WKICU, Warga Katolik Indonesia di California Utara

View Original

Surat Cinta Rm. Macarius Maharsono, S.J

Bahan tulisan oleh Hanafi Daud.

Kita mendengar kabar mengenai seorang romo yang pernah membaktikan diri melayani WKICU tahun 2002. Beliau adalah romo Macarius Maharsono, S.J. Beliau dikabarkan mengalami kecelakaan jatuh di kamar mandi beberapa minggu lalu, dan saat ini sedang menjalani operasi karena pendarahan di otak dan dirawat di ICU  Rumah Sakit Panti Rapih, Jogjakarta. Doa kesembuhan kita lambungkan bersama. Allah akan selalu menjaga dan melindungi anak yang dikasihi dengan rencana terbaikNya.

Pengabdiannya yang hanya 8 bulan begitu memiliki kesan yang sangat mendalam bagi umat WKICU kala itu. Wajahnya yang kalem dengan senyum ramah yang selalu mengembang seperti meletupkan aura tersendiri sehingga umat merasa dekat dengan beliau.

Mungkin banyak anggota WKICU sekarang tidak tahu dan tidak kenal romo Maharsono, atau mungkin juga lupa. Di bawah ini ada sebuah surat yang ditulis sangat indah oleh beliau ketika beliau pamit karena harus menghentikan pelayanannya di WKICU dan melanjutkan pelayanan di Thailand. Ibu-ibu anggota Golden Girls WKICU mengatakan bahwa romo Maharsono ini mirip dengan  salah satu bintang film seri California Highway Patrol/CHIP, Eric Estrada. (lihat foto). 

Silakan Anda membaca surat perpisahan beliau kepada WKICU ini. Sebuah ungkapan rasa yang sangat menyentuh. Ungkapan rasa terima kasih dari hati tulus nan sederhana yang merasakan jalinan cinta umatnya dengan penyerahan total kepada Allah yang dirindukannya. Semoga rahmat kesembuhan beliau terima dengan segera, dan berkat kesehatan serta kebahagiaan menyertai beliau dalam pengabdian dan pelayanan kepada umat yang dicintainya.

————————ooo0ooo—————————

Surat diambil dari berita WKICU Juni 2002

Rembulan menggantung di jendela kamar. Itulah sambutan mesra kedatangan saya di Berkeley tahun lalu bulan Agustus. Hari berikutnya, Minggu pertama, saya merayakan ekaristi di komunitas WKICU.

Saya ingat, saya masuk tanpa pamit permisi. Terlambat lagi! Maaf ya. Oleh karena itu, supaya tidak terlalu kurang ajar, setelah 8 bulan merasakan kegembiraan dan kepahitan umat Katolik Indonesia di Bay Area, ijinkan saya pamit. Pamit dengan rasa haru dan penuh syukur terima kasih.

Hari-hari saya di Berkeley dan Bay Area penuh rahmat. Studi yang saya dalami terasa makin lama makin menarik. Makin lama makin terasa, betapa saya masih jauh dari mengenal Allah yang kita sembah bersama. Ya, Allah sungguh tak terpahami dengan budi akal. Allah hanya bisa kita rasakan dan alami hanya karena kasih KaruniaNya saja. Saya merasakannya secara berlimpah-limpah. Allah memang bagai laut tanpa tepi. Dan itulah sebabnya saya menjadi agak tidak berani bicara mengenai Allah. Biarlah Allah sendiri yang mewahyukan diri.

Saya mengalami betapa saya takut berdoa dengan banyak kata. Biasanya makin banyak kata, makin besar dan makin licin jalan menuju ke diri sendiri. Saya merasai kematian kata. Biarlah Tuhan yang berbicara, bukan saya yang merangkai selaksa kata. Tetapi saya juga mengakui betapa pada umumnya manusia kesulitan untuk doa diam dan mendengarkan. Orang masih mudah mengira bahwa dengan banyak kata bisa mengalahkan hati Allah. Makin banyak kata, makin licinlah jalannya. Bisa terpeleset dan memakai “doa” sebagai kendaraan penguasaan atas orang lain dan Allah. Wah! Doa diam dan mendengarkan memang memerlukan kerendahan hati luar biasa.

Delapan bulan di Bay Area bagai hidup dalam dua garba bunda pengasih.  Cinta dan kehangatan komunitas Katolik Indonesia bagai air dingin penyejuk jiwa. Terima kasih. Terima kasih. Saya mohon maaf kalau kadang tiba-tiba menghilang dari arena. Bukan lari, marah atau ngambek. Saya tahu diri. Cinta mesra “umat” bisa menggoda seperti dibuai dalam ayunan kedamaian para pangeran besar. Dan itu tidak cocok untuk saya.

Saya sangat menghargai cinta yang tulus ini. Tetapi saya harus pergi. Masih panjang jalan pelayanan saya. Maka dengan sadar dan penuh syukur, Bay Area menjadi oasis yang menyejukkan. Sesudah dikuatkan dengan banyak berkah di sini, saya harus melanjutkan perjalanan pelayanan yang tidak mudah itu. Oasis memang surga bagi pengelana. Tetapi pengelana sejati tidak menetap di Oasis.

Gereja komunitas Katolik Indonesia di Bay Area memang unik. Sejarah tidak meluruhkan serat-serat ke-Indonesiaan umat. Meski Amerika bergerak dalam pikirannya sendiri, WKICU menari dalam tenunan banyak benang kultur: Amerika, Indonesia, Cina, Jawa, Jakarta, dan lain-lain. Dalam rajut-rajut budaya yang punya sejarah yang panjang dan berakar dalam itulah, kita sekarang memasuki wilayah refleksi mengenai peranan imam dalam jemaat. Dan yang luarbiasa (syukur alhamdulilah) Tuhan memberi diakon sebagai “penatua” bagi jemaat yang bergerak ini. 

Kalau ada imam yang pastur, barangkali itu hanya kebetulan. Kebetulan ada yang sedang tugas belajar di Bay Area. Dan itu malah baik. Biarlah pastur itu menjadi orang-orang “kebetulan” saja. Kebetulan singgah di oasis penuh kasih ini. Terimalah mereka dan cintailah mereka secara bijaksana. Terlalu menuntut atau terlalu memanjakan barangkali adalah ketidak-bijaksanaan pula.

Saya mohon pamit. Saya meninggalkan Berkeley dan Bay Area dengan penuh rasa syukur dan terima kasih. Ada relung-relung karya lain yang akan saya masuki bersama kaum tanpa suara. Kalau ada yang mau belajar diam dan mendengarkan, saya akan mendapat lebih banyak teman lagi.

Tak ada gading yang tak retak. Begitulah pepatah Melayu kuno. Saya sadar sesadar-sadarnya, bisa saja saya pernah mengecewakan atau membuat orang tidak senang. Mohon maaf. Bagai tapak-tapak kaki di pasir pantai dihapus oleh ombak, biarlah kebaikan hati anda menghapus kesalahan-kesalahan saya.