WKICU, Warga Katolik Indonesia di California Utara

View Original

SETIAP PERSEMBAHANMU HARUSLAH KAU BUBUHI GARAM

SETIAP PERSEMBAHANMU HARUSLAH KAU BUBUHI GARAM

Mariana Berliana Ali

 

Judul artikel ini adalah ungkapan yang diambil dari Imamat 2 ayat 13 yang berbunyi, “Dan setiap persembahan kurban sajianmu haruslah kau bubuhi garam, dan janganlah garam perjanjian Allahmu kurang dari kurban sajianmu, dengan semua persembahanmu haruslah kau persembahkan garam.” Ayat ini mengandung kata Ibrani minḥāh untuk “kurban sajian” dan melaḥ untuk “garam” yang muncul masing-masing dua dan tiga kali. Artikel ini berusaha menjelaskan unsur-unsur itu dalam konteksnya dan bagaimana kedua unsur tersebut digunakan dalam Perjanjian Baru (PB). Sebagai penutup akan diuraikan pengikut Kristus sebagai kurban dan garam dunia.

 

Konteks

Di Kitab Imamat, kata minḥāh adalah istilah teknis yang digunakan hanya untuk “kurban sajian”, yaitu persembahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Di luar Kitab Imamat, istilah tersebut dapat merujuk bukan saja ke persembahan biji-bijian, melainkan juga hewan yang dikenal sebagai kurban bakaran. Misalnya, baik kurban sajian Kain dan kurban hewan Habel disebut minḥāh (lih. Kej. 4:4-5). Kurban sajian adalah salah satu dari tiga jenis kurban (kurban bakaran dalam Im. 1 dan kurban keselamatan dalam Im. 3) yang menghasilkan “aroma yang menyenangkan bagi Tuhan” (Im. 1:9, 17; 2:2, 9, 12; 3:5, 16).

Kurban sajian resmi dipersembahkan setelah kurban bakaran setiap hari (Bil. 28). Baik kurban bakaran maupun kurban sajian sering disebut bersama-sama dalam kitab-kitab sejarah (Yos. 22:23, 29; Hak. 13:19, 23; 1 Raj. 8:64; 2 Raj. 16:13, 15). Maka wajarlah jika kurban sajian dalam Im. 2 dijelaskan setelah kurban bakaran dalam Im. 1. Tidak seperti kurban bakaran dan kurban keselamatan, kurban sajian bukanlah kurban binatang. Dalam kurban bakaran seluruh hewan yang dipersembahkan dibakar, sedangkan dalam kurban sajian hanya segenggam yang dibakar dalam api dan selebihnya adalah untuk para imam (lih. Im. 2:3, 10).

Apabila seseorang hendak memberi persembahan berupa kurban sajian kepada Tuhan, persembahannya itu harus berupa tepung terbaik yang dituangi minyak zaitun dan dibubuhkan kemenyan di atasnya (Im. 2:1). Tepung bisa dipersembahkan dalam keadaan mentah atau dimasak. Ada tiga cara untuk memasaknya: dipanggang dalam oven (ay. 4), dimasak di atas wajan dengan sedikit minyak (ay. 5) atau digoreng dalam wajan (ay. 7). Sementara ragi dan madu dilarang (ay. 11; lih. Kel. 23:18; 34:25), garam harus ditambahkan ke dalam kurban sajian (ay. 13). Sebelum kita bahas mengenai tambahan garam yang diharuskan ini, marilah kita memahami dahulu makna dan maksud dari kurban sajian.

