Pelayan Penabur Kasih (Bagian 1)

Ditulis oleh Agem

Hampir dua bulan yang lalu, saya ditahbiskan menjadi Deacon di Cathedral of Saint Mary of the Assumption di San Francisco. Perjalanan panjang ini berawal sekitar 6 tahun lalu. Pada suatu pertemuan di sebuah acara ulang tahun salah satu umat WKICU, Romo Effendi Kusuma Sunur S.J. dan Deacon Oey Hock Chuan menghampiri dan bertanya kepada saya: 

 “Apakah kamu tidak berminat untuk lebih serius membantu dan melayani gereja dengan menjadi deacon?” tanya mereka.

Perbincangan tentang itu berlangsung hanya sekitar 30 menit, tetapi dari pertemuan itu mampu memberikan kekuatan yang menggerakkan saya. Dua hari setelah itu saya mulai mencari informasi mengenai pendaftaran menjadi calon deacon. Proses ke arah itu cukup lama, karena ternyata pendaftaran sudah ditutup untuk tahun itu.  Satu tahun kemudian saya mencoba mendaftar kembali, dan akhirnya Keuskupan Agung San Francisco mengijinkan saya untuk mulai mengikuti pendidikan deacon.  

Tidak bisa dipungkiri, peran besar Romo Effendi dalam merekrut saya, tapi Deacon Hock Chuanlah yang benar-benar menginspirasi saya.  

Pada saat pendidikan deacon, Deacon Hock Chuan bekerja di tiga perusahaan. Beliau adalah suami dari Tante Swan Oey dan ayah dari James Oey. 

Deacon Hock Chuan memasuki sekolah deacon dengan tidak mudah karena sudah melewati batas usia yang ditetapkan, tapi Uskup John Cummings (Uskup Oakland pada waktu itu) memberikan dispensasi. Dengan semangat yang luar biasa, beliau menyelesaikan pendidikan deacon itu dan ditahbiskan pada tahun 2000.  Hebat kan?!

 Mengenang cerita beliau, Deacon Hock Chuan baru dibaptis menjadi Katolik itu pada usia 42 tahun dan lalu terpanggil menjadi deacon pada usia yang tidak muda juga. Perjalanan rohani beliau ini seperti pepatah: tidak peduli kapan anda memulai, tetapi yang lebih penting adalah di mana anda mengakhirinya. 

Suami yang baik, ayah yang bijaksana, pekerja keras dan pelayan gereja yang setia. Inilah jejak Deacon Hock Chuan yang ingin saya ikuti.   

Foto kami yang diambil oleh Irwan Sie pada hari pentahbisan saya. Deacon Hock Chuan yang sudah pensiun dari kegiatan aktif membantu gereja dan saya yang baru saja memulai tugas itu. Tante Swan memberi tema foto ini: The Young and The Restless

Tulisan di atas adalah kiriman dari Iwan Soegiharto yang kami terima sebelum merampungkan tulisan ini. Kami pikir sangat bagus jika tulisan beliau sendiri menjadi pembuka. Tulisan ini memberikan arti, pesan dan makna yang mendalam sebagai awal tulisan.

—-000—-

Iwan Soegiharto, lahir di Malang, Jawa Timur pada tanggal 6 Februari 1969.  Anak nomor sembilan dari sepuluh saudara pasangan Robertus Soekamto dan Theresia Halimah ini adalah anak lelaki paling kecil. Dan sebagai anak laki paling kecil, meski bukan anak bontot Iwan merasa sangat beruntung karena disayang oleh orangtua dan saudara-saudaranya.

Iwan bersama lima kakak lelaki dan empat saudara perempuannya tidak dibesarkan secara khusus Katolik, tapi lebih pada perpaduan budaya Tionghoa, Kalimantan dan Jawa. Kedua orangtuanya mengurus dan merawat anak-anaknya dengan sangat baik, penuh kasih sayang. Meski memiliki keyakinan sendiri, orangtua Iwan tetap memasukkan anak-anaknya ke sekolah Katolik. Dari situlah iman Katolik tumbuh dan merengkuh seluruh keluarganya. 

