Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Five Reasons That Jesus Speaking Literally About His Real Flesh And Blood

Hosti Kudus adalah sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Kristus. Kata Yesus: "Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman”.

Five reasons that Jesus speaking literally about his real flesh and blood:

1. The discourse takes place just after the famous miracle of the multiplications of the loaves. Jesus turned five loaves and a couple of fish into a seemingly inexhaustible food supply: enough to feed thousands of people and still 12 baskets of leftovers. This miracle prefigures the inexhaustible gift of Christ’s own flesh and blood.

2. Jesus claims the superiority of his bread over the manna given to the Israelites. “I am the bread of life. Your fathers ate the manna in the wilderness, and they died. This is the bread which comes down from Heaven that a man eats of it and does not die (John 6: 48 - 50).

3. Everyone who heard Jesus understood him to be speaking literally of his body and blood.      ”How can this man give us his flesh to eat?”. “This is a hard saying; who can listen to it?”.

Many of Jesus' disciples -  who were with him for many years - quit following Jesus, never even asking Jesus to explain himself. They understood perfectly that Jesus meant precisely what he said.

4. Jesus repeats six times in six verses (verses 53 - 58) ”Truly, truly, I say to you, unless you eat the flesh of the son of man and drink his blood, you have no life in you”.
“For my flesh is food indeed and my blood is drink indeed”.

5. Many of Jesus’ own disciples can’t accept the literalness of his teaching and leave him. Notice that Jesus did not call them back and explain that he is only speaking figuratively.
Jesus didn't call the unbelieving disciples back and offered to explain for an obvious reason: they understood exactly what he meant. They just couldn’t accept it. Even the twelve apostles were shaken. But Jesus doesn’t compromise a bit. Instead, he challenges His own hand picked Apostles: “will you also go away?.  In faith Peter answers: “Lord, to whom shall we go ?. You have the words of eternal life”.

Lima Dasar Bahwa Yesus Berbicara Secara Harafiah Tentang Tubuh Dan DarahNya:

1. Khotbah terjadi tepat setelah keajaiban penggandaan roti. Yesus mengubah lima roti dan beberapa ikan menjadi persediaan makanan yang tampaknya tidak pernah habis: cukup untuk memberi makan ribuan orang dan masih tersisa 12 keranjang makanan. Mukjizat ini menggambarkan pemberian darah dan daging Kristus sendiri yang tidak ada habisnya.

2. Yesus mengklaim keunggulan/keutamaan rotiNya atas manna yang diberikan kepada orang Israel. “Aku adalah roti hidup. Nenek moyangmu telah makan manna di padang gurun dan mereka telah mati. Akulah roti hidup yang turun dari Surga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya (Yohanes 6: 48 - 50).

3. Setiap orang yang mendengar Yesus mengerti bahwa Yesus berbicara secara harafiah tentang tubuh dan darahNya. "Bagaimana orang ini bisa memberi kita dagingnya untuk dimakan?". “Ini adalah perkataan yang sulit; siapa yang bisa mendengarkannya?”.
Banyak murid Yesus - yang telah bersamanya selama bertahun-tahun - kemudian berhenti mengikuti Yesus, bahkan tidak pernah meminta Yesus untuk menjelaskan Dirinya sendiri. Mereka memahami sepenuhnya bahwa bahwa Yesus benar-benar bersungguh-sungguh dengan apa yang Dia katakan.

4. Yesus mengulangi enam kali dalam enam ayat (Yoh 6: 53 - 58) "Sungguh, sungguh, Aku berkata kepadamu, kecuali kamu makan daging Anak Manusia dan minum darahNya, kamu tidak memiliki kehidupan di dalam kamu". "Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman”.

5. Banyak dari murid Yesus sendiri tidak dapat menerima ajaranNya secara literal dan meninggalkanNya.
Perhatikan bahwa Yesus tidak memanggil mereka kembali dan menjelaskan bahwa Dia hanya berbicara kiasan. Yesus tidak memanggil kembali murid-murid yang tidak percaya dan menawarkan untuk menjelaskan, karena alasan yang sudah jelas: mereka mengerti persis apa yang Dia maksud. Mereka tidak bisa menerimanya.
Bahkan kedua belas rasul terguncang. Tetapi Yesus tidak berkompromi sedikit pun. Sebaliknya, Dia menantang para Rasul yang dipilihNya sendiri dari awal mula: “Apakah kamu akan pergi juga ?.” Dengan beriman Petrus menjawab: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi?. Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal”.

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Time Management for Catholics

“Our decisions must begin by acknowledging that our lives belong to God. ……..……..
We must maintain a clear sense of our mission on earth: to love God and to love our neighbor. Everything flows from this.”

by Jennie M. Xue

Time is precious and considered a “commodity”. Whether at work or home, obligations and distractions can make us feel overwhelmed and, frequently, distance us from what matters. Claiming ourselves “busy” is, in fact, a popular excuse.

The concept of “time” itself is much more than that. Time isn’t merely “ours”; it’s God’s.

Using this paradigm, in Catholicism, the essence of time revolves around the idea of “the right time”, or kairos in Greek. In the New Testament, the ultimate kairos is Salvation. On the contrary, the chronological time (human time) we’re accustomed to is called chronos.

About kairos, Ecclesian 3:1-8 wrote it well: For everything, there is a season, and a time for every matter under heaven:

A time to be born, and a time to die;
A time to plant, and a time to pluck up what is planted;
A time to kill, and a time to heal;
A time to break down, and a time to build up;
A time to weep, and a time to laugh;
A time to mourn, and a time to dance;
A time to throw away stones, and a time to gather stones together;
A time to embrace, and a time to refrain from embracing;
A time to seek, and a time to lose;
A time to keep, and a time to throw away;
A time to tear, and a time to sew;
A time to keep silence, and a time to speak;
A time to love, and a time to hate;
A time for war, and a time for peace.

God’s time is never linear and is more about values than anything else. Thus, we must discern and weigh the value of each moment, which is reflected in each decision that results in thoughts, words, and deeds.

Cited from Marshall J. Cook in Time Management: A Catholic Approach, “Our decisions must begin by acknowledging that our lives belong to God. Prayer must guide them. And they must be rooted in an honest appraisal of our lives and a sincere desire to love and serve God. We must maintain a clear sense of our mission on earth: to love God and to love our neighbor. Everything flows from this.”

We can use these four tools for managing time as Catholics: self-awareness, organization, prayerful reflection, and purposeful action.
Self-awareness is essential because it takes us a step back to assess how we manage our time. For this, we need to distinguish what is necessary and what isn’t.

Stephen Covey once stressed the importance of value-based time management, which can be categorized into essential and urgent. In the Old Testament, prophet Micah states that an activity is deemed important; when we actively contribute to our mission to do justice, love kindness, and walk humbly with God.

Next, the organization is crucial because it helps us keep track of what needs to be done when it needs to be done, and how long it will take. By having a plan, we can prioritize tasks based on their importance and time sensitivity. Remember, what’s “important”, according to lay experts like Covey, is different from God’s definition.

Prayerful reflection gives us time to slow down and reflect on our faith and values. This helps us reflect on whether an act or a decision is valuable for ourselves, fellow humans, and, most importantly, God. And whether it deepens our faith.

Finally, Catholics should be aware of purposeful action. It simply means taking proactive steps towards achieving our goals instead of merely responding to tasks as they come up or waiting for something to happen.

May our time management as Catholics grow each day. Amen.

———————————————

Manajemen Waktu bagi Umat Katolik

Waktu sangat berharga dan dianggap sebagai "komoditas". Baik di tempat kerja atau di rumah, kewajiban dan gangguan dapat membuat kita merasa kewalahan dan, seringkali, menjauhkan kita dari hal-hal yang penting. Mengklaim diri kita "sibuk", sudah menjadi alasan yang populer.

Konsep “waktu” itu sendiri sesungguhnya lebih dari itu. Waktu bukan hanya “milik kita”; itu milik Tuhan.

Dengan menggunakan paradigma ini, dalam agama Katolik, esensi waktu berkisar pada gagasan “waktu yang tepat”, atau kairos dalam bahasa Yunani. Dalam Perjanjian Baru, kairos tertinggi adalah Keselamatan. Sebaliknya, waktu kronologis (waktu manusia) yang biasa kita kenal disebut kronos.

Tentang kairos, Pengkhotbah 3:1-8 menuliskannya dengan baik: Untuk segala sesuatu, ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya:

Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal;
Ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam;
Ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan;
Ada waktu untuk meruntuhkan, ada waktu untuk membangun;
Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa;
Ada waktu untuk meratap, ada waktu untuk menari;
Ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu;
Ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;
Ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk kehilangan;
Ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang;
Ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit;
Ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara;
Ada waktu untuk mencintai, ada waktu untuk membenci;
Ada waktu untuk perang, dan ada waktu untuk damai.

Waktu Tuhan tidak pernah linier dan lebih tentang nilai daripada apa pun. Oleh karena itu, kita harus mencermati dan menimbang nilai setiap momen, yang tercermin dalam setiap keputusan yang menghasilkan pikiran, perkataan, dan perbuatan.

Dikutip dari Marshall J. Cook dalam Time Management: A Catholic Approach, “Keputusan kita harus dimulai dengan mengakui bahwa hidup kita adalah milik Tuhan. Doa harus membimbing mereka. Dan itu harus berakar pada penilaian yang jujur atas hidup kita dan keinginan yang tulus untuk mengasihi dan melayani Tuhan. Kita harus mempertahankan pengertian yang jelas tentang misi kita di bumi: untuk mengasihi Allah dan mengasihi sesama kita. Semuanya mengalir dari ini.”

Kita dapat menggunakan empat alat ini untuk mengatur waktu sebagai umat Katolik: kesadaran diri, organisasi, refleksi doa, dan tindakan yang bertujuan.

Kesadaran diri sangat penting karena kita perlu mundur selangkah untuk menilai bagaimana kita mengatur waktu kita. Untuk itu, kita perlu membedakan mana yang perlu dan mana yang tidak.

Stephen Covey pernah menekankan pentingnya manajemen waktu berbasis nilai, yang dapat dikategorikan menjadi esensial dan mendesak. Dalam Perjanjian Lama, nabi Mikha menyatakan bahwa suatu kegiatan dianggap penting; ketika kita secara aktif berkontribusi pada misi kita untuk melakukan keadilan, mencintai kebaikan, dan berjalan dengan rendah hati bersama Tuhan.

Selanjutnya, pengorganisasian sangat penting karena membantu kita melacak apa yang perlu dilakukan, kapan perlu dilakukan, dan berapa lama waktu yang diperlukan. Dengan memiliki rencana, kita dapat memprioritaskan tugas berdasarkan kepentingan dan sensitivitas waktu. Ingat, apa yang “penting”, menurut pakar awam seperti Covey, berbeda dengan definisi Tuhan.

Refleksi penuh doa memberi kita waktu untuk memperlambat dan merenungkan iman dan nilai-nilai kita. Ini membantu kita merenungkan apakah suatu tindakan atau keputusan berharga bagi diri kita sendiri, sesama manusia, dan yang terpenting, Tuhan. Dan apakah itu memperdalam iman kita.

Akhirnya, umat Katolik harus menyadari tindakan yang bertujuan. Ini berarti mengambil langkah proaktif untuk mencapai tujuan kita alih-alih hanya menanggapi tugas yang muncul atau menunggu sesuatu terjadi.

Semoga manajemen waktu kita sebagai orang Katolik berkembang setiap hari. Amin.

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Imlek, Tradisi Gereja dan Streisand Effect

S. Hendrianto, SJ

Tahun Baru Imlek ini mengingatkan saya bahwa saya sudah lebih dua tahun menetap di Roma. Ketika saya tiba di Roma di awal tahun 2021, saya harus menjalani karantina selama 14 hari dan Tahun Baru Imlek 2021 tiba pas saya sedang berada dalam masa karantina. Ketika itu beberapa orang umat Warga Katolik IndonesiaCalifornia Utara (WKICU) mengirim pesan dan mengucapkan Selamat Tahun Baru Imlek. Saya jawab Terima Kasih, akan tetapi saya tidak merayakan Imlek; yang pertama bagaimana mau merayakan Imlek dalam karantina dan yang kedua suasana dunia yang masih tidak menentu karena coronavirus juga tidak memungkinkan untuk perayaan Imlek.


Ketika itu ada seorang umat yang mengatakan bahwa Imlek harus tetap dirayakan karena itu bagian dari tradisi sama seperti Gereja Katolik yang memegang teguh tradisi. Saya jawab, analogi antara tradisi Tahun Baru Imlek dengan tradisi di Gereja Katolik itu tidak tepat.
Pertama, tradisi dalam Gereja Katolik basisnya adalah Kitab Suci, sementara Tahun Baru Imlek tidak berbasiskan Kitab Suci. Kedua, tradisi dalam Gereja Katolik digunakan oleh Tuhan untuk berkomunikasi dengan umat manusia, sementara Tuhan tidak berkomunikasi melalui Tahun Baru Imlek. Ketiga, tradisi dalam Gereja Katolik bertujuan untuk membimbing manusia menuju kekudusan, sementara Tahun Baru Imlek tidak ada urusan dengan kekudusan. Terakhir, faktanya ada sejumlah tradisi dalam Gereja Katolik yang juga sudah hilang atau dihapuskan, misalnya misa dalam Bahasa Latin yang lebih dikenal dengan Misa Tridentina atau Tridentine Mass sudah ditinggalkan. Jadi dengan kata lain Gereja Katolik juga tidak sepenuhnya memegang tradisi.

Sebagai catatan Misa Trienditina sudah di tidak pakai lagi sejak Konsili Vatikan II dan diganti dengan misa yang kita kenal sekarang yaitu Misa Novus Ordo (Tata Cara Misa Baru) atau yang juga dikenal dengan nama Misa Paulus VI (dari nama Bapa Suci Paus Paulus VI). Akan tetapi pada tanggal 7 Juli 2007, Paus Benediktus XVI mengeluarkan Motu Proprio Summorum Pontificum (sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh Sri Paus dalam Hukum Kanonik) yang menetapkan bahwa tata cara misa yang diterbitkan oleh Paul Paulus VI adalah bentuk umum - Forma ordinaria, sedangkan Misa Tridentina adalah bentuk luar biasa – Forma Extra Ordinaria. Paus Benedictus XVI juga memberikan kebebasan yang lebih besar untuk menggunakan liturgi Tridentina, dengan menyatakan bahwa semua imam boleh secara bebas merayakan misa Tridentina secara pribadi, tanpa harus meminta izin dari pihak manapun.

Di tahun Kelinci ini saya tiba – tiba teringat lagi dengan analogi antara tradisi Tahun Baru Imlek dan tradisi Latin Mass di Gereja Katolik.
Pada tanggal 16 Juli 2021, Paus Fransiskus mengeluarkan Motu Proprio Tradiones Custodes yang membatasi perayaan misa Tridentina kecuali dengan izin Uskup setempat. Pada tanggal 4 Desember 2021, Vatican juga menegaskan bahwa Sakramen – Sakramen lainnyadalam liturgi Tridentina juga dibatasi. Perkembangan di Gereja Katolik ini membuat saya merenungkan pengalaman saya dengan Tahun Baru Imlek, karena menurut saya kedua hal itu ada kaitannya secara tidak langsung.

