Romo Kodok melawan Romo Rajawali
Tanggal 8 Juni, 2022 adalah tiga tahun peringatan tahbisan Imamat saya. Tiga tahun adalah sebuah rentang waktu yang tidak terlalu lama tapi juga tidak terlalu singkat untuk merenungkan makna tahbisan Imamat di tengah dunia yang terus berubah. Belum lama berselang, seorang teman lama saya menulis essay di substack-nya bejudul “Romo Kodok.” Essay teman lama ini membuat saya merenung lebih panjang dan mendalam tentang makna tahbisan imamat saya, khususnya pada tahun ini. Pada intinya teman saya ini menulis bahwa saat ini Gereja Katolik hidup dalam gelombang revolusi sosial dan kultural yang luar biasa, dan Gereja seperti terjepit di tengah – tengah. Di sisi lain, Gereja Katolik juga mengalami kebangkrutan moral karena skandal pelecehan seksual.
Kemunculan Romo Kodok
Di tengah situasi yang tidak menentu ini, para Imam Gereja Katolik seperti kehilangan arah. Teman saya ini membagi para Imam dalam beberapa kategori. Kategori pertama adalah kelompok Imam Spiritualis - Motivator, dimana mana para Romo berlomba – lomba menjadi motivational speaker. Hasilnya adalah umat yang termotivasi mencari untung dan lupa Tuhan. Teologi mereka adalah teologi sukses -- kalau bisa, kaya raya di dunia dan kalau mati masuk surga juga.
Kelompok kedua adalah para Imam spiritualis murni. Para Romo di kelompok ini fokus nya adalah berdoa, bermeditasi, dan mencari kedamaian dalam hening dan menutup diri dari dunia. Hasilnya adalah dunia tenang dan damai untuk diri sendiri dan sejumlah pengikut mereka. Akan tetapi mereka tidak peduli terhadap apa yang terjadi di dunia yang berantakan.
Kelompok ketiga adalah para Imam pelawak, yang strategi utamanya adalah menyisipkan ajaran iman dengan gelak tawa ala Srimulat atau Ketoprak Humor. Yang penting adalah umat tertawa dan senang, dan tidak peduli apakah mereka punya hubungan dengan Tuhan atau sesamanya atau tidak.
Kelompok keempat adalah para Imam ngepop, yang tampil nyentrik dengan ikat kepala dan kain, atau berusaha melakukan hal – hal yang masuk dalam budaya populer, mulai dari angkat besi, panjat tebing, nge-band, dan sebagainya. Hasilnya susah membedakan antara seorang Imam dengan body builder, atau rockstar vocalist ataupun dukun.
Kategori terakhir adalah tipe Imam Katolik yang khusus, yakni mereka yang menjadi politisi tanpa mengaku sebagai politisi. Mereka menjual kredensial imamatnya untuk memajukan kepentingannya sendiri. Dia menjadi sangat partisan – maju tak gentar membela yang bayar atau berjuang sampai titik darah penghabisan membela yang kaya dan berkuasa. Oleh teman saya, kelompok Imam Katolik ini dia sebut sebagai kelompok Romo Kodok, yaitu para Romo yang bernyanyi ketika hujan dan banjir, hanya untuk membuat junjungannya bersinar.
Dalam tahbisan Imamat saya yang ketiga, saya pun merenung – renung apakah saya masuk ke dalam satu kategori yang disebut oleh teman saya itu. Dengan segala kerendahan hati, saya pikir saya belum terjerumus dalam satu kategori mana pun. Saya akan terus berdoa dan memohon doa agar saya jangan terjebak ke dalam satu kelompok manapun.
Pertanyaan yang lebih mendalam adalah kalau saya tidak masuk ke dalam kategori Imam yang disebut oleh teman saya tersebut, di mana posisi saya sebagai seorang Imam Katolik?
Menjadi Romo Rajawali
Belum lama berselang, saya mengunjungi Basilica of St. Mark di kota Venezia. Tour guide yang membimbing kita menjelaskan banyak tentang sejarah Gereja. Satu hal yang menarik adalah dia menunjukkan lambang Rajawali atau Eagle yang terpampang di Basilica dan menjelaskan bahwa Rajawali itu ada lambang dari Yesus Kristus. Saya sendiri baru mendengar pertama kali bahwa Yesus di lambangkan sebagai Rajawali, karena sependek pengetahuan saya, Rajawali itu adalah lambang dari Santo Yohannes Penginjil. Sang tour guide ini menjelaskan bahwa Rajawali adalah lambang dari keselamatan dan kebangkitan Yesus Kristus. Rajawali yang terbang tinggi adalah perlambang bahwa Yesus dengan kebangkitannya ingin mendorong kita umat Katolik untuk terbang tinggi dengan Iman kita, kalau kita membiarkan diri kita dibimbing oleh Roh Kudus.
