.
"Tiga P" - harta benda, kekuatan yang kita pegang atas orang lain, dan kebanggaan dalam bentuk dan bentuknya yang halus - telah berfungsi sebagai perlindungan dan keamanan kita dan sering terjalin secara mendalam ke dalam identitas dan keberadaan kita. Kami menghadapi perangkap ini setiap hari. Mereka telah menjadi bagian integral dan penting dari hidup kita, sedemikian rupa sehingga kita bahkan mungkin tidak menyadari keterikatan kita dengan mereka. Bahkan jika kita menyadari keterikatan, kita merasa sulit untuk melepaskannya.
Melepaskan "tiga P" (material Possessions, the Power we hold over others, and Pride) tidak pernah mudah. Ini membutuhkan perubahan mendasar – sebuah metanoia – perubahan hati sepenuhnya terhadap Tuhan. Memang, transformasi dari keterpusatan pada saya menjadi keterpusatan pada Tuhan tidak datang secara alami. Dibutuhkan waktu dan disiplin, yang mengharuskan kita perlahan-lahan menyingkirkan apa yang menahan kita untuk bergerak menuju Tuhan. Melalui latihan rohani Prapaskah, Gereja mengingatkan kita akan pentingnya asketisme (pertapaan) untuk mencapai transformasi ini. Pertapaan bagi jiwa sama halnya dengan olahraga bagi tubuh, dan puasa adalah pemangkasan, pelonggaran ikatan yang tidak perlu.
Apa undangan agar kita pangkas? Ketika kita mulai mengamati, memeriksa, dan membuat daftar apa yang mengisi waktu luang kita dan hal-hal yang melekat pada kita, kita akan segera menemukan banyak pilihan untuk dipertimbangkan. Beberapa mungkin lebih sederhana dan lebih nyata, seperti tidak minum kopi, daging, berbelanja, membatasi paparan kita pada perangkat elektronik dan media sosial, atau hasrat tidak sehat lainnya. Beberapa mungkin lebih sulit, seperti dengan tulus menyapa dan menghabiskan waktu bersama seseorang yang lebih kita hindari, melepaskan kemarahan kita terhadap individu tertentu yang telah mengecewakan kita, atau berdoa dan memberkati seseorang yang telah menyakiti kita.
Mungkin kita bisa memulainya dengan mengamalkan asketisme baru Prapaskah ini: sesuatu yang wajar, yakni tidak terlalu mudah sehingga tidak ada otot-otot rohani yang terbentuk, namun tidak terlalu sulit agar tidak patah semangat. Idola mini mana pun yang kita pilih untuk dilepaskan akan membebaskan pikiran dan waktu kita untuk berdoa dan berkontemplasi. Bahkan jika kita goyah dan jatuh, kita dapat yakin bahwa tidak ada yang lebih menyenangkan Tuhan selain keinginan tulus kita untuk meniru dan berjalan bersama-Nya di padang gurun kita sendiri.
Gurun tandus, yang menawarkan kesunyian, kesunyian, dan kehampaan kepada para pengunjungnya, adalah tempat yang sunyi di mana seseorang bertemu dengan Kristus secara mendalam: “Karena itu, sekarang Aku akan membujuknya dan membawanya ke padang gurun, dan berbicara dengan lembut kepadanya” (Hos 2:14 ). Kerinduan yang begitu mendalam bagi kita, Dia yang menunggu kita dengan penuh semangat dan sabar. Biarkan Dia membebaskan kita dari belenggu dunia dan mengisi ruang kosong dengan kelembutan-Nya, dan hati kita melompat kegirangan dengan isyarat-Nya, "Ayo, cintaku, datang ..."
(Rosina Simon)
Able Not to Sin
Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.
Secara kebetulan saya membaca sebuah teori yang sangat menarik, yang mengatakan bahwa ada tiga tipe manusia, yakni yang tercipta:
Not able to sin (tidak bisa berdosa)
Not able not to sin (tidak bisa luput dari dosa)
Able not to sin (mampu menolak dosa).
Siapa sajakah mereka, dan termasuk tipe yang manakah kita ?.
Allah menciptakan Adam dan Hawa serupa dengan Allah sendiri yang adalah sempurna. Ketika hidup di Taman Firdaus, mereka hidup bahagia bersama Allah bapa, dan tidak pernah sekalipun terlintas dalam benak dan hati mereka untuk melawan kehendak dan perintah Allah yang maha kasih. Mereka diciptakan untuk hidup bahagia selamanya bersama Allah Bapa, sehingga mereka tercipta untuk tidak bisa berbuat dosa (not able to sin).
Namun kemudian setan datang menggoda dan mengelabui mereka sehingga mereka “jatuh” ke dalam dosa asal.
Setelah itu, setiap manusia yang hidup di dunia ini tidak lagi terlahir suci. Manusia mewarisi dosa asal itu, sehingga meskipun manusia berusaha sekuat tenaga untuk hidup suci, tetap saja mereka memiliki dosa. Sungguh, setiap manusia yang terlahir di dunia ini tidak bisa untuk tidak berdosa (not able not to sin).
Menurut iman Katolik, hanya ada satu pengecualian akan hal ini, yakni Bunda Maria, ibu Yesus. Bunda Maria adalah perawan suci yang dikandung tanpa dosa, the Immaculate, yang dipilih, “dipersiapkan” dan dipantaskan Allah untuk mengandung Putera Allah sendiri yang adalah suci dan kudus.
Bagi kita yang telah mengenal dan percaya akan Kristus Yesus sebagai Sang Juru Selamat, kita adalah ciptaan baru. Dalam 2 Kor 5:17
“Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.”
Allah menjanjikan kehidupan kekal, dan menuntun kita kepada pembaptisan dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus.
Yesus telah berkata ”Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati (Yoh 11:25)”.
Dalam Kristus, hidup kita dimampukan untuk menjadi sempurna. (Matius 5:48) “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”
Dalam tuntunan Roh Kudus, kita menjadi manusia yang “able not to sin', manusia yang mampu menolak dosa.
We are able not to sin. Maka mari kita selalu menolak dan menjauhi dosa. Masa Prapaskah ini adalah the acceptable time - masa yang baik untuk memperbaiki hidup kita lewat doa, puasa, dan amal kasih (Pray, Fast, and Charity). Mari kita memberikan diri hidup dalam tuntunan Roh Kudus dan menyerahkah hidup kita sepenuhnya kepada Kristus. Semoga, setelah hidup di dunia ini berakhir, kita akan bangkit bersama Kristus, dan hidup dalam keabadian Sorga, bersama para malaikat dan orang kudus, memuji dan memuliakan Allah Bapa yang maha mulia, kini dan sepanjang segala masa.
Selamat menjalani masa prapaskah dengan hati yang selalu dipenuhi cinta kasih kepada Allah dan sesama. Amin.
The Purpose of Life - Tujuan Hidup
“Tuhan menciptakan aku, supaya aku mengenalNya, mencintaiNya, dan melayaniNya di dunia ini dan bahagia bersamaNya selamanya di Sorga”
Pernahkah anda bertanya : “Apakah sebetulnya tujuan hidup ini ?”
Dalam Katekismus lama ada pertanyaan, “Mengapa Tuhan menciptakanmu?”
Jawabannya: “Tuhan menciptakan aku, supaya aku mengenalNya, mencintaiNya, dan melayaniNya di dunia ini dan bahagia bersamaNya selamanya di Sorga.”
