Simon Soekarno: Pengabdian dan Pelayanan adalah Salib yang dipanggulnya.
Oleh Agem Rahardjo
Siapa mengira Warga Katolik Indonesia California Utara, WKICU bakal ketambahan umat yang menjabat sebagai Consul General of the Republic of Indonesia?
Dalam suatu kata sambutan misa Natal WKICU tahun 2019, di depan ratusan umat yang hadir di gereja St. Justin, Santa Clara saya mengatakan bahwa kita telah diberkati dengan kehadiran umat baru di tengah-tengah kita yang menjabat sebagai Konsul Jenderal. Di hadapan beliau, istri dan kedua anak lelakinya yang duduk di deretan depan saya mengatakan dengan jelas bahwa siapapun, orang Indonesia yang beragama Katolik dan tinggal di Bay area adalah umat WKICU.
Bapak Konjen, istri beserta kedua anak lelakinya tersenyum serba salah. Para tante melirik cengar-cengir kearah keluarga konsulat itu.
“Yang membuat peraturan ini bukan saya loh, Pak. Ini sudah ada dalam AD/ART WKICU,” kata saya dengan serius saat itu. “Bapak tidak bisa menolak... sayapun tidak punya pilihan,” sambung saya lagi disusul tawa membahana umat yang hadir.
***
Untuk terbitan ebulletin kita kali ini, dalam rangka Hari Kemerdekaan Indonesia ke 76 yang kita rayakan tanggal 17 Agustus nanti, kami mengundang Pak Simon Soekarno wawancara melalui zoom. Kami ingin mengaitkan antara jabatan beliau sebagai seorang Konsul Jenderal Republik Indonesia, seseorang yang besar dalam didikan keluarga Katolik dan bagaimana tantangan tugasnya melayani dan menjalin ikatan kebangsaan orang-orang Indonesia di Amerika.
Sebelum menuliskan hasil bincang-bincang ini, ada satu kesan mendalam yang ingin saya sampaikan. Pertama kali bertemu dengan Pak Simon, beliau pernah menyodorkan kartu namanya kepada saya dan mengatakan bahwa jangan sungkan untuk menghubungi beliau jika ada keperluan. Waktu itu saya hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih atas tawaran itu. Tidak terpikir untuk menelpon langsung Bapak Konsul Jenderal Republik Indonesia jika ada keperluan pribadi atau keperluan WKICU lainnya. Saya merasa lebih nyaman menghubungi pegawai konsulat yang ada, begitu kira-kira pikiran saya. Sampai suatu ketika ada salah satu umat WKICU yang meninggal dunia dan pihak keluarganya berencana meminta jenazahnya dibawa pulang karena ingin dimakamkan di Indonesia, atau paling tidak berharap bisa membawa abu jenazahnya saja. Kelabakan juga mendapat kabar ini. Bagaimana mengurusnya? Hanya satu yang terpikir untuk menanyakan soal itu….saya segera meraih telpon genggam untuk mencari nomor telpon KJRI SF lewat mbah google, dan entah mengapa tiba-tiba saja teringat dengan tawaran Pak Simon agar segera menelponnya jika ada sesuatu yang penting dan perlu dibantu. Saya ambil kartu nama yang terselip di dompet, memasukkan nama dan nomor telpon beliau ke telpon genggam saya. Sambil menimbang-nimbang dengan perasaan sungkan akhirnya saya memutuskan menghubungi beliau langsung. Saat itu kebetulan hari kerja dan menjelang makan siang. Karena tidak ingin mengganggu, maka saya putuskan mengirim pesan saja. Pesannya pun singkat, hanya berisi maksud keperluan serta menanyakan kapan waktu terbaik untuk bisa bicara lewat telpon.
Tak lama kemudian telpon genggam saya berdering. Muncul sebuah tulisan di layar
——-Simon Soekarno Konjen SF, memanggil…——-
Hari itu, melalui telpon beliau membantu saya dengan penjelasan rinci, kemudian memberikan beberapa nomor telpon orang-orang yang dapat dihubungi untuk segala urusan keperluan itu. Yang mengejutkan, belum sempat saya menelpon orang-orang itu, mereka telah lebih dulu menelpon saya, menanyakan masalah dan menawarkan bantuannya. Rupanya setelah bicara di telpon dengan saya, Pak Simon langsung menghubungi dan menyarankan orang-orang tadi untuk segera menghubungi saya. Bagi beliau ini soal penting dan saya perlu segera dibantu.
