Solidaritas Meretas Batas
Saya, Fr. Agustinus Brian Kurniawan sedang menjalani masa formasi di Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan, Yogyakarta. Suatu ketika, Romo Anton Galih meminta kepada saya untuk membuat sebuah refleksi terkait dengan aksi solidaritas di masa pandemi Covid-19 yang dilaksanakan oleh komunitas kami.
Kita sungguh menyadari bahwa penyebaran virus Corona mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi, sosial dan politik di tengah-tengah masyarakat. Pembatasan massal oleh pemerintah pun berdampak pada pemutusan kerja secara sepihak, berkurangnya pendapatan para pedagang kecil, penjual koran di trotoar dan tukang becak di sepanjang Jalan Malioboro. Akibatnya, mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan hanya untuk makan sesuap nasi juga kesulitan.
Berhadapan dengan kenyataan Covid-19 itu, sabda Yesus bagi kita sebagai orang beriman terdengar begitu keras dan jelas: “Kamu harus memberi mereka makan!” (Luk 9:13). Sebagai anggota masyarakat para frater dan romo di komunitas seminari dipanggil untuk melihat penderitaan orang lain sebagai penderitaan kami juga. Dana aksi puasa yang kami kumpulkan selama masa Prapaskah pun didonasikan kepada mereka yang terdampak corona. Selain itu, sebagai komunitas kami memasak nasi bungkus untuk makan siang dan dibagikan kepada setiap orang yang lewat Jalan Kaliurang, di depan Seminari Tinggi. Apakah saat membagikan nasi bungkus para frater harus bertanya, “Apakah bapak/ibu Katolik? Tidak!” Tetapi, nasi bungkus itu diberikan kepada siapa saja yang lewat tanpa memandang siapa mereka dan apa agamanya. Prinsipnya, mereka adalah saudaraku yang membutuhkan bantuan.
Solidaritas tidak dibatasi oleh suku, ras, agama dan golongan, tetapi berbicara tentang kemanusiaan. Ibarat tubuh, mereka adalah tangan, kaki, mulut, hidung, telinga dan anggota tubuh lainnya yang saling bekerjasama (bdk. 1 Kor 12:14). Tubuh, tanpa anggota yang lengkap akan menjadi cacat dan mengalami ketimpangan. Komunitas manusia pun terdiri dari berbagai anggota yang seharusnya saling membantu satu sama lain. Memang, ada orang yang berpikir bahwa itu bukan tanggung-jawabnya. Tetapi, mari berkaca dari Yesus. Apakah salib adalah akibat dari dosa-Nya? Tidak, kan. Yesus memeluk salib itu dalam kemerdekaan batin dan ketaatan-Nya kepada Bapa demi manusia.
Frater dan para imam adalah orang pertama yang seharusnya memeluk salib itu. Allah mengangkat kami sebagai Kristus yang lain tidak hanya dalam Ekaristi, tetapi juga untuk memberikan teladan dalam hidup sehari-hari.
Sekarang, kita semua diajak untuk ikut memeluk salib Covid-19 dengan hati yang terbuka dan penuh sukacita.
Yogyakarta, 5 Mei 2020