Di sini lah, dalam hanya 18 kata ini, adalah rangkuman seluruh alasan keberadaan kita di dunia.
Yesus bahkan menjawab pertanyaan itu dengan lebih singkat lagi: “Aku datang supaya kamu memiliki hidup dan memilikinya lebih berkelimpahan” (Yohanes 10:10)
Rencana Tuhan untuk Anda sederhana.
Bapa yang maha pengasih ingin memberimu semua hal yang baik - terutama kehidupan kekal. Yesus rela mati di kayu salib untuk menyelamatkan kita semua dari dosa dan keterpisahan kekal dari Allah yang disebabkan oleh dosa (KGK 599-623).
Ketika Dia menyelamatkan kita, Dia menjadikan kita bagian dari Tubuh-Nya, yaitu Gereja (1 Kor.12:27-30). Dengan demikian kita menjadi bersatu dengan Dia dan dengan orang-orang Kristen di manapun (di bumi, di surga, di api penyucian).
Source: Catholic Answer booklet
Mengapa Orang Katolik menyembah patung ? (Sebuah pertanyaan yang keliru).
Dalam Keluaran 20:4-5, Tuhan melarang pembuatan patung untuk tujuan disembah, tetapi Tuhan sama sekali tidak melarang pembuatan patung.
Mengapa Orang Katolik menyembah patung ? Ada banyak patung di gereja Katolik !.
Anda mungkin belum pernah ditanyai seseorang secara langsung seperti seperti itu.
Tapi bila anda seperti saya dan banyak orang Katolik lain yang pernah mengalaminya, pertanyaan ini sontak terdengar seperti sebuah tuudingan yang tidak bersahabat dan mengusik rasa damai dalam hati.
Mari kita simak akan hal ini, agar kita bisa memberikan jawaban yang benar - sekaligus membuktikan bahwa pemahaman dan tudingan mereka tidaklah tepat.
Dasar yang paling mungkin dipakai oleh orang yang bertanya tentang ini, adalah ayat 4 dan 5 kitab Keluaran bab 20 yang bunyinya adalah seperti ini: “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.
Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku.”
Katolik tentu tidak menyembah patung, atau apapun hasil buatan manusia. Gereja Katolik mengajarkan bahwa hanya Tuhan yang harus disembah. Menyembah apa pun yang diciptakan adalah sebuah dosa serius penyembahan berhala. Dalam Keluaran 20:4-5, Tuhan melarang pembuatan patung untuk tujuan disembah, tetapi Tuhan sama sekali tidak melarang pembuatan patung.
Dalam Keluaran 25:18-19, Tuhan memerintahkan Musa untuk membuat patung malaikat (Kerubim). Dalam Bilangan 21:8, Tuhan menyuruh Musa membuat ular tembaga (seraph), yang harus dibuat oleh orang Israel untuk dilihat agar mereka bisa disembuhkan. Orang-orang Yahudi juga menggunakan banyak patung ukiran di Bait Suci, termasuk kerub, lembu, singa, pohon palem, dan bunga (1 Raja-raja 6 dan 7).
Umat Katolik menggunakan patung dan gambar lain untuk mengingat orang-orang suci yang mereka wakili: Yesus, para malaikat, dan orang-orang kudus. Untuk alasan yang sama, orang Protestan juga menggunakan adegan kelahiran Natal untuk menggambarkan orang suci yang sama: Yesus, para malaikat, dan orang-orang kudus. Bedanya hanya saja, umat Katolik menggunakan patung dan gambar dalam sepanjang tahun dalam rangkaian kebaktian mereka.
Penolakan terhadap patung dan gambar lainnya dalam kehidupan kebaktian Gereja adalah bid'ah yang dikenal sebagai "ikonoklasme". Ini pertama kali terlihat dalam agama Kristen pada abad kedelapan ketika Kaisar jahat Leo Isauria, yang dipengaruhi oleh agama baru Islam (didirikan pada 622 M), mulai menyerang penggunaan patung dan ikon di Gereja. Dalam Konsili Nicea Kedua pada tahun 787 M, Gereja mengutuk bid’ah ini. Ikonoklasme itu kemudian tidak pernah muncul kembali dalam agama Kristen, sampai pada masa terjadinya Reformasi (sekitar th 1520).
Sekarang kita tahu dan siap memberikan jawaban atas pertanyaan (yg didasarkan pandangan yg keliru) di atas.
Dan semoga semakin banyak orang yang menjadi tahu dan mengerti akan ajaran dan tradisi gereja kita yang satu, kudus, katolik, dan apostolik.
Source: San Juan Catholic Seminars
Devotion to the Drops of Blood Lost by our Lord Jesus Christ
Kepada semua umat beriman yang akan mendaraskan selama 3 tahun, setiap hari, 2 "Bapa Kami", 2 "Salam Maria" dan 2 "Kemuliaan", untuk menghormati tetesan Darah yang hilang, saya akan…
Devotion to the Drops of Blood Lost by our Lord Jesus Christ on His Way to Calvary
St. Elizabeth, Queen of Hungary, with St. Matilda and St. Bridget, wishing to know something of the Passion of Jesus Christ, offered fervent and special prayers, upon which Our Lord revealed to them:
To all the faithful who shall recite for 3 years, each day, 2 "Our Fathers", 2 "Hail Marys" and 2 "Glory Bes", in honor of the drops of Blood I lost, I will concede the following 5 graces:
1st The plenary indulgence and remittance of your sins.
2nd You will be free from the pains of Purgatory.
3rd If you should die before completing the said 3 years, for you it will be the same as if you had completed them.
4th It will be upon your death the same as if you had shed all your blood for the Holy Faith.
5th I will descend from Heaven to take your soul and that of your relatives, until the fourth generation.
Blessed by His Holiness Pope Leo XIII in Rome, April 5, 1890.
Please keep this prayer card with others that you say daily to remind you to recite these prayers. Please record the date you started:
____/____/____
Mo Day Year
Devosi kepada Tetesan Darah Tuhan kita Yesus Kristus Dalam Perjalanan-Nya ke Kalvari
St. Elizabeth, Ratu Hongaria, bersama St. Matilda dan St. Bridget, ingin mendalami tentang Sengsara Tuhan Yesus Kristus, mempersembahkan doa yang sungguh-sungguh dan khusus, yang kemudian dijawab Tuhan kita dengan pernyataan kepada mereka:
Kepada semua umat beriman yang akan mendaraskan selama 3 tahun, setiap hari, 2 "Bapa Kami", 2 "Salam Maria" dan 2 "Kemuliaan", untuk menghormati tetesan Darah yang hilang, saya akan mengakui 5 rahmat berikut:
1. Indulgensi penuh dan penghapusan dosa-dosa Anda.
2. Anda akan bebas dari penderitaan Api Penyucian.
3. Jika Anda mati sebelum menyelesaikan 3 tahun tersebut, bagi Anda itu akan sama dengan jika Anda telah menyelesaikannya.
4. Ini akan menjadi kematian Anda sama seperti jika Anda telah menumpahkan semua darah Anda untuk Iman Suci.
5. Aku akan turun dari Surga untuk mengambil jiwamu dan keluargamu, sampai generasi keempat.
Diberkati oleh Yang Mulia Paus Leo XIII di Roma, 5 April 1890.
Harap simpan kartu doa ini dengan orang lain yang Anda ucapkan setiap hari untuk mengingatkan Anda agar membaca doa-doa ini.