Ketika saya masih kecil, saya terbiasa merayakan hari raya Imlek di kampung. Sedikit catatan bahwa mayoritas orang Tionghoa di kampung saya adalah orang Hakka, jadi mereka tidak menyebut Imlek tapi Kongian, dalam Bahasa Hakka. Sebagai anak kecil tentu saya tidak mengerti makna Imlek, kecuali makan makanan enak, menerima angpau atau pun bertamu ke rumah tetangga dan keluarga. Karena keluarga saya dari keluarga menengah ke bawah, tentu saja banyak hal – hal yang tertentu yang tidak sanggup kita nikmati dalam hari- hari biasa. Maka cuma pas hari raya Imlek saja kita bisa makan raisin atau cashew nuts, yang bagi saya ketika itu adalah barang mewah. Saya bersekolah di SD Katolik tapi sekolah meliburkan para murid selama beberapa hari pada Tahun Baru Imlek. Ingatan saya akan Tahun Baru Imlek yang membekas adalah ketika saya sudah duduk di bangku SMA. Ketika itu pemerintah daerah melarang Sekolah saya yangKatolik untuk meliburkan para siswa pada Tahun Baru Imlek. Ditambah lagi kabarnya ketika itu Kanwil Depdikbud main ancam mengancam kalau sampai sekolah meliburkan siswa pas Tahun Baru Imlek maka status Sekolah saya sebagai sekolah swasta yang disamakan (dengan sekolah Negeri) bisa terancam diturunkan. Para siswa yang mayoritas keturunan Tionghoa pun ribut besar; Ketua OSIS menyerukan bolos massal pas Tahun Baru Imlek. Tapi ada juga seorang Ketua Kelas (dari kelas IPA – sementara saya duduk di kelas IPS) yang menentang seruan bolos massal karena dia tidak ingin status sekolah terpengaruh, sehingga cita – cita dia masuk Perguruan Tinggi Negeri bisa gagal. Saya sendiri ketika itu berpikir bahwa kedua orang tersebut salah besar, karena masalah nya bukan pada status sekolah atau keharusan merayakan Tahun Baru Imlek. Tapi masalah utamanya adalah Depdikbud sebagai perpanjangan tangan Orde Baru yang semena – mena melarang Tahun Baru Imlek. Tentu saja kebijakan tersebut bagian dari politik diskriminasi terhadap orang Tionghoa yang dilancarkan olehOrde Baru sejak awal berdirinya. Jadi kalau benar – benar mau melawan, ya lawan lah pemerintah Orde Baru, bukan melawa sekolah. Sementara saya juga tidak setuju kepada sang Ketua Kelas (dari kelas sebelah) yang mau manut dan tunduk saja pada pemerintah.

Ketika saya pindah ke Yogya dan mulai duduk di bangku Perguruan Tinggi di Universitas Gadjah Mada, kebencian saya terhadap Orde Baru sudah semakin membatu. Jadi menurut saya yang penting adalah Orde Baru dan Soeharto harus dilawan, khsusunya politik rasialis dan diskriminatif dari Orde Baru. Setelah Soeharto tumbang dan Gus Dur mulai membuka keran kebebasan, sayamasih ingat ketika Gus Dur menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif, berlaku bagi mereka yang merayakannya. Ketika itu saya sudah bekerja di sebuah kantor pengacara Internasional; saya pun memutuskan untuk mengambil kesempatan libur dan merayakan Imlek, sebagai bentuk “kemenangan” simbolis atas perlawanan terhadap politik diskriminatif Orde Baru. Tapi belakangan ketika Megawati menetapkan Imleksebagai hari libur Nasional dan perayaan Imlek sudah kebablasan, saya memutuskan untuk mundur lagi. Saya pikir tidaklah pada tempatnya perayaan Imlek yang meriah dan serba wah di tengah situasi rakyat banyak yang masih morat – marit hidupnya ditengah situasi ekonomi yang belum menentu pasca reformasi.

Tahun 2004, saya meninggalkan Indonesia untuk studi lanjut dan kemudian bermukim di Seattle. Ketika di Seattle, paling saya sekedar merayakan Imlek dengan makan – makan di Chinatown bersama teman – teman dari Mudika Seattle. Tapi belakangan saya memutuskan menjadi seorang vegetarian, sementara restaurant favorit teman – teman saya adalah Kaw Kaw yang terkenal dengan babi panggangnya.Jadilah saya tidak ikut merayakan lagi Tahun Baru Imlek bersama teman – teman Mudika Seattle.

Tahun 2009, saya masuk Novisiat Serikat Yesus dan saya langsung berhadapan lagi dengan realitas bahwa Tahun Baru Imlek di “larang” kembali. Ketika itu pembesar di Novisiat “melarang” saya dan seorang teman dari Vietnam untuk merayakan Tahun Baru Imlek. Pas tahun baru Imlek, makanan yang disajikan adalah masakan Mexico.
Karena kesal atas pelarangan tersebut dan harus makan masakan Mexico pada tahun baru Imlek, pada malam hari, saya dan teman tadi menyelinap keluar untuk makan di Pecinan.

Setelah selesai Novisiat, saya pindah ke Chicago untuk melanjutkan studi filsafat dan di Chicago, saya pun memutuskan untuk “balas dendam” atas pelarangan di Novisiat. Ketika Tahun Baru Imlek tiba, saya dan sejumlah teman pun memutuskanuntuk merayakan Imlek di Chinatown Chicago dan menikmati hotpot sepuasnya.

Setelah Chicago, saya tidak ingat lagi ada pengalaman Imlek yang penuh makna dalam hidup saya. Akan tetapi melihat ke belakang, semangat saya untuk merayakan Imlek justru lebih besar dan menggebu gebu ketika Imlek dilarang, baik oleh pemerintah Orde Baru ataupun pembesar saya. Berdasarkan pengalaman itu saya pun merenungkan keputusan Paus Fransiskus untuk membatasi Misa Tridentina. Saya termenung merenungkan apakah sebagian umat Katolik justru akan diam – diam di bawah tanah terus merayakan Misa Tridentina. Tentu saja analogi saya kurang tepat, umat Katolik seharusnya tunduk dan patuh kepada Bapa Suci, bukan seperti orang –orang Tionghoa Indonesia yang tetap ngotot merayakan Imlek meski dilarang pemerintah Orde Baru.Akan tetapi saya ingat kepada Streisand effect yang merujuk kepada usaha untuk melarang, mensensor atau menghilangkan sebuah informasi yang akibatnya justru melipatgandakan keingintahuan orang terhadap informasi yang dilarang tersebut.

Streisand effect ini bermula dari kasus penyanyi Barbra Streisdand yang mencoba untuk melarang publikasi foto rumahnya di Malibu, California, terutama pada sisi yang menghadap pantai. Barbra Streisand menuntut penghapusan foto rumahnya dalam album 12.000 foto garis pantai California yang dimuat di Pctopia.com.
Tindakan ini malah membuat orang banyak semakin penasaran. Sebelum gugatan dilayangkan, foto rumah Barbra hanya diunduh oleh enam pengunjung. Setelah kasus Barbra mencuat, lebih dari 420.000 orang mengunjungi situs yang memuat foto rumahnya.

Sekali lagi mungkin analogi saya kurang tepat karena pelarangan yang dilakukan oleh Barbra Streisand itu hanyalah merupakan tindakan manusia yang ingin melindungi kepentingan pribadinya. Sementara keputusan Paus Fransiskus merupakan tindakan yang terinsipirasi oleh Roh Kudus, dan untuk kepentingan Gereja secara menyeluruh. Sehingga mungkin saja banyak orang yang setelah ini tidak peduli lagi terhadap Misa Tridentina dan tradisi tersebut akan hilang dalam satu generasi ke depan.

Meski demikian ada satu hal lagi yang membuat saya termenung. Pada masa Orde Baru, salah satu alasan Orde Baru melarang Imlek ada soal kecemburuan sosial (diantara banyak alasan politik lainnya). Satu sisi ada benarnya alasan tersebut, karena perayaan Imlek yang kebablasan bisa semakin meningkatkan kecemburan sosial. Akan tetapi solusinya adalah bukan dengan larang – melarang. Solusinya justru adalah mengatasi pesoalan ekonomi dan kemiskinan di Indonesia. Selama persoalan itu tidak diselesaikan, kecemburuan sosial tetap akan terjadi baik dengan Imlek ataupun tanpa Imlek.



S. Hendrianto, SJ

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Beautiful Souls

Orang biasa dan tidak sempurna, laki-laki dan perempuan yang disempurnakan oleh Tuhan. Mereka hanya memiliki satu tujuan dalam hidup – menjadi satu dengan Tuhan.

“The difference between the Gospel written and the lives of the Saints is the same as the difference between music written on a page and music played out loud.”

Jiwa-Jiwa yang indah

Hari Raya Semua Orang Kudus adalah hari suci yang khusyuk bagi Gereja Katolik. Ini adalah suatu hari peringatan di mana umat beriman merayakan persekutuan kita dengan orang-orang kudus. Kita dipanggil untuk mengingat dan menghormati saudara-saudari kita di dalam Kristus, saksi-saksi agung Kristus, yang telah pergi sebelum kita dan berada di surga bersama Tuhan. Tapi pernahkah kita berhenti sejenak dan merenungkan siapakah jiwa-jiwa yang indah ini ?. Atau mengapa kita merayakan hidup mereka? Dan bagaimana kita, insan fana ini, bisa menjadi salah satu di antara mereka?

Bila kita perhatikan, tidak ada yang lebih beragam dari semua lapisan kehidupan, melebihi keragaman latar belakang orang-orang kudus. Pria dan wanita. Tokoh-tokoh Alkitab dan tokoh-tokoh kontemporer. Kaya dan miskin. Bangsawan dan orang buangan. Tua dan muda. Yang kuat dan yang lemah. Cerdas dan buta huruf. Berbudaya dan orang biasa. Karismatik dan lemah lembut. Orang Kristen sejati dan orang yang terlambat bertobat. Yang dikanonisasi oleh Gereja dan banyak lagi orang-orang kudus yang tidak dikenal dan tidak dikenal yang telah berjalan di bumi. Setiap seseorang bertemu dengan Tuhan secara pribadi; masing-masing menawarkan kepada kita wawasan yang berbeda tentang bagaimana mencintai Yesus, bahwa ada banyak cara untuk mengasihi Yesus. Santo Yosef, hamba Tuhan yang rendah hati, yang taat pada perintah Tuhan tanpa pertanyaan untuk melindungi Keluarga Kudus. Santo Fransiskus Assisi, menanggapi panggilan “Francis, Fransiskus, pergi dan perbaiki rumah-Ku yang runtuh,” meninggalkan segalanya untuk mengikuti ajaran Yesus Kristus dan untuk berjalan di jejak-Nya. Santo Ignatius dari Loyola, yang Latihan Pencernaan Spiritualnya telah membawa banyak orang setia dalam menemukan Tuhan. Santa Theresia dari Lisieux, dengan kepolosan dan kesederhanaannya bagai seorang anak kecil, mengungkapkan cintanya untuk Tuhan dengan caranya yang kecil. Bunda Teresa dari Calcutta, yang melihat dan mencintai Yesus dalam setiap orang yang dia layani, terutama yang tertindas dan terbuang.

Keragaman mencerminkan volume. Bahwa setiap orang bisa menjadi suci, atau setidaknya, bertujuan untuk menjadi suci. Terlepas dari keragaman latar belakang, orang-orang kudus tampaknya memiliki satu kesamaan. Orang suci mencintai Tuhan dengan segenap hati, jiwa, pikiran, dan kekuatannya, dan mencintai orang lain seperti Tuhan mencintai. Satu pribadi yang mengambil identitas Kristus. Seseorang yang memahami bahwa kekudusan adalah tidak mungkin jika tanpa kasih karunia Tuhan dan tanpa penyerahan diri sepenuhnya dan ketaatan total kepada-Nya. Sama seperti kita, orang-orang kudus memiliki pergumulan, kesalahan, kekurangan, dosa, dan konflik batin mereka. Orang biasa dan tidak sempurna, laki-laki dan perempuan yang disempurnakan oleh Tuhan. Mereka hanya memiliki satu tujuan dalam hidup – menjadi satu dengan Tuhan.

Ketika kita merayakan orang-orang kudus, kita diingatkan bahwa hidup mereka terfokus pada salib: menempatkan Yesus di pusat kehidupan, menjadi satu dengan Tuhan melalui doa - salib vertikal, dan mencintai dan merawat saudara dan saudari kita - salib horizontal. Mereka adalah model untuk kita tiru - karena mereka adalah murid dan pengikut terbesar Yesus.
Di bulan November, kita diingatkan akan identitas kita sebagai satu Tubuh Mistik Kristus. Gereja di bumi bersatu dalam doa dengan gereja di surga. Semua jiwa yang penuh kasih ini mengelilingi kita, menyemangati kita, mendoakan kita, bersyafaat untuk kita, menunggu kita di akhir garis finish. Mereka di surga, dan kita para peziarah di bumi. Bersatu dalam doa, menyembah Tuhan sebagai keluarga dalam Ekaristi. Kita adalah satu dalam Tubuh Kristus. Kita adalah Tubuh Kristus. Tidakkah itu sangat menghibur untuk mengetahui bahwa kita tidak pernah sendirian dalam perjalanan kita?

RS

Kutipan:
St Agustinus: “Perbedaan antara Injil yang ditulis dan kehidupan para Orang Suci adalah sama dengan perbedaan antara musik yang ditulis di halaman dan musik yang dimainkan dengan keras.”

Translated from the original text : “Beautiful Souls”

All Saints’ Day is a solemn holy day of the Catholic Church. It is one of the greatest commemorations, when the faithful celebrate our communion with the saints. We are called to remember and honor our brothers and sisters in Christ, the great witnesses of Christ, who have gone before us and are in heaven with God. But have we ever paused and reflected on who these beautiful souls are? Or why do we celebrate their lives? And how do we, mortal beings, become one?

When we think of the saints, we can’t find more diverse backgrounds from all walks of life. Men and women. Biblical personages and contemporary figures. Wealthy and poor. Aristocrats and outcasts. Old and young. Strong and weak. Intellect and illiterate. Cultured and commoner. Charismatic and meek. Cradle Christians and late converts. The ones canonized by the Church and many more unknown and anonymous saints who have walked the earth. Each one encounters God in a personal way; each offers us a different insight on how to love Jesus, that there are many ways to love Jesus. Saint Joseph, the humble servant of God, who obeys God’s commandments without questions to protect the Holy Family. Saint Francis Assisi, responding to the call “Francis, Francis, go and repair My house which is falling into ruins,” drops everything to follow the teachings of Jesus Christ and to walk in His footsteps. Saint Ignatius of Loyola, whose Spiritual Discernment Exercises have led countless faithful in finding God. Saint Therese of Lisieux, with her innocence and child-like simplicity, expresses her love for God in her little way. Mother Teresa of Calcutta, who sees and loves Jesus in everyone she serves, especially the downtrodden and the outcasts.

The diversity speaks volume. That everyone can be holy, or at least, aim to be holy. Despite the diversity in the background, the saints seem to have one thing in common. A saint loves God with all his/her heart, soul, mind, and strength, and loves others the way God loves. A person who takes on Christ’s identity. One who understands that holiness is not possible without God’s grace and without his/her complete surrender and total obedience to Him. Just like us, the saints have their struggles, faults, flaws, sins, and inner conflicts. The imperfect and ordinary men and women made perfect by God. They have but one purpose in life – to be one with God.

When we celebrate the saints, we are reminded that their lives are focused on the cross: placing Jesus at the center of our lives, being one with God through prayers - the vertical cross, and loving and caring for our brothers and sisters - the horizontal cross. They are our models to imitate because they are the greatest disciples and followers of Jesus. In the month of November, we remember our identity as one Mystical Body of Christ. The church on earth united in prayers with the church in heaven. All these loving souls surrounding us, cheering for us, praying for us, interceding for us, waiting for us at the finished line. They in heaven, and we the pilgrims on earth. United as one in prayers, worshiping God as a family in the Eucharist. We are one in the Body of Christ. We are the Body of Christ. Isn’t it comforting to know that we are never alone in our journey?

RS

Quote:
St Augustine: “The difference between the Gospel written and the lives of the Saints is the same as the difference between music written on a page and music played out loud.”

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

The Elder Brother Of The Prodigal Son - part 2

“Bapa, aku telah berdosa terhadap Surga dan terhadapmu”
God, have mercy on me, a sinner

“Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadapmu. Aku tidak layak lagi disebut anakmu; jadikan aku seperti salah satu pelayanmu "

Tentu saja aku marah, tentu saja aku tidak senang.
Dia hidup seenaknya di negeri asing, dan begitu sudah habis uangnya, ia pulang ke rumah bagaikan seorang pengemis yang kelaparan. Dan bapaku menyambut anaknya yang hilang itu dengan begitu suka cita, hingga menyembelih seekor anak lembu tambun untuk pesta dengan seluruh pekerja.