“Kakak pertamaku yang mengenalkan ajaran Katolik di keluarga. Ayah dan Ibuku adalah orang terakhir yang dibaptis setelah anak-anaknya. Aku itu lahir dari keluarga yang gak kenal agama,” kenang Iwan.

Adapun Stephanus Supriyadi Wiratno, kakak sulung di keluarga yang membuat Iwan kecil mau dibaptis sewaktu masih kelas enam SD. Kakak pertamanya ini sudah duluan menjadi Katolik dan hari-harinya sangat sibuk dengan kegiatan gereja. Pengaruh iman dari kakaknya mampu membuat seluruh keluarga, termasuk orangtuanya menjadi Katolik. Yang menarik adalah, dari enam orang anak laki-laki di keluarga, hanya Iwan-lah yang rupanya pernah berpikiran untuk menjadi romo. Diakuinya, sejak dibaptis keinginan menjadi biarawan itu semakin membesar hingga saat kelas dua Sekolah Menengah Pertama (SMP), Iwan pernah mengutarakan niatnya kepada sang Ibu untuk masuk sekolah seminari dan ingin menjadi seorang romo. 

Mendengar itu, sang Ibu yang saat itu belum menjadi Katolik tak mampu menahan tawa, memandangnya penuh kasih dan berkata, “Kamu baru putus sama pacarmu yah? Jangan karena putus pacar langsung mau jadi romo. Kamu lihat itu kakakmu, gonta-ganti pacar. Putus cari lagi, putus cari lagi….” jawab sang Ibu dengan tawa berderai.

“Waktu itu salah satu kakakku memang bagai Arjuna mencari cinta. Pacarnya buanyak dan gonta-ganti,” jelas Iwan sambil tertawa ngakak. 

“Saatnya salah dan gak tepat aja waktu aku bilang itu. Sejak itu keinginan menjadi romo kandas. Gak pernah ada lagi. Hahahaha…,” sambungnya sambil geleng-geleng kepala. 


Sebagai anak bontot nomor dua, Iwan merasa sangat beruntung karena begitu mendapat perhatian dan dukungan penuh dari kakak-kakaknya. Kuliahnya di San Francisco State University hingga berhasil meraih gelar di bidang business tak lepas dari usaha patungan kakak-kakaknya itu.  

“Semua kakakku banyak membantu baik dalam biaya sekolah maupun doa yang tidak pernah putus,” jelasnya.

Sebelum menginjakkan kaki dan melanjutkan sekolah di Amerika, Iwan telah lulus dari Universitas Brawijaya fakultas Ekonomi.  Sempat bekerja di Asuransi Wahana Tata mengurusi klaim sambil merawat sang Ibu yang sedang sakit. Iwan tetap bertahan dan tidak berpikir untuk pergi jauh demi menunggui dan merawat sang Ibu, hingga beliau meninggal dunia tahun 1995 di sebuah rumah sakit di Jakarta. 

Sepeninggalan sang Ibu, Iwan merasa tidak ada lagi alasan untuk tetap tinggal di Indonesia, maka ketika kakak-kakaknya menawarkan untuk melanjutkan sekolah di Amerika, tanpa pikir panjang dia setuju. Di sinilah awal perjalanan hidup menuntunnya hingga ber-transformasi menjadi seorang deacon .

—-000—-

Berikut adalah wawancara santai Ebulletin dengan Iwan Soegiharto:


Ebulletin: Bisa cerita bagaimana awalnya terlibat di WKICU?

“Aku datang ke California tahun 1995 setelah Ibu meninggal. Aku ke sini menyusul kakakku nomor delapan yang sudah lebih dulu sekolah di sini,” terang Iwan membuka perbincangan.