 

Makna dan Maksud minḥāh

Penggunaan non-religius kurban sajian atau minḥāh sering berarti “upeti”, uang yang dibayarkan seorang raja bawahan kepada tuannya sebagai tanda niat baik dan kesetiaannya yang berkelanjutan (Hak. 3:15, 17-18; 2 Sam. 8:6; 1 Raj. 5:1; 10:25; 2 Raj. 17:3 dst.).[1] Persembahan ini mungkin hanya sebagai “hadiah”, meskipun seringkali menunjukkan bahwa pemberi takut kepada orang yang diberi hadiah dan berusaha untuk mengambil hatinya melalui hadiah. Misalnya, Yakub mengirimkan minḥāh kepada saudaranya Esau (Kej. 32:19 dst.) dan kemudian kepada Yusuf, putranya yang menjabat sebagai perdana menteri Mesir (Kej. 43:11, 15, 25-26).

Makna sekuler minḥāh ini tampaknya kemudian dialihkan ke dunia agama. Kurban sajian dipersembahkan sebagai suatu penghormatan dari penyembah yang setia kepada tuan ilahinya. Ketika sebuah perjanjian dibuat, negara-negara taklukkan diharapkan membawa upeti kepada raja besar. Israel juga terikat oleh perjanjian dengan Allah dan karena itu mereka mempunyai tanggung jawab untuk mengungkapkan kesetiaan mereka dengan membawa persembahan gandum.

Berhubung kurban sajian biasanya dipersembahkan bersama dengan kurban lainnya maka dibutuhkan penjelasan untuk menentukan apa maksud sebenarnya ritus itu dipersembahan. Biasanya kurban sajian dipersembahkan bersama kurban bakaran, tetapi kurban sajian juga dapat dipersembahkan secara sendiri pada hari raya panen (lih. Im. 2:14). Menurut Kitab Ulangan bab 26, saat melaksanakan ibadah itu penyembah harus mengakui belas kasihan Tuhan yang telah membawanya ke tanah perjanjian dan harus menyatakan kesetiaannya pada hukum Tuhan yang berkaitan dengan hasil panen pertama. Tuhan “membawa kami ke tempat ini dan memberikan kami negeri ini, suatu negeri yang berlimpah susu dan madu. Sekarang lihatlah, aku telah membawa hasil pertama dari bumi yang telah Kau berikan kepadaku, ya Tuhan” (Ul. 26:9-10). Dalam doanya, si penyembah mengungkapkan makna persembahan hasil pertamanya: ia menyatakan kesetiaannya kepada Tuhan dan persembahannya menjadi penghormatan bagi-Nya. Dengan mempersembahkan sebagian dari hasil panennya kepada Tuhan sebagai ucapan syukur, dia mengakui kebaikan Tuhan kepadanya.

Kurban sajian merupakan hadiah dari penyembah kepada Tuhan dan biasanya diberikan setelah kurban bakaran. Setelah menerima pengampunan dosa melalui kurban bakaran, si penyembah mempersembahkan sebagian dari hasil buminya sebagai kurban sajian kepada Tuhan. Persembahan tersebut dipandang sebagai tindakan dedikasi dan pengudusan diri di hadapan Allah sebagai Juruselamat dan Raja yang menetapkan perjanjian. Kurban sajian itu bukan hanya untuk mengungkapkan rasa terima kasih, tetapi juga kepatuhan dan kesediaan penyembah untuk menaati hukum. Seperti kurban bakaran, kurban sajian adalah kurban yang sering diulang sepanjang hidup penyembah. Kondisi manusia berdosa mengharuskan dia berulang kali mencari pengampunan Ilahi dan memperbarui dedikasi serta sumpah perjanjiannya kepada Tuhan.

Kurban sajian juga berfungsi untuk tujuan praktis: menyediakan bahan makanan pokok bagi para imam. Berhubung para imam dan orang Lewi tidak memiliki tanah sendiri, mereka bergantung sepenuhnya pada niat baik umat. Orang Lewi mengandalkan persepuluhan, tetapi para imam mengandalkan persembahan kurban, khususnya pada persembahan biji-bijian sebab kurban sajian inilah yang paling sering diberikan kepada para imam. Sebaliknya, para imam juga memberikan sebagian dari pendapatan mereka kepada Allah dengan membakar segenggam dari persembahan kurban sajian di atas mezbah sebagai “peringatan” (lih. Im. 2:2, 9, 16).