Harap catat tanggal Anda mulai:
__/____/____
Hari Mo Tahun
SETIAP PERSEMBAHANMU HARUSLAH KAU BUBUHI GARAM
“Dan setiap persembahan kurban sajianmu haruslah kau bubuhi garam, dan janganlah garam perjanjian Allahmu kurang dari kurban sajianmu, dengan semua persembahanmu haruslah kau persembahkan garam”.
SETIAP PERSEMBAHANMU HARUSLAH KAU BUBUHI GARAM
Mariana Berliana Ali
Judul artikel ini adalah ungkapan yang diambil dari Imamat 2 ayat 13 yang berbunyi, “Dan setiap persembahan kurban sajianmu haruslah kau bubuhi garam, dan janganlah garam perjanjian Allahmu kurang dari kurban sajianmu, dengan semua persembahanmu haruslah kau persembahkan garam.” Ayat ini mengandung kata Ibrani minḥāh untuk “kurban sajian” dan melaḥ untuk “garam” yang muncul masing-masing dua dan tiga kali. Artikel ini berusaha menjelaskan unsur-unsur itu dalam konteksnya dan bagaimana kedua unsur tersebut digunakan dalam Perjanjian Baru (PB). Sebagai penutup akan diuraikan pengikut Kristus sebagai kurban dan garam dunia.
Konteks
Di Kitab Imamat, kata minḥāh adalah istilah teknis yang digunakan hanya untuk “kurban sajian”, yaitu persembahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Di luar Kitab Imamat, istilah tersebut dapat merujuk bukan saja ke persembahan biji-bijian, melainkan juga hewan yang dikenal sebagai kurban bakaran. Misalnya, baik kurban sajian Kain dan kurban hewan Habel disebut minḥāh (lih. Kej. 4:4-5). Kurban sajian adalah salah satu dari tiga jenis kurban (kurban bakaran dalam Im. 1 dan kurban keselamatan dalam Im. 3) yang menghasilkan “aroma yang menyenangkan bagi Tuhan” (Im. 1:9, 17; 2:2, 9, 12; 3:5, 16).
Kurban sajian resmi dipersembahkan setelah kurban bakaran setiap hari (Bil. 28). Baik kurban bakaran maupun kurban sajian sering disebut bersama-sama dalam kitab-kitab sejarah (Yos. 22:23, 29; Hak. 13:19, 23; 1 Raj. 8:64; 2 Raj. 16:13, 15). Maka wajarlah jika kurban sajian dalam Im. 2 dijelaskan setelah kurban bakaran dalam Im. 1. Tidak seperti kurban bakaran dan kurban keselamatan, kurban sajian bukanlah kurban binatang. Dalam kurban bakaran seluruh hewan yang dipersembahkan dibakar, sedangkan dalam kurban sajian hanya segenggam yang dibakar dalam api dan selebihnya adalah untuk para imam (lih. Im. 2:3, 10).
Apabila seseorang hendak memberi persembahan berupa kurban sajian kepada Tuhan, persembahannya itu harus berupa tepung terbaik yang dituangi minyak zaitun dan dibubuhkan kemenyan di atasnya (Im. 2:1). Tepung bisa dipersembahkan dalam keadaan mentah atau dimasak. Ada tiga cara untuk memasaknya: dipanggang dalam oven (ay. 4), dimasak di atas wajan dengan sedikit minyak (ay. 5) atau digoreng dalam wajan (ay. 7). Sementara ragi dan madu dilarang (ay. 11; lih. Kel. 23:18; 34:25), garam harus ditambahkan ke dalam kurban sajian (ay. 13). Sebelum kita bahas mengenai tambahan garam yang diharuskan ini, marilah kita memahami dahulu makna dan maksud dari kurban sajian.
Makna dan Maksud minḥāh
Penggunaan non-religius kurban sajian atau minḥāh sering berarti “upeti”, uang yang dibayarkan seorang raja bawahan kepada tuannya sebagai tanda niat baik dan kesetiaannya yang berkelanjutan (Hak. 3:15, 17-18; 2 Sam. 8:6; 1 Raj. 5:1; 10:25; 2 Raj. 17:3 dst.).[1] Persembahan ini mungkin hanya sebagai “hadiah”, meskipun seringkali menunjukkan bahwa pemberi takut kepada orang yang diberi hadiah dan berusaha untuk mengambil hatinya melalui hadiah. Misalnya, Yakub mengirimkan minḥāh kepada saudaranya Esau (Kej. 32:19 dst.) dan kemudian kepada Yusuf, putranya yang menjabat sebagai perdana menteri Mesir (Kej. 43:11, 15, 25-26).
Makna sekuler minḥāh ini tampaknya kemudian dialihkan ke dunia agama. Kurban sajian dipersembahkan sebagai suatu penghormatan dari penyembah yang setia kepada tuan ilahinya. Ketika sebuah perjanjian dibuat, negara-negara taklukkan diharapkan membawa upeti kepada raja besar. Israel juga terikat oleh perjanjian dengan Allah dan karena itu mereka mempunyai tanggung jawab untuk mengungkapkan kesetiaan mereka dengan membawa persembahan gandum.
Berhubung kurban sajian biasanya dipersembahkan bersama dengan kurban lainnya maka dibutuhkan penjelasan untuk menentukan apa maksud sebenarnya ritus itu dipersembahan. Biasanya kurban sajian dipersembahkan bersama kurban bakaran, tetapi kurban sajian juga dapat dipersembahkan secara sendiri pada hari raya panen (lih. Im. 2:14). Menurut Kitab Ulangan bab 26, saat melaksanakan ibadah itu penyembah harus mengakui belas kasihan Tuhan yang telah membawanya ke tanah perjanjian dan harus menyatakan kesetiaannya pada hukum Tuhan yang berkaitan dengan hasil panen pertama. Tuhan “membawa kami ke tempat ini dan memberikan kami negeri ini, suatu negeri yang berlimpah susu dan madu. Sekarang lihatlah, aku telah membawa hasil pertama dari bumi yang telah Kau berikan kepadaku, ya Tuhan” (Ul. 26:9-10). Dalam doanya, si penyembah mengungkapkan makna persembahan hasil pertamanya: ia menyatakan kesetiaannya kepada Tuhan dan persembahannya menjadi penghormatan bagi-Nya. Dengan mempersembahkan sebagian dari hasil panennya kepada Tuhan sebagai ucapan syukur, dia mengakui kebaikan Tuhan kepadanya.
Kurban sajian merupakan hadiah dari penyembah kepada Tuhan dan biasanya diberikan setelah kurban bakaran. Setelah menerima pengampunan dosa melalui kurban bakaran, si penyembah mempersembahkan sebagian dari hasil buminya sebagai kurban sajian kepada Tuhan. Persembahan tersebut dipandang sebagai tindakan dedikasi dan pengudusan diri di hadapan Allah sebagai Juruselamat dan Raja yang menetapkan perjanjian. Kurban sajian itu bukan hanya untuk mengungkapkan rasa terima kasih, tetapi juga kepatuhan dan kesediaan penyembah untuk menaati hukum. Seperti kurban bakaran, kurban sajian adalah kurban yang sering diulang sepanjang hidup penyembah. Kondisi manusia berdosa mengharuskan dia berulang kali mencari pengampunan Ilahi dan memperbarui dedikasi serta sumpah perjanjiannya kepada Tuhan.