Salah satu konsep penting dalam Gereja Katolik adalah konsep In Persona Christi, yang bisa diterjemahkan sebagai “dalam diri manusia Kristus.” Konsep ini merujuk pada tseorang Imam yang bertindak dalam diri manusia Kristus. Atau dengan kata lain, seorang Imam seharusnya bertindak dalam kapasistasnya sebagai Manusia Kristus. Konsep ini sejatinya dipakai dalam konteks Sakramen, dimana Imam bertindak melalui penampilan gerak badan dan pengucapan kata – kata dalam upacara Sakramen sebagai Manusia Kristus. Akan tetapi saya pikir, konsep ini bisa dipakai secara umum, khususnya dalam tindakan Imam secara umum.
Jikalau Kristus dilambangkan sebagai Rajawali, maka para Imam Katolik seharusnya juga bertindak ibarat Romo Rajawali yang bisa bertindak dengan grace and strength (rahmat dan kekuatan). Jadi daripada menjadi Romo Kodok, lebih baik para Imam Katolik berusaha menjadi Romo Rajawali. Bagaimana karakter Romo Rajawali ini?
Pertama, Romo Rajawali adalah Imam Katolik yang tidak mencari kehormatan atau tempat yang tinggi, baik itu melalui kekuasaan ataupun kedekatan dengan orang kaya dan berkuasa. Di samping tidak mencari kehormatan, seorang Rajawali juga tidak terikat pada materi, sehingga tidak ada kebutuhan mencari setoran ataupun stipendium. Dalam konteks ini, Romo Rajawali juga harus siap menghadapi penghinaan, kecaman, kritikan ataupun penolakan, termasuk dari umat sendiri. Ketangguhan mental seperti ini diperlukan oleh para Imam Katolik dalam menghadapi kehidupan bergereja yang sudah terancuni oleh mentalitas konsumerisme ataupun orientasi pasar.
Salah satu hal yang saya amati dalam tiga tahun terakhir adalah kecenderungan sejumlah umat untuk mencari kepuasan dalam kehidupan bergereja. Sebagai contoh, Imam pelawak yang disebut oleh teman saya itu sebenarnya muncul karena permintaan pasar. Banyak para Imam yang berlomba – lomba untuk menjadi lucu – lucuan karena para umat juga berlomba – lomba mencari Imam yang hebat melucu atau melawak. Suatu ketika saya menawari untuk mendampingi kelompok Usia Lanjut yang kesepian karena tidak bisa beraktifitas normal di Gereja. Bukannya berterima kasih malah mereka menolak saya mentah – mentah dengan alasan bahwa “Romo Hendri itu orangnya tidak ramah.” Saya pun bertanya kenapa saya dibilang tidak ramah, apakah karena saya tidak menegur umat atau tidak ingat nama mereka. Jawabannya adalah “oh itu karena Romo Hendri selalu serius ketika berkhotbah.” Tentu saja saya hanya bisa miris mendengar kritikan seperti ini; pertama, kritik itu menggunakan logika yang patah karena serius dan tidak ramah adalah dua kata sifat yang berbeda dan bukan sinonim. Kedua, ketika berkotbah, tentu saja saya tidak akan melawak karena khotbah pada misa bukanlah tempatnya untuk melawak melainkan kesempatan untuk merenungkan Sabda Allah.
Kembali ke mental konsumerisme. Sejumlah umat yang merasa ingin terpuaskan pun akan selalu gampang komplain terhadap Romo, mulai dari liturgi, musik, khotbah, atau pun hal lainnya. Ibaratnya konsumen yang tidak terpuaskan, para umat pun akan kabur atau hengkang ke gereja lain kalau permintaannya tidak terpenuhi atau terlayani. Sementara para Romo pun ketakutan kehilangan umatnya dan berusaha untuk sedapat mungkin memenuhi permintaan umatnya. Ketika saya masih bertugas sebagai diakon, sejumlah umat komplain karena ada seorang Romo Pembantu yang khotbahnya terlalu panjang. Sang Romo Paroki pun langsung menanggapi komplain itu dengan memasang jam di altar, supaya para Romo dan Diakon melihat waktu pas khotbah. Romo Paroki pun segera berbicara kepada umat dan memastikan bahwa komplain mereka telah didengar. Di tengah situasi ber-gereja seperti ini, tentu akan sulit bagi para Romo untuk berkarya karena selalu ada desakan untuk memperhatikan kepuasan umat, entah itu hanya kepuasan sesaat atau pun individualistik. Meski demikian seorang Rajawali harus terus maju tak gentar membela yang benar, dan bukan membela yang bayar.