 

Mengapa setiap persembahan harus dibubuhi garam?

Dalam Kitab Imamat, kata Ibrani melaḥ untuk “garam” muncul hanya dalam Im. 2:13. Apa yang mengejutkan dalam ayat ini adalah saran untuk “membubuhi garam” bukan hanya dalam kurban sajian, tetapi juga dalam “setiap persembahanmu”, suatu penjelasan yang tidak pernah disebut dalam ritual persembahan yang muncul dalam Imamat bab 1, bab 3 sampai dengan bab 17. Kemungkinan hal ini adalah suatu tambahan yang muncul kemudian, meskipun tidak dapat dipastikan kapan ia diadopsi karena ditemukan juga perintah menabur garam untuk kurban bakaran dalam Yeh. 43:24.

Umumnya penggunaan garam dipandang sebagai lawan dari larangan penggunaan ragi sebab garam mencegah pembusukan, sedangkan ragi memicunya. Namun, hanya sedikit bukti yang mendukung bahwa penjelasan tersebut adalah makna simbolis dari pembubuhan garam yang disebutkan dalam Im. 2:13. Di luar Israel, garam dianggap sebagai bumbu makanan bagi para dewa.[2] Berhubung garam digunakan dalam setiap konsumsi makanan, penggunaannya juga dibutuhkan dalam ibadat yang berkaitan dengan persembahan. Fungsi garam sudah begitu dikenal sehingga tidak butuh penjelasan; saran untuk memberi garam ke setiap kurban juga sudah jelas sehingga ketentuan dasar ini cukup diuraikan sekali saja.[3] Pengiriman garam, antara lain, ke bait suci di Yerusalem semasa pasca-pembuangan tercatat dalam Ezra 6:9 dan 7:22.

Garam juga diasosiasikan dengan perjanjian Allah dalam Im. 2:13, yang menunjukkan bahwa garam digunakan untuk melambangkan perjanjian. Istilah “perjanjian garam” dengan Allah memberi gagasan keramahan dalam makan bersama yang mewajibkan kedua belah pihak untuk setia: di satu sisi, Israel harus mematuhi kewajiban yang terungkap dalam perjanjian; di sisi lain, Allah menjamin pemilihan Israel serta hak-hak mereka dalam perjanjian.[4] Penggunaan garam dalam perjanjian dinilai begitu penting sehingga dalam Bil. 18:19 perjanjian yang dibuat antara Allah dan umat-Nya disebut “perjanjian garam” (berît melaḥ). Melalui ayat tersebut, menjadi jelas bahwa garam ditambahkan bukan hanya dalam kurban sajian, tetapi juga dalam semua kurban.

Di luar konteks ritus kurban, garam juga digunakan sebagai simbol untuk perjanjian yang dicatat dalam 2 Taw. 13:5, “Tuhan, Allah Israel, telah memberikan kuasa kerajaan atas Israel kepada Daud dan anak-anaknya untuk selama-lamanya dengan suatu perjanjian garam (berît melaḥ).” Alasan garam disebut disini tidaklah jelas, sepertinya sudah menjadi suatu tradisi untuk memeteraikan perjanjian dengan garam. Fungsi politis garam juga muncul dalam Ezra 4:14 melalui sepucuk surat protes tentang pembangunan kembali kota dan bait suci di Yerusalem: para penulis surat mengungkapkan hubungan dekat mereka dengan raja Persia, “karena kami makan garam istana ...” menjelaskan bahwa mereka ada dalam aliansi dengan istana atau bergantung pada raja.[5]

Daya pengawetan garam juga sudah diketahui dan bisa menjadi faktor penentu dalam penggunaan metaforisnya sebagai lambang daya tahan. Selain itu, garam memiliki kekuatan pemurnian (bayi yang baru lahir digosok dengan garam: Yeh. 16:4) dan dianggap sebagai sinonim untuk kemurnian dan kekudusan (Kel. 30:35). Walaupun kualitas metaforis garam dalam kehidupan religius dan politik tidak dibahas secara eksplisit, tetapi secara implisit selalu ada.