Begitulah Pak Simon melayani masyarakat Indonesia yang butuh bantuannya. Cepat tanggap dan sangat peduli. Beliau akan memberikan seluruh kemampuan dan bala bantuan yang ada untuk berjalan bersama kita sampai segalanya selesai tuntas. Masih banyak lagi pengalaman saya sehubungan dengan bantuan yang diberikan oleh Pak Simon. Sayangnya, halaman ebulletin kita ini membatasi saya untuk menulis panjang lebar.
Simon Djatwoko Irwantoro Soekarno SH. MA, yang disingkat Simon Soekarno dan akrab disapa Pak Simon sudah menjabat Konsul Jenderal Republik Indonesia untuk San Francisco sejak 1 Maret, 2019. Lulusan University of Kent (Canterburry, England) dan Universitas Atma Jaya, Jakarta yang telah didaulat sebagai umat WKICU ini juga pernah menjabat sebagai Konsul Jenderal Republik Indonesia untuk Los Angeles (September 2017 sampai Februari 2019). Lahir dari keluarga diplomat beragama Katolik yang selalu berpindah dari satu negara ke negara lain, dan melihat bagaimana sang Ayah, Among Soekarno, melayani masyarakat Indonesia yang berada di luar negeri dengan semangat dan bekerja sepenuh hati memuluskan hubungan diplomatik antar Indonesia dengan negara tempat beliau bertugas telah membekaskan kenangan yang membulatkan tekad Simon Soekarno kecil untuk mengikuti jejak sang Ayah, meskipun sang Ayah sendiri tidak menghendaki dirinya menjadi seorang diplomat oleh karena kakak laki-lakinya yang tertua dan yang ketiga sudah lebih dulu menjadi diplomat.
Sang Ibu, Sri Hartati Soekarno selalu setia mendampingi suami dan keluarga. Beliau adalah sosok Ibu yang sangat penting dalam memberikan teladan kepada anak-anaknya. Terutama tentang nilai-nilai hidup. Simon Soekarno, anak ke enam dari tujuh bersaudara ini menjadi lebih paham arti kata “melayani” dari sang Ibu.
Ebulletin: Sebagai seorang Katolik, Bagaimana Pak Simon melihat peran bapak sebagai abdi Negara?
“Kalau boleh dibilang, saya mendapat banyak pengaruh dari kedua orangtua saya terutama dari Ibu saya. Beliau selalu mengatakan, jika memberikan pelayanan dan membantu kepada seseorang tidak boleh melihat pamrih. Jangan karena mengharapkan sesuatu. Melayani dan membantu orang itu harus rela sepenuh hati. Tuhan Yesus datang ke dunia ini adalah sebagai pelayan, bukan untuk dilayani. Dan sesungguhnya tugas seorang diplomat dan perwakilannya seperti saya ini adalah pelayan masyarakat yang harus mau melayani,” jelasnya dengan mantab.
Ebulletin: Bagaimana keyakinan itu juga menumbuhkan rasa cinta terhadap Negara?
“Seperti apa yang Ibu saya pesankan kepada saya, jika melayani sesama harus dengan sepenuh hati, tanpa pamrih. Menurut saya, kita tidak akan mampu melayani dengan sepenuh hati tanpa mencintai. Sebagai abdi negara sudah seharusnya saya mencintai bangsa kita. Begitu juga seharusnya dengan orang Indonesia yang berada di sini. Cintailah bangsa kita dengan sepenuh hati, yang berarti mencintai tanpa pamrih juga tentunya” jelasnya dengan wajah berbinar.
Ebulletin: Apa pendapat Bapak mengenai orang Indonesia yang saat ini berada di Amerika, yang barangkali keberadaan mereka di sini karena mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan yang pernah terjadi di Indonesia?
“Kita tidak bisa merubah atau melupakan apa yang terjadi, namun kita bisa mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut dan melangkah kedepan untuk membuat perbaikan-perbaikan. Namun saya melihat juga bahwa banyak sekali yang datang ke Amerika ini untuk sekolah dan untuk bekerja, yang intinya untuk membantu keluarga mereka di Indonesia dan juga untuk mendapatkan kesempatan hidup lebih baik, bekerja lebih baik, dan lain-lain. Saya tidak pernah meragukan rasa cinta tanah air kepada teman-teman orang Indonesia di sini, sekalipun mereka sudah menjadi warga negara Amerika. Darah daging mereka masih kental sekali merah putihnya. Kenyataannya bahwa Indonesia memang adalah tempat lahir mereka, negara mereka dan sanak keluarga mereka masih ada di Indonesia,” jawab beliau yakin.