“Dari dialah aku kenal WKICU. Kakakku itu pernah mendapat telpon dari salah seorang tante, kalau gak salah dari tante Swan Oey mengenai adanya kelompok Katolik Indonesia. Waktu itu di San Francisco ada perkumpulan doa Rosario di rumahnya tante Louis. Aku dan kakakku datang dan bertemu para tante dan om di situ. Tidak ada anak mudanya. Sejarah awal perkenalanku dengan WKICU dimulai lewat para om dan tante.”


Ebulletin: Pertemuan doa Rosario di San Francisco itu menjadi awal?

“Ya itu, para tante dan om dari situ akhirnya mengajak aku untuk ikut misa. Misa WKICU waktu itu di San Francisco. Pengaturan kerjanya gak seperti sekarang, waktu itu gak jelas karena belum ada ketua wilayah, jadi yang mengurusi wilayah juga gak jelas sementara umat yang misa di gereja St Stephen cukup banyak. WKICU belum membagi misa menjadi tiga wilayah. Kayaknya setelah San Francisco, baru ada misa di Union City dan setelah itu Santa Clara yang terakhir.” jelasnya.

“Waktu itu selain para om dan tante, banyak anggota yang sudah tua-tua juga di sana. Aku masih bujangan, masih punya banyak tenaga, jadi aku hanya ingin membantu mereka. Aku kasihan, gak sampai hati kalau diam dan gak ngapa-ngapain. Pertama kali misa itu aku langsung dimintain tolong mengurus sakristi karena orang yang biasa mengurus akan kembali ke Indonesia. Aku di-training sama dia, tetapi yah itu, setelah dia pulang ke Indonesia akhirnya malah gak cuma urus sakristi dan altar…. juga buka gereja, photo copy teks misa, urus konsumsi, ambil makanan, sampe bersihin hall dan kamar mandi setelah selesai acara ramah tamah. Waktu itu ambil makanan dari ci Wenny dan bawa ke gereja,” sambungnya.

“Aku juga jadi seksi penjemputan, maksudnya supir antar jemput orang-orang tua yang gak bisa ke gereja, termasuk antar jemput orang-orang Indonesia yang baru datang dan mau ikut misa – coba kamu tanya ko Tony dan ci Wilsa, dulu aku sempat antar jemput mereka dan ketiga anaknya waktu baru datang dari Indonesia. Setiap misa aku datang paling dulu dan pulang paling belakangan karena masih harus bersih-bersih dan mengantar kembali orang-orang yang aku jemput. Semuanya nyaris aku kerjakan sendiri. Kadang satu dua orang ikut membantu. Aku sampai gak sempat ikut misa, jadi aku misa dulu hari Sabtunya,” tambahnya lagi. 


Ebulletin: Kepedulian dan pelayanan yang sungguh luar biasa, meskipun terkesan semua karena kasihan dengan para tante dan om-om?

“Mulanya memang mungkin dari kasihan dulu. Aku kasihan dengan (almarhumah) tante Eva, aku kasihan dengan om Lucas dan tante Martha dan aku kasihan dengan umat yang sudah tua-tua itu…Tuhan bisa menyentuh kita dari perasaan kasihan itu tadi, dan akhirnya terpupuk menjadi rasa belas kasih. Belas kasih akan mewujudkan tindakan yang dapat menjadi kepanjangan tangan Tuhan,” jawabnya serius.

“Bicara soal kasihan, dalam tugasku membantu WKICU, suatu ketika aku dipanggil suster Mary Catherine Boudreau. Suster Cathy ini adalah suster bule yang membantu WKICU mengurus RCIA. Waktu itu beliau dibantu Evy, istrinya Aming (Lime Tree). Suster Cathy ini pernah bekerja 13 tahun di Indonesia. Beliau minta tolong aku untuk mengajar salah satu topik RCIA. Aku iya-kan permintaan itu. Lagi-lagi karena aku kasihan sebab beliau sudah tua. Hahaha…,” lanjutnya.