Kata “garam” yang muncul sebanyak tiga kali dalam Im. 2:13 itu mungkin dimaksudkan untuk menekankan peran dan fungsi garam yang banyak digunakan sepanjang zaman kuno untuk mengawetkan makanan, sehingga ungkapan “perjanjian garam” melambangkan keabadian perjanjian antara Tuhan dan manusia. G. Gesenius menganggap ungkapan tersebut sebagai kiasan untuk ikatan perjanjian yang digunakan oleh penduduk Arab, yang makan garam bersama ketika mereka membuat perjanjian.[6] Dengan memahami “perjanjian garam” sebagai suatu perjanjian yang abadi, tindakan membubuhi garam dalam setiap persembahan dapat menjadi sarana untuk mengingatkan si penyembah akan hubungannya yang abadi dengan Tuhan.

 

“Kurban” dan “Garam” dalam PB

Istilah minḥāh muncul dalam Septuaginta dengan istilah thusia yang diterjemahkan sebagai “kurban” dalam PB. Seperti dalam PL, istilah “kurban” digunakan secara umum untuk kurban bakaran dan kurban sajian (Mrk. 12:33; Ibr. 5:1; 7:27; 8:3; 9:9; 10:1.5.8.11). Istilah “kurban” juga digunakan untuk Kristus Yesus yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai kurban yang harum bagi Allah (Ef. 5:2) dan yang telah menghapus dosa kita dengan kurban-Nya (Ibr. 9:26; 10:12). Dengan dasar ini, kita semua diundang agar senantiasa mempersembahkan kurban pujian kepada Allah dan tidak lalai berbuat baik dan membagikan apa yang kita miliki sebab kurban persembahan ini berkenan kepada Allah (Ibr. 13:15-16). Seperti orang-orang Israel kuno yang mempersembahkan kurban sajian pagi dan petang (1 Raj. 18:36; 2 Raj. 3:20), demikian juga kita dipanggil untuk mempersembahkan tubuh kita sebagai kurban yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah (Rm. 12:1). Dengan demikian, kurban mejadi pekerjaan dan pengabdian hidup kita kepada Tuhan.

Kata “garam” muncul sebanyak delapan kali dalam PB. Jika dalam Im. 2:13 garam adalah sesuatu yang dibubuhkan dalam setiap persembahan untuk melambangkan perjanjian abadi dengan Allah, dalam PB garam mewakili para murid yang menerima panggilan dari Yesus untuk menjadi garam dunia (Mat. 5:13). Mereka diminta untuk selalu mempunyai garam dalam diri mereka (Mrk. 9:50) dan tidak menjadi hambar (Luk. 14:34). Sebab, setiap orang akan digarami dengan api (Mrk. 9:49), yaitu ia harus melewati segala macam ujian sehingga apa yang tidak sesuai dengan kehendak Allah dalam dirinya akan dimurnikan. Api itu sendiri yang akan menguji kualitas pekerjaan setiap orang (1 Kor. 3:13). Pada akhirnya, biarlah perkataanmu selalu penuh kasih, dibubuhi dengan garam, supaya kamu tahu bagaimana seharusnya menjawab setiap orang (Kol. 4:6).

