WKICU, Warga Katolik Indonesia di California Utara

View Original

Refleksi Singkat Satu Tahun Tahbisan Imamat (bagian 3)

Oleh: Romo S. Hendrianto, SJ


Apakah ada yang lebih dahsyat dari doa seorang Ibu? Sungguh doa seorang ibu itu adalah sebuah keajaiban dan bahkan ada yang berkata bahwa doa seorang Ibu bisa menembus langit. Dalam renungan saya yang terdahulu saya juga sudah menceritakan doa ibu dapat merubah takdir yang tidak di sangka-sangka. Pengalaman pribadi saya menunjukkan bahwa doa ibu telah menghantarkan saya menjadi seorang Romo. Meskipun ibu saya tidak pernah punya niat agar anaknya menjadi Romo, dia terus berdoa kepada Bunda Maria agar menunjukkan jalan yang benar kepada anaknya, sehingga akhirnya Bunda Maria-pun menuntun saya menjadi seorang Romo. 

Akan tetapi, dalam pengamatan saya, banyak juga para ibu yang berdoa hanya untuk sesuatu yang menurut dia terbaik buat anak-anak mereka. Dengan kata lain mereka tidak berdoa agar Tuhan memberikan yang terbaik menurut kehendak Tuhan. Para ibu banyak juga yang berdoa hanya untuk kepentingan dan kesuksesan duniawi semata bagi anak-anak mereka, mulai dari harta, karir, kekayaan dan prestasi yang cemerlang. Mungkin perlu dilakukan survey untuk menilai berapa banyak para Ibu yang berdoa untuk keselamatan jiwa-jiwa anak mereka atau agar anak-anak mereka menjadi orang Kudus. 

Santa Monica adalah teladan bagi para Ibu untuk bisa berdoa agar anak-anak mereka menjadi orang Kudus. Santa Monica sendiri adalah seorang Ibu yang menderita cukup panjang. Secara pribadi dia menderita karena ketergantungan pada alkohol.  Akan tetapi niat beliau yang kuat untuk berhenti minum alkohol menjadi fondasi untuk bisa bertahan dalam penderitaan dan masa-masa sulit dengan keluarganya. Di atas segalanya Santa Monica mengerti bahwa menjadi pengikut Yesus berarti kita harus memikul salib dan menderita seperti Yesus. Pemahamannya yang mendalam tentang penderitaan Yesus dan Salib terwujud dalam kata-katanya menjelang ajalnya kepada putranya Santo Augustinus, “Makamkan aku di manapun juga sesuai dengan keinginanmu, jangan sampai pemakamanku menjadi masalah buatmu. Aku hanya meminta satu hal bahwa agar kamu selalu mengingatku di altar Tuhan di manapun kamu berada.”

Santa Monica mengucapkan pernyataan di atas karena dia tahu bahwa anaknya Santo Agustinus telah dipilih oleh Tuhan untuk berkarya dalam namaNya, lebih tepatnya Yesus telah memilih Augustinus untuk menjadi seorang Imam dan Uskup. Sama halnya dengan sang Ibu, Santo Augustinus sendiri sadar bahwa identitas ganda seorang Imam dan Kurban dalam perayaan Ekaristi. Dalam karyanya yang berjudul De Trinitate (Tri Tunggal MahaKudus), menjelaskan bahwa Misa adalah kurban kudus, di mana Kristus menjadi Imam dan sekaligus Kurban. Santo Agustinus menulis, “Apa yang bisa kita berikan dan terima, dengan mengurbankan diri kita sendiri, sehingga kita menjadi seorang Imam?” Santo Augustinus juga menekankan bahwa makna kurban kudus dalam Misa tidak bisa dipisahkan dari pengorbanan Kristus untuk manusia. Dalam khotbahnya kepada orang-orang yang baru dibaptis pada Malam Paskah, Augustinus berkata, “Setelah konsekrasi dari Kurban Kudus oleh Tuhan, Dia menginginkan kita juga menjadi kurban, sebuah fakta yang jelas bahwa ketika Kurban Kudus pertama kali ditetapkan pada perjamuan malam terakhir, dan oleh karena kurban tersebut adalah jati diri kita yang utama, maka setelah upacara pengurbanan selesai, kita pun mendoakan doa Bapa Kami” (Sermon 227). 