Sedangkan aku selama ini sudah hidup lurus dan bekerja keras di ladang, melayani bapa dan tidak pernah sekalipun menentang perintahnya. Aku tidak pernah berpesta pora atau mengenal seorangpun pelacur, aku anak sulung, maka aku pantas dihargai atas posisi, semua usaha dan dedikasiku kepada bapa selama ini. Yang jelas, aku jelas lebih baik daripada adikku itu, mengapa justru sekarang bapaku menyambutnya dengan suka cita bahkan memakaikannya jubah, memberinya sandal dan mengenakannya cincin ??. Aku jelas tidak terima semuanya ini, aku tidak akan masuk ke rumah, biarkan mereka berpesta di dalam.

Hari ini makin sore, sudah tiga jam aku di sini, masih duduk di bawah pohon ini, memandang rumah bapa dari jauh. Mereka masih berpesta, musik dan nyanyian riuh rendah masih sesekali terdengar.

Ah, perutku mulai lapar, dan tidak ada makanan atau minuman di sini. Angin pun mulai terasa dingin, dan aku tidak membawa jaket atau selimut. Aku seorang sendiri, sedangkan mereka bergembira di sana.

Sendiri, ya sendiri…
Tiba-tiba aku tersentak, menyadari kesendirian ini..
Mengapa justru aku yang sekarang sendiri ?
Tapi aku masih tak sudi untuk melangkah ke sana, ke rumah bapa.
Maka biarkan aku tetap sendiri, di sini.



Teringat dulu,...ketika aku masih kecil,..kami berdua masih kecil.

Kami sering bermain di dekat sini. Dan di bawah pohon ini, kami selalu menanggalkan sandal kami sebelum memanjatnya. Di atas pohon, kami memetik buahnya yang matang, memakannya, sembari menikmati semilir angin dan menebar pandangan sampai sejauh-jauhnya. Dari atas pohon  ini, bisa terlihat rumah kami di kejauhan, sungai, dan segala sesuatu di kaki perbukitan nun jauh di sana.

Tetapi suatu hari ketika memanjat pohon ini, dia, adikku ini,..tidak banyak berkata. Pandangannya seperti sedang tertambat pada ujung-ujung gunung dan segala sesuatu yang tersimpan di baliknya, segala sesuatu yang tidak tampak. Sesekali ia tampak gelisah tetapi tidak yakin akan apa yang akan dikatakannya “Bang,..apa ya yang ada di balik gunung-gunung itu. Apakah ada ladang-ladang lain seperti ladang milik kita?. Apakah ada rumah-rumah lain dan berapa besar keluarga mereka?...bolehkah kita berkenalan dengan anak-anaknya yang mungkin cantik dan tampan?. Apakah mereka punya anggur dan apakah rasanya sama dengan anggur di rumah kita?. Bang,..aku ingin tahu..”.

Aku cuma diam. Adikku ini ternyata punya banyak pertanyaan dalam hatinya yang tidak bisa aku menjawabnya. Maka aku pun hanya membalas tatapannya tanpa bisa berkata banyak. Mana mungkin aku tau jawaban atas semua pertanyaannya itu. Aku sendiri belum pernah berjalan melampaui puncak-puncak gunung itu untuk tau apa yg ada di baliknya. Yang aku tahu hanya bekerja setiap hari sebaik-baiknya untuk bapaku, supaya ia tidak menilaiku malas dan menjadi marah kepadaku. Aku takut membuat bapaku marah.

Tetapi seperti yang sudah aku pahami, adikku ini bukan seorang yang betah di rumah, ia punya jiwa seorang petualang, dan dia pun tidak akan mudah menyerah selama pertanyaannya belum terjawab. Tiba-tiba katanya: “Bang,..aku ingin pergi melihat dunia di luar sana. Aku tau bapa pasti tidak mengijinkan, tetapi aku tetap akan tetap pergi walaupun dia tidak mengijinkan”.

Hari itu setelah kami turun dari pohon, memakai kembali sandal kami, dan hendak berjalan pulang kembali ke rumah, terasa kaki saya agak sakit dan sama sekali tidak nyaman. Ternyata sandal kami tertukar, aku sedang memakai sandal adikku.


Sandal adikku.
Kupejamkan mataku mengingat saat-saat itu, ketika aku sedang memakai sandal adikku. Segala ketidaknyamanannya, segala kesempitan dan kasar permukaannya, segala kesusahanku untuk melangkahkan kaki.

Coba sekarang aku membayangkan sedang memakai sandal adikku lagi. Membayangkan bagaimana aku berada di posisi dia.. “Be in his shoes”.

Pergi meninggalkan keluarga di masa muda, pergi membawa sebagian harta bapa yang menjadi bagianku. Semangat muda dan keingintahuan yang besar akan dunia lain di ujung sana - telah membuatku berani menentang rencana bapa.
Menganggap harta adalah jaminan hidupku di negeri asing, menggunakannya tidak bijaksana bahkan habis di meja judi dan perempuan-perempuan asing. Menganggap hartaku akan kekal, dan semua orang adalah teman sejati. Menganggap dunia akan tetap baik-baik saja meskipun hidup dalam lingkaran dosa. Tidak perlu berkomunikasi dengan bapa, toh aku sudah dewasa.

Terlalu banyak untuk dikatakan,..yang jelas, semuanya adalah dosa.

Dan ketika masa paceklik tiba, kelaparan dan kemiskinan merajalela, ketika sepeserpun tidak lagi ku punya dan makanan babi pun orang tidak izinkan untuk aku makan, ketika tidak ada lagi teman, ketika yang kurasakan adalah sengsara hidup jauh dari rumah bapa……

Apa yang akan kulakukan?.
Maka aku akan berkata: "Berapa banyak pelayan sewaan ayahku yang punya makanan, dan di sini aku mati kelaparan! Aku akan berangkat dan kembali kepada ayahku dan berkata kepadanya: Ayah, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadapmu. Aku tidak layak lagi disebut anakmu; jadikan aku seperti salah satu pelayanmu" ….

Kini aku akan bangkit,... akan kutanyakan adikku itu. Akan kutanyakan apakah dia juga berkata begitu sebelum memutuskan kembali kepada bapa.

Ternyata dengan membayangkan berada di posisi dia,.. telah membuatku mengerti sedikit tentang kesesakan dan pergumulannya. Memakai sandal yang tertukar telah membuatku mengerti sesuatu. Dan di atas segalanya, adikku telah memilih yang terbaik, yakni bertobat dan berbalik kembali kepada bapa.

Akan kukatakan juga kepadanya,.. bahwa aku tidak lebih baik daripadanya.





Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

The Elder Brother

‘.. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia"‘

The Elder Brother (Of The Prodigal Son)



Saya tidak tahu bagaimana harus memahami perbedaan antara sikap sang Anak Sulung dan sikap sang ayah – dalam kisah the Prodigal Son (Luk 15:11-32).

Karena tidak mudah untuk dipahami, mungkin bukan tanpa alasan bahwa Yesus terlebih dahulu memberikan dua perumpamaan sebelum pada puncaknya memberikan perumpamaan anak yang hilang ini; yakni perumpamaan tentang domba yang hilang dan perumpamaan tentang dirham yang hilang. Lewat dua perumpamaan itu, mungkin Yesus ingin mencontohkan kebahagiaan dan suka cita yang dirasakan sang ayah ketika anak bungsunya kembali; sama seperti kebahagiaan sang gembala yang menemukan kembali seekor dombanya yg tersesat, atau kebahagiaan seorang perempuan yang menemukan kembali dirhamnya yang hilang.

“Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa..”

Ketika sang anak bungsu kembali ke rumah bapanya, sang bapa berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia (ayat 20) dan dengan bersuka cita berkata 'Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali' (ayat 24).

Lain halnya dengan sang anak sulung. Dia tidak serta merta senang dengan kepulangan adiknya, dan sikapnya 180 derajat berbeda dengan sikap bapanya itu. Dia menolak masuk ke rumah, dan katanya 'Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia.'


Jadilah saya bertanya-tanya. Apakah semua hal yang dikatakannya itu sungguh adalah sebab penolakannya itu?. Mari kita lihat satu per satu.

Katanya.. 'Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku'.

Sekarang. Seandainya .. sekali lagi seandainya,.. bapanya pernah memberikan seekor kambing kepadanya untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatnya.

Lantas apakah kemudian dia akan menerima adiknya itu?. Apakah sikapnya akan berbeda ?.
I do not think so. Menurut saya dia akan tetap masih menolak kepulangan adiknya meskipun bapa mereka pernah memberikannya seekor kambing untuk bersuka cita.
Jadi jika demikian halnya,.. maka argumennya itu tidak relevan. Alasan itu tidaklah tepat. Lantas apa ?


Katanya lagi.. 'Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia.' Ini poin-poin ucapannya itu:

  1. anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa

  2. .. bersama-sama dengan pelacur-pelacur

  3. bapa menyembelih anak lembu tambun untuk dia

Mari kita lihat alasan itu satu per satu
1. anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa.
Seandainya adiknya pulang dengan harta yang berlimpah, lebih banyak daripada yang dulu dibawanya pergi.

Coba kita renungkan… apakah dia lantas akan menerima adiknya itu?.
Kalau ya, berarti dia (si Sulung) adalah seorang yang mata duitan, materialistis, atau memandang harta sebagai ukuran dalam menilai orang lain. Baginya, harta lebih penting daripada kasih sayang persaudaraan; dan ketika adiknya pulang dalam ketiadaan dan kemiskinan, diapun enggan menunjukkan kasih, sekalipun itu adalah adiknya satu-satunya.

Still, menurut saya dia tetap akan menolak kepulangan adiknya itu, meskipun is datang dengan lebih banyak harta. Sehingga, adiknya kehabisan harta bukanlah menjadi alasan yang sesungguhnya. Lantas apa?

2. ..bersama-sama dengan pelacur-pelacur
Entah bagaimana dia bisa tahu bahwa adiknya bersama-sama dengan pelacur-pelacur sewaktu di negeri asing, tapi anggaplah itu benar.
Pertanyaannya,.. kalau ternyata adiknya tidak hidup demikian, kalau ternyata adiknya hidup ‘benar’ selama di negeri asing. Coba kita renungkan.. apakah dia lantas akan menerima adiknya itu?.
Kalau ya, berarti dia hanya mau menerima adiknya kalau adiknya itu adalah seorang yang 'suci' dan tanpa kesalahan, tidak berkekurangan dan tidak punya kelemahan. Dia tidak memiliki simpati bagi orang yang melukai hati bapa mereka. Baginya, orang lain harus berkualitas lebih baik atau sekurang-kurangnya sama baiknya dengan dia, baru dia bisa menerima. Alih-alih saudaranya itu perlu dibantu oleh karena segala kesulitan dan kepahitan selama hidup di negeri asing, dia malah sebaliknya menolak, dihukum atau mengucilkan adiknya itu. Seolah dialah orang yang paling berhak untuk menghukum dan mengadili.

Tapi still, meskipun adiknya ternyata hidup ‘benar’ di negeri orang, Sang anak sulung akan tetap menolaknya. Jadi ini juga bukan alasan penolakan yang sesungguhnya. Lantas apa?

3. ..bapa menyembelih anak lembu tambun untuk dia
Betulkah dia marah hanya karena bapanya menyembelih seekor anak lembu tambun untuk pesta itu?.
Seandainya,.. tidak ada seekor anak lembu tambun yang disembelih, seandainya tidak ada pesta besar-besaran..
Apakah dia lantas akan mau menerima adiknya itu?.
Tidak juga. Jadi sepertinya alasan itu tidak relevan juga. Ada atau tidaknya seekor anak lembu tambun disembelih (atau kambing, atau ayam dan ternak potong lainnya) rasanya tidak berpengaruh. Sepertinya dia akan tetap menolak kepulangan adiknya itu, dan enggan masuk ke dalam rumah bapanya.

Dari pembahasan di atas, ternyata kata-kata amarah sang anak Sulung tidak mewakili alasan penolakannya atas kepulangan adiknya. Jadi,.. lantas apa sebetulnya yang menjadi dasar, alasan penolakannya atas adiknya sendiri?.

Jawabannya mungkin ada di dasar hati kita masing-masing.
Bila kita kurang bersyukur dan selalu merasa kurang,.. mungkin kita sedang bersikap seperti anak sulung.
Bila kita tidak bisa melawan amarah,.. kita tidak ubahnya sedang berlaku seperti anak sulung.
Bila kita sering diam-diam menghakimi orang lain dan merasa paling benar dan paling suci,.. kita sedang manjadi seperti anak sulung
Dan bila kita sering gagal untuk mengampuni mereka yang bersalah,.. kita pun menjadi seperti anak sulung.
Demikian juga ketika kita mengutamakan harta & posisi sosial di atas nilai-nilai kemanusiaan dan kasih, kita adalah anak sulung itu.

Memahami sikap sang anak Sulung ternyata tidak ubahnya dengan memahami kerohanian saya sendiri, memahami kelemahan, sifat-sifat duniawi, emosi, keterbatasan dan kekurangan saya. Lewat perumpamaan yang Yesus berikan ini, saya berharap bisa belajar untuk menjadi lebih bijaksana dan tidak mudah menghakimi sesama yang kurang beruntung, terutama di saat saya merasa sudah berada di pihak yang benar. Mudah-mudahan kita mau dan mampu untuk melihat segala sesuatu dalam kehidupan ini dengan kacamata sang Bapa, kacamata Kasih, yang tidak bersyarat, the unconditional love.

Newark, 09_22_22

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Tujuh Kedukaan Bunda Maria

Kita dapat belajar dari kesedihan Maria bagaimana menghadapi penderitaan kita sendiri

Tanggal September 15 adalah hari peringatan Santa Perawan Maria Berduka cita.

Tujuh Dukacita:

1.     Dukacita pertama: Nubuat Simeon (Lukas 2:34-35)

Simeon bernubuat dan berkata kepada Maria, bahwa anak Maria, Yesus, telah ditentukan untuk menjatuhkan dan membangkitkan banyak orang di Israel and akan menjadi suatu tanda pembantahan. Pembantahan itu akan menyakitkan Maria seperti suatu pedang yang menembus dirinya.

 2.     Dukacita kedua: Melarikan Yesus ke Mesir (Mat 2:13)

Dalam mimpi, malaikat berpesan kepada Yosef agar melarikan diri bersama Maria dan bayi Yesus dari aniaya raja Herodes. Ini merupakan pedang dukacita bagi Maria yang bingung karena harus mengungsi dengan seorang bayi yang baru dilahirkan. Dimana harus tinggal? Bagaimana dengan kebutuhan sehari-hari?

3.     Dukacita ketiga: Hilangnya Yesus di Bait Allah (Lukas 2:43-45)

Pedang ketiga sesaat Maria dan Yosef kehilangan Yesus setelah mengunjungi bait Allah pada hari perayaan Paskah di Yerusalem. Mencari anaknya selama tiga hari. Membayangkan bagaimana perasaan seorang ibu begitu gelisah dan takut kehilangan putra satu-satunya.

  4.     Dukacita keempat: Perjumpaan dengan Yesus saat menjalani hukuman mati

Sebagai seorang ibu, melihat anaknya yang sakit, betapa rasanya lebih sakit dari yang sakit.  Apalagi melihat anak yang akan dihukum mati. Membayangkan bagaimana sakitnya pedang yang tembus ke dalam jiwa Bunda Maria.

5.     Dukacita kelima: Yesus wafat (Yoh 19:25)

Membayangkan seorang ibu yang melihat Putranya yang tak berdosa dianiaya dengan keji and dihukum mati didepan matanya. Bunda Maria tidak berontak atau mencaci maki; dia menerima. Sepertinya dia tahu bahwa anaknya harus menjalankan penderitaan itu demi menebus dosa-dosa manusia. Segala sengsara Yesus adalah sengsara Maria. Jika ketika Yesus berkata: “Aku haus.” Bunda Maria pun tidak mampu memberikan setetes air.

