WKICU, Warga Katolik Indonesia di California Utara

View Original

Refleksi Singkat Satu Tahun Tahbisan Imamat (bagian 2)

Oleh S. Hendrianto, SJ

Salah satu persoalan yang menurut saya menjadi masalah dalam kehidupan ber-gereja ataupun bermasyarakat adalah kita sering menilai seseorang berdasarkan asal-usulnya, khususnya dari mana orang itu berasal. Saya adalah orang yang tidak suka untuk menonjolkan dari mana saya berasal. Meskipun saya tidak pernah mengingkari sejarah kehidupan saya, banyak hal yang membuat saya tidak suka menunjukkan tempat dari mana saya “berasal.” Pertama, banyak orang yang memiliki persepsi tertentu tentang dari mana seseorang berasal dan mereka bisa dengan cepat memberi label terhadap seseorang hanya berdasarkan asal usulnya. Tempat kelahiran saya adalah sebuah pulau kecil yang dulu di kenal sebagai tempat pembuangan selama masa penjajahan Belanda. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pernah diasingkan di tempat kelahiran saya. Kemudian pada suatu masa, tempat tersebut juga dikenal sebagai sarang kejahatan, dan akibatnya orang pun cepat memberi label bahwa saya berasal dari tempat yang penuh dengan perompak, penyamun dan penjudi. 

Dalam waktu satu dekade terakhir, ada seorang politisi kontroversial yang muncul di panggung politik Indonesia dan politisi kontroversial ini berasal dari pulau yang lokasinya terletak di sebelah tempat kelahiran saya. Celakanya banyak orang yang tidak tahu geografi dan langsung dengan gampang berkesimpulan bahwa politisi kontroversial ini berasal dari tempat yang sama dengan saya. Sering kali ketika saya menyebut dari mana saya berasal, orang pun langsung meng-identifikasikan saya sebagai pendukung sang politisi kontroversial tersebut. Fakta sesungguhnya, saya bukan pendukung politisi tersebut ataupun penggemar dia dan yang lebih jelas lagi dia berasal dari tempat yang berbeda dengan tempat kelahiran saya.  

Ada peristiwa menarik lagi sehubungan dengan tempat kelahiran saya yang terkenal dengan babi panggangnya. Tidak lama setelah saya ditahbiskan, seorang umat Warga Katolik Indonesia di California Utara (WKICU) menghubungi saya malam-malam. Katanya dia hendak bertanya tentang suatu hal penting; saya pikir orang ini mungkin ingin bertanya tentang masalah teologi ataupun masalah pribadi. Alih-alih bertanya tentang soal teologi ataupun masalah pribadi, orang ini justru bertanya tentang resep babi panggang dari tempat kelahiran saya. Faktanya saya adalah seorang vegetarian, akan tetapi orang ini langsung berkesimpulan bahwa karena saya berasal dari tempat tersebut, otomatis saya adalah penggemar babi panggang. Terus terang saja, saya tidak habis pikir mengapa orang ini ingin menghabiskan waktu untuk bertanya soal resep babi panggang kepada seorang Romo muda.

Jikalau kita menyimak cerita di Kitab Suci, kita juga tahu bahwa penyakit orang yang suka memberi cap atas asal usul seseorang adalah penyakit yang sifatnya universal. Nathanael atau Bartolomeus adalah salah satu contoh orang yang suka memberi cap atas asal usul seseorang. Di Injil Yohannes kita tahu bahwa Filipus bertemu dengan Nathanael dan berkata kepadanya: "Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret (Yohannes 1:45). Nathanael seperti orang kebanyakan pun menjawab: "Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?" Jawaban Natahaniel ini menunjukkan bahwa hati manusia 2000 tahun yang lalu sama juga dengan hati manusia abad 21, dimana orang sering menilai orang dari mana dia berasal. Kalau mau ditelesuri sebenarnya identitas Yesus tidak bisa semata-mata disebut sebagai orang Nazareth. Pertama, Yesus lahir di Betlehem (Mattius 2:1 dan Lukas 2:4) dan kemudian Yesus juga besar di Mesir (Mattius 2:14-15). Yang lebih penting lagi adalah Yesus berasal dari Surga. 