 

 Pengikut Kristus sebagai kurban dan garam

Istilah “kurban” dalam PB tidak hanya digunakan untuk kurban bakaran dan kurban sajian, tetapi juga untuk pribadi Kristus dan juga murid-Nya. Begitu pula dengan kata “garam” yang mewakili murid-murid Yesus sebagai garam dunia. Dapat disimpulkan bahwa kedua kata “kurban” dan “garam” digunakan dalam PB untuk para pengikut Kristus yang diundang untuk memberi dan mempercayakan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Sebagai garam dunia, murid Yesus akan memberikan dunia rasa persahabatan dengan Allah dan kesetiaan pada perjanjian-Nya. Nilai-nilai ini tidak akan pernah ketinggalan zaman atau merusak budaya, melainkan meningkatkan karakteristik positif budaya tersebut dan melindunginya dari penyimpangan. Dimana garam persahabatan dengan Allah dan kesetiaan pada perjanjian-Nya pudar, maka kehadiran murid Kristus menjadi semakin dibutuhkan.

Panggilan untuk menjadi garam jarang mendapat pujian atau rasa syukur dari pihak dunia, tetapi murid Yesus tidak mengukur kebaikan tindakannya berdasarkan pendapat dunia, melainkan pada hak istimewanya membawa rekonsiliasi dan hikmat Allah. Walaupun garam diperlukan untuk kebaikan makanan, tetapi setelah makan orang tidak akan berseru, “Oh, betapa baiknya garam itu”! Hal ini selaras dengan gambaran pengikut Kristus yang dijelaskan oleh penulis anonim dalam Surat kepada Diognetus: “Orang Kristen mengasihi semua orang, tetapi mereka menganiayanya. Dihukum karena tidak dipahami, mereka dihukum mati, tetapi dibangkitkan kembali. Mereka hidup dalam kemiskinan, tetapi memperkaya banyak orang; mereka benar-benar melarat, tetapi memiliki segala sesuatu yang berlimpah. Mereka menderita penghinaan, tetapi itulah kemuliaan mereka. Mereka difitnah, tetapi dibenarkan. Memberi berkat adalah jawaban mereka terhadap pelecehan, rasa hormat adalah tanggapan mereka terhadap penghinaan. Untuk kebaikan yang mereka lakukan, mereka menerima hukuman dari para penjahat, tetapi mereka tetap bersukacita seolah-olah menerima hadiah kehidupan”. Sebagai pengikut Kristus, marilah kita mempersembahkan diri setiap hari sebagai kurban dengan hidup sesuai panggilan menjadi garam dunia.

 

Daftar Pustaka

G. Deiana, Levitico/nuova versione, introduzione e commento di Giovanni Deiana (Milano 2005).

G. J. Wenham, The Book of Leviticus (Grand Rapids, MI 1979).

H. Thomas, Levitikus 1-15 (HTKAT; Freiburg 2014).

H. Eising, “melaḥ”, TDOT V, 78-82.

J. Behm, “θυσία”, TDNT III, 181-182.

 

Mariana Berliana Ali mengajar Kitab Suci di STF Driyarkara setelah menyelesaikan Licentiat di Pontifical Biblical Institute dan doktoral Teologi Biblis di Universitas Angelicum, Roma.



[1] G. J. Wenham, The Book of Leviticus (Grand Rapids, MI 1979), 67.

[2] Bahkan dalam budaya di luar Alkitab, garam juga digunakan dalam dunia ibadah. Di Assur, para dewa juga terlibat dalam konsumsi garam seperti terungkap dalam doa berikut: “Kamu adalah garam yang dihasilkan di tempat yang murni. Ellil mentakdirkanmu untuk makanan para dewa besar. Tanpamu, tidak ada makan siang yang diselenggarakan di bait suci. Tanpamu, raja, tuan dan pangeran tidak dapat mencium aroma pengorbanan”. Lih. H. Eising, “melaḥ”, TDOT V, 79.

[3] Lih. H. Thomas, Levitikus 1-15 (HTKAT; Freiburg 2014), 210.

[4] Lih. H. Eising, “melaḥ”, 82.

[5] Lih. H. Thomas, Levitikus 1-15, 211.

[6] Lih. G. Deiana, Levitico/nuova versione, introduzione e commento (Milano 2005) 60.