Dalam renungan singkat saya pada bagian pertama, saya sudah menjelaskan tentang peran Bunda Maria sebagai seorang Ibu yang berpengaruh besar terhadap perjalanan Imamat saya. Sementara dalam tulisan bagian kedua, saya lebih menceritakan peran ibu biologis yang mendoakan saya tanpa sadar untuk menjadi seorang Romo. Dan karena ibu saya meminta doa kepada Bunda Maria, maka semuapun menjadi klop karena Bunda Maria langsung menunjukkan jalan kepada saya untuk menjadi seorang Romo. 

Ketika merenungkan kembali satu tahun tahbisan Imamat saya, khususnya hubungan Santa Monica dengan Santo Augustinus, saya jadi teringat akan sosok seorang “ibu” yang juga ikut berjasa dalam menghantarkan saya menjadi seorang Romo yaitu “ibu persusuan” saya. Istilah Almamater populer di kalangan akademik untuk menyebut perguruan tinggi atau sekolah tempat seseorang menyelesaikan suatu jenjang pendidikan. Akan tetapi banyak orang yang tidak tahu arti sesungguhnya dari istilah tersebut. Secara harafiah, istilah alma mater dalam Bahasa Latin bermakna “ibu persusuan.” Istilah ini digunakan berdasarkan kebiasaan orang Yunani Kuno dalam mengirim anak- anaknya untuk mengenyam pendidikan, dengan menyerahkan atau menitipkan anak-anak mereka  kepada seseorang yang dianggap bijaksana. Di tempat orang bijak itulah, anak-anak dapat belajar atau berlatih untuk melakukan segala hal sebagai bekal untuk menjalani kehidupan orang dewasa. Tempat pendidikan ini disebut alma mater yang bisa juga berarti “ibu pengasuh” atau “ibu yang memberikan ilmu.”

Fakta yang menarik adalah setelah kejatuhan kerajaan Romawi, istilah alma mater mulai masuk ke dalam kosa kata liturgi Gereja Katolik dan Gereja pun menggunakan istilah ini untuk merujuk Bunda Maria. “Alma Redemptoris Mater” (Ibu Sang Penyelamat) adalah antifon yang cukup popular pada abad ke 11 dan didedikasikan kepada Bunda Maria. 

Setelah ditahbiskan sebagai seorang Imam pada bulan Juni 2019, saya kembali ke tempat saya pernah bersekolah dan mempersembahkan misa syukur pada hari pertama tahun ajaran baru, tanggal 15 Juli, 2019. Ketika mempersembahkan misa syukur di SMA Katolik Santo Yosef dan SMP Theresia, Pangkalpinang, saya merasakan suasana hati yang berbeda sekali dengan pengalaman sehari sebelumnya ketika mempersembahkan misa syukur di Paroki tempat saya dibaptis. Dalam renungan terdahulu (bagian 2) saya telah mengutip penyair asal Inggris Hilaire Belloc “…setiap kali aku mengingat masa kecilku dan setiap kali aku merasa senang pulang ke rumah. Tapi aku tidak pernah menemukan kebahagiaan terakhir” (each time I have remembered my boyhood and each time I have been glad to come home.  But I never found it to be a final gladness). Akan tetapi ketika mempersembahkan misa syukur di alma mater saya, saya merasa benar-benar pulang ke rumah dan menemukan “kebahagian terakhir.”

Tanpa saya sadari, SMA Katolik Santo Yosef dan SMP Theresia Pangkalpinang telah berjasa besar sebagai alma mater yang ikut menumbuhkan panggilan imamat saya. Saya bukanlah murid yang saleh dan suka berdoa; saya tidak pernah ikut Legio Maria atau pesekutuan doa, ataupun kelompok rosario di sekolah. Bahkan dalam beberapa hal saya juga sering berbuat onar di sekolah. Saya juga bukanlah seorang putra altar waktu di sekolah dulu.  Selama hidup, baru sekali saya jadi putra altar waktu Ulang Tahun SMA tahun 1990, itupun karena putra altar yang seharusnya bertugas berhalangan. Jadilah detik-detik terakhir saya diminta jadi putra altar. Bisa dipastikan tidak ada guru-guru yang pernah membayangkan seorang murid seperti saya bisa menjadi seorang Rohaniawan Katolik. 

Meski demikian, guru-guru di SMP dan SMA cukup luhur untuk mendidik saya menjadi seorang terbuka dan percaya kepada penyelenggaraan Ilahi. Pendidikan di bangku sekolah menengah juga cukup mumpuni untuk mempersiapkan saya lebih terbuka dan mendalami pengetahuan filsafat, politik, hukum dan teologi, sehingga saya pun terus mencari makna kehidupan. 