Kurban sajian juga berfungsi untuk tujuan praktis: menyediakan bahan makanan pokok bagi para imam. Berhubung para imam dan orang Lewi tidak memiliki tanah sendiri, mereka bergantung sepenuhnya pada niat baik umat. Orang Lewi mengandalkan persepuluhan, tetapi para imam mengandalkan persembahan kurban, khususnya pada persembahan biji-bijian sebab kurban sajian inilah yang paling sering diberikan kepada para imam. Sebaliknya, para imam juga memberikan sebagian dari pendapatan mereka kepada Allah dengan membakar segenggam dari persembahan kurban sajian di atas mezbah sebagai “peringatan” (lih. Im. 2:2, 9, 16).
Mengapa setiap persembahan harus dibubuhi garam?
Dalam Kitab Imamat, kata Ibrani melaḥ untuk “garam” muncul hanya dalam Im. 2:13. Apa yang mengejutkan dalam ayat ini adalah saran untuk “membubuhi garam” bukan hanya dalam kurban sajian, tetapi juga dalam “setiap persembahanmu”, suatu penjelasan yang tidak pernah disebut dalam ritual persembahan yang muncul dalam Imamat bab 1, bab 3 sampai dengan bab 17. Kemungkinan hal ini adalah suatu tambahan yang muncul kemudian, meskipun tidak dapat dipastikan kapan ia diadopsi karena ditemukan juga perintah menabur garam untuk kurban bakaran dalam Yeh. 43:24.
Umumnya penggunaan garam dipandang sebagai lawan dari larangan penggunaan ragi sebab garam mencegah pembusukan, sedangkan ragi memicunya. Namun, hanya sedikit bukti yang mendukung bahwa penjelasan tersebut adalah makna simbolis dari pembubuhan garam yang disebutkan dalam Im. 2:13. Di luar Israel, garam dianggap sebagai bumbu makanan bagi para dewa.[2] Berhubung garam digunakan dalam setiap konsumsi makanan, penggunaannya juga dibutuhkan dalam ibadat yang berkaitan dengan persembahan. Fungsi garam sudah begitu dikenal sehingga tidak butuh penjelasan; saran untuk memberi garam ke setiap kurban juga sudah jelas sehingga ketentuan dasar ini cukup diuraikan sekali saja.[3] Pengiriman garam, antara lain, ke bait suci di Yerusalem semasa pasca-pembuangan tercatat dalam Ezra 6:9 dan 7:22.
Garam juga diasosiasikan dengan perjanjian Allah dalam Im. 2:13, yang menunjukkan bahwa garam digunakan untuk melambangkan perjanjian. Istilah “perjanjian garam” dengan Allah memberi gagasan keramahan dalam makan bersama yang mewajibkan kedua belah pihak untuk setia: di satu sisi, Israel harus mematuhi kewajiban yang terungkap dalam perjanjian; di sisi lain, Allah menjamin pemilihan Israel serta hak-hak mereka dalam perjanjian.[4] Penggunaan garam dalam perjanjian dinilai begitu penting sehingga dalam Bil. 18:19 perjanjian yang dibuat antara Allah dan umat-Nya disebut “perjanjian garam” (berît melaḥ). Melalui ayat tersebut, menjadi jelas bahwa garam ditambahkan bukan hanya dalam kurban sajian, tetapi juga dalam semua kurban.
Di luar konteks ritus kurban, garam juga digunakan sebagai simbol untuk perjanjian yang dicatat dalam 2 Taw. 13:5, “Tuhan, Allah Israel, telah memberikan kuasa kerajaan atas Israel kepada Daud dan anak-anaknya untuk selama-lamanya dengan suatu perjanjian garam (berît melaḥ).” Alasan garam disebut disini tidaklah jelas, sepertinya sudah menjadi suatu tradisi untuk memeteraikan perjanjian dengan garam. Fungsi politis garam juga muncul dalam Ezra 4:14 melalui sepucuk surat protes tentang pembangunan kembali kota dan bait suci di Yerusalem: para penulis surat mengungkapkan hubungan dekat mereka dengan raja Persia, “karena kami makan garam istana ...” menjelaskan bahwa mereka ada dalam aliansi dengan istana atau bergantung pada raja.[5]
Daya pengawetan garam juga sudah diketahui dan bisa menjadi faktor penentu dalam penggunaan metaforisnya sebagai lambang daya tahan. Selain itu, garam memiliki kekuatan pemurnian (bayi yang baru lahir digosok dengan garam: Yeh. 16:4) dan dianggap sebagai sinonim untuk kemurnian dan kekudusan (Kel. 30:35). Walaupun kualitas metaforis garam dalam kehidupan religius dan politik tidak dibahas secara eksplisit, tetapi secara implisit selalu ada.
Kata “garam” yang muncul sebanyak tiga kali dalam Im. 2:13 itu mungkin dimaksudkan untuk menekankan peran dan fungsi garam yang banyak digunakan sepanjang zaman kuno untuk mengawetkan makanan, sehingga ungkapan “perjanjian garam” melambangkan keabadian perjanjian antara Tuhan dan manusia. G. Gesenius menganggap ungkapan tersebut sebagai kiasan untuk ikatan perjanjian yang digunakan oleh penduduk Arab, yang makan garam bersama ketika mereka membuat perjanjian.[6] Dengan memahami “perjanjian garam” sebagai suatu perjanjian yang abadi, tindakan membubuhi garam dalam setiap persembahan dapat menjadi sarana untuk mengingatkan si penyembah akan hubungannya yang abadi dengan Tuhan.
“Kurban” dan “Garam” dalam PB
Istilah minḥāh muncul dalam Septuaginta dengan istilah thusia yang diterjemahkan sebagai “kurban” dalam PB. Seperti dalam PL, istilah “kurban” digunakan secara umum untuk kurban bakaran dan kurban sajian (Mrk. 12:33; Ibr. 5:1; 7:27; 8:3; 9:9; 10:1.5.8.11). Istilah “kurban” juga digunakan untuk Kristus Yesus yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai kurban yang harum bagi Allah (Ef. 5:2) dan yang telah menghapus dosa kita dengan kurban-Nya (Ibr. 9:26; 10:12). Dengan dasar ini, kita semua diundang agar senantiasa mempersembahkan kurban pujian kepada Allah dan tidak lalai berbuat baik dan membagikan apa yang kita miliki sebab kurban persembahan ini berkenan kepada Allah (Ibr. 13:15-16). Seperti orang-orang Israel kuno yang mempersembahkan kurban sajian pagi dan petang (1 Raj. 18:36; 2 Raj. 3:20), demikian juga kita dipanggil untuk mempersembahkan tubuh kita sebagai kurban yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah (Rm. 12:1). Dengan demikian, kurban mejadi pekerjaan dan pengabdian hidup kita kepada Tuhan.
Kata “garam” muncul sebanyak delapan kali dalam PB. Jika dalam Im. 2:13 garam adalah sesuatu yang dibubuhkan dalam setiap persembahan untuk melambangkan perjanjian abadi dengan Allah, dalam PB garam mewakili para murid yang menerima panggilan dari Yesus untuk menjadi garam dunia (Mat. 5:13). Mereka diminta untuk selalu mempunyai garam dalam diri mereka (Mrk. 9:50) dan tidak menjadi hambar (Luk. 14:34). Sebab, setiap orang akan digarami dengan api (Mrk. 9:49), yaitu ia harus melewati segala macam ujian sehingga apa yang tidak sesuai dengan kehendak Allah dalam dirinya akan dimurnikan. Api itu sendiri yang akan menguji kualitas pekerjaan setiap orang (1 Kor. 3:13). Pada akhirnya, biarlah perkataanmu selalu penuh kasih, dibubuhi dengan garam, supaya kamu tahu bagaimana seharusnya menjawab setiap orang (Kol. 4:6).