“Kejadian atau peristiwa yang tidak menyenangkan seperti katakanlah peristiwa tahun 1998, yang banyak dialami oleh teman-teman di sini, telah menimbulkan semacam perasaan yang susah mereka lupakan. Kita semua bertanya mengapa kok bisa begitu? Peristiwa dan kejadian itu membuat kita semua susah dan mengalami ketakutan. Pada saat kejadian itu saya berada di Indonesia, dan istri saya sedang melahirkan anak pertama saya di sebuah rumah sakit di Jakarta. Saya mendengar kabar bahwa ada serombongan orang datang ke arah rumah sakit dan mereka merusak segala sesuatu yang dilewati. Saya sangat khawatir sekali dan memutuskan untuk membawa pulang istri dan anak saya meskipun dokter menyarankan anak saya untuk tinggal karena keadaannya yang masih kuning (trombosit tinggi), perlu perawatan. Saya memaksa dan akhirnya harus menandatangani beberapa perjanjian dimana rumah sakit dan dokter menyatakan tidak akan bertanggung jawab jika terjadi apa-apa karena saya bersikeras membawa pulang anak saya. Waktu itu saya harus mengambil keputusan dan harus menanggung sendiri akibat jika terjadi apa-apa terhadap anak saya. Di situlah saya mengerti sekali bagaimana perasaan mereka, karena saya juga mengalaminya” kenang Pak Simon.
***
Konsul Jenderal yang selain menguasai bahasa Inggris juga fasih berbahasa Jerman dan Spanyol ini kemudian menjelaskan panjang lebar mengenai tugas dan wewenang diplomat serta perwakilannya di luar negri. Tugas utamanya itu adalah membina hubungan baik antar negara. Oleh karena pengembangan hubungan dagang yang perlu mendapat banyak perhatian maka dibutuhkan satu perwakilan Konsulat Jenderal di luar Kedutaan Besar yang ada di Ibu Kota. Alasan lain adalah karena banyaknya warga negara yang perlu dijaga, yang perlu diperhatikan dan layani. Beliau juga menekankan tentang salah satu pasal penting politik luar negri Indonesia yang isinya; Perlindungan terhadap warga negara, yang dalam undang-undang dinyatakan bahwa negara wajib melakukan perlindungan dan pelayanan kepada warga negara Indonesia yang berada di luar negri.
“Terlepas mereka itu sudah menjadi warga negara asing, sudah punya ijin tinggal (green card) atau bahkan yang berada di suatu negara tanpa surat-surat resmi. Kita wajib melindungi mereka semua tanpa terkecuali. Kita tidak melihat status keberadaan mereka di sini. Itu bukan urusan kita. Tugas kita hanya melindungi dan melayani. Banyak warga dan orang Indonesia yang kurang mengerti. Mereka takut berhubungan dengan KJRI karena status mereka, misalnya.”
“Saya ingin semua warga di sini mengerti dan tidak ingin KJRI itu kelihatan angker. Orang-orang tidak mau datang atau enggan berhubungan dengan KJRI. Saya ingin meyakinkan kepada warga bahwa KJRI itu rumah masyarakat Indonesia di sini. Itu rumah mereka, pintu selalu terbuka. Saya juga menghimbau kepada rekan-rekan kerja di KJRI untuk selalu membantu memberikan pelayanan terbaik kepada mereka. Jika permintaan bantuan itu diluar kemampuan tugas kami, kita akan mencoba mencarikan jalan,” lanjut Pak Simon.
Ebulletin: Sehubungan dengan menanamkan rasa cinta dan akar kebangsaan kepada warga Indonesia di Amerika ini apa yang telah dilakukan KJRI?
“Kepada teman-teman yang mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan dan membuat mereka takut atas kejadian-kejadian di Indonesia. Kita memang tidak bisa melupakan atau merubah apa yang pernah terjadi. Marilah kita bersama-sama melihat kedepan dan mendukung apa yang sudah dilakukan pemerintah, dalam hal ini adalah langkah-langkah perbaikan menata masa depan bangsa. Pemerintah kita berjuang keras untuk membuat keadaan menjadi lebih baik, dan kita perlu mendukung usaha baik itu. Pelayanan akan kami maksimalkan dengan merangkul dan mendukung sebanyak mungkin segala kegiatan, baik itu kelompok agama maupun kelompok masyarakat. Kami juga telah membangun Ikatan Diaspora Indonesia yang diharapkan mampu menyambung ikatan kebangsaan itu,” ujarnya.