Melihat ke belakang, sewaktu SMA dulu banyak guru-guru saya yang lulusan IKIP Sanatha Dharma, jadi secara tidak langsung saya juga sering mendengar tentang Serikat Yesus melalui mereka. Kemudian waktu di SMA, suatu hari guru agama saya pernah menceritakan kisah tayangan film di bioskop lokal berjudul ‘The Mission’ yang dibintangi oleh Robert De Niro dan Jeremy Irons. Film tersebut bercerita tentang perjuangan para Romo Jesuit di Paraguay. Setelah menonton film itu saya cukup terkesan akan komitmen para Romo Jesuit dalam menyebarkan injil kepada kelompok Indian Guarani yang tinggal di perbatasan Paraguay dan Uruguay, bahkan sampai mereka rela memberikan nyawanya demi kehidupan Gereja. Jadi sedikit banyak para guru-guru saya ikut menanamkan bibit panggilan untuk masuk Serikat Yesus. 

Akan tetapi, pada akhirnya rahmat Tuhanlah yang menggerakan saya untuk menjadi seorang Romo, dan kemudian saya pun merespon rahmat Tuhan tersebut dengan memenuhi panggilanNya. Melihat pengalaman saya sejak masih duduk di bangku sekolah menengah, saya bisa melihat bagaimana Tuhan bekerja dalam hidup saya dan saya tidak melihat alasan lain untuk memuji, menghormati dan mengabdi kepada Yesus dengan menjadi seorang Imam. 

Untuk lebih mendalami suasana batin saya ketika kembali ke alma mater, silakan dibaca teks homily dibawah ini. 

Homili pada misa syukur Romo Stefanus Hendrianto, SJ pada tanggal 15 Juli, SMAK St. Yosef and SMP St. Theresia Pangkalpinang.

Teman-teman yang terkasih dalam Kristus, izinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Saya Romo Stefanus Hendrianto, SJ; saya adalah lulusan Angkatan 1992 SMA Santo Yosef dan Angkatan 1989 SMP Santa Theresia. Bisa dipastikan bahwa sebagian besar dari kalian belum lahir ketika saya lulus dari bangku SMP dan SMA. Mungkin sebagian guru – guru kalian juga masih duduk di bangku SD waktu saya bersekolah dulu. 

Adalah sebuah kehormatan besar bagi saya hari ini bisa mempersembahkan misa syukur di depan murid-murid SMP Santa Theresia dan SMA Santo Yosef, khususnya pada hari pertama pembukaan tahun ajaran baru. Kemarin saya sudah sempat berkeliling Gedung baru SMA Santo Yosef dan juga SMP Theresia. Pak Frans (kepala sekolah SMA) dengan senang hati memberikan tour kepada saya untuk melihat fasilitas sekolah. Saya harus mengakui bahwa sudah banyak kemajuan secara fisik baik untuk SMP maupun SMA dibanding ketika jaman saya sekolah 30 tahun yang lalu. Akan tetapi setelah berkeliling cukup lama, saya tidak melihat dua obyek yang penting, pertama saya tidak melihat ada patung Santo Yosef dan kedua saya juga tidak melihat ada patung Santa Theresia Kanak-Kanak Yesus. Dua patung pelindung sekolah yang saya pikir bisa dengan gampang ditemukan di kompleks sekolahan.

Setelah tidak melihat kedua patung tersebut, saya juga tidak melihat patung saya. Mengapa harus ada patung saya? Jawabannya karena saya juga akan menjadi orang Kudus. Kalian mungkin menduga saya adalah orang yang narsistik, akan tetapi menjadi orang kudus itu bukan hanya panggilan bagi seorang romo seperti saya, melainkan panggilan bagi semua orang termasuk kalian sebagai pelajar. Izinkan saya mengulangi pelajaran agama Katolik yang mendasar, bahwa kita sebagai orang Katolik percaya akan kehidupan setelah mati. Bagi orang yang meninggal dalam dosa berat tanpa bertobat dan menolak rahmat Tuhan, mereka akan masuk ke neraka. Sementara bagi orang yang meninggal dalam rahmat Tuhan dan persahabatan dengan Tuhan akan hidup selamanya bersama Yesus di surga. Orang-orang ini kemudian disebut orang-orang Kudus. Oleh karena itu saya yakin kalian semua juga pasti ingin masuk surga dan menjadi orang-orang Kudus. 