Pengikut Kristus sebagai kurban dan garam
Istilah “kurban” dalam PB tidak hanya digunakan untuk kurban bakaran dan kurban sajian, tetapi juga untuk pribadi Kristus dan juga murid-Nya. Begitu pula dengan kata “garam” yang mewakili murid-murid Yesus sebagai garam dunia. Dapat disimpulkan bahwa kedua kata “kurban” dan “garam” digunakan dalam PB untuk para pengikut Kristus yang diundang untuk memberi dan mempercayakan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Sebagai garam dunia, murid Yesus akan memberikan dunia rasa persahabatan dengan Allah dan kesetiaan pada perjanjian-Nya. Nilai-nilai ini tidak akan pernah ketinggalan zaman atau merusak budaya, melainkan meningkatkan karakteristik positif budaya tersebut dan melindunginya dari penyimpangan. Dimana garam persahabatan dengan Allah dan kesetiaan pada perjanjian-Nya pudar, maka kehadiran murid Kristus menjadi semakin dibutuhkan.
Panggilan untuk menjadi garam jarang mendapat pujian atau rasa syukur dari pihak dunia, tetapi murid Yesus tidak mengukur kebaikan tindakannya berdasarkan pendapat dunia, melainkan pada hak istimewanya membawa rekonsiliasi dan hikmat Allah. Walaupun garam diperlukan untuk kebaikan makanan, tetapi setelah makan orang tidak akan berseru, “Oh, betapa baiknya garam itu”! Hal ini selaras dengan gambaran pengikut Kristus yang dijelaskan oleh penulis anonim dalam Surat kepada Diognetus: “Orang Kristen mengasihi semua orang, tetapi mereka menganiayanya. Dihukum karena tidak dipahami, mereka dihukum mati, tetapi dibangkitkan kembali. Mereka hidup dalam kemiskinan, tetapi memperkaya banyak orang; mereka benar-benar melarat, tetapi memiliki segala sesuatu yang berlimpah. Mereka menderita penghinaan, tetapi itulah kemuliaan mereka. Mereka difitnah, tetapi dibenarkan. Memberi berkat adalah jawaban mereka terhadap pelecehan, rasa hormat adalah tanggapan mereka terhadap penghinaan. Untuk kebaikan yang mereka lakukan, mereka menerima hukuman dari para penjahat, tetapi mereka tetap bersukacita seolah-olah menerima hadiah kehidupan”. Sebagai pengikut Kristus, marilah kita mempersembahkan diri setiap hari sebagai kurban dengan hidup sesuai panggilan menjadi garam dunia.
Daftar Pustaka
G. Deiana, Levitico/nuova versione, introduzione e commento di Giovanni Deiana (Milano 2005).
G. J. Wenham, The Book of Leviticus (Grand Rapids, MI 1979).
H. Thomas, Levitikus 1-15 (HTKAT; Freiburg 2014).
H. Eising, “melaḥ”, TDOT V, 78-82.
J. Behm, “θυσία”, TDNT III, 181-182.
Mariana Berliana Ali mengajar Kitab Suci di STF Driyarkara setelah menyelesaikan Licentiat di Pontifical Biblical Institute dan doktoral Teologi Biblis di Universitas Angelicum, Roma.
[1] G. J. Wenham, The Book of Leviticus (Grand Rapids, MI 1979), 67.
[2] Bahkan dalam budaya di luar Alkitab, garam juga digunakan dalam dunia ibadah. Di Assur, para dewa juga terlibat dalam konsumsi garam seperti terungkap dalam doa berikut: “Kamu adalah garam yang dihasilkan di tempat yang murni. Ellil mentakdirkanmu untuk makanan para dewa besar. Tanpamu, tidak ada makan siang yang diselenggarakan di bait suci. Tanpamu, raja, tuan dan pangeran tidak dapat mencium aroma pengorbanan”. Lih. H. Eising, “melaḥ”, TDOT V, 79.
[3] Lih. H. Thomas, Levitikus 1-15 (HTKAT; Freiburg 2014), 210.
[4] Lih. H. Eising, “melaḥ”, 82.
[5] Lih. H. Thomas, Levitikus 1-15, 211.
[6] Lih. G. Deiana, Levitico/nuova versione, introduzione e commento (Milano 2005) 60.
Aging Gracefully
“Aging gracefully is my gratitude to Him for what He has given to me. It is the joy in me today, tomorrow and until I meet Him in Eternity.”
Aging Gracefully
Life unfolds day by day with the moments we treasure whether they are ordinary or extra-ordinary. Chatting heart to heart with hubby and kids, having lunch together, holding hands, or short encounters with beautiful souls have become the best part of my days. The older I get, the more I realize and cherish that. Yet, I ponder about the meaning of life - what my real calling in this life is.
As years go by, I grow more in the knowledge of myself and others. Physically diminishing but spiritually solidifying. Yes, something grow in me!
My eyes have begun to sag, my hair is thinning, my face is getting more wrinkly, my memory isn’t as sharp as it used to be, and I need reading glasses most of the time. Yes, I am getting older. Yikes. Time passes so quickly, and I wonder where the years have gone. It takes courage to face the brevity of life. No one has a clue when the last day will be. So, the present moment is all we have.
A common saying is “aging gracefully”, but what does it mean? How do we do that? Is it just some cliché saying?
Father, grant me awareness if I lack gratitude. Thank you for everything, not only for all the joyful events, but also for the sadness, failure, dryness and dark clouds. They have made me wait patiently for You, to feel Your love and to discover Your presence.
A friend asked me “what’s your new year’s resolution?” Maybe aging gracefully can be my resolution this year, Lord? You and I have to work together. Don’t lead me to age “disgracefully” to become bitter, frustrated, or full of self-pity, and to let those close to us feel guilty for not doing enough for me.
Aging gracefully is for me to always feel Your Presence and not to let the physical appearance stained the inner beauty. Aging gracefully is my gratitude to Him for what He has given to me. It is the joy in me today, tomorrow and until I meet Him in Eternity.
St. Anthony the Abbot (Santo Anthony Kepala Biara)
Anthony berseru, "Tuhan, di mana Engkau saat aku membutuhkanmu?" Tuhan menjawab, "Aku di sini. Aku melihat perjuanganmu. Karena kamu tidak menyerah, aku akan tinggal bersamamu dan melindungimu selamanya."
Hari Santo Anthony dirayakan pada tanggal 17 Januari.
Ketika orang tuanya meninggal, Anthony baru berusia sekitar delapan belas atau dua puluh tahun. Dia mewarisi tiga ratus hektar tanah mereka dan tanggung jawab untuk seorang adik perempuan. Suatu hari di gereja, dia mendengar bacaan Matius 19:21: "Jika kamu ingin menjadi sempurna, pergilah, jual hartamu, dan berikan uangnya kepada orang miskin, dan kamu akan memiliki harta di surga; maka ikutlah Aku." Tidak puas untuk duduk diam dan merenungkan dan merenungkan kata-kata Yesus dia berjalan keluar pintu gereja segera dan memberikan semua harta miliknya kecuali apa yang dia dan saudara perempuannya butuhkan untuk hidup.