Nathanael sendiri baru bisa meninggalkan pola pikir sesatnya setelah dia bertemu Yesus secara langsung. Ketika bertemu Yesus, hati Nathaniel pun tergerak dan dia mengerti tentang identitas Yesus yang sesungguhnya. Dia pun memberikan pengakuan iman, “Rabi, Engkau Anak Allah, Engkau Raja orang Israel!" Dalam statemen ini, Nathanael menunjukkan dua indentitas Yesus: pertama, dia mengakui bahwa Yesus sejatinya berasal dari surga karena Yesus mempunyai hubungan spesial dengan Bapa di Surga karena Yesus adalah Putra Allah. Kedua, Yesus bukan hanya seorang tukang kayu dari Nazareth. Meskipun Yesus menghabiskan sebagian hidupnya di Nazareth, identitas dia bukanlah semata-mata orang Nazareth, melainkan Yesus adalah Messias yang telah lama dinantikan oleh orang Israel. 

Menurut saya, dalam kehidupan bermasyarakat dan ber-gereja, sudah bukan saatnya lagi kita meng-identifikasi identitas seseorang berdasarkan asal – usul atau dari mana dia berasal. Daripada memberi label atau cap kepada seseorang berdasarkan asal-usulnya, akan lebih baik kalau kita melihat relasi orang tersebut dengan Kristus. Mungkin banyak dari kita yang berpikir seperti Nathanael, dan mungkin sudah saatnya bagi kita untuk meninggalkan pola pikir seperti itu dan mulai mengenal seseorang berdasarkan nilai-nilai kehidupan yang dia pegang, kebijaksanaan atau pandangan hidup, dibanding sekedar mengenal dia berdasarkan asal-usulnya.  

Setelah saya ditahbiskan menjadi Romo pada tahun 2019, saya sempat kembali ke tempat saya dibesarkan dan mengadakan misa syukur di Gereja tempat saya dibaptis. Terus terang saja ketika perasaan saya bercampur aduk, pertama karena saya tidak tahu reaksi orang-orang di paroki tempat asal saya itu bersikap terhadap saya. Kedua, saya juga tidak tahu reaksi orang tua saya yang selama ini menentang keputusan saya untuk menjadi Romo. Ketiga, saya sendiri masih terus bergelut dengan persoalan identitas karena saya tidak ingin semata- mata identitas saya ditentukan berdasarkan tempat saya berasal. 

 Penyair Inggris Hilaire Belloc pernah menulis “…setiap kali aku mengingat masa kecil ku dan setiap kali aku merasa senang pulang ke rumah. Tapi aku tidak pernah menemukan kebahagiaan terakhir” (each time I have remembered my boyhood and each time I have been glad to come home.  But I never found it to be a final gladness). Saya pikir tulisan dari Belloc tersebut bisa melukiskan perasaan saya ketika mempersembahkan misa syukur di Gereja Santo Petrus, di Keuskupan Pangkalpinang. Bahwa saya bisa mengingat masa kecil dan merasa  pulang ke rumah, akan tetapi saya tidak menemukan kebahagiaan terakhir.  

Untuk lebih menjelaskan suasana hati ketika itu, saya lampirkan teks homili ketika mengadakan misa syukur di Gereja tempat saya dibaptis. Silahkan membaca lampiran teks di bawah ini. 

Homili pada misa syukur Romo Stefanus Hendrianto, SJ pada tanggal 14 Juli, 2019 di Gereja Santo Petrus, Keuskupan Pangkalpinang.

Saudara – saudari yang terkasih dalam Kristus, mungkin saat ini banyak pertanyaan di pikiran saudara-saudari tentang saya sebagai Romo yang memimpin misa pada hari ini. Pertama, saya menduga banyak yang bertanya, “bukankah dia adalah anak seorang buruh tambang, bukankah ibunya adalah seorang tukang jahit, bagaimana dia menjadi seorang Romo dan berkhotbah di depan kita.” Saya menduga hal ini pasti terjadi karena sama halnya dengan Yesus yang pulang ke kampung halamannya dan orang-orang pun bertanya "Dari mana diperoleh-Nya hikmat itu dan kuasa untuk mengadakan mujizat-mujizat itu? Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria?”

