WKICU, Warga Katolik Indonesia di California Utara

View Original

Seorang Waria dan Seorang Pendeta

Seorang waria bertanya kepada seorang pendeta yang baru dikenalnya: “Bapak pendeta, kalau suatu saat nanti saya meninggal, apakah saya akan masuk Sorga?”.
Di usianya yang sudah di atas 60 tahun, sang waria memang tidak muda lagi. Bahkan karena di tahun-tahun terakhir ini sering sakit-sakitan, dia tidak lagi bisa bekerja di salonnya – satu-satunya profesi, sumber penghasilan dan ketrampilan yang dia miliki.
Dia kini tidak memiliki siapa-siapa. Kedua orang tuanya sudah lama tiada, sementara semua saudaranya tidak lagi dekat dengannya sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, sejak mereka tahu bahwa ia bukan seorang laki-laki sejati. Mereka menjaga jarak dan bahkan ada yang secara terang-terangan menolak dia sebagai saudara. Istilah kasarnya, dia seorang yang sudah lama terbuang dari keluarganya.


Menjadi seorang waria sebetulnya bukan keinginannya, dia merasa jiwa dan pribadinya seperti terperangkap dalam tubuh lawan jenis, dan itu sangatlah membingungkan pada awalnya. Bukan hanya keluarganya saja yang menolaknya, bahkan semua masyarakat sekitarnya seolah mencibir dan menjauhi. Dia kini sendiri, dan memang selalu sendiri.


Sang pendeta tampak tidak yakin bagaimana harus menjawabnya. Ia juga tidak yakin ada ayat Alkitab yang secara tegas dan bijaksana bisa memberi jawaban akan pertanyaan yang begitu penting. Maka sejurus sang pendeta terdiam, berpikir keras dan cemas. Ia harus bisa memberikan jawaban, sebab jika tidak, itu akan memberikan konotasi buruk akan jabatannya sebagai seorang pendeta.

Katanya: “Ada harga yang harus kamu bayar, sanggupkah kamu?”

Sang waria membalas “Apa harga yang harus kubayar ?”

“Rumah kamu, salon kamu, uang kamu, bahkan usia kamu”.

Sang waria menjulurkan tangannya sebagai ajakan berjabatan tangan kepada sang pendeta yang langsung menyambutnya. “Iya saya mau pak pendeta, saya relakan semuanya”.

Sejak itu rumah sang waria menjadi 'gereja' di tengah tengah perkampungan kota itu. Setiap minggu sang pendeta melayani umat di situ, yang 100% umatnya adalah para waria ataupun teman-teman mereka. Sebuah rumah sangat sederhana yang dijadikan 'gereja' di pinggir sebuah kali perkotaan, beberapa bagiannya hanya ditutupi terpal plastik, dan umat duduk di kursi plastik yang terkesan murah dan sederhana pula. Khotbah pendeta tidak pernah lama, hanya 10 sampai 15 menit, dan sisa waktu kebaktian banyak diisi dengan lagu-lagu pujian dan lagu rohani, yang bahkan banyak yang bernada dangdut karena memang mereka suka dan terhibur dengan cara seperti itu.

Namun di tengah-tengah kesederhanaan dan kemiskinan seperti itu,..firman Tuhan dibacakan, hadir dan memasuki relung hati mereka. Mereka yang terbuang dan tersingkirkan oleh keluarga, teman, bahkan oleh orang-orang yang belum pernah mengenal mereka sekalipun.
Dan jika mereka selalu merasakan suka cita dan terhibur dalam persekutuan seperti itu, bukan tidak mungkin itu adalah peran Roh Kudus yang bekerja. Roh Kudus yang sama dan juga hadir di banyak gereja-gereja yang besar, terlihat megah dan bersih.
Dan sang pendeta yang selalu setia melayani, adalah anak Tuhan yang menjadi saksi Kristus. Dia punya banyak pilihan tempat melayani, namun dia memilih melayani mereka yang tersisih, tersingkirkan dan ditolak masyarakat.


Dalam Injil Matius 19:16 Ada seorang datang kepada Yesus, dan berkata: "Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?". Jawab Yesus: "Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah."

Ayat 20: Kata orang muda itu kepada-Nya: "Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?" Kata Yesus kepadanya: "Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmudan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku."


Bila hari ini anda - dan bukan sang waria - bertanya apakah anda akan masuk Sorga.
Apakah anda sudah tahu apa jawabannya ?.

Sang waria merelakan segala miliknya bahkan hidupnya sendiri bagi kemuliaan Tuhan.
Apakah kita bisa berbuat yang sama?.

Dalam luka-luka masa lalu dan ketakberdayaannya, sang waria sadar betapa harta Surgawi adalah harta dan permata yang sesungguhnya, tujuan hidupnya, dan jawaban atas segala kerinduan hatinya.
Sudahkah kita sampai pada kesadaran seperti ini?


Sang waria menyadari segala dosa dan kelemahannya, namun percaya akan kasih Tuhan yang begitu besar dan tak terhingga. Dia sadar bahwa betapapun kelamnya masa lalunya, pengampunan Tuhan selalu lebih besar.
Dia sadar bahwa memiliki atau sebaliknya menyerahkan betapapun banyaknya harta duniawi tidaklah dapat “membeli” keselamatan kekal; perbuatan baik pun tidak. Namun hanya anugerah kasih dan rahmat Tuhan saja yang sungguh dapat menyelamatkan.
Sadarkah kita?.

Seperti sang pendeta, mampukah kita menyalurkan kasih dan firman Allah kepada mereka orang-orang kecil dan tersingkirkan?. Sebab “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, kamu lakukan untuk Aku” (Mat 25:40)



Ditulis berdasarkan kisah nyata yang dituturkan oleh pendeta YK di Surabaya. Year 2021