Mendengar Matius 6:34, "Jadi jangan khawatir tentang hari esok, karena besok akan membawa kekhawatirannya sendiri. Masalah hari ini sudah cukup untuk hari ini," dia memberikan segalanya, menitipkan saudara perempuannya ke biara, dan pergi ke luar desa. untuk menjalani kehidupan berdoa, puasa, dan kerja kasar. Tidak cukup hanya mendengarkan kata-kata, dia harus menjadi apa yang Yesus katakan.
Setiap kali dia mendengar tentang orang suci, dia akan melakukan perjalanan untuk melihat orang itu. Tapi dia tidak mencari kata-kata bijak, dia mencari untuk menjadi. Jadi jika dia mengagumi keteguhan seseorang dalam doa atau kesopanan atau kesabaran, dia akan menirunya. Kemudian dia akan kembali ke rumah.
Anthony melanjutkan dengan memberi tahu para filsuf Yunani bahwa argumen mereka tidak akan pernah sekuat iman. Dia menunjukkan bahwa semua retorika, semua argumen, tidak peduli seberapa kompleks, seberapa kuat, diciptakan oleh manusia. Tapi iman diciptakan oleh Tuhan. Jika mereka ingin mengikuti cita-cita terbesar, mereka harus mengikuti keyakinan mereka.
Anthony tahu betapa sulitnya ini. Sepanjang hidupnya ia berdebat dan benar-benar bergulat dengan iblis. Godaan pertamanya untuk meninggalkan kehidupan pertapaannya adalah argumen yang akan sulit kami tolak -- kecemasan tentang saudara perempuannya, kerinduan akan kerabatnya, pemikiran tentang bagaimana dia dapat menggunakan hartanya untuk tujuan yang baik, keinginan akan kekuasaan dan uang. Ketika Anthony mampu melawannya, iblis kemudian mencoba sanjungan, memberi tahu Anthony betapa kuatnya Anthony untuk mengalahkannya. Antonius mengandalkan nama Yesus untuk membebaskan dirinya dari iblis. Itu bukan yang terakhir kalinya. Suatu kali, pertarungannya dengan iblis membuatnya dipukuli, teman-temannya mengira dia sudah mati dan membawanya ke gereja. Anthony sulit menerima ini. Setelah satu perjuangan yang sulit, dia melihat seberkas cahaya muncul di makam yang dia tinggali. Mengetahui bahwa itu adalah Tuhan, Anthony berseru, "Di mana kamu saat aku membutuhkanmu?" Tuhan menjawab, "Aku di sini. Aku melihat perjuanganmu. Karena kamu tidak menyerah, aku akan tinggal bersamamu dan melindungimu selamanya."
Dengan jaminan dan persetujuan dari Tuhan semacam itu, banyak orang akan menetap, puas dengan tempat mereka berada. Tetapi reaksi Anthony adalah bangkit dan mencari tantangan berikutnya -- pindah ke padang gurun.
Antonius selalu mengatakan kepada orang-orang yang datang mengunjunginya bahwa kunci kehidupan pertapaan adalah ketekunan, bukan untuk berpikir dengan bangga, "Kami telah menjalani kehidupan pertapaan untuk waktu yang lama" tetapi memperlakukan setiap hari seolah-olah itu adalah awal. Bagi banyak orang, ketekunan berarti tidak menyerah, bertahan di sana. Tetapi bagi Anthony, ketekunan berarti bangun setiap hari dengan semangat yang sama seperti hari pertama. Tidaklah cukup bahwa dia telah menyerahkan semua hartanya suatu hari nanti. Apa yang akan dia lakukan keesokan harinya?
Begitu dia selamat di dekat kota, dia pindah ke makam sedikit lebih jauh. Setelah itu dia pindah ke padang pasir. Tidak ada yang pernah menerjang gurun sebelumnya. Dia tinggal disegel di sebuah ruangan selama dua puluh tahun, sementara teman-temannya menyediakan roti. Orang-orang datang untuk berbicara dengannya, untuk disembuhkan olehnya, tetapi dia menolak untuk keluar. Akhirnya mereka mendobrak pintu. Anthony muncul, tidak marah, tapi tenang. Beberapa yang berbicara dengannya disembuhkan secara fisik, banyak yang dihibur oleh kata-katanya, dan yang lain tetap tinggal untuk belajar darinya. Mereka yang tetap tinggal membentuk apa yang kita anggap sebagai komunitas monastik pertama, meskipun tidak seperti yang kita pikirkan tentang kehidupan religius saat ini. Semua biarawan hidup terpisah, berkumpul hanya untuk beribadah dan mendengar Anthony berbicara.
Tapi setelah beberapa saat, terlalu banyak orang yang datang untuk mencari Anthony. Dia menjadi takut bahwa dia akan menjadi terlalu sombong atau orang-orang akan menyembah dia alih-alih Tuhan. Jadi dia pergi di tengah malam, berpikir untuk pergi ke bagian lain dari Mesir di mana dia tidak dikenal. Kemudian dia mendengar suara yang memberitahunya bahwa satu-satunya cara untuk menyendiri adalah pergi ke padang pasir. Dia menemukan beberapa Saracen yang membawanya jauh ke padang pasir ke oasis gunung. Mereka memberinya makan sampai teman-temannya menemukannya lagi.
Anthony meninggal ketika dia berusia seratus lima tahun. Kehidupan yang menyendiri, berpuasa, dan bekerja kasar dalam pelayanan Tuhan telah membuatnya menjadi pria yang sehat dan kuat sampai akhir hayatnya. Dan dia tidak pernah berhenti menantang dirinya sendiri untuk melangkah lebih jauh dalam imannya.
Sumber: https://www.catholic.org/saints
Santa Agnes - Perawan dan martir
Setiap kali seorang pria ingin menikahi Agnes, dia akan selalu berkata, "Yesus Kristus adalah satu-satunya Mempelaiku."
St. Agnes dari Roma lahir pada tahun 291 M dan dibesarkan dalam keluarga Kristen. Agnes sangat cantik dan berasal dari keluarga kaya. Tangannya dalam pernikahan sangat didambakan banyak pria, dan dia memiliki banyak pria berpangkat tinggi yang mengejarnya. Namun, Agnes berjanji kepada Tuhan untuk tidak pernah menodai kesuciannya. Kasihnya kepada Tuhan sangat besar dan dia membenci dosa bahkan lebih dari kematian!
Setiap kali seorang pria ingin menikahi Agnes, dia akan selalu berkata, "Yesus Kristus adalah satu-satunya Mempelaiku."
Menurut legenda, para pemuda yang ditolaknya menjadi sangat marah dan terhina oleh pengabdiannya kepada Tuhan dan kemurniannya sehingga mereka mulai menyerahkan namanya kepada pihak berwenang sebagai pengikut Kristen.
Dalam satu kejadian, Procop, putra Gubernur, menjadi sangat marah ketika dia menolaknya. Dia mencoba memenangkannya untuk istrinya dengan hadiah dan janji yang kaya, tetapi gadis muda yang cantik itu terus berkata, "Saya sudah dijanjikan kepada Tuhan Semesta Alam. Dia lebih indah dari matahari dan bintang-bintang, dan Dia telah mengatakan Dia tidak akan pernah meninggalkanku!"
Dalam kemarahan besar, Procop menuduhnya sebagai seorang Kristen dan membawanya ke ayahnya, Gubernur. Gubernur menjanjikan Agnes hadiah yang luar biasa jika dia mau menyangkal Tuhan, tetapi Agnes menolak. Dia mencoba mengubah pikirannya dengan mengikatnya, tetapi wajahnya yang cantik bersinar dengan sukacita.