Kedua, saya juga menduga bahwa banyak yang berkesimpulan atau juga sudah bergosip bahwa saya menjadi seorang Romo karena saya patah hati setelah diputuskan dan dicampakkan oleh mantan tunangan saya. Perlu saya tegaskan pada hari ini di hadapan kalian semua bahwa cerita itu TIDAK BETUL dan SALAH BESAR. Betul bahwa saya pernah berpacaran selama 7 tahun dengan seorang perempuan dan bahkan kita sudah bertunangan dan berencana untuk menikah. Akan tetapi saya lah yang memutuskan membatalkan rencana perkawinan kami.  Adapun alasannya karena saya tahu bahwa dalam lubuk hati saya yang paling dalam, ketika itu saya belum siap untuk berkomitmen dan lebih tepatnya saya tidak siap untuk menjadi seorang suami dan ayah. 

Pertanyaan berikutnya mungkin adalah mengapa saya ingin menjadi Romo kalau bukan karena patah hati. Penjelasannya cukup panjang dan saya tidak bisa menceritakan semuanya dalam homily saya pada hari ini. Tapi izinkan saya menceritakan salah satu alasan saja yaitu karena doa ibu saya. Singkat cerita ketika duduk di bangku kuliah, saya meninggalkan Gereja karena saya mendapati bahwa Gereja Katolik di Indonesia cukup apatis terhadap masalah sosial dan politik, seakan-akan Gereja tidak peduli terhadap segala bentuk penindasan dan ketidakadilan di Indonesia ketika itu. Dan saya terus berada di luar Gereja setelah lulus kuliah. Pada masa-masa itu, ibu saya rajin berdoa setiap pagi dan memohon kepada Bunda Maria agar Bunda Maria menunjukkan jalan dan menghantarkan saya ke jalan yang benar. Dan akhirnya doa ibu saya terkabul karena Bunda Maria memang menunjukkan jalan yang benar kepada saya untuk masuk Novisiat Serikat Yesus dan menjadi seorang Romo. Jadi ketika ibu saya menentang keputusan saya untuk menjadi seorang Romo, jawaban saya kepada beliau adalah, “Salah sendiri mengapa kamu meminta kepada Bunda Maria menunjukkan jalan yang benar kepada saya. Jadi hati-hatilah terhadap doa yang kamu minta kepada Bunda Maria.”

Terlepas dari segala macam pendapat, gosip ataupun spekulasi apapun terhadap keputusan saya menjadi seorang Romo, saya bersyukur karena hari ini bisa merayakan misa syukur di Gereja tempat saya di baptis. Meski saya harus mengakui bahwa Gereja yang baru dan megah ini terasa asing buat saya. Saya dibaptis di Gedung gereja yang lama, jadi memori saya masih melekat di Gereja tua. Berbicara tentang Gereja baru ini, saya tahu bahwa banyak pihak yang menyumbang untuk pembangunan Gereja ini dan kemudian nama para penyumbang itu pun disebut dalam peresmian gereja baru. Ketika itu Tante saya, Ibu Iswadhani yang kalian kenal, merasa malu besar karena keluarga kita tidak mampu menyumbang sehingga tidak disebut dalam daftar penyumbang. Seharusnya dia tidak perlu malu karena keluarganya sudah memberi sumbangan yang jauh lebih besar dari sekedar uang ke Gereja. Keponakannya sudah menjadi seorang Romo, jadi itu merupakan sumbangan yang lebih besar daripada sumbangan semen dan batu bata untuk pembangunan gereja. 