Berbicara tentang orang kudus, hari ini kita merayakan pesta seorang Santo, yaitu Santo Bonaventura. Saya pikir sangat pas sekali bagi SMA Santo Yosef dan SMP Theresia memulai tahun ajaran baru pada hari peringatan Santo Bonaventura, yang merupakan seorang uskup, kardinal, dan doktor gereja. Santo Bonaventura hidup pada abad ke 13 dan dia telah menyumbangkan banyak pemikiran-pemikiran besar bagi Gereja Katolik. Santo Bonaventura adalah pemimpin Ordo Fransiskan dan dia memberi dukungan kepada kehadiran para Romo Fransiskan di universitas dan mendirikan biara khusus di dalam universitas kota karena menurutnya, belajar merupakan kunci dari sikap apostolik biarawan dan juga membuat mereka dapat berkhotbah dan memberikan pengarahan spiritual kepada masyarakat. 

Salah satu pemikiran Santo Bonaventura yang relevan untuk kita semua, khususnya kalian para murid adalah teori tentang perilaku  manusia. Santo Bonaventura membedakan antara tiga macam perilaku manusia (human behavior). Pertama adalah perilaku bawaan (Innate Habit atau habitus innatus), yang kita dapatkan secara lahiriah, dan kita mempelajari perilaku ini dari usia yang sangat dini dan sangat mudah untuk dipelajari. Contohnya, seorang anak kecil akan cepat belajar untuk mempertahankan barang miliknya dan jikalau barang tersebut diambil oleh anak yang lain, dia akan berusaha merebut kembali.   

  Kedua, ada perilaku yang muncul karena kehendak pribadi kita yang bebas (acquired habit – habitus acquistus). Ketika seorang anak sudah tumbuh dewasa, dia pun mempunyai keinginan-keinginan dalam hidup, mulai dari menyantap makanan tertentu, ice cream, chocolate atau pola hidup tertentu, seperti pesta, dansa-dansi dan sebagainya. 

Yang terakhir adalah perilaku manusia yang ditanamkan oleh Tuhan (infused habit – habitus infusus), khususnya melalui perantaraan Roh Kudus. Perilaku manusia yang berhubungan dengan iman, harapan, dan kasih adalah perilaku yang ditanamkan oleh Tuhan dan semua perilaku ini ditanamkan Tuhan bersama-sama dengan rahmatNya.  

Apa hubungannya tiga model perilaku manusia tersebut dengan kehidupan kita? Sering kali dalam kehidupan ini, kita dikuasai oleh nafsu dan keinginan yang kuat, sehingga kita tidak bisa keluar dari kungkungan hawa nafsu tersebut tanpa bantuan dari rahmat Tuhan. Jikalau tubuh kita yang sakit, terkadang tubuh kita bisa menyembuhkan diri sendiri. Akan tetapi, jikalau kita berdosa, kita tidak bisa menyembuhkan luka dalam jiwa-jiwa kita dengan kekuatan sendiri, karena jiwa kita membutuhkan suntikan dari kasih Tuhan yang menyembuhkan. 

Saya pikir teori Santo Bonaventura tentang perilaku manusia masih cukup relevan untuk kehidupan kalian sebagai siswa sekolah di abad ke -21 ini. Ketika saya seusia kalian 30 tahun yang lalu, tantangan dan godaan yang saya hadapi tidaklah sehebat yang kalian alami. Saat ini kalian telah hidup di era digital, yang mana godaan dan tantangan di dunia digital sangat luar biasa, mulai dari pornografi, gossip, ataupun informasi yang tidak benar. Media sosial telah membuat kita menjadi monster karena kita bisa dengan gampang menyerang karakter orang atau bahkan membunuh karakter orang. 

Dunia digital juga menawarkan godaan bagi kalian untuk serba instant sehingga banyak anak-anak muda yang tidak bisa tekun belajar lagi. Dunia digital menawarkan informasi yang serba cepat, sehingga kalian cenderung ingin copy and paste, tanpa ada lagi keinginan untuk membaca lebih dalam ataupun melakukan penelitian terhadap sebuah subyek. Pada intinya, dunia digital telah memupuk keinginan kita untuk selalu ambil jalan pintas. 

Bagaimana kita mengatasi semua masalah tersebut. Kita tentu bisa berusaha mengurangi ketergantungan kita terhadap internet ataupun media sosial. Kita tentu saja bisa  berkeinginan untuk mengubah diri ataupun berikrar untuk melawan semua yang berbau godaan  di dunia digital. Akan tetapi kita tidak bisa melepaskan diri dari rasa lekat yang tidak sehat itu dengan kemampuan kita sendiri. Semua rasa lekat itu hanya bisa diatasi dengan doa dan rahmat Tuhan 

Di injil hari ini Yesus mengatakan bahwa “Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” Melalui pernyataan ini Yesus ingin mengingatkan kita yang sering mengandalkan kekuatan sendiri, dengan cara meninggikan diri kita sendiri. Tapi kita lupa akan keterbatasan kemampuan kita, sehingga Tuhan pasti akan selalu mengingatkan kita dengan merendahkan kita.