Kedua, Romo Rajawali juga harus terus belajar dan menambah ilmu sehingga bisa terus “terbang tinggi” ibarat seekor Rajawali. Para Romo harus terus belajar dan menambah ilmu karena situasi kehidupan ber-gereja saat ini diperumit dengan banjirnya arusnya informasi melalui internet dan media sosial, dimana banyak umat yang merasa sudah menguasai punya pengetahuan mumpuni hanya dengan mendengarkan video youtube atau google. Sebagai generasi X, saya dididik untuk belajar dari buku ataupun printed materials. Jadi saya harus ke perpustakaan untuk mencari edisi Latin, Civita Dei, Santo Agustinus. Atau saya harus menabung dulu untuk membeli buku satu set lengkap Summa Theologiae Santo Thomas Aquinas. Untuk mendalami makna Kitab Suci, saya harus membuka Bible commentary dan meneliti maksud pengarang terhadap ayat – ayat tersebut. Sekarang umat Katolik tidak perlu menunggu buku dari Roma atau pun ke perpustakaan di University of Notre Dame. Dengan kemudahan akses informasi dan kecepatan dunia digital, umat Katolik bisa berpikir seperti Santo Thomas Aquinas dari Senin sampai Kamis, kemudian Jumat- Sabtu menjadi Santo Agustinus dan pada hari Minggu menjadi ahli kitab suci. Saat ini umat Katolik bisa menjadi ahli teologi dalam berbagai macam gaya, dalam sembarang aliran dan dengan pendekatan apapun hanya bermodalkan smart phone.
Dalam situasi ini para Romo harus bersaing dengan umat yang merasa pintar. Suatu ketika dalam sebuah misa, saya berkhotbah tentang Kitab Kedua Raja Raja, cerita tentang Naaman yang terkena kusta dan disuruh oleh Nabi Elisah untuk berendam di sungai Jordan. Saya mencoba menjelaskan bahwa setelah dia sembuh, Naaman sang Jenderal dari Kerajaan Aram itu memberikan pernyataan iman tentang keunggulan Tuhan bangsa Israel yang monotheis melawan Polyteisme dari musuh – musuh Israel. Setelah misa, seorang umat menghampiri saya dan langsung mengkritik bahwa Naaman itu dari Syria dan bukan Aram. Kalau saja umat satu ini benar – benar mendalami sejarah kitab suci, dan bukan hanya belajar dari youtube, dia tentu tahu bahwa Aram dan kerajaan Syria itu adalah sama. Saya mencoba menjelaskan dengan sabar, tapi orang ini tidak berhenti dan terus melancarkan kritik baru bahwa khotbah saya tentang monotheisme Israel itu juga salah, karena mereka sebenarnya Israel itu adalah henotheisme. Dengan sabar saya pun menjelaskan bahwa betul ada teori bahwa bangsa Israel pada jaman Musa itu memeluk henoteisme, tapi para ahli kitab suci sendiri masih berdebat tentang kebenaran teori itu. Kisah Nabi Musa itu sekitar abad 13-14 Sebelum Masehi, sementara saya berkhotbah tentang Nabi Elisha yang waktunya adalah sekitar abad ke 8-9 Sebelum Masehi. Ya begitulah realitas hari ini, kita para Romo harus bersaing ilmu dengan umat Katolik 4.0 yang belajar dari google dan youtube.
Menjadi Romo Rajawali adalah sebuah aspirasi; saya sendiri belum berani mengatakan saya sudah menjadi seorang Romo Rajawali. Dalam kurun tiga waktu terakhir, saya masih banyak belajar, dan dalam menulis renungan ini, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa saya lebih baik dari Romo – Romo lain. Saya hanya bisa berdoa dan memohon doa dari banyak pihak agar saya tidak menjadi Romo Kodok dan bisa terbang tinggi menjadi Romo Rajawali.
S. Hendrianto, SJ