Cerita tentang Ibu dan Tante saya ini menunjukkan bahwa kita harus memikul tanggung jawab atas segala doa dan perbuatan kita. Panggilan hidup Kristiani itu sebenarnya adalah panggilan bagi kita untuk bertanggung jawab dan memikul beban. Kalau kita ingat cerita Abraham yang disuruh oleh Tuhan pindah, dan setelah Abraham memutuskan pindah, Tuhan pun pergi dan meninggalkan dia, sehingga dia harus menjalani kehidupan barunya sendiri.  Kisah Bunda Maria juga menunjukkan pola yang sama, setelah Malaikat Gabriel memberitahu kan berita gembira, sang Malaikat pun langsung pergi dan meninggalkan Maria sendirian menanggung segala beban dan penderitaanya dalam mengandung Yesus. Sama halnya, Yesus juga memberikan contoh yang sama dalam kehidupannya bahwa kita harus memikul beban dan tanggung jawab. Yesus tidak menyalahkan siapapun ketika dia ditangkap dan kemudian disalibkan. Yesus menanggung segala penderitaannya dan menunjukkan contoh kepada kita untuk memikul salib masing-masing. 

  Cerita dalam Injil hari ini tentang orang Samaria juga mengangkat tentang tema tanggung jawab. Orang Samaria itu merasa dia mempunyai tanggung jawab untuk membantu orang Yahudi yang dirampok. Seperti kita ketahui, dimata orang Yahudi, orang Samaria adalah warga kelas dua atau orang buangan, atau paling tidak orang asing. Akan tetapi orang Samaria ini tidak cari-cari alasan untuk menghindar dari orang Yahudi. Bahkan dia merasa tanggung jawab nya tidak hanya sekedar menolong, tapi juga membantu lebih jauh dengan membayar penginapan dan pengobatan orang Yahudi yang telah dirampok.

Mungkin kita semua terpanggil untuk menjadi orang Samaria dan ingin membantu sesama. Akan tetapi hari ini saya ingin mengundang saudara-saudari sekalian untuk melihat cerita ini dari perspektif yang sedikit berbeda. Tentu saja tidak ada salahnya kalau kita ingin menjadi seperti orang Samaria yang membantu sesama, terutama musuh kita yang sedang menderita dan perlu pertolongan. Akan tetapi kalau kita mau jujur pada diri kita sendiri, kebanyakan dari kita bukanlah pahlawan seperti orang Samaria. Sering kali kita berpaling muka dan meninggalkan musuh, orang yang tidak kita sukai ataupun orang-orang yang membenci kita. 

  Hari ini saya ingin mengajak saudara-saudari untuk melihat cerita ini dari perspektif si pemilik penginapan. Saya pikir karakter pemilik penginapan adalah sosok yang lebih realistik untuk kita teladani. Pertama, kalau kita berada dalam posisi si pemilik penginapan, bisa dipastikan kita akan kesal dan marah melihat ada tamu kita membawa korban perampokan yang terluka di penginapan kita, dan bukannya dia membawa orang itu ke rumah sakit atau ruang gawat darurat. Kemudian cerita berlanjut bahwa si orang Samaria pergi dan sebelum pergi dia meminta si pemilik penginapan untuk merawat si orang Yahudi. Orang Samaria memberi biaya kepada si pemilik penginapan untuk merawat orang Yahudi dan berkata bahwa kalau ada kekurangan nanti akan dia ganti setelah dia kembali. 

Pertanyaannya adalah bagaimana kita akan bereaksi kalau kita berada dalam posisi sebagai pemilik penginapan. Apakah kita akan ambil uangnya dan kemudian mengusir si orang Yahudi itu. Apakah kita percaya bahwa orang Samaria itu benar-benar akan kembali dan mengganti segala biaya? Bagaimana kalau sekiranya si orang Samaria tidak pernah kembali, apakah kita akan terus merawat si orang Yahudi yang terluka. Saya pikir kita masing-masing bisa mengisi akhir cerita itu dengan berpikir bagaimana Yesus akan bersikap atau berbuat atau apa yang Yesus ingin kita lakukan dalam situasi tersebut. 

Menjadi pengikut Yesus adalah berarti kita semua harus siap sedia untuk memikul tanggung jawab dan panggilan ini berlaku bagi semua orang Kristiani. Sama halnya menjadi seorang Romo juga berarti memikul tanggung jawab, seperti Yesus yang memikul kayu salib. Jadi untuk itu saya minta tolong kepada kalian semua untuk mendoakan saya supaya saya bisa menjadi seorang Romo yang rendah hati dan bisa memikul salib seperti Yesus.