“Suster Cathy akhirnya pensiun dan pindah ke New Jersey. Karyanya dilanjutkan oleh Evy Pranoto dan Maya Desiana. Setelah itu, aku menggantikan mereka.” katanya menambahkan.


Ebulletin: Loh, kakakmu yang memperkenalkan malah kabur. Gak ikut bantu?

“Dia balik ke Indonesia gak lama setelah aku datang. Boss tempat dia bekerja dulu menelponnya untuk kembali kerja. Kalau gak salah dia malah belum menyelesaikan gelar Masternya dan baru menyelesaikannya di Australia setahun kemudian.”


Ebulletin: Memang kadang berkah dan musibah bisa datang bersamaan. Bergabungnya kamu di WKICU itu berkah sekaligus musibah buat kamu yah?

“Hahaha…. aku gak melihatnya begitu kok. Aku hanya bersyukur atas berkat dan rejeki yang telah aku terima selama aku di sini. Kebutuhanku sudah tercukupi dari Senin sampai Sabtu. Aku memang niat untuk menyediakan hari Minggu khusus untuk Tuhan. Sabtu aku agak longgar jadi sempat misa dulu di paroki-ku, St. Cecilia. Besoknya aku datang lagi ke gereja St. Stephen untuk membantu dan melayani WKICU. Kalau cuma ikut misa, yah belum melayani Tuhan namanya…”

“Sejak terlibat di WKICU, satu-dua tahun setelah datang ke San Francisco (tahun 1996-1997), aku merasakan dituntun oleh Tuhan. Seperti ada kekuatan yang selalu menggerakkan aku untuk terus melayani. Waktu itu Om Hok Chuan (sebelum menjadi deacon) yang menjadi ketua WKICU.

Romo Hartono Budi, S.J. adalah romo yang aku kenal pertama sebagai pembimbing WKICU. Selama belajar di Berkeley, Romo Hartono lebih suka kita jemput karena dengan demikian ada kesempatan berkomunikasi lebih banyak. Kalau misa di Union City, aku jemput beliau dan kita banyak berbagi cerita,” kenangnya.

“Untuk Union City aku masih bisa jemput romo Hartono, tetapi untuk San Francisco sudah gak kepegang. Untungnya Om Haribowo dan om-om yang lain bersedia bergantian antar jemput beliau dari Berkeley ke SF.”

“Oh Yah, aku dulu juga pernah menjadi wakil ketua Mudika ketika Betti (Magoolaghan) menjadi ketuanya, dan di situlah aku ketemu istriku, Lily,” tambahnya


Ebulletin: Ada suka duka yang bisa diceritakan?

“Dulu mobilku itu mobil bekas yang umurnya sudah 10 tahunan. AC-nya rusak, gak nyala. Kalau aku mengantar jemput umat, mengantar Romo, om-om dan tante pas waktu musim panas, apalagi pas sedang kena macet, para penumpang di dalam mobilku itu pada kayak ikan mas kepanasan. Ngap-ngap…. ha ha ha,” tawa Iwan membahana.


Ebulletin: Kesal dan capek hati dong ngerjain kerjaan sebanyak itu?

“Rasa kesal dan capek hati itu wajar menurut aku, tetapi aku selalu ingat niat awal yaitu untuk melayani Tuhan. Aku hanya ingin memastikan semua berjalan lancar dan umat bisa ikut misa, karena dengan begitu aku telah membantu mempersiapkan segala sesuatu untuk kehadiran Tuhan di tengah-tengah kita.”


Ebulletin: Melayani Tuhan dengan setia dan semangat seperti kamu ini bisa menjadi inspirasi. Seperti inspirasi yang kamu dapat dari sosok deacon Hok Chuan. Bisa berikan “pencerahan” untuk umat kita yang masih ogah dan sulit sekali jika diminta membantu melayani WKICU? 