 6.     Dukacita keenam: Lambung Yesus ditikam dan jenazah-Nya diturunkan dari salib (Mat 27:57-59)

Waktu Yesus disalibkan, semua murid2nya tidak hadir, kecuali Johanes. Bunda Maria mengalami semuanya, melihat anaknya yang ditusuk lambungnya dan  menghembuskan nafas terakhir. Pedang dukacita yang sangat menusuk untuk seorang ibu. Maka, bunda Maria sangat mengerti kesedihan kita semua dan tidak akan meninggalkan kita. Mungkin kita juga seperti murid2 Tuhan Yesus yang meninggalkan Yesus tetapi Yesus tidak akan pernah meninggalkan kita. Bunda Maria selalu membantu kita untuk mendekatkan diri lagi kepada Yesus. Berdoalah kepada Bunda Maria sesaat kita merasa jauh pada Yesus, sesaat hati kita sedih dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

7.     Dukacita ketujuh: Yesus dimakamkan (Yoh 19:40-42)

Ada pepatah: “It is hard to lose a son or a daughter, but it is harder to bury Christ. To be motherless is a tragedy but to be Christless is hell”. 
"Sangatlah susah ketika kehilangan seorang anak, tetapi terlebih susah lagi ketika harus menguburnya. Hidup tanpa seorang ibu adalah sebuah tragedi, tetapi hidup tanpa Kristus bagaikan hidup di neraka"

Source: https://berkat.id/2019/05/16/xvi-tujuh-kedukaan-bunda-maria/

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Technology and Spiritual Food

…both realizing that children and adolescents do not yet have the emotional maturity to deal with it.

Technology and Spiritual Food

It was a quiet dawn in the park when the girl spotted a squirrel up on a tree. The squirrel piqued her interest. Standing on its feet, the squirrel was holding a burger wrapper with its tiny paws and began sniffing the sheet. To her surprise and horror, it started munching the wrapper; the gravy on the sheet must have been so delicious that the squirrel could not resist finishing it in no time - swallowed whole. It was not aware that it was ingesting something harmful.

Her mind wandered to the young family she saw in a restaurant yesterday. The parents were busy looking at their smartphones, and the child, probably six years old, was busy tapping and swiping his iPad with his delicate fingers. Did the young couple know of what the boy was playing? She surely hoped so, for the boy could scarcely take his eyes off the screen.

People of all ages and from all walks of life are increasingly hooked on their smartphones. After all, we do live in a world that is going digital, and the development in digital technology is unstoppable, influencing and changing the way we live and interact. The technology industry’s forerunners have been monitoring and limiting access in their households due to smartphone usage's addictive nature and ease. Steve Jobs did not let his children use an iPad, while Melinda Gates preferred to wait longer before putting a smartphone in her children’s pockets, both realizing that children and adolescents do not yet have the emotional maturity to deal with it.

At the same time, technology development has also given a wide access to Christian treasures, something unimaginable even at the turn of the last decade – if we know how to harvest them. For example, the Bible and classic and contemporary Christian literature are no longer confined to hardcopy; lecture series and talks are also available online. These electronic and audio versions allow us to read and listen anytime and everywhere. What would have been difficult to secure or burned a deep hole in our wallets are now available at our finger tips – many are for free. The audio books and lectures are especially great for those who are hard-pressed for time; one can listen to spiritual reading in the morning walk, during the commute, or while doing chores. All we need is a smartphone and the desire to deepen our faith.

Here are some examples of websites and mobile apps for spiritual nourishment:

  • Resources for faith formation for all ages and interest – children, youth, and adults, from light-hearted cartoons and movies to intense faith formation programs: https://formed.org/

  • Classic Christian literature, including writings from the saints: http://www.ccel.org/

  • Materials on liturgy and prayers: https://stpaulcenter.com/library/liturgy-and-prayer/#prayer-spirituality

  • Mobile Apps Laudate, which can be downloaded for free, contains the Bible, the daily Mass readings, daily prayer and reflection, Liturgy of the Hours, the Rosary prayer, the Stations of the Cross, and even Vatican documents, in multiple languages (including Asian languages).

It has been said that who we are in five years is determined by what we read today. The statement may be an oversimplification, but there is a ring of truth in it: what we read and watch shapes who we become. Many of us pay attention to our diet; perhaps it is time to do so for the nourishment of our soul as well. The digital world is here to stay, and it is up to us to make a responsible choice.

(RS)





(Terjemahan Versi Bahasa Indonesia)

Teknologi dan Makanan Spiritual

Saat itu fajar yang tenang di taman ketika seorang gadis melihat seekor tupai di atas pohon. Tupai menggelitik minatnya. Berdiri di atas kakinya, tupai itu memegang pembungkus burger dengan cakarnya yang kecil dan mulai mengendus-endus lembaran itu. Yang mengejutkan dan terlihat ngeri, dia mulai mengunyah bungkusnya; kuah di atas sprei pasti sangat lezat sehingga tupai tidak tahan untuk tidak menghabiskannya dalam waktu singkat - ditelan utuh. Itu tidak sadar bahwa itu menelan sesuatu yang berbahaya.

Pikiran sang gadis mengembara kepada satu keluarga muda yang dilihatnya di sebuah restoran kemarin. Kedua orang tua sibuk melihat smartphone mereka, dan sang anak itu, mungkin berusia enam tahun, sibuk mengetuk dan menggesekkan iPadnya dengan jari-jarinya yang halus. Apakah pasangan muda itu tahu apa yang sedang dimainkan anak laki-laki itu? Dia pasti berharap begitu, karena bocah itu hampir tidak bisa mengalihkan pandangannya dari layar.

Orang-orang dari segala usia dan dari semua lapisan masyarakat semakin terpikat pada smartphone mereka. Bagaimanapun, kita hidup di dunia yang akan digital, dan perkembangan teknologi digital tak terbendung, mempengaruhi dan mengubah cara kita hidup dan berinteraksi. Pelopor industri teknologi telah memantau dan membatasi akses di rumah mereka karena sifat kecanduan dan kemudahan penggunaan smartphone. Steve Jobs tidak membiarkan anak-anaknya menggunakan iPad, sementara Melinda Gates lebih suka menunggu bertahun-tahun lebih lama sebelum memasukkan smartphone ke saku anak-anaknya, keduanya menyadari bahwa anak-anak dan remaja belum memiliki kedewasaan emosional untuk menghadapinya.

Pada saat yang sama, perkembangan teknologi juga telah memberikan akses yang luas terhadap harta Kristiani, sesuatu yang tidak terbayangkan bahkan pada pergantian dekade terakhir – jika kita tahu cara memanennya. Misalnya, Alkitab dan literatur Kristen klasik dan kontemporer tidak lagi terbatas pada hardcopy; seri kuliah dan pembicaraan juga tersedia secara online. Versi elektronik dan audio ini memungkinkan kita untuk membaca dan mendengarkan kapan saja dan di mana saja. Apa yang akan sulit untuk mengamankan atau membakar lubang yang dalam di dompet kita sekarang tersedia di ujung jari kita – banyak yang gratis. Buku audio dan kuliah sangat bagus untuk mereka yang kesulitan waktu; seseorang dapat mendengarkan bacaan rohani di jalan pagi, selama perjalanan, atau saat melakukan tugas. Yang kita butuhkan hanyalah sebuah smartphone dan keinginan untuk memperdalam iman kita.

Berikut adalah beberapa contoh situs web dan aplikasi seluler untuk makanan rohani:

Sumber daya untuk pembinaan iman untuk segala usia dan minat – anak-anak, remaja, dan dewasa, dari kartun dan film yang ringan hingga program pembinaan iman yang intens: https://formed.org/

Literatur Kristen klasik, termasuk tulisan-tulisan dari orang-orang kudus: http://www.ccel.org/

Materi tentang liturgi dan doa: https://stpaulcenter.com/library/liturgy-and-prayer/#prayer-spirituality

Aplikasi Seluler Laudate, yang dapat diunduh secara gratis, berisi Alkitab, bacaan Misa harian, doa dan refleksi harian, Liturgi Setiap Jam, doa Rosario, Jalan Salib, dan bahkan dokumen Vatikan, dalam berbagai bahasa (termasuk bahasa Asia).

Ada kata-kata bijak bahwa siapa kita dalam lima tahun ditentukan oleh apa yang kita baca hari ini. Pernyataan itu mungkin merupakan penyederhanaan yang berlebihan, tetapi ada kebenaran di dalamnya: apa yang kita baca dan tonton membentuk siapa kita. Banyak dari kita memperhatikan pola makan kita; mungkin sudah waktunya untuk melakukannya bagi makanan jiwa kita juga. Dunia digital akan tetap ada, dan tergantung pada kita untuk membuat pilihan yang bertanggung jawab.

(RS)





Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

One Blesses Six

“Pernahkah kita menyadari bahwa hari Minggu juga berarti hari awal pekan, hari pembuka, hari yang menguatkan iman, pengharapan dan cinta kita kepada Tuhan, sembari memohon tuntunan Roh Kudus untuk pekan yang baru?”

Mungkin banyak di antara kita yang selama ini memandang & memanfaatkan hari Minggu sebagai hari akhir pekan, karena memang dalam bahasa Inggris hari Minggu termasuk satu dari dua hari weekend, sedangkan terjemahan weekend itu sendiri adalah akhir pekan.
Siapa yang tidak suka hari Minggu ? No one. Semua orang suka weekend, dan selalu menyambut weekend dengan senang hati karena pada umumnya weekend adalah waktu istirahat & refreshing setelah bekerja sepanjang pekan dari hari Senin sampai Jum’at (atau bahkan Sabtu). Selain untuk refreshing, hari Minggu kemudian diisi dengan ibadah di gereja, mengucap syukur akan segala berkat & penyertaan Tuhan di sepanjang pekan yang telah berlalu.
Tidak ada yang salah dengan semuanya itu.

Tetapi apakah sesimple itu?. Pernahkah kita menyadari bahwa hari Minggu juga berarti hari awal pekan, hari pembuka, hari yang menguatkan iman, pengharapan dan cinta kita kepada Tuhan, sembari memohon tuntunan Roh Kudus untuk pekan yang baru ?.

Ibarat sebuah mobil perlu diisi bahan bakar, atau electric car perlu di-charged dulu sebelum drivernya melakukan perjalanan jauh, rohani kita juga perlu diisi dengan firman-firman Tuhan yang dibacakan dalam misa, oleh ibadat sabda dan yang terpenting yakni Ekaristi. Jadi hari Minggu adalah hari di mana kita memohon berkat Tuhan (dalam misa) untuk hari-hari di sepanjang pekan yang baru. Dan berkat hari Minggu menyertai hari Senin sampai Sabtu.; One blesses Six.

Dengan demikian setiap hari di sepanjang pekan yang baru, telah dinaungi oleh berkat yang kita terima di misa Ekaristi hari Minggu yang mendahului pekan itu. Berkat itu sungguh memampukan kita menjalani hari-2 Senin sampai Sabtu. Itu menenangkan, sehingga dalam hari-2 weekdays berikutnya tidak perlu lagi kita merasa was-was atau khawatir berlebihan, sebab semua kekhawatiran telah kita sampaikan kepada Tuhan; dan semua harapan telah kita serahkan ke hadirat Tuhan pula.

Memulai satu pekan dengan berkat di hari Minggu, selaras dengan rutinitas para rohaniwan seperti para romo dan suster.
Para biarawan dan biarawati memulai hari mereka dengan sesi doa di pagi hari, mungkin satu jam atau bahkan lebih. Mereka tahu untuk memberikan waktu terbaik untuk Tuhan, yakni di awal hari, sebelum melakukan semua rutinitas lainnya.
Tentu saja di misa hari Minggu kita juga kemudian mengucap syukur untuk hari-2 di minggu yang baru berlalu.

Mari kita memohon & menjadikan berkat dalam misa Ekaristi hari Minggu sebagai kekuatan rohani untuk menjalani weekdays kita. Semoga kita selalu haus & terpanggil untuk menerima berkat itu - bagaikan rusa mendamba air - sehingga jiwa kita bisa berkata ‘AMIN’, bahwa hadir di misa mingguan & menerima Ekaristi kudus adalah suatu berkat yang selalu urgent dan mandatory, bukan sesuatu yang optional & bisa ditawar-tawar.

Semoga.

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Martha dan Maria

"Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku."

(Luk 10:38-42) Ketika Yesus dan murid-murid-Nya dalam perjalanan, tibalah Ia di sebuah kampung. Seorang perempuan yang bernama Marta menerima Dia di rumahnya.
Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya, sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: "Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku."
Tetapi Tuhan menjawabnya: "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya."

"Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku."

Bacaan Injil beberapa minggu yang lalu - yakni tentang Martha dan Maria - masih sangat melekat dalam ingatan saya. Bukan hanya karena tidaklah mudah untuk 100% membenarkan Maria atau 100% menyalahkan Martha, tetapi mungkin karena kita masing-masing juga memiliki gabungan sifat, sikap, dan keadaan yang serupa dari kedua pribadi tokoh itu.

Di satu sisi kita ingin selalu dekat dengan Yesus, merasakan keintiman rohani yang memang menyenangkan hati Yesus dan menguatkan hidup rohani kita. Dengan kata lain, mendengarkan firman tuhan.
Tetapi di lain sisi kita sering terperangkap dalam lingkaran dan rutinitas yang mau tidak mau harus dijalankan, sebab jika tidak maka kita akan mengalami kesulitan setidaknya secara finansial. Bagaimana bisa membayar tagihan bulanan, cicilan, dan begitu banyaknya kebutuhan - jika tidak sibuk bekerja dan bekerja ?.

Ini menarik, sebab Yesus dalam bacaan Injil tidak pernah melarang atau menyalahkan Martha karena telah bekerja dan bersusah payah ‘mempersiapkan segalanya’ dan melayani Yesus. Anehnya, Yesus juga tidak memuji atau berterima kasih atas segala pelayanannya itu. Pun, Yesus tidak menyalahkan Maria.

Ada seorang teman yang berpendapat bahwa jika Martha tidak ‘komplain’ ke Yesus, maka semuanya akan baik-baik saja dan Yesus pun akan diam saja.

I don’t think so. Sebab kalaupun Martha tidak sampai ‘komplain’ ke Yesus,..apakah itu berarti Yesus tidak akan pernah tahu apa yang dia rasakan?. (Martha merasakan ketidakadilan - sebab dia seorang saja yang ‘bekerja’ sementara saudaranya duduk-duduk saja mendengarkan Yesus). Sebab sebagai anak Allah, tentu saja Yesus akan tahu juga meskipun Martha tidak komplain bicara.

Jika demikian, Martha harus bagaimana? Bicara komplain salah, tetapi diam dan komplain dalam hati juga salahkah ?.

Sekali lagi, Yesus tidak pernah menyalahkan Martha oleh karena pelayanannya itu. Pelayanannya itu sudah pasti menyenangkan dan berkenan bagi Yesus. Tidak ada yang salah dalam melayani Yesus, sebab itu juga adalah bentuk cinta dan hormat dari seorang Martha kepada gurunya dan tamunya.
Begitu juga Maria, yang dalam perwujudan cinta dan hormatnya kepada guru dan tamu mereka, memilih duduk tenang mendengarkan Yesus.

Terus, apa yang salah jika demikian halnya?.
Salahnya, adalah Martha komplain.
Dan tidak peduli apakah komplain itu diucapkan atau tidak (sebab Tuhan tahu segalanya yang terucap ataupun tidak ).

Salahnya, adalah Martha komplain karena membandingkan apa yang dia lakukan dan apa yang Maria lakukan.
Karena dia membandingkan cara dia melayani Yesus dengan cara Maria ‘melayani’ Yesus.
Karena dia merasa apa yg dilakukanya lebih penting (sehingga Maria sampai kudu / harus ikut membantunya).
Karena kemudian timbul ketidaksukaan dan iri.
Karena dia berpikir Maria lebih ‘enak’, dan dirinya merasa lebih susah. (Renungan: apakah sesungguhnya dalam pelayanan itu susah???)
Maka patutlah Yesus mengingatkannya "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara”. Ini termasuk perkara membanding-bandingkan pelayanannya dengan bentuk pelayanan orang lain sesamanya.