Selanjutnya dia mengirimnya ke tempat dosa, tetapi seorang Malaikat melindunginya. Akhirnya, dia dihukum mati. Bahkan orang-orang kafir menangis melihat gadis yang begitu muda dan cantik akan mati. Meski demikian, Agnes tak kalah bahagia layaknya pengantin di hari pernikahannya. Dia tidak memperhatikan mereka yang memohon padanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri. "Saya akan menyinggung Pasangan saya," katanya, "jika saya mencoba menyenangkan Anda. Dia memilih saya terlebih dahulu dan Dia akan memiliki saya!" Kemudian dia berdoa dan menundukkan kepalanya untuk menerima pukulan maut dari pedang.
Catatan lain tentang kehidupan Agnes membuat Prefek Sempronius bertanggung jawab atas kemartirannya. Dikatakan dia mengutuk gadis muda itu untuk diarak di jalan-jalan dengan telanjang. Beberapa versi legenda menyebutkan bahwa rambut Agnes langsung tumbuh menutupi seluruh tubuhnya dan semua pria yang mencoba memperkosa gadis cantik itu langsung dibutakan.
Cerita selanjutnya menjelaskan bahwa pria lain memimpin persidangan Agnes setelah Sempronius minta diri. Pria baru itu memvonis Agnes dengan hukuman mati. Awalnya, Agnes diikat ke sebuah tiang, tapi entah kayunya tidak mau terbakar atau apinya menjauh darinya. Hal ini mendorong seorang petugas untuk menghunus pedangnya dan memenggal kepala gadis itu. Diyakini bahwa darahnya, yang mengalir ke stadion, direndam dengan kain oleh orang-orang Kristen.
Dia meninggal sebagai martir perawan pada usia 12 atau 13 pada 21 Januari 304.
Agnes dimakamkan di samping Via Nomentana di Roma. Tulang-tulangnya saat ini disimpan di bawah altar tinggi di gereja Sant'Angese fuori le mura di Roma, yang dibangun di atas katakombe yang menampung makamnya. Tengkoraknya diawetkan di gereja Sant'Agnese di Agone di Piazza Navona Roma.
Pada tahun 1858, Pastor Caspar Rehrl, seorang misionaris Austria mendirikan Kongregasi Suster St. Agnes.
St Agnes secara luas dikenal sebagai santo pelindung gadis-gadis muda. Dia juga santo pelindung kesucian, korban pemerkosaan dan Anak-Anak Maria. Dia sering diwakili dengan anak domba, simbol kepolosan perawan, dan cabang palem, seperti martir lainnya. Dia ditampilkan sebagai seorang gadis muda berjubah memegang cabang pohon palem dengan domba baik di kakinya atau di lengannya.
Hari rayanya dirayakan pada tanggal 21 Januari. Pada hari rayanya, merupakan kebiasaan untuk membawa dua ekor domba untuk diberkati oleh paus. Pada Kamis Putih, bulu domba dilepas dan ditenun menjadi pallium yang diberikan paus kepada seorang uskup agung yang baru ditahbiskan sebagai tanda kekuasaan dan persatuannya dengan paus.
Tuhan yang mahakuasa dan kekal, Engkau memilih yang lemah di dunia ini untuk mengacaukan yang kuat. Saat kami merayakan ulang tahun kemartiran St.Agnes, semoga kami seperti dia tetap teguh dalam iman.
Amin.
Sumber: https://www.catholic.org/saints
Seorang Waria dan Seorang Pendeta
“Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, kamu lakukan untuk Aku”
Seorang waria bertanya kepada seorang pendeta yang baru dikenalnya: “Bapak pendeta, kalau suatu saat nanti saya meninggal, apakah saya akan masuk Sorga?”.
Di usianya yang sudah di atas 60 tahun, sang waria memang tidak muda lagi. Bahkan karena di tahun-tahun terakhir ini sering sakit-sakitan, dia tidak lagi bisa bekerja di salonnya – satu-satunya profesi, sumber penghasilan dan ketrampilan yang dia miliki.
Dia kini tidak memiliki siapa-siapa. Kedua orang tuanya sudah lama tiada, sementara semua saudaranya tidak lagi dekat dengannya sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, sejak mereka tahu bahwa ia bukan seorang laki-laki sejati. Mereka menjaga jarak dan bahkan ada yang secara terang-terangan menolak dia sebagai saudara. Istilah kasarnya, dia seorang yang sudah lama terbuang dari keluarganya.
Menjadi seorang waria sebetulnya bukan keinginannya, dia merasa jiwa dan pribadinya seperti terperangkap dalam tubuh lawan jenis, dan itu sangatlah membingungkan pada awalnya. Bukan hanya keluarganya saja yang menolaknya, bahkan semua masyarakat sekitarnya seolah mencibir dan menjauhi. Dia kini sendiri, dan memang selalu sendiri.
Sang pendeta tampak tidak yakin bagaimana harus menjawabnya. Ia juga tidak yakin ada ayat Alkitab yang secara tegas dan bijaksana bisa memberi jawaban akan pertanyaan yang begitu penting. Maka sejurus sang pendeta terdiam, berpikir keras dan cemas. Ia harus bisa memberikan jawaban, sebab jika tidak, itu akan memberikan konotasi buruk akan jabatannya sebagai seorang pendeta.
Katanya: “Ada harga yang harus kamu bayar, sanggupkah kamu?”
Sang waria membalas “Apa harga yang harus kubayar ?”
“Rumah kamu, salon kamu, uang kamu, bahkan usia kamu”.
Sang waria menjulurkan tangannya sebagai ajakan berjabatan tangan kepada sang pendeta yang langsung menyambutnya. “Iya saya mau pak pendeta, saya relakan semuanya”.
Sejak itu rumah sang waria menjadi 'gereja' di tengah tengah perkampungan kota itu. Setiap minggu sang pendeta melayani umat di situ, yang 100% umatnya adalah para waria ataupun teman-teman mereka. Sebuah rumah sangat sederhana yang dijadikan 'gereja' di pinggir sebuah kali perkotaan, beberapa bagiannya hanya ditutupi terpal plastik, dan umat duduk di kursi plastik yang terkesan murah dan sederhana pula. Khotbah pendeta tidak pernah lama, hanya 10 sampai 15 menit, dan sisa waktu kebaktian banyak diisi dengan lagu-lagu pujian dan lagu rohani, yang bahkan banyak yang bernada dangdut karena memang mereka suka dan terhibur dengan cara seperti itu.
Namun di tengah-tengah kesederhanaan dan kemiskinan seperti itu,..firman Tuhan dibacakan, hadir dan memasuki relung hati mereka. Mereka yang terbuang dan tersingkirkan oleh keluarga, teman, bahkan oleh orang-orang yang belum pernah mengenal mereka sekalipun.
Dan jika mereka selalu merasakan suka cita dan terhibur dalam persekutuan seperti itu, bukan tidak mungkin itu adalah peran Roh Kudus yang bekerja. Roh Kudus yang sama dan juga hadir di banyak gereja-gereja yang besar, terlihat megah dan bersih.
Dan sang pendeta yang selalu setia melayani, adalah anak Tuhan yang menjadi saksi Kristus. Dia punya banyak pilihan tempat melayani, namun dia memilih melayani mereka yang tersisih, tersingkirkan dan ditolak masyarakat.