“Jangan takut, jangan malas dan jangan ragu untuk melayani Tuhan. Gak cuma di WKICU, di gereja kamu atau di mana aja. Pegang satu niat bahwa ini hanya untuk Tuhan. Jika memang bantuan atau layanan yang kita lakukan adalah untuk Tuhan, pasti kita akan dibantu olehNya,” jawabnya.

“Jadikan ini pribadi, antara kita dengan Tuhan. Seperti kalau kita doa…berdoa itu berdialog dengan Tuhan. Tetapi, untuk kita lebih dekat dan mengenal Tuhan secara pribadi tentu tidak hanya cukup dengan dialog, tetapi juga harus berjalan bersama Dia. Berbuat sesuatu dalam pelayanan itu seperti berjalan bersama Dia. Maka bilang “ya” dulu kalau diminta untuk melayani Tuhan, jangan pikir soal untung rugi, jangan pikir nanti gak ada waktu, nanti repot, gak bisa, gak ngerti dan macem-macem. Seperti apa yang aku alami selama melayani. Aku gak berpikiran terlalu ruwet. Aku jalanin aja… Ketika aku menjawab “ya”, aku yakin Tuhan akan memberikan banyak bantuan. Aku merasakan dan mengalami itu soalnya.”

“Waktu menerima saran romo Effendi dan deacon Hok Chuan menjadi deacon, juga begitu. Aku cari informasi dan daftar dulu aja, soal kendala dan apakah akan jadi deacon atau tidak, gak aku pikirin. Jadi deacon itu bukan hal gampang loh, pendidikannya 5 tahun. Disamping keluarga yang masih menjadi tanggungjawabku, aku dan istriku harus kerja fulltime. Aku gak yakin bisa menjalankan semua itu tanpa bantuan Tuhan. Selama proses itu aku merasakan sangat banyak sekali bantuan dan berkah yang aku terima. Semua jalan sepertinya dibuka oleh Tuhan,” jelas Iwan dengan wajah penuh syukur.

---000---


Pengalaman dan pelayanan se-abreg Iwan Soegiharto dalam kisahnya ini menunjukkan penyerahan diri yang utuh kepada kehendak Allah. Iwan menyerahkan hati sepenuhnya kepada Allah untuk dibentuk. Hati yang penuh belas kasih, seperti katanya; “Mampu menjadi kepanjangan tangan Tuhan.”

Bagi kita, Deacon Hok Chuan yang begitu menginspirasi Iwan Soegiharto hingga tergerak hatinya untuk bersedia melanjutkan pelayanan sebagai deacon adalah dua orang luar biasa dan baik hati. Semua perjalanan pelayanan mereka mengajarkan kita makna kesetiaan dan cinta yang tak kenal lelah melayani dalam keadaan dan suasana apapun. 

Deacon Oey Hok Chuan dan Deacon Iwan Soegiharto, secara nyata telah menjadi pengikat tali persahabatan dan tali semangat persaudaraan di dalam komunitas kita. WKICU sebagai gereja kecil tempat berkumpulnya umat menjadi lebih kuat, utuh dan bertumbuh dalam iman karena pernyataan yang di-materai-kan mereka ketika menjawab panggilan menjadi deacon. Allah sendiri yang telah memilih dan memberi pelindung serta pelayan bagi Warga Katolik Indonesia California Utara dari antara kita.



Iklan artikel:

______Tunggu artikel wawancara bagian ke II. Wawancara nanti akan penuh dengan hal dan seluk-beluk mengenai panggilan beliau menjadi deacon. Bagaimana sih menjadi deacon? Apa sih tugas deacon? Suka-dukanya apa sih? Ada gajinya gak? Dan masih banyak lagi informasi yang bisa kamu dapat ….. Kalau kalian penasaran, tunggu artikel wawancara bagian II kami dengan deacon Iwan Soegiharto. __________ 

Previous
Previous

Kembalinya Sang Romo Rajawali (Bagian I)

Next
Next

"Terganggu"