Lebih parahnya lagi, Martha mengusulkan agar Maria meninggalkan posisinya dan menggantikannya dengan melakukan tugas seperti yang dia (Martha) lakukan. Ini sama saja artinya dengan meinggalkan kedekatan dan hubungan yang baik dengan Yesus. Ini sangat salah. Maka dari itu Yesus selanjutnya berkata : “…tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya."
Saat Yesus datang, hanya satu saja yang perlu: bersama dengan Yesus, mendengarkan Dia, atau berkomunikasi dengan Dia. Dalam kehidupan sehari-hari tanpa kehadiran yesus - mungkin saja Maria sama sibuknya dengan Martha, bekerja sama rajinnya. Tetapi ketika Yesus hadir ! Ya Ketika Yesus datang, ketika Yesus menyapa: ketika Yesus mengetuk pintu: hanya satu saja yang terbaik: mendengarkan suaraNya, firmanNya. Ingat lagu “When you hear His voice today, harden not your heart..”.
Maria memilih itu. Dan itu dikatakan Yesus sebagai “bagian yang terbaik”.

Coba saja kalau dalam pelayanannya itu, Martha selalu bersuka hati, penuh syukur dan bahkan bernyanyi-nyanyi. Pasti tidak kuatir & susah.
Dan coba dalam keseharian dan pelayanan kita, kita selalu mengucap syukur.
Maka Martha dan kita tidak akan komplain, tidak akan saling membandingkan utk mencari yang terbaik. Sebab sesungguhnya semuanya baik dan berkenan bagi Tuhan, semuanya dipanggil untuk melayani Tuhan Yesus dengan kemampuan, rahmat dan talenta yang berbeda beda. Panggilan Maria, Martha, dan kita masing-2: berbeda-beda bentuknya walaupun satu tujuannya: melayani & menyenangkan Tuhan.
Ada orang yang terpanggil untuk melakukan pelayanan aktif, dan ada juga yang terpanggil untuk karya kontemplatif. Keduanya sama-sama eksis dan saling melengkapi, tidak untuk saling meniadakan.

Sekarang tinggallah satu tantangan lagi utk kita: kapan dan seberapa sering kita mengundang Yesus datang ?. Dan di saat-saat doa bersama Yesus itu, seperti seorang Maria, maukah anda meninggalkan semua hal lain, tenang dan khidmat mendengarkan suaraNya yang halus berbicara dalam lubuk hati terdalam ?. Mencari tahu apa yang Yesus harapkan darimu, dan menceritakan apa yang engkau butuh dari Yesus. Adakah saat yang lebih baik, lebih penting, dan lebih indah dari itu?.

Newark, 17 August 2022.

(English translation)

The Bible reading a few weeks ago - about Martha and Mary - is still very much in my memory. Not only because it's not easy to 100% justify Maria or 100% blame Martha, but maybe because each of us also has a combination of similar traits, attitudes, and circumstances from the two personalities.

On the one hand, we want to always be close to Jesus, to feel spiritual intimacy which really pleases Jesus and strengthens our spiritual life. In other words, listening to God's word. But on the other hand we are often trapped in a circle and routines that we inevitably have to carry out, because otherwise we will likely experience difficulties, at least financially. How can you pay your monthly bills, installments, and so many necessities - if you're not busy working and working?.

This is interesting, because Jesus in the Gospel reading never forbids or blames Martha for having worked and gone to great lengths to 'prepare everything' and serve Jesus. Surprisingly, Jesus also did not praise or thank her for all of his ministry. Nor, Jesus blame Mary.

There is a friend of mine who thinks that if Martha does not verbally 'complain' to Jesus, then everything will be fine and Jesus will be just silent.

I don't think so. Because even if Martha doesn't verbally 'complain' to Jesus, does that mean Jesus will never know how she feels? (Martha feels injustice - because she is the only one who 'works' while her sister sits around listening to Jesus). Because as the Son of the Father, of course Jesus would know too, even though Martha didn't say.

If so, what should Martha do? Verbally complaining is wrong, but being silent and complaining in your heart is also wrong?

Again, Jesus never blamed Martha for her service. Her ministry was certainly pleasing and pleasing to Jesus. There is nothing wrong in serving Jesus, because that too is a form of love and respect from a Martha to her teacher and guest. Likewise, Mary, who in the expression of her love and respect for their teachers and guest, chose to sit quietly listening to Jesus.

So, what's wrong if that's the case?. The fault is, that Martha complained. Because she compared the way she served Jesus with the way Mary 'served' Jesus. Because she felt what she was doing was more important part (so that Mary had to help her). Because then hatred and envy arose. Because she felt Maria took an easy part, while hers she found it as more difficult. (Reflection: is it really difficult in ministry ???)
So Jesus should remind her "Martha, Martha, you are worried and troubled with many things". That is, it is a matter of comparing her ministry with other people's ministry.

Worse, Martha suggested that Mary need to leave her position and asked her to do and be same as (Martha) herself. This is the same as suggesting to taking away the good & intimate relationship with Jesus. This is very wrong. That is why then Jesus continues “…but only one thing is necessary: ​​Mary has chosen the best part, which will not be taken away from her.”
When Jesus comes, only one thing is necessary: ​​to be with him wholeheartedly, to listen to Him, or to communicate with Him. In daily life without Jesus presence - maybe Mary is just as busy as Martha, working just as diligently. But when Jesus is present! Yes When Jesus comes around, when Jesus greets, when Jesus knocks on the door: only one thing is best: to listen to His voice, His word. Remember the song "When you hear His voice today, harden not your heart.." Mary chose that. And Jesus said it was "the best part".

Imagine if in her service, Martha is always happy, full of gratitude and even sings. Definitely not worried & difficult. And imagine if in our daily life and service, we always give thanks to the Lord. So Martha and we will not complain, nor will we compare each other to claim to be the best. Because actually everything is good and pleasing to God, all of them are called to serve the Lord Jesus with different abilities, graces and talents. The call of Mary, Martha, and each of us: are different forms although there is only one goal: to serve & please God.
There are people who are called to do active ministries, while others are called to contemplative works. Both exist and are complementary to each other, not to cancel each other out.

Now there is only one more challenge for us: when and how often do we invite Jesus to come?. And in those prayerful moments with Jesus, like a Mary, will you leave everything else behind, quietly listening to His soft voice speak in your deepest heart? To find out what Jesus expects from you, and you tell Jesus what you need from him. Is there a better, more important, and more beautiful moment than that ?

Newark, August 17, 2022.




Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

"Terganggu"

Tanpa bola meriam, dunia akan kehilangan satu orang suci lagi untuk membimbing kita, kita juga tidak akan memiliki Gereja St Ignatius atau Jesuit. Bola meriam itu merupakan gangguan, dan bagaimana St. Ignatius menghadapinya mengubah hidupnya dan jutaan orang lainnya.

Tidak dapat disangkal bahwa kita hidup di dunia yang sibuk. Tuntutan hidup yang tiada henti – keluarga, pekerjaan, perawatan diri, dan banyak lagi – seolah berlomba untuk mendapatkan perhatian kita, sedemikian rupa sehingga kita selalu terburu-buru dan hampir tidak punya waktu untuk sekedar bernafas dan memperhatikan arah hidup kita. Waktu berlalu, kalender berlari menuju akhir tahun, dan kita kemudian bertanya-tanya ke mana perginya hari-hari itu. Kita – para Martha yang khawatir dan terganggu – disibukkan dengan obrolan, gangguan, dan kesenangan dunia, semua hal yang kita pikir kita tidak akan bisa hidup tanpanya.

Kemudian tragedi demi tragedi terjadi: meninggalnya orang yang dicintai, penyakit kritis, pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan besar dengan pasangan atau teman - memaksa kita untuk melepaskan keasyikan dan komitmen penting kita. Tiba-tiba hidup kita berubah, dan kita dikejutkan dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan eksistensial, “Mengapa ini terjadi pada saya? Mengapa saya? Bagaimana sekarang? Apa arti dan tujuan hidup saya? Apakah ada kehidupan yang lebih dari semuanya ini?”

Ini adalah pertanyaan yang biasanya tidak kita tanyakan ketika semuanya berjalan dengan baik. Namun, masa-masa perjuangan dan keputusasaan sesungguhnya sering menandai awal dari babak baru dalam hidup kita. Ini adalah undangan untuk meninjau kembali hidup kita, ketika kita mulai mempertanyakan keberadaan kita dan mencari sesuatu yang berarti.


St. Ignatius dari Loyola adalah contoh klasik. Dalam peperangan, dia terkena bola meriam, melukai satu kaki dan mematahkan yang lain. Bola meriam itu sungguh telah mengganggu kehidupannya yang penuh warna di istana dengan permainan pedang dan para dayang istana. Dalam masa pemulihan, ia menghabiskan berbulan-bulan menganggur, sebagian besar dalam rasa sakit dan kebosanan, yang memberinya waktu yang signifikan dalam keheningan dan kesendirian untuk membaca dan merenungkan tentang hidupnya, kehidupan Kristus, dan orang-orang kudus. Dia mulai memperhatikan gerakan batinnya – sesuatu yang tidak akan bisa dia lakukan jika dia tetap sibuk dengan urusan duniawinya. Dia mulai menyaring bahwa pikiran dan keinginan ini membawa penghiburan atau kesedihan. Cederanya memungkinkan dia untuk melihat Tuhan bekerja dalam dirinya dan hidupnya. Akhirnya, dia memutuskan untuk memilih Kristus daripada kehidupan yang dia jalani sebelumnya.

Dalam masa pemulihan, ia menghabiskan berbulan-bulan menganggur, sebagian besar dalam rasa sakit dan kebosanan, yang memberinya waktu yang signifikan dalam keheningan dan kesendirian untuk membaca dan merenungkan tentang hidupnya, kehidupan Kristus, dan orang-orang kudus.


Kisah kita mungkin tidak sedramatis pertobatan St Ignatius, tetapi kita dapat yakin bahwa Tuhan selalu menjangkau kita setiap saat. Tuhan menyela hidup kita karena suatu alasan, dan kita perlu memperhatikannya. Interupsinya menunjukkan kepada kita apa yang membuat kita tertawan. Hanya kemanusiaan kitalah yang membuat kita lumpuh. Namun, kerentanan kita memungkinkan Dia untuk melakukan terobosan. Ini membuka kita pada kemungkinan yang belum pernah kita pertimbangkan sebelumnya dan potensi yang ditawarkan masa depan kita.

Ketika sebuah bola meriam mengenai St Ignatius, hal terakhir yang bisa dia bayangkan adalah jalan yang pada akhirnya akan menuntunnya untuk menulis Latihan Rohani Ignatius dan mendirikan Serikat Yesus. Tanpa bola meriam, dunia akan kehilangan satu orang suci lagi untuk membimbing kita, kita juga tidak akan memiliki Gereja St Ignatius atau Jesuit. Bola meriam itu merupakan gangguan, dan bagaimana St. Ignatius menghadapinya mengubah hidupnya dan jutaan orang lainnya.


Apa bola meriam kita? Dan bagaimana kita menanggapinya? Jika kita benar-benar percaya bahwa Tuhan akan menjaga kita, bukankah masuk akal jika kita akan melihat dan mengikuti bisikan Roh dengan setia, meskipun kita tidak tahu apa yang ada di depan? Mari kita berdoa kepada Tuhan agar Dia mengungkapkan kepada kita apa yang telah menawan kita begitu lama. Dan agar Dia memberi kita penglihatan untuk mengenali gangguan-Nya dan keberanian untuk keluar dari kurungan kita dan menuju kebebasan.
(RS)

— Peringatan Santo Ignatius jatuh pada tanggal 31 Juli —

Sumber: Terjemahan dari tulisan Rosina Simon berjudul “Interrupted”

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Immersed in Prayer

Mathematically speaking, the only logical answer would be when her will is equal to His will, which would only be possible if she completely surrendered her will and submitted to Him.

Immersed in Prayer

She was immersing herself in the hot water in a quiet morning when three generations of females entered the onsen. Even though she tried to keep to herself, she couldn’t help but notice the young girl, her mother, and her grandmother. Two things caught her attention. The young girl’s smooth porcelain skin, the mother’s well-maintained appearance and yet the onset of aging was apparent, and the grandmother’s deep lines and wrinkles. And their dispositions were noticeably different. The young girl was lively and chatty, the mother refined and eloquent, and the grandmother serenely paying attention and occasionally chimed in the conversation. 

The three generations made interesting contrasts - the evolving physical, mental, and perhaps intellectual progress was clear to see. No one could stop the deterioration of the physique over time, regardless of what one does. Most would develop mentally and intellectually, as one learns from and goes through education and life experiences. The girl has noticed the evolution in herself. Those were exterior, visible, and observable. Then a thought crossed her mind. How about the invisible, the deeper self? Would there be growth in the interiority as well? 

Somehow, she could not put down the thought and started pondering about her faith and prayer. Especially her struggle in understanding free will and God’s will. She was taught that man has free will; and yet “Thy will be done” was also imparted and repeated often in prayers. The peculiar dichotomy. 

She remembered praying as a child and adolescent, petitioning for certain favors, such as getting good grades for her exams, requesting presents for her birthdays, wishing for a certain boy to notice her, et cetera. She was praying and expecting that her prayers would be granted. And to increase the odds, she would promise to be good and try to be super nice and helpful to her family and friends. It was always about her will, and she was bargaining and buying grace. It did not occur to her that God has will. The conversation was a one-way street. Her speaking, Him listening.

Slowly she learned that she did not always get what she asked for. And occasionally, she learned to accept when people reminded her that maybe a certain outcome was not God’s will. Such as when her childhood best friend was diagnosed with leukemia. As a mature adult, she prayed hard and prayed for intercessions, and her friend’s leukemia was cured. She was elated. God was good, and He answered her prayer. When cancer recurred six years later, she prayed harder and added Novenas and weekly fasting while reciting “Thy will be done.” Perhaps it was more in the lips than in the heart, for she was devastated when her friend passed on. Even though she could accept that it was God’s will, and it was best for her friend, she could not help but question the contradiction of her will versus His will.

How could this paradox ever be resolved? Mathematically speaking, the only logical answer would be when her will is equal to His will, which would only be possible if she completely surrendered her will and submitted to Him. If she totally believed that He knows her better than she knows herself, that He loves her more than she loves herself, that His ways are higher than hers. Ceding control. Willingness to enter the unknown. Complete trust. Complete faith. Like Jesus on the Cross. Was that even possible? 

Her thoughts were interrupted by their laughter. The young girl’s gullible chuckle and the grandmother’s gentle laugh. Her eyes were drawn to the grandmother’s wrinkled face. A face that has seen and lived through a bountiful of joys and sorrows. A wise, peaceful soul. Perhaps it is possible. (RS).    

*onsen = Japanese hot spring    

(Translation in Bahasa Indonesia)

Tenggelam dalam Doa

Seorang wanita membenamkan dirinya di air panas di pagi yang tenang ketika tiga wanita dari tiga generasi berbeda memasuki onsen. Meskipun dia mencoba untuk tidak memperhatikan, dia tidak bisa tidak memperhatikan gadis muda itu, ibunya, dan neneknya. Ada dua hal yang menarik perhatiannya. Kulit porselen halus gadis muda itu, penampilan sang ibu yang terpelihara dengan baik namun permulaan penuaan tampak jelas, dan garis-garis dalam dan kerutan sang nenek. Dan disposisi mereka sangat berbeda. Gadis muda itu lincah dan cerewet, ibunya halus dan fasih berbicara, dan neneknya dengan tenang memperhatikan dan kadang-kadang menimpali dalam percakapan.