***
Lahir di Jakarta pada tanggal 28 Oktober, 1966 dan sejak kecil sudah mengikuti orangtuanya bertugas di luar negri. Simon Soekarno memiliki kedekatan tersendiri dengan sang Ibu, Sri Hartati Soekarno. Beliau adalah orang yang selalu hadir merawat dan membimbing anak-anaknya di saat sang ayah bertugas. Nasihat dan petuah-petuah tentang hidup yang diajarkan beliau tertanam kuat di hati Simon Soekarno hingga saat ini. Suami dari Anastasia Eveline Anggraini ini juga begitu yakin bahwa sang Ibu sangat mendukung jalan hidupnya menjadi seorang diplomat.
“Penugasan awal sangat berat bagi saya, itu sekitar tahun 1997. Waktu itu bulan Desember. Saya ditugaskan ke Chile, Santiago. Sebelum saya berangkat, Ibu saya masuk rumah sakit dan dalam keadaan koma karena cancer. Bingung dan berat sekali rasanya meninggalkan beliau. Saya pasrah dan berdoa kepada Tuhan untuk memberikan yang terbaik….entah bagaimana Ibu saya kemudian sadar dan sehat kembali. Seperti tidak terjadi apa-apa, beliau kemudian memanggil saya dan mengatakan; Kamu berangkat. Jangan menunda….melihat Ibu sudah sehat, yah saya berangkat. Baru dua hari sampai di Chile saya mendapat telpon yang mengabarkan Ibu saya koma lagi dan saya disarankan untuk segera pulang. Belum ada seminggu saya di Chile dan waktu itu menjelang Natal,” kisah Pak Simon.
Ayah dari Jason Alexander Pratama Soekarno dan Diego Dwiputranto Soekarno kemudian menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan kisahnya.
“Tuhan itu baik sekali …dari Santiago, Chile yang sangat jauh perjalanannya, kira-kira sekitar dua hari tempuh, dan saat itu juga menjelang Natal, saya dikasih jalan dengan gampang sekali mendapat tiket pesawat dan saya mendapatkan upgrade. Saya segera pulang ke Jakarta dan langsung menuju rumah sakit. Begitu sampai ruang perawatan Ibu saya yang sedang terbaring koma, saya pegang kaki Ibu dan bilang; saya sudah datang…,”suara pak Simon tiba-tiba bergetar. Kenangan terakhirnya bersama sang Ibu di ruang ICU rumah sakit itu tak urung membuat obrolan kami terhenti sejenak.
“Saya pegang kaki Ibu sambil mengatakan; Ibu, saya sudah datang... selesai saya mengatakan itu… denyut jantung pada alat perekam detak jantung Ibu langsung garis lurus… Rupanya, Ibu menunggu saya datang sebelum beliau pergi untuk selamanya,” lanjut Pak Simon sambil tak kuasa menahan air matanya.
“Itulah mengapa penugasan pertama saya menjadi sangat berat. Tetapi sekaligus juga saya merasakan sekali penyertaan Tuhan di dalam hidup saya,” katanya dengan suara masih bergetar haru.
***
Sebelum mengakhiri wawancara, Pak Konjen Simon menyampaikan bahwa mengingat KJRI tidak mungkin bisa menjangkau seluruh masyarakat atau diaspora Indonesia yang berada di delapan (8) negara bagian yang dilayani KJRI San Francisco diantaranya, Alaska, Northern California, Northen Nevada, Idaho, Montana, Oregon, Washington, dan Wyoming. Maka dengan sangat Pak Simon mengharapkan agar masyarakat Indonesia bisa mem-follow media sosial KJRI San Francisco ( Facebook, Instagram dan Twitter), karena melalui sarana media sosial tersebut, KJRI menyebarkan imbauan-imbauan dan penjelasan berita terkini, dimana saat ini keadaan di Amerika dan khususnya di Indonesia sedang menghadapi pandemi covid-19 serta juga meningkatnya Asian Hate Crime yang terjadi di Amerika Serikat.
** Photo: kumpulan photo pribadi Simon Soekarno.