Apakah Yesus berlaku semena-mena dengan merendahkan kita. Yesus tentu tidak bisa disalahkan di sini karena tanpa Yesus berbuat apa-apapun, kita pasti akan direndahkan entah itu karena keterbatasan kemampuan fisik, pikiran, ataupun rohani. Oleh karena itu Yesus mengingatkan kita untuk merendahkan diri dan bergantung kepada rahmat Tuhan sehingga kita akan ditinggikan. Meski demikian bukan berarti kita bersikap pasif atau pasrah saja. Kita tentu harus berusaha sekuat tenaga karena pikiran, dan kemampuan fisik kita juga adalah anugrah Tuhan, akan tetapi kita sadar bahwa pada akhirnya semua usaha kita tidak akan berhasil tanpa rahmat Tuhan. 

Hari ini adalah hari pertama kalian memulai tahun ajaran baru. Salah satu pertanyaan yang harusnya hadir di benak kalian semua pada hari pertama sekolah ini adalah, “Apa yang aku cari dalam hari pertama di sekolah?” Saya menduga salah satu jawaban kalian atas pertanyaan itu adalah pertemanan atau friendship

Kalian semua pasti ingin mencari teman baru atau merajut hubungan pertemanan selama bersekolah. Akan tetapi hubungan pertemanan adalah hubungan yang cukup rumit. Sebagai seorang romo dan juga orang yang telah hidup lebih lama, saya ingin berpesan kepada kalian untuk mencari teman yang ingin berbuat terbaik buat diri kalian masing masing. Carilah teman-teman yang ingin membantu kamu tumbuh berkembang dan menjadi orang yang lebih baik. Tentu saja kalian bebas untuk memilih berteman ataupun bergabung dengan teman-teman yang pecundang. Jikalau itu pilihan kalian, ingatlah bahwa kalian juga harus siap menanggung konsekuensinya bahwa suatu hari nanti para pecundang tersebut akan menggiring kalian atau membawa kalian ke dalam jurang kejatuhan.  

Yang lebih penting adalah carilah teman-teman yang bisa membantu kalian menjadi orang kudus, ataupun kalian juga bisa menjadi orang kudus buat teman-teman kalian. Hal ini mungkin terkesan sangat berat untuk dijalani oleh anak-anak SMP ataupun SMA. Akan tetapi, saya pikir hal ini bukan tidak mungkin dilakukan oleh kalian semua. Tiga puluh tahun yang lalu, saya mempunyai pengalaman dengan seorang teman yang menjadi orang kudus buat saya. 

Ketika duduk di bangku SMA dulu, saya sering berbuat onar dengan cara saya sendiri. Suatu hari seorang teman perempuan saya yang kebetulan nama baptisnya adalah Katarina dari Siena minta waktu berbicara dengan saya. Santa Katarina dari Siena terkenal sebagai seorang Santa yang berani menghadap Paus dan meminta Paus  untuk bertobat dan kembali ke Roma dari pelariannya di Avignon. Jadi bukan sebuah kebetulan teman saya ini juga mewarisi karisma yang sama dari Santa pelindungnya. Singkat cerita kita duduk bersama dan teman ini berkata kepada saya, “Hendri, saya tahu mengapa kamu sering membuat ulah di sekolah, jawabannya adalah karena kamu bukan murid yang berprestasi.” Terus terang saja ketika itu saya marah dan sekaligus terhina juga oleh ucapan teman saya tadi. Tapi kata-katanya justru mencambuk untuk menunjukkan saya bisa berprestasi dan melakukan introspeksi diri. Teman tersebut berani mengingatkan saya dan menjalankan peran sebagai orang Kudus karena dia ingin saya menjadi orang yang lebih baik.  Oleh karena itu carilah teman yang seperti itu ataupun kalian bisa bersikap seperti teman saya tersebut. 

Akhir kata, saya mengucapkan selamat menempuh tahun ajaran baru buat kalian semua. Marilah kita saling mendoakan agar kita semua bisa menjadi orang kudus buat sesama kita. Panggilan untuk menjadi orang kudus bukanlah suatu hal maksimal yang harus kita capai melainkan hal itu adalah hal minimal yang harus kita capai sebagai pengikut Kristus. Tuhan memberkati kalian semua.