Tiga generasi membuat kontras yang menarik - kemajuan fisik, mental, dan mungkin intelektual yang berkembang jelas terlihat. Tidak ada yang bisa menghentikan kerusakan fisik dari waktu ke waktu, terlepas dari apa yang dilakukan. Sebagian besar akan berkembang secara mental dan intelektual, ketika seseorang belajar dari dan melalui pendidikan dan pengalaman hidup. Gadis itu telah memperhatikan evolusi dalam dirinya. Itu adalah eksterior, terlihat, dan dapat diamati. Kemudian sebuah pikiran terlintas di benaknya. Bagaimana dengan yang tak terlihat, diri yang lebih dalam? Akankah ada pertumbuhan dalam interioritas juga?

Entah bagaimana, dia tidak bisa mengesampingkan pikiran itu dan mulai merenungkan tentang iman dan doanya. Terutama perjuangannya dalam memahami kehendak bebas dan kehendak Tuhan. Dia diajari bahwa manusia memiliki kehendak bebas; namun "Jadilah kehendak-Mu" juga disampaikan dan sering diulang dalam doa. Dikotomi yang khas.

Dia ingat berdoa sebagai seorang anak dan remaja, memohon bantuan tertentu, seperti mendapatkan nilai bagus untuk ujiannya, meminta hadiah untuk ulang tahunnya, berharap seorang anak laki-laki memperhatikannya, dan lain-lain. Dia berdoa dan berharap doanya akan dikabulkan. Dan untuk meningkatkan peluang, dia akan berjanji untuk menjadi baik dan berusaha menjadi sangat baik dan membantu keluarga dan teman-temannya. Itu selalu tentang keinginannya, dan dia menawar dan membeli anugerah. Tidak terpikir olehnya bahwa Tuhan memiliki kehendak. Percakapan adalah jalan satu arah. Dia berbicara, Dia mendengarkan.

Perlahan dia belajar bahwa dia tidak selalu mendapatkan apa yang dia minta. Dan terkadang, dia belajar menerima ketika orang mengingatkannya bahwa mungkin hasil tertentu bukanlah kehendak Tuhan. Seperti ketika sahabat masa kecilnya didiagnosis menderita leukemia. Sebagai orang dewasa yang matang, dia berdoa dengan sungguh-sungguh dan berdoa untuk syafaat, dan leukemia temannya disembuhkan. Dia sangat gembira. Tuhan itu baik, dan Dia menjawab doanya. Ketika kanker kambuh enam tahun kemudian, dia berdoa lebih keras dan menambahkan Novenas dan puasa mingguan sambil membaca "Jadilah kehendak-Mu." Mungkin itu lebih di bibir daripada di hati, karena dia hancur ketika temannya meninggal. Meskipun dia bisa menerima bahwa itu adalah kehendak Tuhan, dan itu yang terbaik untuk temannya, dia tidak bisa tidak mempertanyakan kontradiksi antara kehendaknya dengan kehendak-Nya.

Bagaimana paradoks ini bisa diselesaikan? Secara matematis, satu-satunya jawaban logis adalah ketika kehendaknya sama dengan kehendak-Nya, yang hanya mungkin jika dia sepenuhnya menyerahkan kehendaknya dan tunduk kepada-Nya. Jika dia benar-benar percaya bahwa Dia mengenalnya lebih baik daripada dia mengenal dirinya sendiri, bahwa Dia mencintainya lebih dari dia mencintai dirinya sendiri, bahwa jalan-Nya lebih tinggi daripada miliknya. Kontrol penyerahan. Kesediaan untuk memasuki yang tidak diketahui. Kepercayaan penuh. Iman yang lengkap. Seperti Yesus di Kayu Salib. Apakah itu mungkin?

Pikirannya terganggu oleh tawa mereka. Tawa gadis muda yang mudah tertipu dan tawa lembut sang nenek. Matanya tertuju pada wajah nenek yang keriput. Wajah yang telah melihat dan menjalani banyak suka dan duka. Jiwa yang bijaksana dan damai. Mungkin itu mungkin. (RS).

*onsen = pemandian air panas Jepang

Read More
Artikel & Renungan WKICU Admin Artikel & Renungan WKICU Admin

Divine Mercy

Dan marilah kita meletakkan hati kita yang penuh penyesalan di telapak tangan kasih-Nya dan membiarkan Kerahiman Ilahi menyembuhkan luka dosa dan kesalahan kita.

The verse “For God so loved the world that he gave his only Son, so that everyone who believes in him may not perish but may have eternal life” (Jn 3:16) is often used to describe the depth of God’s love for us.  This verse is quite unfathomable, as our human mind simply can’t comprehend this profound expression of love. 

In the recent Lenten Triduum recollection, a speaker used an analogy of a fruit fly: it is like a mighty human who loves fruit flies so dearly that the human became one to save them.  That comparison is intriguing.  Could we imagine leaving our comfortable life as a human being willingly and stooping down to be born as the humblest of the fruit flies to save the sinful and the ungrateful flies, accepting the gravity of the suffering and sacrifice that await us? 

Perhaps we can’t, but God did.  “God proves His love for us in that while we were sinners, Christ died for us” (Rom 5:8).  He who loves us first; He who loves us when we are still sinners.  God’s love and mercy for us is inseparable from human existence – the mercy shown to Adam and Eve for their disobedience and rebellion, to Cain for his act of violence, to humanity’s present days’ malice and cruelty.  The Living Word continues to offer His mercy to us, the prodigal son, the lost sheep, the adulteress woman, the thief on the Cross.  His final utterance on the Cross, ”Father, forgive them, for they do not know what they do,” says it all. 

Indeed, God says what He means, and He means what He says.  Alas, despite the unending exhortations and living proofs, humanity continues to doubt and forget.  In the last century, when the world plunged into darkness, besieged by two world wars and their aftermaths, Jesus sent another messenger, Sr. Faustina Kowalska (d. 1938) – a Polish nun and mystic, to remind the world yet again of His faithfulness: 

He who trusts in My mercy will not perish, for all his affairs are Mine [723].

Let the weak, sinful soul have no fear to approach Me, for even if it had more sins than there are grains of sand in the world, all would be drowned in the unmeasurable depths of My mercy [1059].

Tell souls that from this fount of mercy souls draw graces solely with the vessel of trust.  If their trust is great, there is no limit to My generosity [1062].

I have opened My Heart as a living fountain of mercy.  Let all souls draw life from it.  Let them approach this sea of mercy with great trust...  Whoever places his trust in My mercy will be filled with My divine peace at the hour of death [1520].

Sr. Faustina’s diary reminds us that Jesus refuses no one if they turn with trust to His Mercy and seek forgiveness for their sins.  No sin is too grave for Jesus to forgive.  All we have to do is open our hearts to receive the gift.  A gift we can never repay and can only accept, one that must be experienced and not simply understood.  For it is in experiencing this unconditional forgiveness that we can extend forgiveness to the others.

It takes two to hold hands.  Our God is a generous God who never tires of giving.  Jesus continues to extend His hand to us.  Are we responding to His invitation?  When we pray Our Father, when we do the examen of consciousness, when we seek His mercy at Mass and in the sacrament of Reconciliation, do we mean what we say and say what we mean?

We are in the joyous Easter season, a season where we celebrate the victory of Light over darkness.  Jesus Christ’s blood has redeemed us, transforming us from the beloved dust into the precious child of God.  In the excitement of the Easter celebration, let us call out to the Lord with conviction, “Jesus, I trust in You.”  And let us place our contrite heart in His loving palm and allow the Divine Mercy to heal the wounds of our sins and guilts. 
(RS)

Ayat “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan memperoleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16) sering digunakan untuk menggambarkan kedalaman kasih Allah kepada kita. Ayat ini sangat sulit untuk diselami, karena pikiran manusia kita tidak dapat memahami ungkapan cinta yang sangat mendalam ini.

Dalam ingatan Triduum Prapaskah baru-baru ini, seorang pembicara menggunakan analogi lalat buah: seperti manusia perkasa yang sangat mencintai lalat buah sehingga manusia menjadi satu untuk menyelamatkan mereka. Perbandingan ini amat menarik. Bisakah kita membayangkan meninggalkan kehidupan kita yang nyaman sebagai manusia dengan rela dan membungkuk untuk dilahirkan sebagai lalat buah yang paling rendah hati untuk menyelamatkan lalat yang berdosa dan tidak tahu berterima kasih, menerima beratnya penderitaan dan pengorbanan yang menunggu kita?

Mungkin kita tidak bisa, tapi Tuhan bisa. “Allah membuktikan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Rm 5:8). Dia yang mencintai kita lebih dulu; Dia yang mengasihi kita ketika kita masih berdosa. Kasih dan belas kasihan Tuhan bagi kita tidak dapat dipisahkan dari keberadaan manusia – belas kasihan yang ditunjukkan kepada Adam dan Hawa atas ketidaktaatan dan pemberontakan mereka, kepada Kain atas tindakan kekerasannya, terhadap kedengkian dan kekejaman umat manusia saat ini. Sabda yang Hidup terus menawarkan belas kasihan-Nya kepada kita, anak yang hilang, domba yang hilang, wanita pezina, pencuri di kayu Salib. Ucapan terakhir-Nya di kayu Salib, "Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan," menyatakan itu semua.

Sungguh, Tuhan menyatakan apa yang Dia maksudkan, dan Dia bersungguh-sungguh dengan apa yang Dia firmankan. Sayangnya, terlepas dari nasihat dan bukti hidup yang tak ada habisnya, umat manusia terus ragu dan lupa. Pada abad terakhir, ketika dunia jatuh ke dalam kegelapan, dikepung oleh dua perang dunia dan akibatnya, Yesus mengirim utusan lain, Sr. Faustina Kowalska (wafat 1938) – seorang biarawati dan mistik Polandia, untuk mengingatkan dunia sekali lagi akan Dia. kesetiaan:

Dia yang mengandalkan belas kasihan-Ku tidak akan binasa, karena semua urusannya adalah milik-Ku [723].

Biarlah jiwa yang lemah dan berdosa tidak takut untuk mendekati-Ku, karena meskipun memiliki lebih banyak dosa daripada butiran pasir di dunia, semuanya akan tenggelam dalam kedalaman rahmat-Ku yang tak terukur [1059].

Beritahu jiwa-jiwa bahwa dari sumber rahmat ini jiwa-jiwa menarik rahmat hanya dengan bejana kepercayaan. Jika kepercayaan mereka besar, tidak ada batasan untuk kemurahan hati-Ku [1062].

Aku telah membuka HatiKu sebagai mata air belas kasih yang hidup. Biarkan semua jiwa menarik kehidupan darinya. Biarlah mereka mendekati lautan rahmat ini dengan kepercayaan yang besar... Barangsiapa menaruh kepercayaannya pada belas kasihan-Ku akan dipenuhi dengan kedamaian ilahi-Ku pada saat kematian [1520].

Buku harian Sr. Faustina mengingatkan kita bahwa Yesus tidak menolak siapa pun jika mereka berpaling dengan percaya kepada Kerahiman-Nya dan mencari pengampunan atas dosa-dosa mereka. Tidak ada dosa yang terlalu berat untuk diampuni oleh Yesus. Yang harus kita lakukan adalah membuka hati kita untuk menerima hadiah itu. Sebuah hadiah yang tidak akan pernah bisa kita balas dan hanya bisa kita terima, hadiah yang harus dialami dan tidak hanya dipahami. Karena dengan mengalami pengampunan tanpa syarat inilah kita dapat memberikan pengampunan kepada orang lain.

Dibutuhkan dua orang untuk berpegangan tangan. Tuhan kita adalah Tuhan yang murah hati yang tidak pernah lelah memberi. Yesus terus mengulurkan tangan-Nya kepada kita. Apakah kita menanggapi undangan-Nya? Ketika kita berdoa Bapa Kami, ketika kita melakukan pemeriksaan kesadaran, ketika kita mencari belas kasihan-Nya dalam Misa dan dalam Sakramen Tobat, apakah yang kita maksudkan dengan apa yang kita katakan dan katakan apa yang kita maksudkan?

Kita berada di musim Paskah yang menggembirakan, musim di mana kita merayakan kemenangan Terang atas kegelapan. Darah Yesus Kristus telah menebus kita, mengubah kita dari debu terkasih menjadi anak Allah yang berharga. Dalam kegembiraan perayaan Paskah, marilah kita berseru kepada Tuhan dengan keyakinan, “Yesus, aku percaya kepada-Mu.” Dan marilah kita meletakkan hati kita yang penuh penyesalan di telapak tangan kasih-Nya dan membiarkan Kerahiman Ilahi menyembuhkan luka dosa dan kesalahan kita.
(RS)

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Who is Your King ?

Siapakah rajamu, yang kepadaNya engkau rela menyerahkan nyawamu ?

If I was never born,.. what difference(s) it would be to the World ?.

Ketika kita bertanya kepada diri sendiri: Apa tujuan hidupku terlahir di dunia ini?
Kemungkinan besar kita akan sulit menjawabnya.


Namun ketika pertanyaannya dibalik menjadi: “Kalau saya tidak pernah terlahir di duni ini, apa ada bedanya bagi dunia ?.” Otomatis kita berpikir lebih keras lagi untuk mencari jawaban-jawabannya. Karena kegagalan untuk menjawabnya berarti adalah kegagalan untuk memberikan justifikasi atas keberadaan kita. Dan tidak seorangpun ingin bila kebearadannya di dunia tidak berarti apa-2.


Saat menuliskan ini, invasi Rusia ke Ukraina telah memasuki hari ke sepuluh, dan ratusan korban jiwa telah berjatuhan dari kedua belah pihak. Sebagian besar korban dari pihak Rusia adalah para tentara, karena memang pihak tentara Rusia diperintahkan pemimpin negaranya untuk memasuki wilayah negara Ukraina. Jatuhnya korban para tentara ini (meskipun dalam sebuah perang itu adalah sebuah keniscayaan dan sebuah konsekuensi wajar), tetap saja membuat saya berpikir: 'Ah, sungguh kasihan, sungguh sangat disayangkan, nyawa hilang dalam perang melawan sesama manusia'.


Mengapa disayangkan? Bukankah mereka adalah tentara? Bukankah memang tugas tentara adalah tunduk kepada perintah pemimpin negara, berperang membela dan mempertahankan negara ?.

Iya betul, memang para tentara harus taat kepada pemimpinnya (raja, presiden, panglima tentara) dan tidak boleh menolak perintah, disuruh apapun harus turut perintah, disuruh perang ya perang, disuruh latihan ya latihan. Tetapi bagaimana dengan nyawa-nyawa mereka itu, Apakah kerelaan MEREKA menyerahkan nyawanya untuk berperang, sungguh-sungguh adalah tujuan yang paling penting, mengalahkan pentingnya semua tujuan hidup lain di dunia ini?.

Saya tidak bisa menerka jawabannya. Saya terdiam, lama.

Apakah kalau mati dalam perang akan masuk Sorga ?.
Kalau tidak masuk Sorga, lantas mengapa bersedia menjadi tentara dan membunuh sesama ?.

Pertanyaan-pertanyaan ini terasa begitu mendasar dan penting untuk dijawab. Sebab jika semua tentara telah menyerahkan nyawanya atas nama ketaatan kepada pemimpin (dunia), yang tidak menjamin keselamatan kekal, bagaimana mereka menempatkan ketaatan mereka kepada Tuhan, yang sungguh menjanjikan keselamatan kekal ?.
Ataukah semua tentara tidak percaya akan adanya keselamatan kekal ?. Ataukah sebaliknya mereka percaya bahwa berperang (dan membunuh pihak musuh) akan menghantarkan jiwa mereka kepada keselamatan kekal?.


Jika sungguh sebuah ketaatan adalah kunci mencapai keselamatan kekal, bagaimana kalau Tuhan, sebagai raja kita, memerintahkan kita untuk berperang melawan dosa?. Tidakkah perintah itu adalah jauh lebih penting daripada semua peperangan fisik di dunia?.

Jika ya, akahkah kita rela menyerahkan nyawa demi perintah Tuhan itu? Apakah kita rela mati seperti para tentara yang rela mati mematuhi perintah pemimpin negaranya ?.