Dalam Injil Matius 19:16 Ada seorang datang kepada Yesus, dan berkata: "Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?". Jawab Yesus: "Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah."
Ayat 20: Kata orang muda itu kepada-Nya: "Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?" Kata Yesus kepadanya: "Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmudan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku."
Bila hari ini anda - dan bukan sang waria - bertanya apakah anda akan masuk Sorga.
Apakah anda sudah tahu apa jawabannya ?.
Sang waria merelakan segala miliknya bahkan hidupnya sendiri bagi kemuliaan Tuhan.
Apakah kita bisa berbuat yang sama?.
Dalam luka-luka masa lalu dan ketakberdayaannya, sang waria sadar betapa harta Surgawi adalah harta dan permata yang sesungguhnya, tujuan hidupnya, dan jawaban atas segala kerinduan hatinya.
Sudahkah kita sampai pada kesadaran seperti ini?
Sang waria menyadari segala dosa dan kelemahannya, namun percaya akan kasih Tuhan yang begitu besar dan tak terhingga. Dia sadar bahwa betapapun kelamnya masa lalunya, pengampunan Tuhan selalu lebih besar.
Dia sadar bahwa memiliki atau sebaliknya menyerahkan betapapun banyaknya harta duniawi tidaklah dapat “membeli” keselamatan kekal; perbuatan baik pun tidak. Namun hanya anugerah kasih dan rahmat Tuhan saja yang sungguh dapat menyelamatkan.
Sadarkah kita?.
Seperti sang pendeta, mampukah kita menyalurkan kasih dan firman Allah kepada mereka orang-orang kecil dan tersingkirkan?. Sebab “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, kamu lakukan untuk Aku” (Mat 25:40)
Ditulis berdasarkan kisah nyata yang dituturkan oleh pendeta YK di Surabaya. Year 2021
Nilai Luhur Seksualitas
Adakah (tindakan seksual) Yang Diperbolehkan Di Luar Pernikahan ?
Tidak ada !.
Tuhan telah merancang tindakan seksual untuk secara eksklusif hanya terjadi dalam pernikahan.
Prinsip moralnya adalah: setiap penggunaan kemampuan seksual secara sengaja di luar pernikahan adalah salah besar. Oleh karena itu, setiap aktivitas seksual yang dilakukan di luar ikatan perkawinan dilarang, dan merupakan dosa berat, sejauh bahwa anda tahu itu adalah salah dan tidak menolaknya.
Jadi bersadarkan prinsip moral ini, hal-hal berikut adalah dosa dan terlarang: perzinahan, inses, tindakan homoseksual, onani, dan pencabulan. Secara jelas prinsip ini melarang setiap jenis aktivitas genital di luar pernikahan, baik yang dilakukan sendiri atau dengan orang lain.
Bagaimana dengan ciuman atau sentuhan yang penuh gairah?.
Mari kita terapkan kembali prinsip: “setiap penggunaan yang disengaja dari kemampuan seksual di luar pernikahan adalah tidak bermoral.” Ini termasuk dengan sengaja membangkitkan gairah seksual pada diri sendiri atau pasangan.
Jelas, jika Anda berpegangan tangan atau memberikan ciuman selamat malam yang tidak tulus dan secara tidak sengaja membangkitkan gairah seksual, anda tidak bersalah atas dosa.
Tetapi jika anda dengan sengaja menuruti gairah itu, atau jika anda mencium dan menyentuh dengan maksud untuk membangkitkan gairah, anda bersalah.
Beberapa ekspresi kasih sayang hampir pasti bisa membangkitkan gairah seksual. Maka semua itu harus dihindari sampai saatnya dapat digunakan secara sah dalam ikatan pernikahan.
Pandangan Gereja atas Homoseksualitas
“Gereja berusaha untuk memungkinkan setiap orang untuk menghayati panggilan universal menuju kekudusan. Orang-orang dengan kecenderungan homoseksual harus menerima setiap bentuk bantuan dan dorongan untuk menerima panggilan ini secara pribadi dan sepenuhnya. Ini sudah pasti akan membutuhkan banyak perjuangan dan pengendalian diri, sebab mengikuti Yesus selalu berarti mengikuti jalan Salib. Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat menjadi sumber penting bagi penghiburan dan pertolongan di jalan ini."
Tentang Penyimpangan Homoseksualitas
Homoseksualitas diartikan sebagai hubungan antara laki-laki atau antara perempuan yang mengalami ketertarikan seksual eksklusif kepada orang-orang dari jenis kelamin yang sama. Hubungan ini muncul dalam berbagai bentuk selama berabad-abad dan dalam budaya yang berbeda-beda pula. Asal-usul psikologisnya sebagian besar tetap tidak dapat dijelaskan.
Berdasarkan Kitab Suci, yang menyajikan tindakan homoseksual sebagai tindakan kebejatan berat (lih. Kejadian 19:1-29; Roma 1:24-27; 1 Korintus 6:10; 1 Timotius 1:10), tradisi suci selalu menyatakan bahwa “Tindakan homoseksual secara intrinsik adalah menyimpang dan merusak.” Hubungan semacam itu melawan hukum alam. Mereka menutup kemungkinan hadirnya karunia kehidupan dalam tindakan seksual yang seharusnya. Mereka bukan hasil dari ketertarikan seksual yang saling melengkapi dan alami. Dalam kondisi apapun hubungan semacam ini tidak dapat disetujui ataupun dibenarkan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa jumlah pria dan wanita dengan kecenderungan homoseksual yang mendalam tidaklah sedikit. Bukan pilihan mereka memiliki kondisi homoseksual; sebab bagi kebanyakan dari mereka, kondisi itu adalah sebuah cobaan hidup dan kesengsaraan.
Namun mereka harus diterima dengan hormat, kasih sayang, dan kepekaan. Setiap tanda dan tindakan diskriminasi yang tidak adil terhadap mereka harus dihindari. Orang-orang ini dipanggil untuk memenuhi kehendak Tuhan dalam hidup mereka dan, jika mereka adalah orang Kristen, untuk menyatukan kesulitan yang mungkin mereka hadapi (karena kondisi mereka itu) dalam pengorbanan Salib Tuhan di kayu salib.
Orang-orang yang homoseksual (pun) dipanggil untuk kesucian. Berdasarkan pengendalian diri yang mengajari mereka kebebasan batin, kadang-kadang dengan dukungan persahabatan yang tidak memihak, dengan doa dan rahmat sakramental, mereka dapat dan harus secara bertahap dan tegas mendekati kesempurnaan sebagai seorang Kristen.
Sumber: Catechism of the Catholic Church (CCC) section 2352, 2357-2359, section 2390
(Congregation for the Doctrine of the Faith, Persona humana, 8)
USCCB, Ministry to Persons with a Homosexual Inclination (2006), p.13
Dari Katekismus Gereja Katolik, 1994
Listening to the Lord's Words - (a New Year's resolution)
May all holy Angels and Saints help me with this resolution and may the Holy Spirit helps me to bear the fruit from this resolution
In 2021, The Lord - thru his angel - sent me a book, which guides and teaches the readers how to communicate with Jesus and or answer His calling. It helps the readers to understand and seeing themselves from Jesus's perspective, thru a short and simple daily reading.
I promised myself to read it all the way in year 2022, including the scripture' chapters and verses behind the teaching. May all holy Angels and Saints help me with this resolution and may the Holy Spirit helps me to bear the fruit from this resolution.
-Metanoia-