Masa Prapaskah adalah masa yang baik untuk memperbaiki diri dan berperang melawan dosa. Dan semoga kita mau melihat kembali apa arti dan tujuan keberadaan kita di dunia ini. Siapakah raja sejati bagi kita, dan apakah kita sudah taat dan rela mati untuk Sang Raja, seperti ketaatan para tentara yang telah rela mati di medan perang.
Sebab Yesus telah menunjukkan kerelaanNya sampai mati di kayu salib, demi ketaatanNya kepada perintah Bapa. Dan dengan menyerahkan nyawaNya, sungguh Dia telah memperoleh kembali hidupNya.


Newark, CA March 5, 2022



Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

The Purpose of Life - Tujuan Hidup

“Tuhan menciptakan aku, supaya aku mengenalNya, mencintaiNya, dan melayaniNya di dunia ini dan bahagia bersamaNya selamanya di Sorga”

Pernahkah anda bertanya : “Apakah sebetulnya tujuan hidup ini ?”

Dalam Katekismus lama ada pertanyaan, “Mengapa Tuhan menciptakanmu?”

Jawabannya: “Tuhan menciptakan aku, supaya aku mengenalNya, mencintaiNya, dan melayaniNya di dunia ini dan bahagia bersamaNya selamanya di Sorga.”

Di sini lah, dalam hanya 18 kata ini, adalah rangkuman seluruh alasan keberadaan kita di dunia.
Yesus bahkan menjawab pertanyaan itu dengan lebih singkat lagi: “Aku datang supaya kamu memiliki hidup dan memilikinya lebih berkelimpahan” (Yohanes 10:10)



Rencana Tuhan untuk Anda sederhana.
Bapa yang maha pengasih ingin memberimu semua hal yang baik - terutama kehidupan kekal. Yesus rela mati di kayu salib untuk menyelamatkan kita semua dari dosa dan keterpisahan kekal dari Allah yang disebabkan oleh dosa (KGK 599-623).

Ketika Dia menyelamatkan kita, Dia menjadikan kita bagian dari Tubuh-Nya, yaitu Gereja (1 Kor.12:27-30). Dengan demikian kita menjadi bersatu dengan Dia dan dengan orang-orang Kristen di manapun (di bumi, di surga, di api penyucian).

Source: Catholic Answer booklet

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Mengapa Orang Katolik menyembah patung ? (Sebuah pertanyaan yang keliru).

Dalam Keluaran 20:4-5, Tuhan melarang pembuatan patung untuk tujuan disembah, tetapi Tuhan sama sekali tidak melarang pembuatan patung.

Mengapa Orang Katolik menyembah patung ? Ada banyak patung di gereja Katolik !.


Anda mungkin belum pernah ditanyai seseorang secara langsung seperti seperti itu.
Tapi bila anda seperti saya dan banyak orang Katolik lain yang pernah mengalaminya, pertanyaan ini sontak terdengar seperti sebuah tuudingan yang tidak bersahabat dan mengusik rasa damai dalam hati.

Mari kita simak akan hal ini, agar kita bisa memberikan jawaban yang benar - sekaligus membuktikan bahwa pemahaman dan tudingan mereka tidaklah tepat.


Dasar yang paling mungkin dipakai oleh orang yang bertanya tentang ini, adalah ayat 4 dan 5 kitab Keluaran bab 20 yang bunyinya adalah seperti ini: “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.
Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku.”


Katolik tentu tidak menyembah patung, atau apapun hasil buatan manusia. Gereja Katolik mengajarkan bahwa hanya Tuhan yang harus disembah. Menyembah apa pun yang diciptakan adalah sebuah dosa serius penyembahan berhala. Dalam Keluaran 20:4-5, Tuhan melarang pembuatan patung untuk tujuan disembah, tetapi Tuhan sama sekali tidak melarang pembuatan patung.
Dalam Keluaran 25:18-19, Tuhan memerintahkan Musa untuk membuat patung malaikat (Kerubim). Dalam Bilangan 21:8, Tuhan menyuruh Musa membuat ular tembaga (seraph), yang harus dibuat oleh orang Israel untuk dilihat agar mereka bisa disembuhkan. Orang-orang Yahudi juga menggunakan banyak patung ukiran di Bait Suci, termasuk kerub, lembu, singa, pohon palem, dan bunga (1 Raja-raja 6 dan 7).


Umat Katolik menggunakan patung dan gambar lain untuk mengingat orang-orang suci yang mereka wakili: Yesus, para malaikat, dan orang-orang kudus. Untuk alasan yang sama, orang Protestan juga menggunakan adegan kelahiran Natal untuk menggambarkan orang suci yang sama: Yesus, para malaikat, dan orang-orang kudus. Bedanya hanya saja, umat Katolik menggunakan patung dan gambar dalam sepanjang tahun dalam rangkaian kebaktian mereka.



Penolakan terhadap patung dan gambar lainnya dalam kehidupan kebaktian Gereja adalah bid'ah yang dikenal sebagai "ikonoklasme". Ini pertama kali terlihat dalam agama Kristen pada abad kedelapan ketika Kaisar jahat Leo Isauria, yang dipengaruhi oleh agama baru Islam (didirikan pada 622 M), mulai menyerang penggunaan patung dan ikon di Gereja. Dalam Konsili Nicea Kedua pada tahun 787 M, Gereja mengutuk bid’ah ini. Ikonoklasme itu kemudian tidak pernah muncul kembali dalam agama Kristen, sampai pada masa terjadinya Reformasi (sekitar th 1520).


Sekarang kita tahu dan siap memberikan jawaban atas pertanyaan (yg didasarkan pandangan yg keliru) di atas.
Dan semoga semakin banyak orang yang menjadi tahu dan mengerti akan ajaran dan tradisi gereja kita yang satu, kudus, katolik, dan apostolik.

Source: San Juan Catholic Seminars




Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

SETIAP PERSEMBAHANMU HARUSLAH KAU BUBUHI GARAM

“Dan setiap persembahan kurban sajianmu haruslah kau bubuhi garam, dan janganlah garam perjanjian Allahmu kurang dari kurban sajianmu, dengan semua persembahanmu haruslah kau persembahkan garam”.

SETIAP PERSEMBAHANMU HARUSLAH KAU BUBUHI GARAM

Mariana Berliana Ali

 

Judul artikel ini adalah ungkapan yang diambil dari Imamat 2 ayat 13 yang berbunyi, “Dan setiap persembahan kurban sajianmu haruslah kau bubuhi garam, dan janganlah garam perjanjian Allahmu kurang dari kurban sajianmu, dengan semua persembahanmu haruslah kau persembahkan garam.” Ayat ini mengandung kata Ibrani minḥāh untuk “kurban sajian” dan melaḥ untuk “garam” yang muncul masing-masing dua dan tiga kali. Artikel ini berusaha menjelaskan unsur-unsur itu dalam konteksnya dan bagaimana kedua unsur tersebut digunakan dalam Perjanjian Baru (PB). Sebagai penutup akan diuraikan pengikut Kristus sebagai kurban dan garam dunia.

 

Konteks

Di Kitab Imamat, kata minḥāh adalah istilah teknis yang digunakan hanya untuk “kurban sajian”, yaitu persembahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Di luar Kitab Imamat, istilah tersebut dapat merujuk bukan saja ke persembahan biji-bijian, melainkan juga hewan yang dikenal sebagai kurban bakaran. Misalnya, baik kurban sajian Kain dan kurban hewan Habel disebut minḥāh (lih. Kej. 4:4-5). Kurban sajian adalah salah satu dari tiga jenis kurban (kurban bakaran dalam Im. 1 dan kurban keselamatan dalam Im. 3) yang menghasilkan “aroma yang menyenangkan bagi Tuhan” (Im. 1:9, 17; 2:2, 9, 12; 3:5, 16).

Kurban sajian resmi dipersembahkan setelah kurban bakaran setiap hari (Bil. 28). Baik kurban bakaran maupun kurban sajian sering disebut bersama-sama dalam kitab-kitab sejarah (Yos. 22:23, 29; Hak. 13:19, 23; 1 Raj. 8:64; 2 Raj. 16:13, 15). Maka wajarlah jika kurban sajian dalam Im. 2 dijelaskan setelah kurban bakaran dalam Im. 1. Tidak seperti kurban bakaran dan kurban keselamatan, kurban sajian bukanlah kurban binatang. Dalam kurban bakaran seluruh hewan yang dipersembahkan dibakar, sedangkan dalam kurban sajian hanya segenggam yang dibakar dalam api dan selebihnya adalah untuk para imam (lih. Im. 2:3, 10).

Apabila seseorang hendak memberi persembahan berupa kurban sajian kepada Tuhan, persembahannya itu harus berupa tepung terbaik yang dituangi minyak zaitun dan dibubuhkan kemenyan di atasnya (Im. 2:1). Tepung bisa dipersembahkan dalam keadaan mentah atau dimasak. Ada tiga cara untuk memasaknya: dipanggang dalam oven (ay. 4), dimasak di atas wajan dengan sedikit minyak (ay. 5) atau digoreng dalam wajan (ay. 7). Sementara ragi dan madu dilarang (ay. 11; lih. Kel. 23:18; 34:25), garam harus ditambahkan ke dalam kurban sajian (ay. 13). Sebelum kita bahas mengenai tambahan garam yang diharuskan ini, marilah kita memahami dahulu makna dan maksud dari kurban sajian.

 

Makna dan Maksud minḥāh

Penggunaan non-religius kurban sajian atau minḥāh sering berarti “upeti”, uang yang dibayarkan seorang raja bawahan kepada tuannya sebagai tanda niat baik dan kesetiaannya yang berkelanjutan (Hak. 3:15, 17-18; 2 Sam. 8:6; 1 Raj. 5:1; 10:25; 2 Raj. 17:3 dst.).[1] Persembahan ini mungkin hanya sebagai “hadiah”, meskipun seringkali menunjukkan bahwa pemberi takut kepada orang yang diberi hadiah dan berusaha untuk mengambil hatinya melalui hadiah. Misalnya, Yakub mengirimkan minḥāh kepada saudaranya Esau (Kej. 32:19 dst.) dan kemudian kepada Yusuf, putranya yang menjabat sebagai perdana menteri Mesir (Kej. 43:11, 15, 25-26).

Makna sekuler minḥāh ini tampaknya kemudian dialihkan ke dunia agama. Kurban sajian dipersembahkan sebagai suatu penghormatan dari penyembah yang setia kepada tuan ilahinya. Ketika sebuah perjanjian dibuat, negara-negara taklukkan diharapkan membawa upeti kepada raja besar. Israel juga terikat oleh perjanjian dengan Allah dan karena itu mereka mempunyai tanggung jawab untuk mengungkapkan kesetiaan mereka dengan membawa persembahan gandum.

Berhubung kurban sajian biasanya dipersembahkan bersama dengan kurban lainnya maka dibutuhkan penjelasan untuk menentukan apa maksud sebenarnya ritus itu dipersembahan. Biasanya kurban sajian dipersembahkan bersama kurban bakaran, tetapi kurban sajian juga dapat dipersembahkan secara sendiri pada hari raya panen (lih. Im. 2:14). Menurut Kitab Ulangan bab 26, saat melaksanakan ibadah itu penyembah harus mengakui belas kasihan Tuhan yang telah membawanya ke tanah perjanjian dan harus menyatakan kesetiaannya pada hukum Tuhan yang berkaitan dengan hasil panen pertama. Tuhan “membawa kami ke tempat ini dan memberikan kami negeri ini, suatu negeri yang berlimpah susu dan madu. Sekarang lihatlah, aku telah membawa hasil pertama dari bumi yang telah Kau berikan kepadaku, ya Tuhan” (Ul. 26:9-10). Dalam doanya, si penyembah mengungkapkan makna persembahan hasil pertamanya: ia menyatakan kesetiaannya kepada Tuhan dan persembahannya menjadi penghormatan bagi-Nya. Dengan mempersembahkan sebagian dari hasil panennya kepada Tuhan sebagai ucapan syukur, dia mengakui kebaikan Tuhan kepadanya.

Kurban sajian merupakan hadiah dari penyembah kepada Tuhan dan biasanya diberikan setelah kurban bakaran. Setelah menerima pengampunan dosa melalui kurban bakaran, si penyembah mempersembahkan sebagian dari hasil buminya sebagai kurban sajian kepada Tuhan. Persembahan tersebut dipandang sebagai tindakan dedikasi dan pengudusan diri di hadapan Allah sebagai Juruselamat dan Raja yang menetapkan perjanjian. Kurban sajian itu bukan hanya untuk mengungkapkan rasa terima kasih, tetapi juga kepatuhan dan kesediaan penyembah untuk menaati hukum. Seperti kurban bakaran, kurban sajian adalah kurban yang sering diulang sepanjang hidup penyembah. Kondisi manusia berdosa mengharuskan dia berulang kali mencari pengampunan Ilahi dan memperbarui dedikasi serta sumpah perjanjiannya kepada Tuhan.

Kurban sajian juga berfungsi untuk tujuan praktis: menyediakan bahan makanan pokok bagi para imam. Berhubung para imam dan orang Lewi tidak memiliki tanah sendiri, mereka bergantung sepenuhnya pada niat baik umat. Orang Lewi mengandalkan persepuluhan, tetapi para imam mengandalkan persembahan kurban, khususnya pada persembahan biji-bijian sebab kurban sajian inilah yang paling sering diberikan kepada para imam. Sebaliknya, para imam juga memberikan sebagian dari pendapatan mereka kepada Allah dengan membakar segenggam dari persembahan kurban sajian di atas mezbah sebagai “peringatan” (lih. Im. 2:2, 9, 16).

 

Mengapa setiap persembahan harus dibubuhi garam?

Dalam Kitab Imamat, kata Ibrani melaḥ untuk “garam” muncul hanya dalam Im. 2:13. Apa yang mengejutkan dalam ayat ini adalah saran untuk “membubuhi garam” bukan hanya dalam kurban sajian, tetapi juga dalam “setiap persembahanmu”, suatu penjelasan yang tidak pernah disebut dalam ritual persembahan yang muncul dalam Imamat bab 1, bab 3 sampai dengan bab 17. Kemungkinan hal ini adalah suatu tambahan yang muncul kemudian, meskipun tidak dapat dipastikan kapan ia diadopsi karena ditemukan juga perintah menabur garam untuk kurban bakaran dalam Yeh. 43:24.

Umumnya penggunaan garam dipandang sebagai lawan dari larangan penggunaan ragi sebab garam mencegah pembusukan, sedangkan ragi memicunya. Namun, hanya sedikit bukti yang mendukung bahwa penjelasan tersebut adalah makna simbolis dari pembubuhan garam yang disebutkan dalam Im. 2:13. Di luar Israel, garam dianggap sebagai bumbu makanan bagi para dewa.[2] Berhubung garam digunakan dalam setiap konsumsi makanan, penggunaannya juga dibutuhkan dalam ibadat yang berkaitan dengan persembahan. Fungsi garam sudah begitu dikenal sehingga tidak butuh penjelasan; saran untuk memberi garam ke setiap kurban juga sudah jelas sehingga ketentuan dasar ini cukup diuraikan sekali saja.[3] Pengiriman garam, antara lain, ke bait suci di Yerusalem semasa pasca-pembuangan tercatat dalam Ezra 6:9 dan 7:22.

Garam juga diasosiasikan dengan perjanjian Allah dalam Im. 2:13, yang menunjukkan bahwa garam digunakan untuk melambangkan perjanjian. Istilah “perjanjian garam” dengan Allah memberi gagasan keramahan dalam makan bersama yang mewajibkan kedua belah pihak untuk setia: di satu sisi, Israel harus mematuhi kewajiban yang terungkap dalam perjanjian; di sisi lain, Allah menjamin pemilihan Israel serta hak-hak mereka dalam perjanjian.[4] Penggunaan garam dalam perjanjian dinilai begitu penting sehingga dalam Bil. 18:19 perjanjian yang dibuat antara Allah dan umat-Nya disebut “perjanjian garam” (berît melaḥ). Melalui ayat tersebut, menjadi jelas bahwa garam ditambahkan bukan hanya dalam kurban sajian, tetapi juga dalam semua kurban.

Di luar konteks ritus kurban, garam juga digunakan sebagai simbol untuk perjanjian yang dicatat dalam 2 Taw. 13:5, “Tuhan, Allah Israel, telah memberikan kuasa kerajaan atas Israel kepada Daud dan anak-anaknya untuk selama-lamanya dengan suatu perjanjian garam (berît melaḥ).” Alasan garam disebut disini tidaklah jelas, sepertinya sudah menjadi suatu tradisi untuk memeteraikan perjanjian dengan garam. Fungsi politis garam juga muncul dalam Ezra 4:14 melalui sepucuk surat protes tentang pembangunan kembali kota dan bait suci di Yerusalem: para penulis surat mengungkapkan hubungan dekat mereka dengan raja Persia, “karena kami makan garam istana ...” menjelaskan bahwa mereka ada dalam aliansi dengan istana atau bergantung pada raja.[5]

Daya pengawetan garam juga sudah diketahui dan bisa menjadi faktor penentu dalam penggunaan metaforisnya sebagai lambang daya tahan. Selain itu, garam memiliki kekuatan pemurnian (bayi yang baru lahir digosok dengan garam: Yeh. 16:4) dan dianggap sebagai sinonim untuk kemurnian dan kekudusan (Kel. 30:35). Walaupun kualitas metaforis garam dalam kehidupan religius dan politik tidak dibahas secara eksplisit, tetapi secara implisit selalu ada.

Kata “garam” yang muncul sebanyak tiga kali dalam Im. 2:13 itu mungkin dimaksudkan untuk menekankan peran dan fungsi garam yang banyak digunakan sepanjang zaman kuno untuk mengawetkan makanan, sehingga ungkapan “perjanjian garam” melambangkan keabadian perjanjian antara Tuhan dan manusia. G. Gesenius menganggap ungkapan tersebut sebagai kiasan untuk ikatan perjanjian yang digunakan oleh penduduk Arab, yang makan garam bersama ketika mereka membuat perjanjian.[6] Dengan memahami “perjanjian garam” sebagai suatu perjanjian yang abadi, tindakan membubuhi garam dalam setiap persembahan dapat menjadi sarana untuk mengingatkan si penyembah akan hubungannya yang abadi dengan Tuhan.

 

“Kurban” dan “Garam” dalam PB

Istilah minḥāh muncul dalam Septuaginta dengan istilah thusia yang diterjemahkan sebagai “kurban” dalam PB. Seperti dalam PL, istilah “kurban” digunakan secara umum untuk kurban bakaran dan kurban sajian (Mrk. 12:33; Ibr. 5:1; 7:27; 8:3; 9:9; 10:1.5.8.11). Istilah “kurban” juga digunakan untuk Kristus Yesus yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai kurban yang harum bagi Allah (Ef. 5:2) dan yang telah menghapus dosa kita dengan kurban-Nya (Ibr. 9:26; 10:12). Dengan dasar ini, kita semua diundang agar senantiasa mempersembahkan kurban pujian kepada Allah dan tidak lalai berbuat baik dan membagikan apa yang kita miliki sebab kurban persembahan ini berkenan kepada Allah (Ibr. 13:15-16). Seperti orang-orang Israel kuno yang mempersembahkan kurban sajian pagi dan petang (1 Raj. 18:36; 2 Raj. 3:20), demikian juga kita dipanggil untuk mempersembahkan tubuh kita sebagai kurban yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah (Rm. 12:1). Dengan demikian, kurban mejadi pekerjaan dan pengabdian hidup kita kepada Tuhan.

Kata “garam” muncul sebanyak delapan kali dalam PB. Jika dalam Im. 2:13 garam adalah sesuatu yang dibubuhkan dalam setiap persembahan untuk melambangkan perjanjian abadi dengan Allah, dalam PB garam mewakili para murid yang menerima panggilan dari Yesus untuk menjadi garam dunia (Mat. 5:13). Mereka diminta untuk selalu mempunyai garam dalam diri mereka (Mrk. 9:50) dan tidak menjadi hambar (Luk. 14:34). Sebab, setiap orang akan digarami dengan api (Mrk. 9:49), yaitu ia harus melewati segala macam ujian sehingga apa yang tidak sesuai dengan kehendak Allah dalam dirinya akan dimurnikan. Api itu sendiri yang akan menguji kualitas pekerjaan setiap orang (1 Kor. 3:13). Pada akhirnya, biarlah perkataanmu selalu penuh kasih, dibubuhi dengan garam, supaya kamu tahu bagaimana seharusnya menjawab setiap orang (Kol. 4:6).

 

 Pengikut Kristus sebagai kurban dan garam

Istilah “kurban” dalam PB tidak hanya digunakan untuk kurban bakaran dan kurban sajian, tetapi juga untuk pribadi Kristus dan juga murid-Nya. Begitu pula dengan kata “garam” yang mewakili murid-murid Yesus sebagai garam dunia. Dapat disimpulkan bahwa kedua kata “kurban” dan “garam” digunakan dalam PB untuk para pengikut Kristus yang diundang untuk memberi dan mempercayakan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Sebagai garam dunia, murid Yesus akan memberikan dunia rasa persahabatan dengan Allah dan kesetiaan pada perjanjian-Nya. Nilai-nilai ini tidak akan pernah ketinggalan zaman atau merusak budaya, melainkan meningkatkan karakteristik positif budaya tersebut dan melindunginya dari penyimpangan. Dimana garam persahabatan dengan Allah dan kesetiaan pada perjanjian-Nya pudar, maka kehadiran murid Kristus menjadi semakin dibutuhkan.

Panggilan untuk menjadi garam jarang mendapat pujian atau rasa syukur dari pihak dunia, tetapi murid Yesus tidak mengukur kebaikan tindakannya berdasarkan pendapat dunia, melainkan pada hak istimewanya membawa rekonsiliasi dan hikmat Allah. Walaupun garam diperlukan untuk kebaikan makanan, tetapi setelah makan orang tidak akan berseru, “Oh, betapa baiknya garam itu”! Hal ini selaras dengan gambaran pengikut Kristus yang dijelaskan oleh penulis anonim dalam Surat kepada Diognetus: “Orang Kristen mengasihi semua orang, tetapi mereka menganiayanya. Dihukum karena tidak dipahami, mereka dihukum mati, tetapi dibangkitkan kembali. Mereka hidup dalam kemiskinan, tetapi memperkaya banyak orang; mereka benar-benar melarat, tetapi memiliki segala sesuatu yang berlimpah. Mereka menderita penghinaan, tetapi itulah kemuliaan mereka. Mereka difitnah, tetapi dibenarkan. Memberi berkat adalah jawaban mereka terhadap pelecehan, rasa hormat adalah tanggapan mereka terhadap penghinaan. Untuk kebaikan yang mereka lakukan, mereka menerima hukuman dari para penjahat, tetapi mereka tetap bersukacita seolah-olah menerima hadiah kehidupan”. Sebagai pengikut Kristus, marilah kita mempersembahkan diri setiap hari sebagai kurban dengan hidup sesuai panggilan menjadi garam dunia.

 

Daftar Pustaka

G. Deiana, Levitico/nuova versione, introduzione e commento di Giovanni Deiana (Milano 2005).

G. J. Wenham, The Book of Leviticus (Grand Rapids, MI 1979).

H. Thomas, Levitikus 1-15 (HTKAT; Freiburg 2014).

H. Eising, “melaḥ”, TDOT V, 78-82.

J. Behm, “θυσία”, TDNT III, 181-182.

 

Mariana Berliana Ali mengajar Kitab Suci di STF Driyarkara setelah menyelesaikan Licentiat di Pontifical Biblical Institute dan doktoral Teologi Biblis di Universitas Angelicum, Roma.



[1] G. J. Wenham, The Book of Leviticus (Grand Rapids, MI 1979), 67.

[2] Bahkan dalam budaya di luar Alkitab, garam juga digunakan dalam dunia ibadah. Di Assur, para dewa juga terlibat dalam konsumsi garam seperti terungkap dalam doa berikut: “Kamu adalah garam yang dihasilkan di tempat yang murni. Ellil mentakdirkanmu untuk makanan para dewa besar. Tanpamu, tidak ada makan siang yang diselenggarakan di bait suci. Tanpamu, raja, tuan dan pangeran tidak dapat mencium aroma pengorbanan”. Lih. H. Eising, “melaḥ”, TDOT V, 79.

[3] Lih. H. Thomas, Levitikus 1-15 (HTKAT; Freiburg 2014), 210.

[4] Lih. H. Eising, “melaḥ”, 82.

[5] Lih. H. Thomas, Levitikus 1-15, 211.

[6] Lih. G. Deiana, Levitico/nuova versione, introduzione e commento (Milano 2005) 60.

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Seorang Waria dan Seorang Pendeta

“Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, kamu lakukan untuk Aku”

Seorang waria bertanya kepada seorang pendeta yang baru dikenalnya: “Bapak pendeta, kalau suatu saat nanti saya meninggal, apakah saya akan masuk Sorga?”.
Di usianya yang sudah di atas 60 tahun, sang waria memang tidak muda lagi. Bahkan karena di tahun-tahun terakhir ini sering sakit-sakitan, dia tidak lagi bisa bekerja di salonnya – satu-satunya profesi, sumber penghasilan dan ketrampilan yang dia miliki.
Dia kini tidak memiliki siapa-siapa. Kedua orang tuanya sudah lama tiada, sementara semua saudaranya tidak lagi dekat dengannya sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, sejak mereka tahu bahwa ia bukan seorang laki-laki sejati. Mereka menjaga jarak dan bahkan ada yang secara terang-terangan menolak dia sebagai saudara. Istilah kasarnya, dia seorang yang sudah lama terbuang dari keluarganya.


Menjadi seorang waria sebetulnya bukan keinginannya, dia merasa jiwa dan pribadinya seperti terperangkap dalam tubuh lawan jenis, dan itu sangatlah membingungkan pada awalnya. Bukan hanya keluarganya saja yang menolaknya, bahkan semua masyarakat sekitarnya seolah mencibir dan menjauhi. Dia kini sendiri, dan memang selalu sendiri.


Sang pendeta tampak tidak yakin bagaimana harus menjawabnya. Ia juga tidak yakin ada ayat Alkitab yang secara tegas dan bijaksana bisa memberi jawaban akan pertanyaan yang begitu penting. Maka sejurus sang pendeta terdiam, berpikir keras dan cemas. Ia harus bisa memberikan jawaban, sebab jika tidak, itu akan memberikan konotasi buruk akan jabatannya sebagai seorang pendeta.

Katanya: “Ada harga yang harus kamu bayar, sanggupkah kamu?”

Sang waria membalas “Apa harga yang harus kubayar ?”

“Rumah kamu, salon kamu, uang kamu, bahkan usia kamu”.

Sang waria menjulurkan tangannya sebagai ajakan berjabatan tangan kepada sang pendeta yang langsung menyambutnya. “Iya saya mau pak pendeta, saya relakan semuanya”.

Sejak itu rumah sang waria menjadi 'gereja' di tengah tengah perkampungan kota itu. Setiap minggu sang pendeta melayani umat di situ, yang 100% umatnya adalah para waria ataupun teman-teman mereka. Sebuah rumah sangat sederhana yang dijadikan 'gereja' di pinggir sebuah kali perkotaan, beberapa bagiannya hanya ditutupi terpal plastik, dan umat duduk di kursi plastik yang terkesan murah dan sederhana pula. Khotbah pendeta tidak pernah lama, hanya 10 sampai 15 menit, dan sisa waktu kebaktian banyak diisi dengan lagu-lagu pujian dan lagu rohani, yang bahkan banyak yang bernada dangdut karena memang mereka suka dan terhibur dengan cara seperti itu.

Namun di tengah-tengah kesederhanaan dan kemiskinan seperti itu,..firman Tuhan dibacakan, hadir dan memasuki relung hati mereka. Mereka yang terbuang dan tersingkirkan oleh keluarga, teman, bahkan oleh orang-orang yang belum pernah mengenal mereka sekalipun.
Dan jika mereka selalu merasakan suka cita dan terhibur dalam persekutuan seperti itu, bukan tidak mungkin itu adalah peran Roh Kudus yang bekerja. Roh Kudus yang sama dan juga hadir di banyak gereja-gereja yang besar, terlihat megah dan bersih.
Dan sang pendeta yang selalu setia melayani, adalah anak Tuhan yang menjadi saksi Kristus. Dia punya banyak pilihan tempat melayani, namun dia memilih melayani mereka yang tersisih, tersingkirkan dan ditolak masyarakat.


Dalam Injil Matius 19:16 Ada seorang datang kepada Yesus, dan berkata: "Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?". Jawab Yesus: "Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah."

Ayat 20: Kata orang muda itu kepada-Nya: "Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?" Kata Yesus kepadanya: "Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmudan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku."


Bila hari ini anda - dan bukan sang waria - bertanya apakah anda akan masuk Sorga.
Apakah anda sudah tahu apa jawabannya ?.

Sang waria merelakan segala miliknya bahkan hidupnya sendiri bagi kemuliaan Tuhan.
Apakah kita bisa berbuat yang sama?.

Dalam luka-luka masa lalu dan ketakberdayaannya, sang waria sadar betapa harta Surgawi adalah harta dan permata yang sesungguhnya, tujuan hidupnya, dan jawaban atas segala kerinduan hatinya.
Sudahkah kita sampai pada kesadaran seperti ini?


Sang waria menyadari segala dosa dan kelemahannya, namun percaya akan kasih Tuhan yang begitu besar dan tak terhingga. Dia sadar bahwa betapapun kelamnya masa lalunya, pengampunan Tuhan selalu lebih besar.
Dia sadar bahwa memiliki atau sebaliknya menyerahkan betapapun banyaknya harta duniawi tidaklah dapat “membeli” keselamatan kekal; perbuatan baik pun tidak. Namun hanya anugerah kasih dan rahmat Tuhan saja yang sungguh dapat menyelamatkan.
Sadarkah kita?.

Seperti sang pendeta, mampukah kita menyalurkan kasih dan firman Allah kepada mereka orang-orang kecil dan tersingkirkan?. Sebab “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, kamu lakukan untuk Aku” (Mat 25:40)



Ditulis berdasarkan kisah nyata yang dituturkan oleh pendeta YK di Surabaya. Year 2021

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Listening to the Lord's Words - (a New Year's resolution)

May all holy Angels and Saints help me with this resolution and may the Holy Spirit helps me to bear the fruit from this resolution

In 2021, The Lord - thru his angel - sent me a book, which guides and teaches the readers how to communicate with Jesus and or answer His calling. It helps the readers to understand and seeing themselves from Jesus's perspective, thru a short and simple daily reading.

I promised myself to read it all the way in year 2022, including the scripture' chapters and verses behind the teaching. May all holy Angels and Saints help me with this resolution and may the Holy Spirit helps me to bear the fruit from this resolution.

-Metanoia-

Read More
Artikel & Renungan WKICU Admin Artikel & Renungan WKICU Admin

Resolusi tahun 2022

Hanya dengan rahmat-Nya saja lah, saya berharap untuk mencapai resolusi ini di satu tahun mendatang.

Selama tahun 2021, saya merasa dunia seakan berputar lebih cepat dari tahun-tahun sebelumnya. Mungkin karena pengaruh pandemi COVID-19, atau mungkin juga karena faktor-faktor lain yang membuat saya merasa seperti ini.

Namun, saya pun merasa bahwa saya lebih bebas dari beban-beban hidup yang saya telah rasakan sekian lama nya. Ini semua karena kasih Tuhan Yesus, sang juru penyelamat kita yang luar biasa. Dengan kuasa penyembuhanNya melalui salah satu keluarga saya, banyak luka batin yang telah terlepas. Puji Tuhan!

Menjelang tahun 2022 ini, saya ingin meneruskan perjalanan iman saya untuk tidak saja semakin dekat dengan Tuhan Yesus dan Bunda Maria; tetapi juga untuk lebih berbaik hati dan lembut terhadap diriku sendiri.

Hanya dengan rahmat-Nya saja lah, saya berharap untuk mencapai resolusi ini di satu tahun mendatang. Amin!

Selamat Hari Natal 2021 & Tahun Baru 2022 !!!

Read More